signifikan terkoreksi, baik ketika terjadi deviasi positif maupun deviasi negatif. Pengaruh ECT+ di Pekanbaru dan Palembang berpengaruh lebih besar
dibandingkan ECT-. Hal ini berarti jika pasar minyak goreng dikedua kota tersebut merespon dengan lebih cepat ketika terjadi penurunan harga minyak
goreng di Medan dibandingkan ketika terjadi kenaikan harga. Sebaliknya perubahan harga di kota yang lain akan merespon dengan lebih cepat ketika
terjadi kenaikan harga minyak goreng di kota Medan. Namun demikian hasil pengujian Wald terhada koefisien ECT+ dan ECT- pada setiap persamaan
menunjukkan jika kedua koefisien tersebut tidak berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan jika transmisi harga dari pasar Medan ke Pekanbaru, Palembang,
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak dan Makasar berjalan simetris. Hasil ini menunjukkan jika ditinjau dari transmisi harga spasial yang berlangsung,
pasar minyak goreng di Indonesia berjalan efisien.
9.7.2 Transmisi Harga Minyak Goreng di Surabaya dengan Kota Lain
Tabel 36 menampilkan hasil pengujian kointegrasi harga minyak goreng di Surabaya LMGSBY dengan harga minyak goreng di MedanLMGMDN,
Pekanbaru LMGPKB, Palembang LMGPLB, Jakarta LMGJKT, Bandung LMGBDG, Semarang LMGSMR, Denpasar LMGDPS, Pontianak
LMGPTK, dan Makasar LMGMKS. Metode yang digunakan adalah metode Johansen Cointegration Test.
Pengujian integrasi spasial diatas membuktikan jika pasar minyak goreng di Surabaya terintegrasi secara spasial dengan pasar minyak goreng di Medan,
Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bandung, Pontianak dan Makasar masing-masing dengan satu persamaan kointegrasi. Pasar yang tidak terintegrasi dengan pasar
minyak goreng di Surabaya adalah pasar minyak goreng di Semarang dan Denpasar, dimana nilai trace statistic maupun eigenvalue maksimal lebih kecil
dari nilai kritisnya sehingga hipotesis nol bahwa tidak terdapat persamaan kointegrasi none tidak dapat ditolak. Dengan demikian, pengujian transmisi
harga tidak akan dilakukan untuk variabel dependen endogen LMGSMR dan LMGDPS.
Tabel 36 Hasil pengujian kointegrasi secara bivariate
Pasangan Variabel Hipotesis
nol: Jumlah CE
Trace Statistic
Nilai Kritis
Max- Eigen
Statistic Nilai
Kritis LMGSBY-LMGMDN
None At most 1
45.72 1.88
12.32 4.13
43.84 1.88
11.22 4.13
LMGSBY-LMGPKB None
At most 1 26.51
3.02 12.32
4.13 0.15
0.02 11.22
4.13 LMGSBY-LMGPLB
None At most 1
42.64 2.09
12.32 4.13
40.55 2.09
11.22 4.13
LMGSBY-LMGJKT None
At most 1 35.57
2.05 12.32
4.13 33.52
2.05 11.22
4.13 LMGSBY-LMGBDG
None At most 1
30.80 2.23
12.32 4.13
28.57 2.23
11.22 4.13
LMGSBY-LMGSMR None
At most 1 10.28
1.71 12.32
4.13 8.58
1.71 11.22
4.13 LMGSBY-LMGDPS
None At most 1
11.44 1.88
12.32 4.13
9.56 1.88
11.22 4.13
LMGSBY-LMGPTK None
At most 1 25.43
1.74 12.32
4.13 23.69
1.74 11.22
4.13 LMGSBY-LMGMKS
None At most 1
30.65 1.94
12.32 4.13
28.72 1.94
11.22 4.13
Keterangan : Tanda berarti H ditolak pada level 5
Tidak terintegrasinya pasar minyak goreng di Semarang dan Denpasar dengan pasar Surabaya merupakan fenomena yang menarik karena kedua kota ini
secara geografis lebih dekat ke Surabaya dibandingkan kota lain. Tidak terintegrasinya pasar Surabaya dengan Denpasar menyebabkan informasi
perubahan harga di Surabaya tidak diteruskan ke pasar Denpasar, sehingga ketika terjadi penurunan harga minyak goreng di Surabaya maka harga minyak goreng di
Denpasar tidak akan terpengaruh oleh penurunan ini. Hal ini salah satu faktor yang menyebabkan tingkat harga minyak goreng di Denpasar relatif tinggi dan
tidak mudah berubah. Dari analisis pergerakan antar kota sebelumnya diketahui jika harga minyak goreng di Denpasar paling stabil tetapi dengan tingkat harga
yang paling tinggi dibandingkan 9 kota lain. Estimasi model ECM antara harga minyak goreng di Surabaya dengan
Medan, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bandung, Pontianak dan Makasar merupakan hubungan jangka pendek antara harga minyak goreng di Surabaya
dengan harga minyak goreng di setiap kota dalam bentuk persamaan tunggal univariate. Tabel 37 menampilkan estimasi model ECM dengan ECT yang tidak
disegmentasi. Koefisien ECT dari seluruh persamaan dalam tabel tersebut
mempunyai tanda negatif seperti yang diharapkan dan signifikan terhadap model, yang artinya terjadinya deviasi pada jangka pendek akan disesuaikan adjusted
kepada kondisi keseimbangan jangka panjangnya. Berdasarkan koefisien ECT masing-masing persamaan, penyesuaian yang paling cepat berlangsung pada pasar
di Medan, dimana deviasi pada jangka pendek dikoreksi sebesar 0.58 per periode per bulan, sementara penyesuaian yang paling lambat berlangsung pada
pasar di Makasar, dimana besaran penyesuaian hanya sebesar 0.42 per bulan.
Tabel 37 Hasil Estimasi Persamaan ECM Simetris
Variabel Eksogen
Variabel Endogen DLMG
MDN DLMG
t
PKB DLMG
t
PLB DLMG
t
JKT DLMG
t
BDG DLMG
t
PTK DLMG
t
MKS
t
DLMGSBY 0.740
t
0.920 0.673
0.538 0.811
0.628 0.418
ECT -0.582
-0.301 -0.486 -0.459 -0.379 -0.302 -0.286
DLMGSBY -0.030
t-1
0.197 -0.046
0.243 0.083
0.129 0.017
DLMGMDN 0.077
t- 1
DLMGPKB
t-1
-0.025 DLMGPLB
t-1
0.019 DLMGJKT
t-1
0.265 DLMGBDG
t-1
-0.630 DLMGDPS
t-1
DLMGPTK
t-1
-0.042 DLMGMKS
t-1
0.103 R-square
0.568 0.527
0.628 0.614
0.826 0.573
0.400
Angka dalam tabel adalah koefisien variabel eksogen; signifikan pada level 5
Medan berada pada wilayah Sumatera Utara yang merupakan produsen minyak goreng sawit terbesar di Indonesia, sementara Jawa Timur merupakan
produsen minyak goreng di wilayah pulau Jawa. Integrasi pasar antara kedua kota ini lebih kuat karena perubahan harga yang terjadi di Surabaya akan lebih mudah
ditangkap oleh produsen minyak goreng di kota Medan sebagai sinyal untuk mengubah harga produknya. Sementara itu Makasar merupakan wilayah yang
tidak mempunyai sentra industri minyak goreng sehingga membutuhkan pasokan dari wilayah produsen, terutama dari Surabaya. Penetapan harga minyak goreng
di Makasar lebih ditentukan oleh distributor antar pulau, yang relatif lebih sulit untuk melakukan perubahan harga karena terikat kontrak sebelumnya.
Diantara seluruh kota yang dianalisis, pasar minyak goreng di Pekanbaru mempunyai hubungan yang lebih erat dengan pasar minyak goreng di Surabaya,
dimana perubahan harga minyak goreng di Surabaya sebesar 1 akan menyebabkan perubahan sementara harga minyak goreng di Pekanbaru sebesar
0.92. Kesimpulan ini sama dengan hasil estimasi hubungan jangka pendek pada integrasi spasial pasar minyak goreng dengan model VECM yang telah
dipaparkan sebelumnya. Analisis transmisi harga asimetris dilakukan dengan memisahkan variabel
ECT menjadi ECT positif dan ECT negatif. ECT positif adalah penyesuaian adjustment terhadap deviasi dimana harga minyak goreng lebih tinggi dari
kondisi keseimbangannya, sehingga margin antara harga minyak goreng antara kedua kota lebih tinggi dari keseimbangan. Sementara itu ECT negatif
merupakan penyesuaian terhadap deviasi dimana harga minyak goreng lebih rendah dari keseimbangan jangka panjangnya.
Tabel 38 Hasil Estimasi Persamaan ECM Asimetris
Variabel Eksogen Variabel Endogen
DLMG MDN
DLMG
t
PKB DLMG
t
PLB DLMG
t
JKT DLMG
t
BDG DLMG
t
PTK DLMG
t
MKS
t
DLMGSBY 0.734
t
0.922 0.674
0.540 0.812 0.644 0.426 ECT
-0.510
+
-0.307 -0.502
-0.489 -0.403 -0.396 -0.354 ECT
-0.660
-
-0.285 -0.472
-0.420 -0.361 -0.224 -0.263 DLMGSBY
-0.030
t-1
0.201 -0.046
0.245 0.082 0.114
0.007 DLMGMDN
0.069
t-1
DLMGPKB
t-1
-0.027 DLMGPLB
t-1
0.020 DLMGJKT
t-1
-0.258 DLMGBDGt
t-1
-0.063 DLMGPTK
t-1
-0.024 DLMGMKS
t-1
0.107 R-square
0.574 0.528
0.628 0.614
0.826 0.579
0.403
p-value Hasil Uji Wald:
F-statistic 0.2806
0.8672 0.8134
0.5846 0.7346 0.1479 0.3753 Chi-square
0.2787
0.8671
0.8131 0.5837 0.7341 0.1457 0.3738
Angka dalam tabel adalah koefisien variabel eksogen ; signifikan pada level 5
Tabel 38 menampilkan hasil estimasi dengan model ECM untuk menganalisis sifat transmisi harga yang berlangsung antara harga minyak goreng