Komitmen dan Konsistensi Penerapan Prinsip Kehati-hatian

BAB IV UPAYA PENGEFEKTIFAN IMPLEMENTASI

PRINSIP KEHATI-HATIAN

A. Komitmen dan Konsistensi Penerapan Prinsip Kehati-hatian

Untuk dapat menerapkan prinsip kehati-hatian di lingkungan pemerintahan dan perusahaan dalam rangka GCG diperlukan konsistensi dan komitmen yang kuat. Agar konsistensi dan komitmen tersebut tetap terjaga dengan baik maka perlu diperhatikan beberapa hal mendasar antara lain filosofi, peranan dan aspek-aspek penting prinsip kehati-hatian, serta hubungan fungsional antara GCG dan GPG. Penulis berpendapat bahwa filosofis yang mendasari corporate governance yang melahirkan GCG ialah: “bertindak dengan itikad baik dan dipercaya pihak- pihak yang berkepentingan untuk berlaku adil”, dimana hal ini dapat dilihat antara lain dalam prinsip good faith dan fiduciary. Prinsip good faith perilaku bertindak dengan itikad baik adalah suatu hal yang sejak lama sudah ada di bidang hukum, yang selanjutnya dalam hukum korporasi mengalami perubahan yang signifikan dalam menjaga keseimbangan antara kewenangan authority dan tanggung jawab accountability para direktur. Meskipun pada awalnya good faith adalah suatu alat yang lebih bersifat retorika dari pada yang bersifat substansi. Good faith dalam hukum korporasi, sebagaimana ditegaskan oleh Delware Supreme Court, mempunyai kedudukan yang lebih bersikap sebagai pendorong pada 320 Universitas Sumatera Utara fiduciary suatu tindakan berdasarkan atas kepercayaan dalam hubungan antara pemegang saham dan direktur. Analisis secara tradisional tentang fiduciary duty difokuskan pada duty of loyalty dan duty of care. Dalam hal ini, the duty of loyalty, dalam formulasi yang sangat sederhana adalah suatu sikap yang mendahulukan kepentingan perusahaan corporate opportunity daripada kepentingan pribadi dengan cara melawan conflict of interest benturan kepentingan para direktur dan menghindari self dealing transaksi untuk kepentingan pribadi. Sedangkan the duty of care, dimaksudkan agar para direktur dalam menjalankan perusahaan bersikap hati-hati dan dalam mengambil keputusan secara professional. 255 Hubungan antara pemegang saham dan pengelola perusahaan pada hakekatnya adalah hubungan yang didasari oleh kepercayaan atau amanah fiduciary, yang kemudian didorong oleh itikad baik good faith sehingga tindakan para pengelola perusahaan terutama para direksi menjadi lebih akuntabel. 256 Dalam mengelola kegiatan perusahaan secara operasional, para direksi hendaklah mempedomani secara sungguh-sungguh the duty of loyalty dan the duty of care sehingga GCG dapat terimplementasikan secara optimal. Direksi sebagai organ perusahaan bertanggung jawab penuh with full sense of responsibility dan mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan persona standi in judicio, maka semua tindakannya untuk perusahaan diwajibkan dengan 255 Sean J.Griffith, “Good faith Bussiness Judgment; Theory of Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”, Law Journal, Volume 55 October 2005, hal. 22. 256 Stephen Marantelli, dkk, The Australian Legal Dictionary, first published by Edward Arnold Australia Pty. Ltd., 1985, hal. 101 Universitas Sumatera Utara itikad baik good faith. Dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kepercayaan fiduciary duties, trust and confidence, ia harus mampu dan dapat dipercaya untuk bertindak sebaik-baiknya untuk kepentingan stakeholders dan shareholders. Agar tugas-tugas yang dilakukan tetap berjalan dalam koridor ketentuan Undang-undang statutory duties maka perlu dilakukan suatu sistem pengawasan yang efektif. Apabila direksi melakukan kesalahan, karena benturan kepentingan conflict of interest direksi terikat untuk tidak mengambil keuntungan pribadi no secret profit rule atas opportunity yang seharusnya milik perseroan. Demikian juga halnya jika direksi melakukan perbuatan di luar ruang lingkup tugas dan kewajibannya serta berada di luar kewenangan perusahaan ultra vires, maka direksi harus bertanggung jawab secara tanggung renteng apabila perusahaan pailit dan harta perusahaan tidak cukup untuk melunasi hutang perusahaan. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi perusahaan maka pertanggung jawaban pelaksanaan atas tindakan korporasi dibatasi kepada yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, dan korporasi itu sendiri sebagai subjek tindak pidana. Prinsip kehati-hatian juga merupakan duty of skill and care 257 , yang menghendaki agar para pelaku usaha harus mencerminkan sikap dan perilaku manajemen dan direksi yang built-in, yang secara detail dituangkan dalam sistem dan prosedur dalam bentuk tertulis. Jika sekiranya sistem dan prosedur yang didasari prinsip kehatian-hatian itu berjalan pada setiap perusahaan maka hal tersebut dapat 257 Widjaya I.G.Rai; Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,; Jakarta: Keasint Blanc, 2000, hal 72 Universitas Sumatera Utara menjadi alat kontrol guna memudahkan pengawasan eksternal dan internal yang dilakukan institusi pengawasan yang kompeten. Namun pada kenyataannya, lemahnya fungsi pengawasan dan lambatnya institusi pemerintah dalam melakukan tindakan hukum terhadap pelaku ekonomi yang menyimpang telah mengakibatkan tidak terwujudnya iklim berusaha yang sehat. Kelemahan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka GCG dapat ditemukan pada perusahaan yang mengalami krisis keuangan. Pada sisi lainnya, legitimasi hukum yang diberikan kepada lembaga-lembaga regulator ternyata kurang maksimal sehingga menimbulkan terjadinya penyimpangan pada BUMN. Berlandaskan hipotesis bahwa jika prinsip kehati-hatian yang didukung prinsip kepatuhan tidak dijalankan, maka BUMN tersebut berarti tidak dikelola berlandaskan asas GCG sehingga menyebabkan perusahaan mengalami krisis. Jika pada awal diimplementasikannya prinsip-prinsip kehati-hatian dalam rangka GCG, sebagaimana diuraikan di atas secara filosofis berintikan “amanah”, maka pada saat diimplementasikan dan sesudahnya pun filosofis yang mewarnai kegiatan para pengelola perusahaan adalah “transparansi”, dimana Direksi sebagai pengelola harus membuat setiap kebijakan perusahaan diupayakan dalam bentuk tertulis dan proporsional untuk dikomunikasikan dengan stakeholders. Selaitu itu Direksi juga harus mengungapkan informasi tentang perusahaan secara tepat waktu, jelas dan akurat. Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan PNS. PNS yang kuat, kompak dan bersatu padu akan Universitas Sumatera Utara memiliki kepekaan, tanggap dan kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembinaan korps PNS dengan mengutamakan moral, integritas dan profesional yang berpegang teguh filosofis prinsip kehati-hatian yang berintikan “amanah” dan “transparansi” dalam setiap tindak tanduk dan kegiatan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sehubungan dengan itu maka penerapan good governance, baik dalam bentuk GCG maupun GPG, perlu didukung oleh berfungsinya tiga pilar yaitu negara, dunia usaha dan masyarakat. Untuk menciptakan situasi kondusif dalam pelaksanaan good governance, ketiga pilar tersebut mempunyai fungsi saling berpengaruh dan saling menunjang. Negara, sebagai pelaksana GPG memiliki pengaruh yang besar terhadap terwujudnya good governance secara menyeluruh, baik dalam rangka penyeleng- garaan negara itu sendiri, maupun dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk penerapan good corporate governance. Dunia usaha, berkepentingan dan memiliki peran dalam mewujudkan GPG. Di pihak lain penerapan GCG oleh dunia usaha mempunyai pengaruh besar terhadap pelaksanaan GPG dalam upaya menciptakan ketertiban masyarakat. Masyarakat, yang peduli terhadap pelaksanaan kontrol sosial secara objektif dan bertanggung jawab mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan GPG maupun GCG. Demikian pula sebaliknya keterlibatan masyarakat dipengaruhi pula oleh pelaksanaan GPG dan GCG. Universitas Sumatera Utara Asas yang terdapat pada GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan merupakan dasar-dasar utama untuk dapat menerapkan tata kelola perusahaan yang baik governance, sedangkan GPG yang mempunyai asas demokrasi, akuntabilitas, budaya hukum, serta kewajaran dan kesetaraan pada hakekatnya juga merupakan landasan berpijak agar terbentuknya suatu pemerintahan yang baik. Dengan demikian apabila kedua prinsip tersebut diterapkan oleh masing-masing institusi, baik perusahaan sebagai sebuah korporasi yang menerapkan budaya perusahaan yang sehat, maupun birokrasi dan perangkat politiknya seperti parlemen dan bahkan partai politik mampu menerapkan ke empat asas GPG, maka diyakini BUMN pada gilirannya akan mampu menumbuhkan kinerja dan daya saing yang optimal. 258 Arti perkataan “kehati-hatian” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “memperhatikan dengan sunguh-sungguh”. Pengertian “kehati-hatian” yang demikian itu mengandung amanat bahwa dalam konteks pengelolaan perusahaan setiap pengelola atau pengurus perusahaan haruslah dengan bertanggung jawab dan sungguh-sungguh untuk kepentingan perusahaan, yang dalam pelaksanaanya harus berlandaskan hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 97 ayat 1 dan ayat 2 menegaskan Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dan wajib dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung 258 A. Prasetyantoko, Reformasi Kelembagaan dan Penerapan Governance menuju BUMN berdaya saing global, hal 5 Universitas Sumatera Utara jawab. Pada Penjelasan dari ayat 2, yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun. Maka jelas bahwa batasan pengertian “penuh tanggung jawab” yang demikian itu pada hakikatnya memiliki makna sama dengan prinsip “kehati-hatian”. Hukum perbankan yang secara tegas mangakomodasi prinsip kehati-hatian, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 29 ayat 2, yaitu bahwa bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Lebih lanjut Penjelasan Pasal 29 menegaskan, bahwa bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Sebagai pengawas dan pembina industri perbankan di Indonesia maka Undang-undang tentang Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 1999, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 25, memberi kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia PBI. Perwujudannya diterbitkanlah PBI Nomor 84PBI2006 yang lebih lanjut dipertegas dengan Surat Edaran Nomor 912DPNP tanggal 30 Mei 2007 yang pada pokoknya memuat antara lain: Pertama, pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar : 1 transparansi transparency, yaitu keterbukaan dalam mngemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan; 2 akuntabilitas accountability Universitas Sumatera Utara yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ Bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif; 3 pertanggungjawaban responsibility yaitu, kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Bank yang sehat. 4 independensi independency yaitu pengelolaan Bank secara professional tanpa pengaruhtekananan dari pihak manapun; dan 5 kewajaran fairness yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut diatas, Bank harus berpedoman pada berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan pelaksanaan GCG. Kedua, bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Dalam hal ini, pengertian kegiatan usaha pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi meliputi seluruh pengurus dan karyawan bank mulai dari Dewan Komisaris dan Direksi sampai dengan pegawai tingkat pelaksana. Sejalan dengan penerapan corporate governance dalam pengelolaan perusahaan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, maka pengelola perusahaan juga harus dilindungi dalam mengelola perusahaan. Dalam hal ini, ”Prinsip Kehati- hatian” merupakan salah satu dari unsur atau elemen yang esensial dalam memberikan perlindungan kepada Dewan Komisaris maupun Direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan. Universitas Sumatera Utara Di dalam Black’s Law Dictionary terdapat kata due care untuk perkataan kehati-hatian, yang ditemukan dalam pengertian business judgment rule, yaitu “this rule immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within both power of corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicate that transaction was made with due care and in good faith”. Artinya, dalam konsep business judgment rule terkandung prinsip yang melindungi direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati- hatian dan itikad baik. Dengan demikian setiap pihak yang menyatakan bahwa Direksi telah melanggar kewajibannya fiduciary duty harus membuktikan bahwa keputusan Direksi tersebut diambil tidak dengan penuh kehati-hatian, tidak dengan itikad baik dan tidak dipercayai bahwa semuanya dilakukan untuk kepentingan perseroan semata-mata. 259 Konsep perlindungan terhadap pengurus perseroan yang terdapat pada prinsip business judment rule juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas PT, bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan Pasal 97 ayat 5 butir b. Di samping itu, anggota Direksi tidak 259 Gunawan Widjaya, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris Pemilik PT, Jakarta: Forum sahabat November 2008, hal. 59. Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan Pasal 104 ayat 4 butir b. Di samping perlindungan terhadap Direksi, Prinsip Kehati-hatian juga memberikan perlindungan terhadap anggota Dewan Komisaris sebagaimana terdapat dalam Pasal 115 ayat 3 butir b, yang menegaskan bahwa anggota Dewan Komisaris tidak dapat diminta pertanggungjawabannya atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan, telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Dari aspek manajerial, pengelolaan kegiatan industri perbankan menempatkan peranan penting prinsip kehati-hatian banking prudential untuk dipedomani dan dilaksanakan dalam kegiatan usaha oleh para pengurus. Hal ini terakomidir dengan jelas sekurang-kurangnya oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 998 tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang dijabarkan oleh PBI Nomor 84PBI2006 dan Surat Edaran Nomor 912DPNP tanggal 30 Mei 2007 sehubungan dengan penerapan asas-asas GCG dengan lima prinsip dasar. Pertama, transparansi transparency, yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi publik. Kedua, akuntabilitas accountability yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggung jawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban responsibility Universitas Sumatera Utara yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi independency yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruhtekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran fairness yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelima asas GCG itu harus diadopsi oleh perusahaan, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas maupun Perum, dengan penyesuaian seperlunya sesuai dengan jenis dan kondisi operasional masing-masing perusahaan. Dalam konteks aspek yang bersifat manajerial pada industri perbankan, menurut Ross Cranston 260 , bahwa aturan kehati-hatian prudential regulation terdiri atas dua aturan yang berbeda, yaitu prefentif dan protektif. Aturan prefentif pencegahan mencakup hal-hal yang bersifat teknis yang sengaja diadakan untuk membentengi krisis dengan cara mengurangi risiko yang dihadapi bank. Teknik- teknik ini meliputi antara lain pengawasan dan monitoring manajemen bank, kecukupan modal, solvensi, standar likuiditas, dan batas maksimum pemberian kredit. Sedangkan aturan protektif bermaksud memberikan perlindungan dan dukungan kepada bank terutama pada saat krisis mengancam. Fasilitas pinjaman dari bank sentral Lender of last resort merupakan manfaat yang segera tersedia, tetapi yang dibutuhkan terutama adalah bantuan penyelamatan rescue operation dan skema pembayaran dibawah asuransi perlindungan deposan. 260 Cranston, Op. cit, hal. 11 Universitas Sumatera Utara Pada BUMN yang bergerak dalam jasa perbankan, aspek hukum the prudential banking practice juga sudah diakomodasikan dalam Undang-undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menegaskan bahwa Bank Indonesia menetapkan batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. Bagan 2 Beberapa Aspek Prinsip Kehati-hatian 38 P R I N S I P KEHATI - HATIAN ASPEK MANAJENERIAL ASPEK HUKUM ASPEK PELINDUNG PENGURUS PERUSAHAAN Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa perlunya ditemukan iklim dan etika berbisnis yang sehat agar kegiatan usaha berjalan optimal. Secara umum kendala bersifat eksternal adalah korupsi, karena korupsi pada hakikatnya Universitas Sumatera Utara ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai akibat antara lain budget negara yang sumbernya sudah langka menjauh dari pembangunan, ia menghambat investasi karena meningkatkan berbagai risiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun luar negeri karena pelaku bisnis bekerja dan berurusan dalam lingkungan masyarakat yang korup dengan banyak waktu terbuang dan menggunakan uang dalam proses investasi, khususnya saat berhubungan dengan aparatur pemerintah yang berwenang dalam hal itu. World Bank telah melakukan jajak pendapat di 40 Negara yang penduduknya miskin. Hasilnya menunjukkan bahwa korupsi telah menimbulkan rasa kesal dan frustrasi karena korupsi berakibat pada segi-segi pelayanan masyarakat seperti jaminan kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan makanan yang cukup menjadi terabaikan, tambahan pula orang-orang miskin juga mengeluh karena keadilan tidak lagi berpihak kepada mereka, dimana aparat penegak hukum telah dikendalikan oleh sistem yang bernuansa korupsi. 261 Berkaitan dengan transaksi bisnis internasional, bentuk korupsi yang sering terjadi adalah penyuapan bribery yang dilakukan orang asing terhadap pejabat suatu negara dimana kegiatan bisnis yang berindikasi penyuapan itu sering dikatakan sebagai “bribery of foreign public officials”. Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, yaitu OECD yang beranggotakan 38 negara pada tanggal 21 November 1997 meluncurkan The OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in Internasional Bussines Transactions OECD Bribery Convention dan telah diterapkan sejak 15 261 Rt. Hon Clare Short MP, Handling other People’s Wealth the Taint of Corruption, Eighteenth International Symposium on Economic Crime UK: Jesus College, University of Cambridge: 10 th to 17 th September 2000, hal. 3. Universitas Sumatera Utara Pebruari 1999 dimana telah disetujui menghukum perusahaan dan individu yang terlibat dalam penyuapan bribery transaction. Selanjutnya, dalam Kongres PBB Ke-VII tentang “Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” di Milan tahun 1985 262 , telah dibicarakan tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu “Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Dalam salah satu hasil pembicaraan tentang “dimensi baru” ini, yang memperoleh sorotan adalah tentang terjadi dan meningkatnya “penyalahgunaan kekuasan” “abuse of power”. Penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang ekonomi ini melibatkan pihak-pihak “upper economic class” seperti misalnya para konglomerat maupun “upper power class” seperti misalnya pejabat tinggi yang melakukan konspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu, sehingga pada akhirnya menimbulkan tindak pidana ekonomi “economic crime” dimana tindak pidana perbankan menjadi salah satu objek kriminalisasi tersebut. Secara khusus adalah sangat menarik mengungkapkan apa yang dikemukakan oleh Rt Hon Clare Short MP, sebagaimana dalam tulisannya yang berjudul Handling other People’s wealth - the taint of corruption menyebutkan 263 : There is a growing demand for action against corruption amongst poor people in developing countries and amongst a growing number of government. The new democratic government in Indonesia, for example, has acknowledged publicly that corruption was at the heart of the economic problems of the country and must be tackled if the new Indonesia democracy is to succeed. 262 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Sistemik sebagai Kendala Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 24, No. 3, Tahun 2005, hal. 7 263 Clare Short, Op. cit, hal. 1 Universitas Sumatera Utara Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi United Nations Convention Against Corruption yang berlaku efektif pada 29 September 2003 menegaskan pula, antara lain, bahwa negara-negara peserta Konvensi prihatin atas keseriusan masalah ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan supremasi hukum. William Chang berpendapat bahawa manajemen koruptif dalam birokrasi pemerintah dan swasta perlu terus diperangi bila negara kita ingin keluar dari lembah krisis multidimensi. 264 Andi Hamzah 265 mengemukakan bahwa korupsi tidak akan terberantas hanya dengan penjatuhan pidana yang berat saja, tanpa suatu prevensi yang lebih efektif. Dengan pidana mati pun seperti di RRC, ternyata tidak menghapus korupsi. Satu hal yang sering dilupakan ialah kurang diperhatikannya peningkatan kesadaran hukum rakyat. Selalu penegak hukum saja yang diancam dengan tindakan keras, tetapi jika rakyatnya sendiri menoleransi korupsi, yang setiap kali memerlukan pelayanan selalu menyediakan amplop, dan setiap kena perkara langsung mencari siapa penyidik, penuntut atau hakimnya untuk disogok, maka lingkaran setan korupsi tidak akan terberantas. 264 William Chang, “Bongkar Manajemen Koruptif”, Harian Kompas, 20 Nopember 2001. 265 Andi Hamzah, Pemberantas Korupsi Melalui Hukum Pidana National n International, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 248. Universitas Sumatera Utara Kembali kepada prinsip kehatian-hatian, untuk penerapannya secara konsisten dibutuhkan pemimpin yang amanah, profesional dan cerdas. Menurut A.C. Page dan R.B. Ferguson bahwa setiap orang yang bertugas mengelola suatu investasi untuk kepentingan pihak lain, harus selalu bertindak hati-hati dan didalam pikirannya merasa terikat secara moral dengan pihak lain tersebut. 266 Ia harus sadar yang dikelolanya adalah milik orang lain dan secara moral bertanggung jawab kepada masyarakat. Dalam kaitan ini, Thomas Donaldson mengatakan bahwa dalam membuat keputusan moral memerlukan sekurang-kurangnya menggunakan alasan yang tepat dalam mengambil keputusan dan juga memperhatikan kebijakan perusahaan dan peraturan yang berlaku. 267 John Rawls 268 dalam Theory of Justice mengatakan bahwa rumusan seperangkat prinsip yang ketika digabungkan dengan kepercayaan dan pengetahuan kita tentang situasi yang ada akan mengarahkan kita membuat penilaian-penilaian dengan alasan yang mendukung penerapan prinsip-prinsip tersebut secara sadar dan bertanggung jawab. Sehingga moral bagi seorang pengelola perusahaan dalam penerapan prinsip kehati-hatian bersifat mutlak untuk dapat menjaga kemajuan perusahaan dan rasa keadilan di antara pengelola dengan shareholders dan stakeholders. 266 Page, A.C., dkk, The Prudent Man Rule; Investor Protection, WeidenFeld and Nocolson Ltd, London 1992, hal. 19-20 267 Monks, Robert A.G., dkk, Corporate Governance, Third Edition, Blackwell Publishing, 2004, hal 17 268 Rawls, John, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, hal 51 Universitas Sumatera Utara Dalam mengelola perusahaan, penerapan prinsip kehati-hatian saja tidak cukup, melainkan juga harus menerapkan prinsip kepatuhan compliamce. Prinsip kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan merupakan suatu sikap terhadap hukum positif yang harus diikuti oleh setiap pengelola perusahaan dalam mewujudkan iklim berusaha yang sehat, serta mampu bertindak profesional dalam menerapkan nilai-nilai yang baik bagi organisasi perusahaan untuk mewujudkan budaya bisnis yang sehat sehingga berbagai risiko yang mungkin timbul dapat diantisipasi. Bagi seorang pemimpin perusahaan, di samping dituntut mempunyai pengetahuan dan keterampilan tertentu, juga harus didukung oleh kematangan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian filosofis ketika mengambil suatu keputusan, yang tetap harus berdasarkan moral dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Bagan 3 Pemimpin yang amanah, profesional dan cerdas PEMIMPIN Amanah, Profesional, dan Cerdas Prinsip Kehati-hatian Prinsip Kepatuhan MORAL Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas terdapat 4 empat pokok pikiran yang dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, jika dilihat dari segi kepentingan nasional jelas sekali bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan amanah Undang-Undang Dasar 1945 yaitu masyarakat adil dan makmur. Di samping faktor korupsi yang merupakan kendala eksternal, kendala yang bersifat internal yang tidak kalah pentingnya adalah lemahnya pemahaman prinsip- prinsip GCG oleh pemilik perusahaan yang diwakili oleh Komisaris selaku pemegang saham, sedangkan Komisaris Independen kurang berdaya menghadapi besarnya pengaruh dan keinginan Komisaris selaku pemegang saham. Di tingkat pimpinan perusahaan tidak jarang role model atau panutan yang dijadikan model cenderung kurang konsisten terhadap prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam mengelola perusahaan secara sehat. Untuk mengatasi kendala tersebut maka kepatuhan terhadap sistem pengendalian internal sangat diperlukan dengan pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam organisasi perusahaan antara Dewan Komisaris, Direksi, stakeholders lainnya. Akan lebih efektif lagi jika dalam struktur perusahaan terdapat Komisaris Independen dengan kualifikasi dan kompetensi yang handal serta jumlah yang memadai. Keberhasilan pemerintah dalam penegakan hukum sehingga menimbulkan rasa kepastian hukum bagi para pelaku bisnis dan rasa keadilan bagi masyarakat serta Universitas Sumatera Utara kemampuan pemerintah menumbuh kembangkan pemerintahan yang bersih; good and clean governement dengan menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian yang didorong berbasiskan good governance sangatlah dominan dalam memperbaiki kinerja perusahaan yang tergabung dalam BUMN. Kedua, berangkat dari filosofis yang terkandung dalam prinsip kehati-hatian dalam rangka GCG yang berintikan “amanah” dan “transparan” hakekatnya merupakan elemen yang esensial untuk dipedomani, dihayati dan dilaksanakan oleh pengelola, perusahaan maupun aparatur pemerintahan dalam tata kelola di bidang tugas masing-masing untuk mewujudkan perusahaan dan pemerintahan yang bersih, kuat dan berwibawa sehingga mendapatkan reputasi yang baik dan handal dari masyarakat. Ketiga, beberapa aspek yang terkandung dari prinsip kehati-hatian seperti aspek hukum, aspek manajerial dan aspek perlindungan terhadap pengurus perusahaan sangatlah penting bagi perkembangan dunia bisnis di Indonesia, maupun dalam menghadapi globalisasi. Keempat, peranan 3 tiga pilar utama yaitu Negara, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung terlaksananya efektivitas prinsip kehati-hatian sangat diperlukan dengan cara memperhatikan dengan sungguh-sungguh, dimana Negara sebagai pelaksana GPG mempunyai pengaruh besar dalam upaya mewujudkan good governance. Dalam pada itu, dunia usaha yang menerapkan GCG mempunyai pengaruh relatif besar terhadap pelaksanaan GPG, yang pada gilirannya dapat Universitas Sumatera Utara menciptakan ketertiban masyarakat, dan sebaliknya masyarakat yang peduli dengan sosial kontrol akan mempunyai pengaruh pula terhadap implementasi GCG maupun GPG. Kelima, upayan pengefektifan prinsip kehati-hatian dalam suatu perusahaan banyak ditentukan oleh kualitas pimpinan, baik dalam rangka pengembangan usaha maupun persaingan. Oleh karena diperlukan seorang pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan dan memiliki moral yang tinggi, kecerdasan intelektual dan profesional atau yang disebut dengan Pemimpin Profesional yang Cerdas yang menjadi role model atau panutan jajaran perusahaan yang dipimpinya.

B. Hubungan Antara Budaya Korporasi dan Kinerja