konsepsi Nida 1964 :21. Oleh karena itu, penerjemahan itu tidaklah mudah dilakukan, tetapi sekaligus juga dapat dilakukan. Bell 1991:6 mengatakan: ... they are different in
form, having distinct codes and rules regulating the construction of grammatical stretches of language and these forms create different meanings. Sehubungan dengan
hal kesepadanan penerjemahan tersebut, Moeliono 1973 : 4 dan Simatupang 2000 : 41 menekankan pada adanya ekuivalensi antara tanggapanrespons penutur Bsu terhadap
makna yang ada pada teks bahasa sumber Tsu dengan tanggapanrespons penutur Bsa terhadap makna yang ada pada teks bahasa sasaran Tsa.
2.1.4 Pendekatan Penerjemahan
Pendekatan penerjemahan merujuk pada cara penerjemah mendekati tugas penerjemahan, dan pendekatan penerjemahan yang diterapkan akan berpengaruh
pada cara-cara masalah penerjemahan diatasi, yang pada gilirannya akan berpengaruh pula pada kualitas terjemahan yang dihasilkan. Dalam literatur teori
penerjemahan lihat Baker, 1992; Newmark, 1988 terdapat dua pendekatan penerjemahan, yaitu: pendekatan bawah-atas bottom-up approach dan pendekatan
atas-bawah top-down approach. Jika penerjemah mulai dengan satuan lingual yang lebih kecil dari teks
misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat, dia menerapkan pendekatan bawah-atas. Sebaliknya, jika penerjemah mulai dari tataran yang paling tinggi, yaitu teks, dan
dilanjutkan pada tataran yang lebih rendah, dia menerapkan pendekatan atas-bawah
lihat Baker, 1992: 6; Hervey, Higgins, and Haywood, 1995: 1. Prosedur langkah- langkah dalam pendekatan atas-bawah digambarkan melalui sudut tiga di bawah ini.
1 text function- in- situation 2 cultural norms and
conventions 3 linguistic
structures 4 context
5 tran- slator
Gambar 3 : Langkah-langkah Pendekatan Atas-bawah Nord, 1994: 65
Nord 1994 memerikan ke lima langkah tersebut sebagai berikut. Pertama, masalah yang timbul dalam penerjemahan misalnya ungkapan idiomatis dianalisis
dalam kaitannya dengan fungsinya dalam teks dan situasi budaya bahasa sasaran. Selanjutnya, penerjemah membuat keputusan apakah terjemahan harus disesuaikan
dengan norma-norma dan kebiasaan budaya sasaran domesticating ataukah mempertahankan budaya teks bahasa sumber di dalam teks bahasa sasaran
foreignizing. Keputusan ini menyangkut strategi penerjemahan dalam mengatasi persoalan ketaksepadanan atau ketakterjemahan karena faktor linguistik atau
ekstralinguistik melalui penambahan addition dan penghilangan informasi deletion, penyesuasian struktur structural adjustment dan pergeseran tataran
rank shift. Keputusan tersebut akan membatasi penerjemah dalam menggunakan piranti linguistik. Dari piranti linguistik yang terbatas itu, penerjemah memilih satu
piranti yang sesuai konteks tertentu, seperti tipe teks, register, gaya dan sebagainya.
Jika masih ada pilihan dari beberapa piranti linguistik yang tersedia, penerjemah memutuskan satu piranti yang paling sesuai.
Langkah-langkah pendekatan atas-bawah yang disarankan tersebut didukung oleh bukti penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Ruuskanen 1996
menemukan bahwa para penerjemah profesional menganalisis teks bahasa sumber secara komprehensif dalam hal leksikon register, genre, gaya dan pembacanya
sebelum mereka menerjemahkan teks tersebut ke dalam teks bahasa sasaran. Yang mana dari ke dua pendekatan yang lebih baik masih menimbulkan
perdebatan di kalangan pakar teori penerjemahan. Baker 1992: 2, misalnya, berpendapat bahwa kedua pendekatan itu valid. Namun, dia lebih memilih
pendekatan bawah-atas karena alasan-alasan pedagogik. Menurut Baker, pendekatan bawah-atas lebih mudah diterapkan atau diikuti oleh mereka yang penguasaan
linguistiknya masih rendah. Karena alasan-alasan yang sama Hervey, Higgins, and Haywood 1995: 1 juga mengadopsi pendekatan bawah-atas. Sementara itu,
meskipun Newmark 1991 menyatakan bahwa kedua pendekatan itu sahih, dia cenderung berpendapat bahwa pendekatan atas-bawah lebih baik daripada
pendekatan bawah-atas. Menurut Newmark 1991: 127, “The second approach to translating is top to bottom, which every translation teacher recommends and the
poor students follow, but perhaps few instinctive translators practice”. Snell- Hornby 1995, Hatim and Mason 1990, and Kussmaul 1995 menganjurkan
pendekatan atas-bawah. Snell-Hornby 1995 : 69, misalnya, mengatakan, textual analysis, which is an essential preliminary step to translation, should proceed top
down, from the macro to the micro level, from text to sign.
Pendekatan atas-bawah merupakan pendekatan yang sangat ideal, dan secara teoritis, pendekatan itu merupakan salah satu kecenderungan baru dalam
studi penerjemahan, yang lebih mementingkan proses daripada produk pengalihan pesan satuan lingual yang paling tinggi, yaitu teks. Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa pendekatan tersebut tidak selalu dipraktikkan dalam kegiatan penerjemahan Nababan, 2004.
2.1.5 Strategi Penerjemahan