Pendidikan Sekolah Analisa Data Wawancara 1. Latar Belakang

Kini setelah bertahun-tahun menyandang kebutaan, LS sudah mampu beradaptasi dengan kondisi matanya. Bersamaan dengan menghilangnya penglihatan LS secara berangsur-angsur, LS juga perlahan-lahan belajar mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Ada beberapa orang yang menyarankan LS untuk kembali memeriksakan matanya dan mencoba mencari pengobatan. Pada dasarnya LS berkeinginan melakukannya dan berpendapat bahwa mungkin saja masih ada peluang memperbaiki penglihatannya, meskipun tidak sembuh total, mengingat bahwa tekknologi zaman sekarang sudah lebih baik dari zaman dulu ketika ia pertama kali memeriksakan diri. Namun LS masih enggan untuk memeriksakan diri dan tampaknya biaya pengobatan yang menjadi kendala. Walaupun demikian, jika ada orang atau pihak yang bersedia secara ikhlas membiayainya, LS dengan antusias akan mengambil kesempatan tersebut. “Makanya ada dosen yang bilang, coba periksa, karena kau masih bisa liat bayangan atau cahaya. Mana tau teknologi sekarang lebih bisa membantu. Kurang tau juga lah pak kubilang, belum pernah periksa ” W4.R1B.307-315hal.59 “Gak tau juga. Soalnya kan gini, periksa aja kan bayar.” W4.R1B.316-318hal.59

c. Pendidikan Sekolah

Walaupun terlahir normal, LS sudah mulai kehilangan penglihatannya pada usia dini sampai pada akhirnya buta total. Ketika masih bisa melihat, LS bersekolah di sekolah umum, sama seperti teman-temannya yang lain. Selama bersekolah di sekolah umum, sebenarnya proses belajar LS sudah terganggu. Ketidakmampuan matanya untuk melihat papan tulis dan membaca buku Universitas Sumatera Utara berpengaruh terhadap proses belajarnya dan sedikit banyak menghambat proses belajarnya. Namun setelah memasuki kelas 3 SD gangguan mata LS sudah semakin parah dan sudah tidak kondusif lagi untuk bersekolah di sekolah umum. “...aku kan dulu 2 tahun disekolah umum, sekolah reguler biasa, sebelum akhirnya aku masuk sekolah luar biasa. Masuk sekolah luar biasa pun awal- awalnya aku masih bisa melihat dikit-dikit, tapi kan masuk sekolah luar biasa ngulang lagi dari kelas satu. Kurang lebih pas kelas tiga menjelang kelas empat uda mulai makin kabur. ” W1.R1B.201-214hal. Pada saat masih menduduki kelas 3 SD di sekolah umum, akhirnya orangtua LS memutuskan untuk memindahkan LS ke salah satu Sekolah Luar Biasa di Lubuk PakamTanjung Morawa. Berhubung ini adalah kali pertama LS memasuki sekolah luar biasa, LS diharuskan untuk mengulang kembali dari kelas 1, meskipun sebenarnya dia sudah menduduki kelas 3. Hal ini dilakukan agar LS dapat memulai dari dasar dan lebih mengenal lingkungan dan sistem pendidikan di sekolah barunya. Ketika memasuki SMP dan SMA, LS melanjutkan studinya ke salah satu Sekolah Integrasi, yang mana sebenarnya merupakan sekolah umum, namun digabungkan juga dengan siswa yang berkebutuhan khusus, diantaranya tuna netra, di dalam satu kelas. Para siswa yang berkebutuhan khusus menjadi jumlah minoritas di dalam kelas. Sekolah Integrasi menjadi pilihan dikarenakan belum adanya sekolah inklusi pada saat itu. Di asrama dan di sekolahlah LS menghabiskan masa studinya selama 12 tahun yaitu SD, SMP dan SMA. “Kalau kami bukan inklusi, tapi berintegrasi dengan sekolah umum. Kami yang minta gabung. Kalau inklusi, sekolah itu yang minta gabung dengan kami. Kami dulu dibilang Sekolah Integrasi. ” W1.R1B.416-423hal.7-8 Universitas Sumatera Utara Mengalami kebutaan di usia muda dan bersekolah diantara orang-orang yang memiliki penglihatan menjadi tantangan tersendiri bagi LS. Di awal mula memasuki asrama, LS masih memiliki sisa-sisa penglihatan meskipun semakin hari semakin memburuk. Namun dengan sisa-sisa penglihatan tersebut LS masih sempat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya. “Hmm, iya. Jadi gak gitu kaget kan. Dan pada saat makin kabur itu, karena udah bertahun-tahun tinggal disitu, jadi uda bisa aku beradaptasi dengan lokasi setempat. Meskipun pada akhirnya uda gak bisa ngeliat sama sekali, tapi gak terkejut dengan lokasi yang uda lama ditempati. ” W1.R1B.251-261hal.6 Di sisi lain, tak dapat dipungikiri bahwa LS juga berbenturan dengan masalah-masalah seperti kepercayaan diri, keberanian, masalah pergaulan, terutama masalah belajarnya. Secara tegas LS menyatakan bahwa masa SMP lah yang dirasanya paling sulit khususnya dalam bergaul. Atmosfer yang baru kembali membuat LS seperti sendirian di tengah keramaian. LS belum berani untuk maju duluan dan memperkenalkan diri. Kondisi mata LS yang tampak normal juga membuat banyak orang berpikir bahwa dirinya bukan tuna netra dan hal ini semakin tidak membantu LS dalam mencari teman. Untungnya ada beberapa orang kakak kelas yang mengenal dan dikenal LS, dan merekalah teman pertama LS ketika SMP. Pada saat memasuki SMA, LS malah lebih kesulitan lagi dalam bergaul. “Kalau minder sih yang paling terasa ketika sekolah SMP. Itulah yang paling terasa. ” W1.R1B.271-274hal.6 Universitas Sumatera Utara “Kalau orang-orang yang keliatan dia seperti tuna netra, dia gampang cari kawan, karena tau orang-orang dia tuna netra. Kalau kek aku gak. Justru aku yang kewalahan cari kawan. Bingung cari kawan dimana. Kalau yang lainnya, paling gak kan , masuk SMP, uda punya kawan baru. Kalau aku gak. Palingan aku ada kenal sama kakak kelas, yang uda ada teman-teman tuna netra juga, ya paling sama itu berteman. Uda berapa-berapa hari kemudian barulah coba gabung sama teman-teman setingkat. ” W1.R1B.282-302hal.7. “...Lebih parah pas SMA lagi, tiga hari MOS, gak pernah aku sama seangkatanku, sama kakak kelas terus. Mungkin terpengaruh belum ada kawan. Memang banyak kawan baru, tapi pasti kan beda pola pikirnya. Belum ada aja. Hari terakhir MOS baru. Itu uda mulai masuk kelas kan.” W4.R1B.508-524hal.63 Dalam proses belajar di sekolah khususnya ketika SMP dan SMA, LS tetap menghadapi kesulitan-kesulitan yang tentunya diakibatkan oleh gangguan penglihatannya. Berbeda seperti sebelumnya kali ini LS berada di sekolah umum, yang tidak menyediakan fasilitas seperti ketika di SLB. Contoh kesulitan yang dihadapi LS pada masa sekolah misalnya pada pelajaran-pelajaran praktik seperti Pendidikan Jasmani Penjas, laboratorium, kesenian dan kerajinan tangan. “Prakteklah. Itu yang paling runyam.” W4.R1B.578-578hal.64 “Pokoknya yang prakteklah, kalau dulu kami ada praktek komputer, masuk lab. Terus kesenian, atau kerajinan tangan yang buat-buat lampion. Aku gak pintar gitu-gitu. ” W4.R1B.640-647hal.66 Menurut LS sebenarnya dirinya mampu untuk mengikuti pelajaran pendidikan jasmani namun gurunya yang tidak memberikan izin kepada LS untuk ikut serta. LS merasa mampu karena pada saat di asrama LS sudah dibiasakan untuk berolahraga dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik lainnya. Universitas Sumatera Utara Bahkan setiap hari setelah makan siang, LS dan teman-temannya disuruh berbaris, dan lari mengelilingi asrama selama satu setengah jam. Sayangnya, dengan maksud tidak ingin membebani LS dengan kegiatan yang dianggap gurunya dapat mencelakakan LS, argumen LS tidak diterima sehingga mau tidak mau LS tidak boleh mengikuti kelas olahraga. “Penjas. Sebenarnya bisa, tapi gurunya gak membolehkan. Yang namanya olahraga pasti ke lapangan kan, diluar, berbaris. Tapi mayoritas gurunya gak ngasih. ” W4.R1B.582-584hal.65 “Terkadang dibilang pun bisa, itu kan di asarama katanya. Udah, gausah capek kau. Terkadang mau dibilang apa, gurunya bilang gitu, kecuali kalau ada tugas, barulah dikerjain. Baru ikut kumpul. ” W4.R1B.628-631hal.65-66 “Kalau olahraga bisa dibilang sebenarnya maksud gurunya gak mau membebani. Padahal andaikan mereka datang ke asrama, hampir tiap hari kami disuruh olahraga. Kami ditempah jadi atlet di asrama, karena sering ada perlombaan antar anak-anak luar biasa, ntah yang sama —sama tuna netra, yang bisu, gitu-gitulah. Lari. Banyak, ada lempar ada lompat ada tolak... ” W4.R1B.594-609hal.65 Tidak tersedianya bantuan khusus bagi tuna netra di sekolah mengharuskan LS untuk berinisiatif mencari alternatif sendiri ketika berhadapan dengan masalah. Pada akhirnya segala usaha keras LS dalam berproses di masa sekolah terbayar dengan prestasinya yang baik. Bermodalkan prestasi yang baik tersebut LS memutuskan untuk melanjutkan studinya lagi ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu berkuliah di Universitas. Universitas Sumatera Utara “Iya. Kalau memang ada yang tidak bisa dilakukan sesuai dengan yang umum, ya kita cari alternatif sendiri. Kan kita yang bergabung ke sekolah itu, jadi ya kita juga yang beradaptasi. ” W1.R1B.408-415hal.7 Melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi memang sudah menjadi rencana LS. Ada beberapa jurusan yang dianggapnya berpotensi untuk dijadikan tempatnya berkuliah. Orang-orang di asramalah yang dipercayakannya sebagai penasihat dan pemberi saran ataupun masukan mengenai jurusan yang cocok untuknya. Dari awal LS sudah berkeinginan untuk berkuliah di jurusan Etnomusikologi. Namun ada yang tidak menyetujui. Kemudian LS berpikiran untuk mencoba jurusan Bahasa Inggris atau Antropologi Sosiologi di Semarang. Namun tetap ada yang tidak setuju karena dianggap terlalu jauh, sedangkan jurusan bahasa Inggris juga tidak jadi diambil karena LS merasa bahwa dasar Bahasa Inggrisnya belum kuat. Walaupun demikian LS tetap mencoba mengambil jurusan Antropologi dengan alasan keluarganya ada yang tinggal di Semarang. Pada akhirnya setelah mengikuti dua tes seleksi masuk Perguruan Tinggi, yaitu UMB Ujian Masuk Bersama dan SNMPTN Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi, dan setelah menentukan sejumlah pilihan jurusan, LS lulus di kampus LS yang sekarang. Hal ini disyukurinya karena memang itulah pilihannya dari awal dan memang LS merasa memiliki dasar di bidang tersebut, karena dirinya menyukai dan bisa memainkan beberapa alat musik. “...Rupanya pilihan pertama yang jebol. Musik.” W1.R1B.515-516hal.9 Universitas Sumatera Utara “Ketepatan aku punya dasar. Itu aja sih. Lumayanlah. Piano bisa. Gitar bisa. Gak terlalu mahir tapi.” W1.R1B.520-527hal.9 Masuk Perguruan Tinggi memang sudah menjadi rencananya setelah tamat sekolah. Alasan utama LS untuk berkuliah adalah karena dirinya ingin maju dan bukan tidak melakukan apa-apa. “Satu, cuma satu, kalau gak kuliah mau kemana, mau ngapain? Karena menurutku kemampuan keterampilan aku belum punya. Kalau gak kuliah mau jadi apa? Sedangkan yang kuliah aja belum tentu sukses, belum tentu jadi apa. Padahal mereka normal. Awak mau jadi apa, itu sih prinsipku yang paling mendasar, dari diri sendiri ” W4.R1B.648-661hal.66

2. Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi a. Proses memasuki Perguruan Tinggi