Faktor-faktor Resiko, Adversity dan Stressor

jarang ke perpus. Sebenarnya bukan karena gak niat baca, tapi mungkin karena itulah satu, posisinya yang seperti itu. Fasilitasnya juga, lagian bukunya buku-buku biasa gitu. Kek ada cerita teman di Jawa. Mungkinlah gak semua bukunya ada Braillenya, tapi kan sebagian besar ada, jadi lebih membantu. Kalau fasilitas yang kurasa perlu di kampus ya itulah. Sama Braille .” W1.R1B.972-991hal.18-19

c. Faktor-faktor Resiko, Adversity dan Stressor

Tidak ada mahasiswa yang tidak mengalami masalah dalam proses pembelajarannnya. Terlepas dari besar atau kecilnya permasalahan tersebut, adalah wajar jika seorang mahasiswa berbenturan dengan kendala atau masalah- masalah dalam belajar, apalagi jika dirinya sudah memiliki keterbatasan seperti LS yang memiliki gangguan penglihatan. Ketidakmampuannya melihat saja sudah menjadi stressor tersendiri, apalagi jika ditambah dengan stressor-stressor lainnya. Dalam mengikuti proses pembelajaran di kampus, LS mengalami beberapa kesulitan, terutama dalam mengikuti proses belajar. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, setiap mahasiswa wajib mengikuti kelas dan mengerjakan tugas yang diberikan dosennya, namun sayangnya tidak semua rangkaian kegiatan sehari-hari tersebut dapat dilalui LS dengan mudah dan tanpa hambatan. Tidak semua media dan fasilitas yang digunakan kampus juga sesuai dengan kondisi LS. Contohnya seperti penggunaan layar, proyektor atau peralatan lain yang membutuhkan visualisasi. Bahkan laptop dan handphone yang rata-rata dgunakan oleh hampir seluruh mahasiswa Indonesia untuk mendukung proses belajarnya tidak dapat membantu LS. Hal ini menjadi semakin sulit mengingat bahwa LS tidak mendapat layanan khusus jika mengalami suatu kesulitan, dari dosen juga tidak. Universitas Sumatera Utara “Kalau di kampus, masalah infocus, terus kendalanya juga di dalam bagian mengakses tugas. Referensinya kurang.” W2.R1B.1-6hal.21 “Dosennya? Ini kan kampus umum. Aku yg beradaptasi. Gabisa ngarap dosen. Jadi aku yang harus beradaptasi sama kampus. Istilahnya aku yang cari bola. ” W1.R1B.919-924hal.17 “Ehmm mungkin seperti ini. Rata-rata dosen kurasa bikin gini. Ngasih diktat. Itu kan biasa difotokopi, terus dibagi-bagi. Kalau gak cukup kongsi- kongsi. Kalau samaku pasti ada, tapi gak bisa dibaca, kan gitu. Hehe tertawa. Pasti kebagian. Pasti. Gak pernah enggak. Tapi gak bisa dibaca... ” W1.R1B.925-936hal.17-18 “...Terkadang juga kan kalau dikelas dilarang mencatat.” W1.R1B.847-848hal.18 Pengerjaan tugas-tugas tertentu yang membutuhkan penglihatan dalam mengerjakannya juga menjadi kesulitan bagi LS. Keterlibatan gambar-gambar, pembuatan tabel, penggunaan internet, menuntut LS untuk mencari akal dan memastikan bagaimana pekerjaan tersebut dapat terselesaikan dalam tenggat waktu yang telah ditentukan. Kesulitan menjadi bertambah ketika dosen-dosen tertentu tidak bersedia memberikan waktu tambahan kepada LS dalam menyelesaikan tugas atau ujiannya. “Oohh, kalau itu misalnya kek kami ada kadang tugas ehm bikin tulisan terus harus pake tabel. Misalnya jenis alat musik, baru bikin spesifikasi berdasarkan klasifikasinya. Nah yang bentuk-bentuk seperti itu yang kadang masih bingung. Karena kan tabel, nuliskannya harus tulis tangan ke dalam tabel, terus itu yang dikumpul. Sementara untuk mengerjakan tugasnya juga harus pake internet. Seperti itulah, letak kendalanya. Gimana caranya mesti terselesaikan. Deadline seminggu. ” W1.R1B.729-748hal.14 “Ada dosen yang mau. Ada juga yang gak. Pernah ada dosen yang gak mau, itu bukan urusan saya katanya. Woooo, gawat. Haha tertawa.” W2.R1B.117-122hal.23 Universitas Sumatera Utara Sebagai mahasiswa jurusan musik, sudah pasti LS juga mempelajari musik secara praktik, yang mana melibatkan penggunaan alat musik dan menggunakan partitur sebagai panduannya. Praktik di Etnomusikologi memang tidak memiliki porsi yang terlalu besar, kurang lebih 25 persen dari materi kuliah keseluruhan, namun tetap saja merupakan bagian penting dari proses belajar mereka. Lagi-lagi ini menjadi salah satu kesulitan LS, karena dirinya tidak dapat membaca partitur tersebut sehingga materi bahan yang disediakan oleh dosennya untuk dilatih menjadi kurang berguna untuk dirinya. Cara memainkan yang baik dan benar juga tidak dapat diperhatikan LS secara visual karena kedua matanya tidak dapat melakukan hal tersebut untuknya. “Kalau musik praktek jarang kali itu ada PR. Palingan musik praktek dunia seperti piano. Dikasih bahan dari buku. Dari halaman sekian. Diajarkan tangga nada, baru dikasi bahan, mainkan, minggu depan praktekkan. Gitu aja. Gitu biasanya model prakteknya. Kalau kendala, ya baca partiturlah paling payah. ” W2.R1B.53-65hal.22 Ketika menjalani masa ujian, LS kembali dihadapkan dengan masalah. Sama seperti kebanyakan bentuk ujian kampus lain, lembaran soal akan dibagikan dan mahasiswa dipersilahkan untuk mengerjakan ujian tersebut dalam batas waktu yang telah ditentukan. Terdengar sederhana memang, namun bagi LS ini tetap rumit untuk dikerjakan sendiri, karena soal-soal yang disajikan bukanlah dalam bentuk Braille. Mencari teman yang bersedia memberikan jatah waktu ujiannya untuk membantu LS membacakan soal ujian dan mencatatkan jawabannya tidak selalu menjadi tugas yang mudah. Universitas Sumatera Utara “Ohh, kalau ujian tertulisnya biasanya kan dibagi soal. Siapa teman disebelah itu yang biasanya bacain soal. Tempat duduk kan acak. Siapa teman yang paling dekat di samping itulah yang bacakan. Jad gak nentu siapa yang bantuin.” W2.R1B.88-87hal.23 LS menyadari bahwa gangguan matanya memiliki peran besar terhadap munculnya berbagai kendala yang dihadapinya di kampus. Walaupun demikian, tidak memadainya fasilitas kampus untuk orang-orang berkebutuhan khusus seperti dirinya dianggap LS menjadi salah satu faktor penyebab juga. “Mayoritas dibilang, ya mengganggulah gangguan mataku ini, gak bisa melihat, tapi pengaruh satu mungkin fasilitas yang gak lengkap. Di satu sisi mungkin itu, gak adanya fasilitas, jadi kendala. ” W1.R1B.957-963hal.18 “Karena kurangnya referensi aja sebenarnya. Kalau dalam mengerjakannya referensi ada, kan jadi lebih mudah. Tinggal liat dari buku.” W2.R1B.206-211hal.25 Selain dampak dari gangguan mata, kesulitan juga diperoleh LS akiibat dari keterbatasan dirinya yang lain. LS mengaku memiliki sifat malas untuk memulai, khususnya dalam hal pengerjaan tugas, terkadang berujung menjadi penundaan tugas. “Ehmm.. terkadang sih untuk memulai yang malas. Haha. Memulainya malasss kali. Belum lagi kalau ada tugas, uda awak pikirkan gini, dari manalah awak cari nanti ngerjain ini. Masih terpikir ke susahnya gimana. Akses fasilitasnya kan masi kurang memadai juga. Carinya aja nanti harus dari internet. Belum lagi gimana nanti cara ngerjainnya. Kalau nanya-nanya kawan belum tentu mau. Kan gitu. Kendala disitu. Kadang-kadang juga woo udah gak tau cara ngerjainnya, suntuk pulak lagi, malas lagi, ahh besok ajalah. Kadang mau gitu. Haha tertawa. ” W1.R1B.1034-1055hal.20 Universitas Sumatera Utara Kendala-kendala yang dijumpai LS bukan hanya berasal dari tugas-tugas kampus dan dirinya sendiri. Kadang kala ada juga masalah-masalah lain yang turut menambah kesulitan LS dalam proses pembelajarannya. Salah satu yang utama adalah dalam hal pergaulannya dengan teman-teman kampusnya. Pada awalnya LS berpendapat bahwa pergaulannya di kampus biasa-biasa saja. LS sering gabung-gabung dengan temannya, dirinya tidak merasa terlalu sulit mencari kawan pada saat masuk kuliah. Beberapa tahun sebelumnya juga sudah pernah ada mahasiswa tuna netra yang berkuliah di kampus LS. Menurut pendapat LS, kini mahasiswa Etnomusikologi USU seolah-olah sudah lebih mengerti cara memperlakukan tuna netra. “Kalau cari kawan kampus gak gitu sulit. Mungkin karena satu, dulu juga udah pernah ada senior yang tuna netra di Etno. Bang Amran namanya anak ‘05. Jadi ya mungkin karena itu juga, jadi mahasiswanya udah ngerti kalau berurusan dengan tuna netra. ” W1.R1B.779-778hal.15 “Kalau aku dikampus, gabung-gabung aja sih. Join aja.” W1.R1B776-778.hal.14 Ada kalanya LS lebih suka menyendiri daripada harus bergabung dengan kumpulan teman yang lain. Terkadang LS lebih suka melakukan kegiatan lain sendirian. LS juga mengaku sebagai orang yang jarang berbicara, namun kembali lagi tergantung pada situasi yang sedang dihadapinya. Pada saat ramai, LS juga terbilang “ramai”, namun ada juga saatnya dimana LS lebih memilih untuk tidak bergabung. “Kadang pengaruh situasi itu juga. Kalau dibilang rame, rame sih situasinya, tapi ya duduk disitu kadang, ya kadang, palingan ntah dengarin orang Universitas Sumatera Utara nyanyi ntah ngapain, kadang lagi malas pulang, gak ada kegiatan, kalau ada yang main ping-pong, main ping-pong. Tapi kalau orang lain kan terkadang cerita sana-sini, ketawa-ketawa sama siapa gitu. Aku jarang pulak gitu. Kadang main-mainlah sama kawan sekali-sekali. Jenuh disitu, ke ataslah main piano. Gitu lah. Lebih senang main piano kadang sendiri. Kalau kutengok lagi kosong, main piano ke atas. ” W2.R1B.270-292hal.26-27 Setelah digali lebih dalam ternyata ada juga hal-hal yang tidak disukai LS terkait dengan pergaulan teman-teman kampusnya. Ada kalanya pula LS memiliki sudut pandang berpikir yang berbeda dengan teman-temannya sehingga kerap kali menimbulkan ketidakcocokan diantara mereka. Hal tersebut yang mendorong LS untuk tidak kumpul-kumpul dengan mereka. LS juga merasa bahwa pergaulan anak muda sekarang ada yang brutal. “Kadang gak sesuai pemahaman orang itu sama yang kurasa, itu aja salah satunya. Kalau kutengok pergaulannya, cemana lah kubilang ya. Kalau anak-anak sekarang termasuk laki-lakinya, ada yang brutal ada yang tahapa. Kadang masuk kelas pake sendal. Gak et is pulak kurasa.” W1.R1B.293-305hal.27 “Kadang gak bisa dipungkiri juga. Namanya laki-laki, banyak yang merokok. Aku gak merokok pulak, gak suka. Gak enak kurasa, agak menjauh sedikit. Sementara kawan-kawan rata-rata merokok kan gitu. Hanya sebagian orang gak merokok. Yang gak merokoknya gabung pulak sama orang lain, ntah main apa. Bisa juga awak nanti di situ jenuh juga. Makanya kadang mikir ahh cepatlah pulang gak ada kegiatan juga.” W2.R1B.317-334hal.27-28 “Kadang ada yang makek. Malam-malam orang itu dikampus terus. Sering orang itu nginap dikampus, kan ada ruangan pengurus mahasiswa, nanti kadang disitu orang itu tidur sampe besoknya. Terus kadang ada yang main judi. Banyaklah. Hampir tiap hari ada aja.” W4.R1B.1038-1049hal.73-74 Kejenuhan juga sesekali datang mengganggu LS. Biasanya penyebab utamanya adalah karena cara mengajar dosen yang sangat membosankan, Universitas Sumatera Utara banykanya tugas, ditambah lagi tidak ada teman yang bisa membantu dirinya. Teman juga menjadi salah satu faktor yang bisa membuat responden menjadi jenuh. Beberapa teman LS hanya bergabung dengan LS ketika sedang di dalam kelas saja, setelah itu pergi dengan urusannya masing-masing. LS merasa ada kesenjangan dalam berteman dan berkelompok, walaupun sebenarnya peraturan kampus melarang untuk berkelompok. Akibatnya responden sering “makan hati” dan terkadang juga merasa kesepian. “Banyak juga faktor yang bikin jenuh. Satu, banyak tugas. Langsung mikirlah aduh gimana lah ngerjainnya ini, kapan. Belum lagi nanti gak ada kawan. Kek tadi lah misalnya, baru tadi siangnya itu rame, pas kamu datang. Pas aku lagi makan, jam tengah dua belas sampai jam satu, sepi di situ. Terpikir, kemana semualah ini orang, padahal uda berpulangan. Kek gitulah satu yang bikin. Palingan yang masih ada disitu tadi yang makan siang. Rata-rata uda pulang. Besok libur pulak ya kan. Haha ” W2.R1B.335-355hal.28 “Kadang gini, mungkin bukan hanya aku. Teman senang, enak, banyak. Kalau lagi suntuk awak gak ada kawan.” W2.R1B.356-360hal.28 “Kadang mereka pun pas belajar di kelas aja sama sama awak. Pas udah keluar kelas cabut sendiri-sendiri. Kalau kutanya, Kemana kalian? Ahh kesanalah bentar katanya. Jadi mau samapun awak sama orang itu, tak mesti awak bilang pun udah tahu, kan gitu, gak enak juga. Kalau di kelas kadang ada juga sebagian gap-gap. Makanya sempat kami gak diperbolehkan ada geng-geng. Mau diospek balik nanti. Haha ” W2.R1B.385-401hal.29 ”Ada orang bilang gini. Sendiri dalam keramaian. Kadang kek gitu. Merasa sendiri waktu ramai. Itulah terkadang.” W2.R1B.402-406hal.29 Rasa kesepian atau penolakan-penolakan yang diterima LS sering membuat LS menjadi kesal, terutama jika terjadi di saat-saat penting dimana LS Universitas Sumatera Utara memang betul-betul membutuhkan pertolongan temannya. Untungnya LS memiliki teman dekat yang selalu mau membantu dirinya. “Gimanapun dia punya kesibukan sendiri juga. Tapi dekatlah. Kalau di kelas dia lah yang bantu-bantu. Kadang kalau ada tugas rumah gak selesai, nanti lihat punya dia. Terkadang ada orang kan, pas aku minta tolong di kelas, gak bisa aku katanya, mau cepat aku, ada kerjaanku. Tapi selesai dari itu, diluar juganya awak jumpa. ” W2.R1B.419-432hal.29 “Kadang, bingung juga. Aduh siapalah yang mau disuruh nulis ini. Pernah dosen pas ujian semester semalam, sebentar Pak.. dosen pengganti pulak kan, biasanya bukan dia yang masuk.. Nah pas ujian soalnya suruh bacain orang lain dari belakang, ada kawan. Di depan cuma ada dua orang. Semua berlomba ke belakang. Aduh gawat. Haha. Biasanya kan duduknya kelang- kelang. Tapi karena kemarin kelas besar, rapat teruuus. Haha. Jadi kemarin setelah dibacakan soalnya, ku kerjain. Pas mau salin balik, gada lagi orangnya. Ada kawan disitu, minta tolong aku, tuliskan lah dulu ini, aduh gak bisa aku. Sampe tinggal pulpennya Orang lain ajalah suruh katanya. Aduh siapalah kusuruh ini. Sampai akhirnya terpaksa adek tingkat yang kusuruh. Itu pun gak sampe siap awak salin ” W2.R1B.436-468hal.30 Disamping teman-teman yang begitu, ada juga teman LS yang mengesalkan. LS tidak suka dengan sikap teman-temannya yang suka menjahili dirinya karena mengetahui dirinya tidak bisa melihat. LS juga merasa terkadang teman-temannya berlebihan dalam bermain dan bercanda. Hal lain yang turut menambah kesulitan adalah tidak adanya orang ketika LS membutuhkan pertolongan di hari-hari biasa, misalnya pada saat ingin pulang, tidak ada orang yang bisa mengantarnya ke simpang kampus. LS harus mencari-cari orang lain yang bisa mengantarkan. Hal ini juga yang mengakibatkan responden terkadang lama pulang. “Kalau kawan-kawan, terkadang... cemana ya dibilang. Kadang-kadang main-mainnya memang, tapi terkadang over main-mainnya. Kadang gini, mungkin dipikirnya karena gak awak liat diginikannya sambil Universitas Sumatera Utara mencontohkan mencoba memukul kepala peneliti. Cuma kan tau awak bayangannya kan, mengelak awak. Kadang mau dibikinnya gini mencontohkan kembali, apanya ini awak bilang. Kadang kan gak selamanya enak berkawan. Kadang berlebihan gitu ” W2.R1B.650-676hal.34 “...Palingan mungkin pas awak butuh gak ada orang. Ntah mau kemana awak cepat, gitu kan. Kalau pagi bisalah awak jalan sendiri dari sumber ke kampus kan masi sepi, kalau pas pulang mau cemana? Rame kali. Mau minta tolong antarkan ke sumber, orang pun gak ada. ” W2.R1B.680-703hal.34-35 Banyak hal yang menjadi kesulitan dan sumber stressor bagi LS dalam menjalani kesehariannya di kampus, dirumah atau dimana saja, terkait dengan proses pembelajarannya. Semua yang telah dijabarkan adalah bukti bahwa kehidupan LS tidaklah mudah. Mudah sekali bagi seseorang untuk jatuh dan terpuruk jika diberikan kesulitan-kesulitan tersebut. Hal ini bisa saja terjadi pada LS jika LS tidak membangun pertarungan dan berusaha untuk bangkit melawan kesulitan-kesulitan tersebut.

3. Usaha dalam Mengatasi Permasalahan