Profil Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Dalam perkembangan selanjutnya, industri minyak goreng sawit mulai banyak berdiri di luar sentra kelapa sawit seperti di propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Ketiga wilayah ini mempunyai sarana pelabuhan yang sangat diperlukan dalam pengangkutan bahan baku CPO ke industri pengolahan. Meskipun bahan baku harus didatangkan dari wilayah Sumatera yang berarti adanya biaya transportasi, pendirian industri minyak goreng di ketiga wilayah ini dapat menekan biaya pemasaran karena pasar minyak goreng di pulau Jawa merupakan pasar terbesar, terkait dengan jumlah penduduknya yang tertinggi di Indonesia. Tabel 6 Sebaran industri minyak goreng sawit di Indonesia tahun 2011 No Propinsi Jumlah Pabrik Unit 1 NAD 2 2 Sumatera Utara 13 3 Sumatera Barat 3 4 Riau 8 5 Jambi 2 6 Sumatera Selatan 5 7 Lampung 4 8 DKI Jakarta 8 9 Jawa Barat 8 10 Jawa Tengah 5 11 Jawa Timur 9 12 Banten 1 13 Kalimantan Barat 11 14 Kalimantan Timur 2 15 Sulawesi Utara 5 16 Sulawesi Tengah 1 17 Sulawesi Selatan 5 18 Gorontalo 1 19 Papua Barat 1 TOTAL 94 Sumber : Kemenperin 2011 Karakeristik industri minyak goreng adalah industri berskala besar dan menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksinya. Pada umumnya industri minyak goreng sawit juga terintegrasi secara vertikal dengan industri hulu. Menurut KPPU 2010, 68 industri minyak goreng sawit terintegrasi, dan hanya 32 yang tidak terintegrasi. Kondisi ini merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap struktur pasar industri minyak goreng sawit. Skala usaha yang tergolong besar serta penggunaan teknologi tinggi secara tidak langsung juga menjadi rintangan masuk barrier to entry bagi pemain baru dalam industri ini. Empat pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng sawit di Indonesia adalah Wilmar Group, Musim Mas, Sinar Mas dan Indofood dengan total pangsa pasar keempat kelompok perusahaan tersebut 57,3 Tabel 7. Tabel 7 Pangsa Pasar 10 perusahaan terbesar dalam Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia No. Pelaku Usaha Group Jumlah Perusahaan Kapasitas Produksi Tonthn Pangsa Pasar 1 Wilmar Group 6 3930000 25.47 2 Musim Mas 6 2490000 16.14 3 Sinar Mas 5 1380000 8.94 4 Indofood 3 800000 5.18 5 Permata Hijau Group 4 720000 4.67 6 PT Agro Jaya Perdana 1 480000 3.11 7 Pacific Interlink Sdn Bhd 1 420000 2.72 8 PT Bina Karya Prima - 370000 2.40 9 Duta Palma Group - 360000 2.33 10 PT Tunas Baru Lampung Sungai Budi Group - 355940 2.31 11 Lain-lain - 4124060 26.73 TOTAL 15430000 100.00 Keterangan : - Tidak ada data, Sumber : Kemenperin 2011, KPPU 2010 Berbagai penelitian terkait struktur pasar CPO dan minyak goreng sawit domestik dari tahun 1993 hingga 2010 memperlihatkan kondisi struktur pasar minyak goreng sawit di Indonesia yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Erdiman 1998 menyimpulkan bahwa struktur pasar CPO domestik selama kurun waktu 1993-1997 mendekati pasar persaingan sempurna, dengan hasil perhitungan CR-4 sebesar 10,0-20,0. Hal ini menandakan tidak ada produsen CPO yang mendominasi pasar. Hal yang berbeda terjadi pada pasar minyak goreng, dimana struktur pasar industri minyak goreng sawit di Indonesia terkonsentrasi cukup tinggi, dengan nilai CR-4 mencapai 65,0-80,0. Susanto 2000 juga melakukan analisis dengan penghitungan CR-4 dan HHI sebagai ukuran konsentrasi industri dan menyimpulkan bahwa struktur industri minyak goreng sawit terkonsentrasi tinggi tight oligopoly, yang ditunjukkan dari nilai HHI sebesar 2203,67. Konsentrasi industri juga mengindikasikan adanya kekuatan pasar yang dimiliki oleh beberapa perusahaan yang bersifat dominan. Dari penghitungan CR-4 diperoleh hasil sebesar 64,22, yang berarti empat perusahaan terbesar menguasai 64,22 persen dari pangsa pasar minyak goreng sawit di dalam negeri. Struktur industri minyak goreng sawit mengalami perubahan drastis setelah satu dekade. Dari kajian mengenai yang dilakukan KPPU 2010 diperoleh hasil nilai HHI sebesar 662,4 dan CR-4 sebesar 42,60 persen yang berarti struktur pasar industri minyak goreng sawit di Indonesia memiliki karakteristik oligopoli longgar loose oligopoly. VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada komoditas CPO dan minyak goreng yang merupakan produk turunan dan olahan lanjutan dari kelapa sawit. Pada bab ini akan diuraikan tentang pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik serta harga rata-rata minyak goreng sawit curah di tingkat eceran di beberapa kota besar di Indonesia pada periode bulan Januari 2000-April 2012.

6.1 Pergerakan Harga CPO Internasional

Dalam perdagangan minyak nabati dunia, CPO mempunyai pangsa pasar yang semakin besar dari tahun ke tahun. Dari sisi penawaran, Indonesia mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi CPO dunia dimana produksinya diperkirakan akan terus meningkat dan ditargetkan akan mencapai 40 juta ton pada tahun 2020 meningkat 200 dari tahun 2010. Dari sisi konsumsi, pertumbuhan penduduk dan pergeseran pola konsumsi minyak nabati dunia dari minyak kedelai ke minyak sawit juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan permintaan CPO dunia. Pergerakan harga CPO Internasional selama bulan Januari 2000-April 2012 berfluktuasi dengan tren yang terus meningkat Gambar 18. Pada periode itu, pertumbuhan harga bulanan growth month to month tertinggi terjadi pada bulan Juli 2001, dimana harga CPO internasional meningkat 24.9 dari bulan sebelumnya dan sebaliknya penurunan harga terbesar terjadi pada bulan Oktober 2008 dimana harga turun hingga 24.0 dari bulan sebelumnya. Kenaikan harga CPO dunia pada tahun 2001 merupakan dampak dari penurunan produksi sejak tahun 1999 yang diakibatkan pengaruh kemarau panjang yang melanda Malaysia dan Indonesia. Pada tahun 2006, harga CPO Internasional mengalami kenaikan akibat kenaikan permintaan dari Cina dan India yang merupakan importir terbesar selain negara-negara Eropa. Selain itu, kenaikan harga CPO internasional juga disebabkan tingginya harga minyak bumi yang mendorong peningkatan penggunaan bioetanol yang antara lain diproduksi dari minyak sawit. Kenaikan harga terus berlanjut pada tahun 2007 dan triwulan pertama 2008, dimana harga CPO internasional pada bulan Maret 2008 mencapai Rp 11 577kg, yang merupakan harga tertinggi sejak tahun 2000. Lonjakan harga pada periode itu disebabkan kenaikan permintaan dari industri bioetanol di India dan Cina. Pada tahun 2007 tersebut, pemerintah India mengeluarkan kebijakan berupa pemberian subsidi bagi penggunaan minyak nabati yang digunakan untuk bahan bakar Bachtiar, 2010. Setelah mengalami puncak kenaikan harga pada triwulan pertama tahun 2008 tersebut, harga CPO internasional mulai mengalami penurunan sejalan dengan perlambatan perekonomian dunia yang berdampak terhadap pengurangan permintaan CPO dari negara-negara importir. Penurunan harga juga disebabkan anjloknya harga minyak mentah dunia sehingga penggunaan minyak sawit sebagai bioetanol juga ikut berkurang. Penurunan harga terjadi sejak bulan Mei 2008 hingga akhir tahun 2008. Harga CPO internasional pada bulan Oktober 2008 sebesar Rp 5 476kg yang mendekati harga awalnya sebelum terjadi lonjakan harga pada awal tahun 2007. Pada tahun 2009, meskipun terlihat adanya kenaikan harga namun jauh lebih kecil dibandingkan pada tahun sebelumnya. Meskipun demikian, perkembangan harga CPO menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Rendahnya harga CPO internasional pada tahun 2009 masih merupakan dampak dari penurunan harga yang terjadi pada akhir 2008. Menghadapi rendahnya harga CPO internasional, pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk melakukan peremajaan kebun kelapa sawit yang berakibat turunnya pasokan CPO dari kedua negara tersebut ke pasar CPO dunia. Pasokan CPO Indonesia pada tahun 2009 berkurang hingga 75.000 ton sementara Malaysia berkurang 500.000 ton Bachtiar, 2010. Memasuki tahun 2010, pertumbuhan produksi minyak sawit dunia melambat karena adanya penurunan produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berakibat penurunan produksi dan pasokan ekspor. Hal ini menyebabkan harga CPO internasional mulai menunjukkan peningkatan