“Pas UMB kan aku gak lulus. Makanya coba SNMPTN, itu pun pakai biaya sendiri. Soalnya kan yang UMB dibiayai asrama”
W1.R1B.637-642hal.12
b. Sistem Pendidikan di Perguruan Tinggi
Dalam mengaplikasikan keahliannya, LS memilih Perguruan Tinggi berupa Universitas sebagai wadahnya dalam menimba ilmu. LS berkuliah di
Fakultas jurusan musik di salah satu Perguruan Tinggi Negeri, dimana nantinya LS akan mengarah pada level sarjana seni Ssn. Untuk dapat mencapai hal
tersebut LS harus dapat mengambil 144 – 160 Satuan Kredit Semester SKS yang
diambil selama delapan sampai dua belas semester. Bentuk Pendidikan yang diterima LS ada dalam beberapa bentuk, diantaranya tatap muka dan jarak jauh.
Pendidikan tatap muka tentunya terjadi di kelas dimana dosen dan mahasiswa bertemu secara langsung tatap muka dan terjadi proses pembelajaran. Dosen
dapat memberi ceramah, diskusi, tanya jawab dan sebagainya. Pendidikan jarak jauh adalah ketika terlibatnya berbagai jenis media komunikasi, misalnya secara
online. Dengan sistem pendidikan tersebut, LS juga diwajibkan untuk memenuhi tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Disamping itu LS juga harus mengikuti ujian maupun kuis-kuis yang diselenggarakan untuk mengevaluasi sejauh mana mahasiswa memahami proses
pembelajaran di semester tersebut. Pendapat LS terkait sistem pendidikan di kampusnya menyiratkan bahwa LS belum puas dengan sistem pendidikan di
kampusnya. Dirinya merasa bahwa proses pembelajaran masih bersifat satu arah. Dalam hal pemberian tugas dan ujian, LS menyatakan bahwa bentuk-bentuk tugas
dan ujian yang diterimanya tidak jauh berbeda dengan kampus-kampus lain.
Universitas Sumatera Utara
“Kalau sejauh aku di dalam sih, bisa dibilang, ehm.. berbasis KBK, tapi masih kurang. Masih satu arah bisa dibilang.”
W1.R1B.707-712hal.13 “Iya ceramah, pemberian materi, kasih tugas, kadang kalau ada diskusi di
kelas, ya diskusi. Terkadang ada diskusi tanya jawab, ya kayak biasalah. Ibaratnya mesti lebih dominan mahasiswa. Fokusnya.”
W1.R1B.713-721hal.13
“Ya biasa aja juga. Paper, tugas-tigas diskusi. Gitu-gitulah. Kalau ujiannya sama juga, biasa aja. Dikasi kertas ujian sekian soal, disuruh kerjakan, kasi
waktu sekian.” W1.R1B.722-728hal.13
Dalam hal penyediaan fasilitas di kampus, ada sejumlah media dan
peralatan yang disediakan fasilitas untuk mendukung proses pembelajaran para mahasiswanya, namun dapat dikatakan bahwa kebutuhan LS sebagai seorang tuna
netra dalam layanan pendidikan tidak tersedia di kampus tersebut. LS berpendapat bahwa jika saja pihak fakultas melibatkan beberapa fasilitas yang dapat
mendukung proses pembelajaran tuna netra, hal tersebut dapat lebih membantunya. LS membandingkan kampusnya dengan kampus temannya yang
berada di Pulau Jawa yang diperlengkapi dengan perpustakaan kampus yang menyediakan buku-buku
Braille. “Media yang ada cuman apa yaa.. berpikir. Palingan pianolah. Gitar, alat-
alat musiklah... Audionya ada, LCD, infocus. Tapi tergantung kelasnya juga.
Kalau misalnya mau pakai infocus, diruang atas. Tapi kalau gak perlu ya di
ruang terbuka.” W1.R1B.755-765hal.14
“Ooh gak ada. Kosong sama sekali. Iya, kalau alat-alat yang dibutuhkan berhubungan langsung untuk orang tuna netra gak ada memang.”
W1.R1B.766-772hal.14
“Mungkin iya, jauh lebih membantu. Gausalah dulu dari belajarnya, perpus ajalah. Perpus. Paling gak akses bukunya bisa di dapat. Kalau perpustakaan
umum USU, makanyalah mungkin bisa dibilang akulah orang yang paling
Universitas Sumatera Utara
jarang ke perpus. Sebenarnya bukan karena gak niat baca, tapi mungkin karena itulah satu, posisinya yang seperti itu. Fasilitasnya juga, lagian
bukunya buku-buku biasa gitu. Kek ada cerita teman di Jawa. Mungkinlah gak semua bukunya ada
Braillenya, tapi kan sebagian besar ada, jadi lebih membantu. Kalau fasilitas yang kurasa perlu di kampus ya itulah. Sama
Braille .”
W1.R1B.972-991hal.18-19
c. Faktor-faktor Resiko, Adversity dan Stressor