Tahap Evaluasi Pentahapan Penerapan GCG

Dewan Komisaris dan Direksi perusahaan. Implementasi hendaknya mencakup pula upaya manajemen perubahan change management guna mengawal proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG. 166 Internalisasi adalah tahap jangka panjang dalam implementasi. Internal seluruh proses bisnis perusahaan melalui berbagai prosedur operasi misalnya prosedur pengadaan dan lain-lain, sistem kerja, dan berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan GCG bukan sekadar dipermukaan atau sekadar kepatuhan yang bersifat superfisial, tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan.

c. Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakukan dengan meminta pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada. 167 Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat memberikan jasa audit yang demikian, dan di Indonesia ada beberapa perusahaan 166 Secara umum, penerapan prinsip GCG secara konkret, memiliki tujuan terhadap perusahaan, 1 Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing; 2 mendapatkan cost capital yang lebih murah; 3 Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kerja ekonomi perusahaan; 4 Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholder terhadap perusahaan; 5 Melindungi Direksi dan Komisaris dari tuntutan hukum. Lihat Indra Surya dan Ivan Yustiawan; Penerapan Good Corporate Governance, Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, Jakarta: Kencana 2006, hal. 68 167 Mas Achmad Daniri, Op. Cit, hal. 128. Universitas Sumatera Utara yang melakukan scoring. Evaluasi dalam bentuk assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatori misalnya seperti yang diterapkan di lingkungan BUMN. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan perbaikan perusahaan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan. Dalam hal membangun GCG dan terkait dengan pengembangan sistem, yang diharapkan akan mempengaruhi perilaku setiap individu dalam perusahaan yang pada gilirannya akan membentuk kultur perusahaan yang bernuansa GCG, maka diperlukan langkah-langkah berikut: Pertama, menetapkan visi, misi, rencana strategis, tujuan perusahaan, serta sistem operasional pencapaiannya secara jelas. Hal ini menjadi penting karena hanya dengan cara inilah didapat acuan bagi semua pihak dalam perusahaan. Dalam UUPT, hal ini dikenal dengan istilah fiduciary duty menjalankan amanah, organ perusahaan harus selalu bertindak semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Jika semua visi berikut penjabarannya dibuat jelas, maka koordinasi dalam pencapaian tujuan menjadi semakin mudah. Demikian pula setiap transaksi yang mengandung benturan kepentingan akan terlihat gamblang. Universitas Sumatera Utara Kedua, mengembangkan suatu struktur yang menjaga keseimbangan peran dan fungsi organ perusahaan Checks and balances. Di antara beberapa kelemahan praktik korporasi di Indonesia, salah satu yang mencolok adalah begitu kuatnya pengaruh pemegang saham pengendali yang acap berperan rangkap, menjabat manajemen perusahaan. Alhasil, tak heran jika yang muncul adalah munculnya fungsi pengawasan yang seyogiyanya dilakukan Dewan Komisaris. Sebaliknya, Direksi menjadi begitu dominan sehingga fungsi kemudi, pedal gas, dan rem seperti mengendarai sebuah mobil menjadi tidak harmonis. Dalam rangka memberdayakan fungsi pengawasan Dewan Komisaris, Direksi Bursa Efek Indonesia BEI melalui peraturan pencatatan yang dikeluarkannya, mengharuskan setiap perusahaan tercatat memiliki Komisaris Independen dan komite audit. Dua unsur ini menjadi penting meski terjadi perdebatan seru karena ada yang menggugat keabsahan Komisaris Independen. Ketiga, membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Keputusan yang diambil perusahaan biasanya dilakukan pada level Direksi, Dewan Komisaris dan RUPS. Keputusan tersebut Universitas Sumatera Utara seyogiyanya didukung ketersediaan informasi yang lengkap, menyeluruh, tepat waktu dan seketika. Dalam mengungkap informasi material dan relevan; hal pertama, yang harus dilakukan adalah mendefinisikan secara jelas apa yang dimakud informasi material dan relevan tersebut. Karena setiap perusahaan mempunyai kekhususan tersendiri. Kedua, membuat daftar kewajiban pelaporan dan mengembangkan format-format laporan yang standar. Jika telah diketahui kejelasan perihal informasi material dan relevan, maka tindakan berikutnya adalah mengembangkan sistem pelaporan internal unit-unit perusahaan yang memasok informasi tersebut. Keempat, informasi guna pengambilan keputusan harus dibagikan kepada para pengambil keputusan di perusahaan terutama Direksi dan Komisaris simetris artinya; seluruh anggota Direksi dan Komisaris harus mendapatkan informasi yang sama satu dengan yang lain, termasuk dalam hal waktu diterimanya informasi tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengurangi risiko tanggung renteng dalam pengambilan keputusan oleh Direksi dan Komisaris. Informasi yang simetris juga memungkinkan tercapainya collective wisdom dalam pengambilan keputusan sehingga keputusan yang dihasilkan akan berkualitas. Universitas Sumatera Utara Kelima, membangun sistem audit yang handal, yang tak terbatas pada kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur operasi standar, tetapi juga mencakup pengendalian risiko perusahaan. Selain mengawasi dan mengendalikan, suatu audit internal juga memonitor transaksi yang mengandung benturan kepentingan sekaligus merekomendasikan kepada Direksi bagaimana sebaiknya menyikapi masalah tersebut. Satuan audit internal ini juga bertugas memonitor apakah pelaksanaan GCG sudah dilakukan dengan benar. Pada perusahaan-perusahaan champion corporate governance biasanya tiga fungsi di atas dipisah, baik pada level kendali Direksi maupun Dewan Komisaris. Di tingkat Dewan Komisaris, ketiga komite tersebut adalah komite GCG termasuk sistem nominasi dan remunerasi para pimpinan puncak, komite pengendalian risiko yang berperan di dalam mengantisipasi risiko perusahaan atau mengkaji hal- hal yang akan diputuskan Direksi, dan Komite Audit yang lebih memfokuskan terhadap kajian hal-hal yang sudah diputuskan Direksi. Keenam, membangun sistem yang melindungi hak-hak pemegang saham secara adil fair dan setara diantara para pemegang saham. Idealnya, hubungan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas dalam perusahaan haruslah serta harmonis berdasarkan asas kekeluargaan dan itikad baik. Namun dalam praktiknya seringkali Universitas Sumatera Utara terjadi ketidakseimbangan terjadi karena adanya peraturan yang memberi kekuasaan dominan bagi pemegang saham mayoritas. Karena pemegang saham mayoritas yang tidak beritikad baik dapat dengan mudah menyisihkan kepentingan pemegang saham minoritas. Sebagai jalan keluar maka kewenangan mayoritas yang terkait dengan prinsip one share one vote mesti diimbangi hak minoritas seperti dibukanya kemungkinan hak mengajukan calon Komisaris Independen melalui mekanisme akumulatif voting. Dalam upaya melindungi pemegang saham minoritas, perusahaan juga dapat menunjuk staf khusus yang bertugas memonitor transaksi yang mengandung benturan kepentingan. Jika transaksi tidak dapat dihindari, harus diungkap apa latar belakangnya dan wajib mendapat persetujuan sebagian besar pemegang saham minoritas dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa RUPSLB sesuai peraturan yang berlaku. Untuk menghindari transaksi dengan menggunakan informasi orang dalam maka perusahaan juga perlu membangun semacam “Tembok Cina” sehingga dapat mendeteksi setiap kebocoran berikut sumbernya secara cepat. Ketujuh, membangun sistem pengembangan Sumber Daya Manusia SDM termasuk pengukuran kinerja. Universitas Sumatera Utara Sebagai pendukung pencapaian tujuan perusahaan, pengembangan SDM merupakan inti dari keberhasilan pengembangan pilar-pilar lainnya. Di sini ada tiga hal strategis yang terkait dalam pengembangan SDM. Pertama, kesuksesan proses perubahan paradigma merupakan modal dasar terbentuknya kultur perusahaan. Kedua, pengembangan SDM menjadi strategis karena terkait langsung dengan proses kaderisasi dan kelangsungan perusahaan. Ketiga, sistem penilaian kerja pegawai yang efektif akan menjadi mesin pendorong tercapainya pengembangan pilar lainnya. Political Will Pemerintah untuk mengimplementasikan GCG diwujudkan dengan sarana hukum berupa Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117M-MBU200 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 168

E. Penerapan GCG pada PT Aneka Tambang Antam Tbk.