kalimat-kalimat yang diterjemahkan oleh subjek penelitian berupa kalimat-kalimat lepas. Sebagai akibatnya, besar kemungkinan bahwa ketidakmampuan subjek penelitian dalam
penerjemahan terkait dengan tidak adanya konteks yang dapat membantu mereka dalam memahami makna atau pesan kalimat dan kemudian mengalihkannya ke dalam bahasa
sasaran. Ketiga, meskipun penelitiannya juga melihat latar belakang subjek penelitian, Soemarno tidak mempertimbangkan alasan yang mendasari putusan yang diambil oleh
subjek penelitian pada saat penerjemahan berlangsung.
2.2 Kerangka Teori
Masalah penelitian ini terfokus pada 1 perumusan teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang terdapat dalam
teks Medical-Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 2 pendeskripsian metode penerjemahan yang ditetapkan dalam menerjemahkan kata, frasa, klausa, dan kalimat
yang terdapat dalam teks Medical-Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 3 penginterpretasian ideologi penerjemahan yang dianut oleh penerjemah dalam
menerjemahkan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang terdapat dalam teks Medical- Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, dan 4 penilaian dampak dari teknik
penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi penerjemahan tersebut pada kualitas terjemahan. Dalam rangka mengkaji masalah-masalah tersebut diperlukan landasan teori
kebahasaan dan teori penerjemahan, seperti yang diuraikan di bawah ini.
2.2.1 Teori Kebahasaan
Bahasa merupakan sistem-terstruktur structured system sebagaimana halnya dengan sistem lain Machali 2000 : 18, memiliki pola yang umumnya bersifat statis.
Berikutnya, bahasa merupakan sistem bunyi yang bersifat manasuka arbitrar, yang disusun secara manasuka sehingga timbul kata yang membawa makna tertentu. Oleh
karena sifatnya yang manasuka, maka tidak ada hubungan antara kata dan benda yang diwakilinya; dan orang bebas memberi nama kepada benda atau situasi yang ditemuinya
Tidak hanya kata yang mempunyai makna. Unsur yang lebih kecil dan lebih besar dari kata pun mempunyai makna. Selain itu, dapat juga dilihat bahwa makna kata sebenarnya
terdiri dari beberapa komponen makna, yang ‘dikemas’ berbeda pada satu bahasa dengan yang lainnya.
Bahasa disebut bersifat eksklusif, kaidah dan konvensi yang dimiliki oleh sebuah bahasa hanya berlaku bagi sekelompok manusia, yaitu petutur bahasa tersebut Machali
2000 : 20. Susunan kata utama dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris kebetulan sama, yaitu SPO Subjek-Predikat-Objek; tetapi dalam bahasa Jepang SOP, bahasa Arab
PSO. Kesepadanan makna ini tentunya tidak mudah diperoleh karena penerjemahan
melibatkan dua bahasa yang berbeda, yang dengan sendirinya melibatkan dua budaya yang berbeda pula. Seberapa jauh budaya mempengaruhi penerjemahan masih tetap
diperdebatkan Katan 1999 : 7, sebagaimana Newmark 1981 : 6 ‘no language, no culture’ , artinya bahasa tidak terpisahkan dari budaya para penuturnya Simatupang
2000 :56. Perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa terlihat juga pada kosakatanya, karena kosakata adalah wadah konsep yang terdapat dalam budaya. Kalau
dilihat dari struktur lahir bahasa memang seakan-akan penerjemahan itu tak dapat
dilakukan, akan tetapi karena pada struktur batin ada kesemestaan, akhirnya penerjemahan itu dapat dilakukan. Struktur lahir ini dibuat berdasarkan persepsi, seperti
bentuk, atau ukuran, sedangkan pada struktur batin, yaitu makna, dibuat berdasarkan konsepsi Nida 1984 : 21. Oleh karena itu, penerjemahan itu tidak mudah dilakukan,
tetapi sekaligus juga dapat dilakukan. Sehubungan dengan hal kesepadanan penerjemahan, Moeliono 1973 : 4 dan Simatupang 2000 : 41 menekankan pada
adanya ekuivalensi antara tanggapanrespons penutur bahasa sumber terhadap makna yang ada pada Tsu, dengan tanggapanrespons penutur bahasa sasaran terhadap makna
yang ada pada Tsa. Toury 1995 dalam The Nature and Role of Norms in Translation menyatakan:
Terjemahan adalah suatu aktivitas yang sedikitnya melibatkan dua bahasa dan dua budaya.
2
Kebanyakan terjemahan dimaksudkan untuk melayani, meskipun tidak sempurna, sebagai pengganti untuk yang asli, untuk membantu orang-orang yang tidak
bisa membaca bahasa asli dari terjemahan tersebut. Hal ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi penerjemah. Pengetahuan bahasa asing yang memadai, kosa kata, dan
tata bahasa tidaklah cukup membuat seseorang menjadi penerjemah. Seorang penerjemah harus mengetahui budaya baik budaya dari bahasa sumber maupun budaya bahasa
sasaran sebelum melakukan terjemahan. Pentingnya seorang penerjemah untuk memahami budaya adalah karena teks merupakan hasil tindak komunikasi dengan
pembaca, norma, budaya, dan sebagainya yang berlainan Machali 2000: 45. Sehingga setiap terjemahan baik harafiah ataupun bukan adalah merupakan hasil analisis,
pengalihan, dan penyerasian yang disesuaikan dengan tindak komunikasi. Jadi
2
Translation and Culture. www.completetranslation.com
.
penerjemahan teks yang berhubungan dengan unsur-unsur budaya harus dilakukan secara seksama sehingga tidak menimbulkan perspektif dan makna yang berbeda.
Uraian di atas secara implisit menunjukkan bahwa pemadanan dalam konteks penerjemahan selalu diawali dengan penganalisisan terhadap struktur permukaan bahasa
sumber dalam rangka mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa sasaran. Penganalisisan yang seperti itu termasuk
dalam ruang lingkup linguistik struktural. Dalam penelitian ini, cara tersebutlah yang digunakan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, satuan lingual yang dikaji dalam
penelitian ini berada baik pada tataran kalimat maupun tataran di bawah kalimat baca: klausa, frasa, dan kata. Kedua, penganalisisan secara rinci dan cermat terhadap unsur-
unsur yang membentuk kalimat, klausa, dan frasa tersebut akan dapat mengungkapkan makna atau pesan yang terkandung dalam setiap unsur kata tersebut.
2.2.2 Teori Penerjemahan 2.2.2.1 Ideologi Penerjemahan