2. Resiliensi Akademik a. Definisi
Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup
akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik. Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana
banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi. Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki perbedaan-
perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun seiring berjalannya waktu Henderson, 2003.
Menurut Rirkin dan Hoopman dalam Henderson, 2003, berkaitan dengan pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik
didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik
dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.
b. Model Resiliensi
Richardson, Neiger, Jensen Kumpfer dalam Henderson, 2003 membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang
individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat
mengurangi faktor resiko kesulitan-
kesulitan yang dihadapi. Dengan “proteksi” yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu
tanpa harus mengalami gangguan disruption dalam hidupnya. Individu tersebut
Universitas Sumatera Utara
dapat beralih ke zona nyaman atau yang disebut homeostatis, atau bahkan dapat
lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme
coping yang sehat selama proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya
proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun
perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami.
Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif
lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.
Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak
secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju sejumlah
outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson dalam
Henderson, 2003 mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap
orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.
Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal. Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien
dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi
lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan
tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi individu dari maladaptasi atau disfungsi ke
homeostatis atau resiliensi.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1 Model resiliensi
Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson Milstein, 2003
c. Karakteristik Individu yang Resilien