“Aku gak ada yang dukung. Ingin aja. Diri sendiri aja. Aku punya target. Yang penting, kalau swasta dari mana duit. Langsung itu duluan kupikirkan.
Karena dari asrama dulu harus target Negeri baru bisa dibiayai. Itu pun cuma uang kuliah. Karena kan kesepakatannya asrama biayai uang kuliah,
orang tua akomodasi. Kan biaya daftar ulang besar. Gak ada uang. Daftar ulang aja awak pikirkan besar, dari mana uang, Jadi akomodasilah yang
diambil. Sempat swasta lagi, dari mana uang. Adekku kan juga di swasta. Jadi kalau dua swasta dari mana uang lagi? Gak terpenuhi.
” W3.R1B.425-449hal.47
“Iya. Ya disamping keluarga lah, yang tahu bahwa ekonominya menengah. Keinginan untuk maju demi keluarga.
” W3.R1B.450-455hal.48
b. Faktor Protektif Eksternal
Selain faktor-faktor internal, segala kemampuan LS yang ditunjukkan melalui tindakan-tindakan yang diambilnya untuk mengatasi kesulitannya juga
dipengaruhi oleh faktor protektif eksternal yang dimilikinya. Faktor protektif eksternal merupakan karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan kelompok
teman sebaya yang dapat membantu mengembangkan resiliensi akademik LS. Keluarga merupakan bagian penting dalam hidup LS. Sejauh ini hubungan
LS dan keluarga berjalan harmonis. Tidak ada konflik besar yang memutuskan hubungan silaturahmi LS dan keluarga, namun frekuensi LS bertemu dengan
keluarga termasuk sedikit. Sejak masih anak-anak LS telah dimasukkan ke sekolah berasrama, sehingga
quality time yang bisa dihabiskan LS dengan keluarga sangat sedikit. Kini LS hanya tinggal bersama ayah dan kakaknya.
Saudara-saudara LS yang lain ada yang di kampung, ada yang di Jawa dan berbagai tempat lainnya. Jaraklah yang menjadi penyebab kurang dekatnya
hubungan dan komunikasi antara LS dan keluarga intinya. Namun dengan ayahnya LS merasa cukup dekat. Dari seluruh keluarga LS, sang ayah lah yang
Universitas Sumatera Utara
paling mendorong LS untuk berkuliah, karena saudara-saudaranya yang lain rata- rata memang tidak kuliah.
“Kalau dari keluarga, gak ada, apalagi pas mau masuk kuliah, gak ada. Orang itu, yang kuliah pun selain, aku, kakakku sama adekku satu lagi.
Cuma bapakku. Abangku nomor satu sama dua gak kuliah. Siapa yang mau dukung? Gak ada.
” W3.R1B.450-455hal.48
Ayah LS yang merupakan seorang mantan guru merupakan orang yang
menjunjung tinggi pendidikan. Sesekali ayah LS memeriksa perkembangan akademis dan menanyakan LS mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
kuliiah. Sejauh ini IPK Luhut selalu berada diatas rata-rata, sehingga ayah Luhut tidak terlalu banyak menuntut dalam hal prestasinya, hanya sekedar menanyakan
apa yang menjadi alasan ketika ada nilai yang turun. Keluarga LS juga tidak terlalu banyak memberikan peraturan atau batasan-batasan kepada LS.
“Gak ada. ACC ajanya semua. IP ku diatas 3, enjoy aja.” W2.R1B.582-584hal.33
“Mana KHS mu, tengok dulu. Kalau diliatnya ada niai turun, ditanyanya ini kenapa bisa turun? Kalau diliatnya nilainya banyak B, cuma dikit A nya
” W2.R1B.589-594hal.33
Ikatan yang lebih kuat diperoleh LS dari sekolah, tepatnya teman-teman asrama dan para pengurus asrama. Keberadaan LS yang jauh lebih lama di asrama
daripada di rumah sendiri membuat LS memiliki ikatan dan hubungan yang lebih erat dengan pihak asrama, yang juga merupakan pihak sekolah. Sekolah menjadi
salah satu faktor penting yang membentuk resiliensi akademik LS. Peran sekolah yang membuat LS menjadi seorang siswa yang berprestasi, peraturan dan tata
Universitas Sumatera Utara
tertib yang ditetapkan telah membuat LS menjadi siswa yang disiplin. LS juga memiliki hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya pada masa sekolah.
Teman-temannya terdiri dari siswa berpengihatan normal dan juga yang sama- sama tuna netra.
“Iya, lebih dekat dengan orang-orang asrama jadinya” W1.R1B.552-553hal.10
“Super ketat. Haha tertawa. Semua diatur oleh waktu.” W1.R1B.563-566hal.10
Sekolah LS juga sangat berperan dalam penyediaan segala kebutuhan LS, termasuk biaya pengurusan masuk Perguruan Tinggi dan juga uang kuliah. Orang
tua LS bukanlah orang yang memiliki banyak uang, dan kurang mampu untuk membayar uang sekolah LS, sehingga LS beruntung memiliki Yayasan yang
membiayai segala kebutuhannya. “Bisa dibilang kalau orang tua ku gak pernah ngasih apa-apa kesitu, yaudah
murni yayasan itu ngasih samaku. Kalau ditanya berapa uang sekolahnya, mana pernah aku bayar apa-apa kesitu. Itu nya kata bosku. Jadi donatur-
donatur itunya yang banyak mendanai
” W4\.R1B.955-965hal.72
Dorongan untuk kuliah juga didapatkan dari beberapa teman LS yang
merupakan abang kelasnya di asrama, dan itu hanya sekedar percakapan ringan yang terjadi sehari-hari.
“Kalau dorongan dari luar itu rata-rata cuma bilang, nanti kalau uda tamat kuliah kau, tentukan jurusanmu. Kalau yang kek ngomong langsung, gak
ada. Kan ada abang kelas yang mau nanya- nanya.”
W3.R1B.662-671hal.66
Universitas Sumatera Utara
5. Resiliensi Akademik