Tujuan Penelitian Market Integration and Price Transmission on the CPO and Cooking Oil Markets in Indonesia

Dalam perkembangannya, penetapan pajak ekspor CPO terus mengalami perubahan. Sejak tahun 2007, formulasi pengenaan pajak ekspor berubah dari single rate menjadi progresif dimana besaran pajak yang dikenakan disesuaikan dengan harga CPO internasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 02M-DagPer22011 46M-DagPer112010 Tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar, tarif bea keluar untuk komoditas kelapa sawit dan turunannya berpedoman kepada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam satu bulan sebelum penetapan harga pungutan ekspor HPE. Perkembangan penetapan pajak ekspor CPO di Indonesia dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3 Keterkaitan Harga CPO Internasional dengan Penetapan Besaran Pajak Ekspor Waktu Bentuk Kebijakan Harga CPO Internasional Sep 1994 PE CPO sebesar 40-60 Harga CPO internasional melonjak dari 494 Jul 1994 menjadi 719 Des 1994 Jul 1997 PE CPO turun hingga 5 Harga CPO internasional 498 terendah sejak Jul 1994 Des 1997 PE CPO naik menjadi 30 Harga CPO Internasional naik 566 Feb 1998 Larangan ekspor CPO Harga Internasional 659 Apr 1998 Larangan ekspor CPO dicabut. PE 40 Harga internasional mencapai puncak pada bulan Mei 1998 705 Jul 1998 PE dinaikkan menjadi 60 Harga CPO Internasional turun pada Bulan Jul 1998 661 Jun 1999- Feb 2001 PE diturunkan bertahap dari 30 Jul 1999 menjadi 3 Feb 2001 Harga CPO Internasional terus turun dari 392 Jun 1999 menjadi 240Feb 2001 Sep 2007 PE ditetapkan progresif mengacu kepada harga Rotterdam bulan sebelumnya Sumber : Kementerian Perdagangan 2008 Selain dari sisi input, upaya stabilisasi harga minyak goreng juga dilakukan dari sisi output, melalui kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1. Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah PPNDP Kebijakan PPNDP bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga minyak goreng nasional melalui konversi bentuk minyak goreng curah menjadi minyak goreng dalam kemasan. Harga minyak goreng dalam kemasan relatif lebih stabil karena merupakan barang dagangan, sedangkan minyak goreng curah merupakan komoditas sehingga harganya mudah terpengaruh harga komoditas lain. Definisi PPN menurut Kementerian Keuangan, PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam hal ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal PPN sebesar 10 persen. 2. Operasi Pasar Minyak Goreng Kebijakan ini dijalankan ketika harga minyak goreng tinggi. Tujuannya adalah mencegah harga minyak goreng agar tidak melebihi HET sehingga akan berdampak kepada penurunan harga eceran. Namun demikian, banyak kajian yang menunjukkan bahwa berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga minyak goreng tidak akan efektif selama harga CPO internasional tinggi. Susanto 2000 mengkaji sisi tata niaga minyak sawit di dalam negeri dan juga menyimpulkan bahwa pemberlakuan kebijakan pajak ekspor CPO serta alokasi CPO untuk BULOG tidak efektif untuk meredam fluktuasi harga minyak goreng domestik karena berbagai penyimpangan yang terjadi seperti penyelundupan serta pengalihan jatah alokasi prosesor untuk memenuhi kewajiban produsen CPO untuk alokasi BULOG. Akibatnya, prosesor-prosesor minyak goreng di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku. Menurut Susila 2005, kebijakan pengenaan pajak ekspor CPO dan Domestic Market Obligation dapat berdampak mendistorsi pasar domestik dan internasional serta dapat menurunkan pendapatan petani. Namun demikian, sisi positif kebijakan ini adalah dapat menjadi sumber penerimaan negara.

2.3 Market Power pada Industri Kelapa Sawit di Indonesia

Industri pengolahan CPO dan minyak goreng sawit di Indonesia merupakan industri dengan konsentrasi cukup tinggi. Menurut KPPU 2010, 4 perusahaan dalam industri ini menguasai pangsa pasar mencapai 55.73 pada tahun 2010.