Pada saat akan pulang kerumah, LS sering mengandalkan temannya untuk mengantarkannya sampai ke simpang. Namun pada saat-saat tertentu, terutama
ketika hari sudah sore, kampus LS sudah mulai sepi dan tidak ada lagi teman LS yang bisa mengantarkannya. Alhasil LS harus mencari-cari orang yang bisa
mengantarkannya. “Awak ya mikirlah, kekmana lah ini. Kadang minta tolong sama anak
stambuk bawah. Atau minta tolong, ada kawan satu stambuk bang? Mau kemana? Mau balik…”
W2.R1B.691-698hal.35
4. Faktor-faktor Protektif
Dalam melakukan usaha-usaha melawan segala rintangan yang dihadapinya, LS dipengarhi oleh faktor-faktor protektif yang dimilikinya. Tanpa
adanya faktor-faktor tersebut maka LS belum tentu mampu menghdapi situasi- situasi sulit yang mendatanginya.
a. Faktor Protektif Internal
Berdasarkan sikap dan perilaku LS terhadap masalah, LS memiliki karakteristik-karakteristik diri yang membantunya untuk bertahan dalam
kesulitan. Salah satunya adalah semangat dan motivasi diri. Motivasi yang paling sering muncul bukan secara langsung dari diri sendiri melainkan melalui pengaruh
orang lain. LS sering membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang lebih berhasil. Dengan begitu semangat LS bertumbuh dan LS semakin terdorong untuk
menjadi lebih baik dan lebih sukses seperti mereka. LS juga orang yang suka
Universitas Sumatera Utara
membantu dan menolong, asalkan tidak membebani dirinya dan tidak mengganggu.
“Kalau secara langsung termotivasi, motivasi diri enggak, cuman terkadang karena terpikir orang-orang yang jauh lebih sukses, itu aja kadang.
” W3.R1B.559-564hal.50
“Kalau aku dapat semangatku, kek kalau nengok temanku ada misalnya yang di Belawan, bisa sampe lima kerjanya. Dari lima kerjanya itu besarlah
income nya kan. Terpikir awak, kok bisalah dia, diapun gak sesuai dengan jurusan awak. Kalau di kalangan tuna netra, udah lumayan dikenal dia. Bisa
dibilang kayak Mario Teguh juga. Jadi sempat terpikir, kalau bisa seperti itu kan lumayan.
” W3.R1B.502-518hal.49
“Selagi masih bisa dan gak membebani aku, gak terganggu, pasti kubantu.” W3.R1B.519-521hal.49
Dalam hal pengambilan keputusan LS suka mengambil keputusan sendiri, namun terkadang LS terlebih dahulu menanyakan pendapat orang lain agar dapat
mengambil keputusan yang lebih baik. Umumnya LS menanyakan pendapat ayahnya. LS juga orang yang cukup humoris dan tidak kaku, namun hal itu juga
tergantung pada situasi dan mood. Dalam proses wawancara LS sering sekali
bercanda dan tiba-tiba mengatakan hal-hal yang mengundang tawa. Ini menunjukkan bahwa LS orang yang cukup humoris.
“Kadang tanya, tapi kadang juga gak. Mutusin sendiri. Tapi kalau untuk nanya-nanya biasa aku paling sering nanya sama Bapak. Karena bisa
dibilang aku lumayan dekatlah, walaupun gak dekat-dekat kali. ”
W2.R1B.524-532hal.49 “Tergantunglah. Kalau lagi gak mood awak serius. Kalau lagi mood,
humoris. ”
W3.R1B.533-535hal.50
Universitas Sumatera Utara
LS juga memiliki inteligensi yang baik. Selain dari perkataan teman- temannya serta pembuktian dari IPK nya yang cukup tinggi, LS sendiri juga
berpendapat bahwa dirinya merupakan orang yang cepat belajar dan mudah mengerti, namun LS tidak setuju jika dirinya diberi
label sebagai orang yang pintar.
“Kalau kubilang pintar gak, tapi aku mudah untuk memahami. Paling gak cepat nangkap. Kalau pas di asrama banyak yang bilang aku pintar. Pintar
apanya? Pernahnya aku dulu dari 39 orang, peringkat 36. Haha tertawa. ”
W3.R1B.549-558hal.50 LS juga memiliki keahlian-keahlian. Tampaknya LS menyenangi kegiatan
olahraga. Sejak dulu LS pernah berkeinginan menjadi atlit. Pada saat masih di asrama, LS terbilang handal dalam olahraga tennis meja tuna netra. Olahraga ini
cukup berbeda dengan tennis meja orang awam. Tennis meja pada umumnya melambungkan bola dari atas net, sementara tennis meja tuna netra dari bawah
net. Dalam bermain tennis meja tuna netra, pendengaran benar-benar diperlukan. “Iya. Dulu aku berminat jadi atlet. Ada juga kawan yang pernah bilang, atlet
ajalah kau. Kalau aku dulu pas masih di daerah ini, tennis meja untuk kalangan tuna netra masih bisalah aku megang.
” W3.R1B.565-572hal.50
“Lengser aja gini bolanya. Tapi kecepatan bolanya kan tergantung kekuatan orang mukul. Betul-betul maksimal pendengaran dipake. Kadang kek kami
dulu di asrama, kalau bisa sehalus mungkin harus bisa. Harus gak kedengaran isi bolanya. Pertandingan kan biasanya justru ribut kali. Aku
justru kalau ribut kali enak kurasa. Karena dulu selama asal latihan di asrama, kalau bisa pelaaaaaan kali. Jadi kalau ada kawan yang ngomong,
kok pelan kali? Kujawab. Kaunya itu, aku gak kok.
” W2.R1B.hal.
Universitas Sumatera Utara
Keahlian LS yang lain yang sangat membantunya dalam proses pembelajaran di kampus adalah menulis dan membaca
Braille. Walaupun wajar saja bagi seorang tuna netra untuk menguasai kemampuan ini, namun bukan tidak
banyak tuna netra yang tetap tidak bisa melakukaknnya, sehingga hal ini tetap bisa menjadi salah satu kelebihan dirinya. LS sudah mulai mempelajari baca-tulis
Braille bahkan sebelum dirinya mengalami kebutaan total. LS juga mengaku tidak mendapat pengajaran dari siapapun mengenai baca-tulis
Braille. LS hanya belajar sendiri sambil memperhatikan teman-temannya, sementara teman-temannya yang
lain rata-rata membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk belajar Braille. Pada
awalnya LS masih bersalahan dalam menggunakan Braille namun dengan cepat
LS menguasainya. “Iya. Kan gini, tunanetra itu kan ada dua macamnya, ada yang low
vision¸ada yang total. Pas masih low vision, meskipun masih bisa melihat tulisan, aku biasanya kek gini sambil mempraktekkan dengan mendekatkan
kertas ke dekat matanya, nah tapi aku da pakai
Braille. Bukan seperti ada gini kawan, nulis dia pakai huruf
Braille, tapi masih tetap diperhatikannya gini ke dalam sambil mempraktekkan. Rata-rata seperti itu. Kalau aku
dulu gak pala kuperhatikan kali kek gitu. Jadi kudeteksi langsung pakai alat tulis itu, kalau salah kubetuli. Kalau kawan-kawan yang lain itu gak,
diperhatikannya lagi pakai matanya. Tapi aku gak. Makanya aku, kalau untuk belajar mata ga gitu dipakai kali, tapi kalau untuk yang lainnya lah
mungkin.
” W4.R1B.23-55hal.53-54
“Ohh. Aku dulu liat kawan sekelas. Dulu kan aku masih bisa melihat, jadi orang itu yang kuperhatikan, Ada enam orang apa lapan orang. Itupun
pertama kali aku bersalahan. Orang itu kan suka membaca, jadi yang kuperhatikan cara membacanya, bukan cara nulisnya. Jadi kutulis yang di
kertasku itu cara membacanya, jadi salah. Misalnya gini kan sambil mempraktekkan, satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Kalau kertasnya
dibalik, kan satu, dua tiganya di kiri. Jadi aku nulisnya tetap di kiri, jadi salah gitu.
” W2.R1B.hal.
Universitas Sumatera Utara
Sejak sebelum masuk ke jurusan Etnomusikologi, LS juga sudah memiliki kemampuan dalam musik. Ada beberapa alat musik yang bisa dimainkan oleh
Luhut meskipun tidak terlalu mahir. Kemampuan terebut diperolehnya dari asrama. Di asrama tersedia beberapa alat musik yang bisa digunakan oleh para
siswa. LS biasanya belajar sendiri secara otodidak. Kini setelah hampir tiga tahun berkuliah di jurusan Etnomusikologi kemampuan bermusiknya baik secara praktik
maupun teori sudah semakin meningkat. Sekarang LS juga sudah bisa memainkan alat musik etnis, misalnya seperti
taganing. “Lumayanlah. Piano bisa, gitar bisa. Gak terlalu mahir tapi. Otodidak. Dulu
waktu di asrama ada alat-alat musik. Kadang ada gurunya, syukur, kalau pas gak ada, belajar sendiri.
” W1.R1B.524-532hal.10
“Kalau aku megang alat musik tradisional Batak Toba. Aku main taganing…”
W2.R1B.251-253hal.26 Meskipun ada banyak karakteristik dan kemampuan diri LS yang turut
berkontribsi dalam segala usahanya, namun ada juga faktor-faktor internal LS yang masih perlu dikembangkan menjadi lebih baik. Yang paling utama adalah
dalam hal kepercayaan diri. Ada saatnya LS memiliki kepercayaan diri, namun pada banyak kesempatan kepercayaan diri tersebut masih kurang. Hal ini telah
berlanjut sejak dari zaman sekolah, dimana LS terhambat dalam mencari teman karena masih belum berani. Hingga sekarang ini kepercayaan diri LS masih hilang
timbul, namun secara keseluruhan masih dalam batas wajar. Kepercayaan diri LS biasanya pudar jika harus berhadapan langsung dengan keramaian publik, salah
satu contohnya adalah ketika LS mengikuti lomba pidato.
Universitas Sumatera Utara
“Tapi waktu itu gak pede juga aku. Gemetaran juga. Teksnya kan meskipun Braille awak kasih jugalah tulisan Latinnya, karena jurinya orang umum,
bukan tuna netra. Tapi pokoknya kemarin gugup kali, kadang bangsa gak berani juga aku, gak pede. Di depan sambil pidato, gemetaran juga. Jadi
makanya kalau dibilang pede, kadang tergantung juga. Kalau pas rame-rame gak pernah aku sampai gemetara gitu.
” W2.R1B.hal.
Dalam hal sosiabilitas, LS juga masih perlu mengembangkannya. Pada
dasarnya sosiabilitas merupakan kemampuan untuk menjadi teman, kemampuan untuk membentuk hubungan yang positif. Di kampus sendiri LS memiliki banyak
teman, terbukti dengan kesediaan teman-temannya dalam membantu Luhut menyelesaikan tugas-tugas kuliah, ujian atau bahkan kegiatan rutin sehari-hari
seperti mengantarkan ke simpang kampus, membantu menemukan lokasi dan sebagainya. Namun hal itu terjadi setelah beberapa waktu. Setiap memasuki awal
pertemuan dengan sekelompk orang, LS masih kesulitan untuk berteman dengan orang-orang baru. Bahkan dengan teman-temannya yang sekarang pun, LS sering
mengalami perselisihan pendapat, atau merasa kurang diperlakukan selayaknya sehingga LS juga sering merasa jengkel terhadap teman-temannya. Hal ini
membuktikan bahwa LS belum berhasil membentuk hubungan positif dengan teman-teman kampusnya.
“Kalau dalam pergaulan paling. Ada yang paling gak enak kurasa. Misalnya ada yang lagi cerita, terus berhubungan sama awak. Kalau misalnya awak
tanya, kenapa rupanya itu. Dijawabnya, halah gak perlu kau tahu itu. Sial sendiri awak ya kan. Apanya kawan ini. Kadang terpikir gini, kek uda apa
kali lah dia. Gak kurespon lagi biasanya yang kek gitu. Eeeehhhh gak peduli pun aku samamu. Beberapa kawan ada yang seperti itu.
” W3.R1B.11-31hal.39-40
“Lebih dari jengkel terkadang. Kalau kawan masih banyak lah yang kek gitu.
” W3.R1B.32-33hal.39-40
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal kemandirian, sebenarnya LS sudah dapat dikatakan mandiri dalam beberapa aspek. Namun seiring waktu dan pendewasaan diri, kemandirian
LS masih bisa meningkat lagi. Dalam hal mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain LS sudah cukup mandiri. Perjalanan dari rumah ke kampus dan sebaliknya
yang menempuh waktu sekitar 1.5 jam dengan menaiki angkutan umum dapat dilakukan LS sendirian. Sudah menjadi kesehariannya berangkat dan pulang ke
rumah sendirian. LS juga sudah mulai menunjukkan kemandirian dalam masalah keuangan. LS belum bekerja namun sudah bisa membiayai uang kuliahnya sendiri
dan mencukupi beberapa kebutuhan dirinya. LS juga menunjukkan kemandirian ketika berniat pergi ke suatu tempat yang baru, yang belum pernah didatanginya.
Tanpa harus merepotkan orang lain, LS lebih memilih untuk pergi sendiri dan bertanya pada orang-orang di jalan jika mengalami kebingungan. Ini juga
menandakan bahwa LS termasuk orang yang berani, dan tidak takut mengambil risiko ketika dihadapkan dengan tantangan. Tapi menurut pendapat LS, dirinya
belum bisa dikatakan mandiri karena merasa masih sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan banyak hal.
“Misalnya pernah aku pigi ke tempat baru. Kekmana pulak nanti ini. Sendiri. Tuna netra biasanya kalau pigi sendiri, diusahakannya itu. Tembak
aja sendiri terus. Kalau prinsip tuna netra, malu bertanya, matilah di jalan. Hahaha. Kadang ada kawan, mau jumpa di mana gitu, kau nanti naik apa?
Naik becak. Halaaaaah, naik becak, untuk apa naik becak? Naik angkotlah. Ahh, malas kali naik angkot katanya. Baaahh di becak ngapainlah kau di
becak. Kalau becak belum tentu dia tahu. Kalau misalnya naik becak aku dari simpang, kubilang ke Etno bang, belum tentu tahu dia. Tapi kalau naik
angkot, awak bilang, Sumber bang, tahu dia.Angkot ada tujuannya. Ini naik becak, ahh di becak itulah kau duduk-duduk, Haha. Jadi banyak yang gak
berani. Biasanya cenderung perempuan yang gak berani.
” W3.R1B.88-122hal.41
Universitas Sumatera Utara
“Kalau orang mandiri, semuanya bisa dia sendiri. Kalau aku masih banyaklah yang mesti membebani orang lain, butuh bantuan orang lain,
dipaksa sendiri terkadang gak bisa juga, tergantung situasinya. Menurutku gak lah, belum.
” W3.R1B.537-547hal.59
Jika dipertanyakan mengenai masa depannya LS merasa bahwa masih banyak hal yang belum dicapainya. LS masih memiliki perasaan kurang puas
dengan situasinya sekarang dan ingin mencapai yang lebih baik. Hanya saja LS masih ragu apakah keinginan-keinginannya tersebut bisa tercapai atau tidak. Salah
satu keinginannyaa adalah mendapatkan pendidikan yang tinggi, namun salah satu kekhawatirannya adalah kemampuan bahasa Inggris yang masih kurang.
“Sebenarnya banyak yang masih pengen kucari. Tapi bisa gak? Itunya sekarang. Pernah aku terpikir, karena uda ada kawan yang di Makassar, dari
asrama juga, sekarang Doktor, di komnas HAM kalau gak salah, Sempat terpikir dapat gak sampai S3. Cuma satu kendalanya. Aduh, bahasa Inggris
pun kurang. Haha tertawa. Awak mikir gini, gawat juga ini kalau bahasa Inggris kurang. Awak bercita-cita targetnya gak disini, cari keluar kalau
bisa. Jadi ya bahasa Inggris ini penting.
” W3.R1B.247-270hal.44
LS selalu memiliki visi untuk masa depannya. Pada saat LS mengetahui
bahwa dirinya gagal lulus masuk Perguruan Tinggi Negara pada tes seleksi yang pertama, LS menjadi cemas menanti apakah tes yang berikutnya akan lulus.
Sebagai rencana cadangan jika ternyata tidak lulus, LS sudah berencana untuk mengembangkan keahliannya dalam bidang komputer. LS merasa penting untuk
memiliki suatu keterampilan. LS bercermin pada temannya yang pernah tidak lulus di PTN, namun akhirnya berkuliah di UNIKA karena memiliki keterampilan
berbahasa Inggris.
Universitas Sumatera Utara
“Yang kulakukan terdiam seandainya gak jebol, disitulah ak bingung dulu, tapi gak dapat-dapat pulak jawabannya. Karena aku sempat coba UMB, satu
sisi iseng-iseng, satu sisi mikir juga, kalau gak lulus nanti cemana. Rupanya betul gak lulus. Tapi kan masih ada SNMPTN. Nanti cemanalah lagi ini
kalau gak lulus. Dulu aku sempat mikir juga mau belajar komputer lebih dalam.
” W3.R1B.688-703hal.67
Kepuasan LS dalam prestasinya di kampus juga belum maksimal. Secara
akademis prestasi LS termasuk baik mengingat begitu banyak kendala yang dihadapinya. Diantara saudara-saudaranya sendiripun hanya LS yang berhasil
masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saudaranya yang lain masuk Perguruan Swasta, yang biaya kuliahnya mahal. Begitupun, uang kuliah saudaranya masih dibiayai
orang tua, sementara LS sudah membiayai uang kuliahnya sendiri. Namun itu tidak dianggap LS sebagai sesuatu yang sudah cukup untuk dibanggakan. LS
tidak pernah merasa lebih hebat dari saudara-saudaranya. LS sering membandingkan dirinya dengan teman-teman kampusnya yang memiliki IP lebih
tinggi darinya, dan merasa dirinya masih tertinggal. LS lebih sering membandingkan diri ke atas daripada ke bawah. LS masih belum puas dengan
prestasinya. Dengan target ingin lulus tepat waktu dan dengan nilai yang bagus, LS selalu berusaha melakukan yang terbaik.
“Aku gak pernah kepikiran gitu pulak, karena pikirku, kuliat kawan- kawanku IP nya diatas 3,5 ada yang 3,7, ada kawan lagi dua kali berturut-
turut 3,8, semester semalam 3,9. Ah ngeri kali kawan ini, Awak tengok IP awak 3,4, ahh jauh kali bedanya. Aku gak pala suka kali nengok ke bawah,
sukanya nengok ke atas.
” W2.R1B.628-640hal.33-34
Universitas Sumatera Utara
“Belum puas terus. Kalau kutengok kawan ada E nya ada D nya. Berapa IP mu? 3 koma katanya. Berarti ada A nya diatas ini. Awak gak ada E gak ada
D. Cuma beda tipis sama dia. ”
W2.R1B.642-649hal.34 “Apa ya.. Ya gak muluk-muluk, lulus tepat waktu dengan nilai yang bagus.
Ada yang bilang, ngapain cepat-cepat lulus, tapi kalau aku, ngapain juga lama-
lama lulus. Haha.” W4.R1.B.1080-1086hal.74
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa LS termasuk orang yang
memiliki sikap yang positif ketika dihadapkan dengan permasalahan. Memang tidak setiap masalah yang dihadapinya dapat terselesaikan dengan mulus dan
mudah, dan semangat dirinya tidak selalu hadir setiap saat, tapi lambat laun LS selalu berusaha mencari penyelesaian, bukan membiarkan saja.
“Kalau memandang masalah, biasanya aku langsung kepikiran gimana cara nyelesaikannya.
” W3.R1B.61-65hal.40
“Biasanya aku langsung cari orang yang bisa bantuin. Tapi terkadang mau juga kadang malas, udahlah besok ajalah. Tapi kalaupun misalnya
kubiarkan, nanti tetap kepikiran juga. Walaupun ditunda-tunda akhirnya selalu diushakan untuk mengerjakan.
” W3.R1B.68-78hal.40
Selain sikap tersebut, kualitas diri LS yang sangat dominan adalah dorongan
diri yang kuat. LS dapat merasakan hadirnya dukungan dari luar, namun menurut LS dorongan dirinya sendirilah yang paling berperan dalam membuatnya
mencapai keadaan dirinya yang sekarang. Dengan menetapkan target dan berfokus, tekad tersebut ditunjukkannya ketika akan masuk Perguruan Tinggi
dengan mimpi untuk menjadi lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
“Aku gak ada yang dukung. Ingin aja. Diri sendiri aja. Aku punya target. Yang penting, kalau swasta dari mana duit. Langsung itu duluan kupikirkan.
Karena dari asrama dulu harus target Negeri baru bisa dibiayai. Itu pun cuma uang kuliah. Karena kan kesepakatannya asrama biayai uang kuliah,
orang tua akomodasi. Kan biaya daftar ulang besar. Gak ada uang. Daftar ulang aja awak pikirkan besar, dari mana uang, Jadi akomodasilah yang
diambil. Sempat swasta lagi, dari mana uang. Adekku kan juga di swasta. Jadi kalau dua swasta dari mana uang lagi? Gak terpenuhi.
” W3.R1B.425-449hal.47
“Iya. Ya disamping keluarga lah, yang tahu bahwa ekonominya menengah. Keinginan untuk maju demi keluarga.
” W3.R1B.450-455hal.48
b. Faktor Protektif Eksternal