Dampak Guncangan Harga di Medan

di Surabaya dengan kota-kota lainnya. Hasil estimasi menghasilkan koefisien ECT + dan ECT - Yang menarik dari model tersebut adalah koefisien ECT sesuai yang diharapkan, yaitu mempunyai tanda negatif dan bernilai antara 0 dan 1 serta signifikan mempengaruhi model. Tanda negatif pada koefisien menujukkan jika deviasi yang menyebabkan margin harga antar kedua kota lebih besar dari keseimbangan maupun deviasi yang menyebabkan margin harga antara kedua kota lebih kecil dari keseimbangan keduanya akan dikoreksi. + yang lebih besar dari ECT - pada seluruh persamaan kecuali pada persamaan harga di Medan. Koefisien ECT + merupakan faktor koreksi terhadap deviasi pada jangka pendek yang disebabkan penurunan harga minyak goreng di Surabaya yang menyebabkan margin harga antara kedua pasar berada di atas keseimbangan harga minyak goreng di pasar lokal menjadi lebih tinggi dari harga yang seharusnya pada kondisi keseimbangan jangka panjang. Koefisien ECT + Perbedaan koefisien ECT yang lebih besar berarti besaran koreksi persentase karena data dalam bentuk log setiap periodenya juga lebih besar sehingga koreksi berlangsung lebih cepat. Hal ini seolah-olah menunjukkan jika pelaku pasar minyak goreng tidak mencoba mempertahankan margin yang lebih besar dari keseimbangan. Peningkatan margin ini dapat disebabkan oleh penurunan harga minyak goreng di Surabaya. Sebaliknya pasar di berbagai kota merespon dengan lebih lambat terjadinya kenaikan harga minyak goreng di Surabaya. + dan ECT - perlu diuji secara statistik untuk menunjukkan apakah perbedaan perbedaan respon harga di setiap kota terhadap kenaikan harga di Surabaya secara signifikan memang berbeda dengan ketika harga turun melalui uji Wald terhadap kedua koefisien tersebut pada masing- masing persamaan ECM. Hipotesis nol yang diuji adalah koefisien ECT + dan ECT - adalah sama. Hasil pengujian menunjukkan jika hipotesis nol pada seluruh pengujian tidak dapat ditolak sehingga dapat disimpulkan jika transmisi harga yang berlangsung dari pasar Surabaya ke Medan, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bandung, Pontianak dan Makasar berlangsung simetris. Hasil ini mengindikasikan jika pasar minyak goreng antar kota yang dianalisis berjalan efisien. Dengan demikian, sistem distribusi minyak goreng yang lebih terbuka di Indonesia saat ini terbukti tidak menimbulkan kerugian bagi pelaku pasar dan terutama bagi konsumen. X. KESIMPULAN DAN SARAN

10.1 Kesimpulan

Dari analisis pergerakan harga CPO internasional, CPO domestik, minyak goreng domestik serta pergerakan harga minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pergerakan harga CPO internasional, CPO domestik dan minyak goreng domestik pada periode bulan Januari 2000-April 2012 mempunyai pola pergerakan yang cenderung sama yaitu cenderung fluktuatif dengan tren meningkat dari tahun ke tahun. Fluktuasi tertinggi terjadi pada harga CPO internasional CV=11.64, sementara itu harga minyak goreng lebih stabil dari harga CPO CV=6.29. Fluktuasi harga CPO domestik dan minyak goreng domestik menyebabkan spread harga antara kedua komoditas tersebut juga berfluktuasi. Kenaikan harga CPO akan mengurangi spread harga, dan sebaliknya penurunan harga CPO menyebabkan spread kembali naik. Dengan demikian dapat disimpulkan jika kenaikan harga CPO cenderung merugikan baik bagi konsumen maupun produsen minyak goreng. 2. Pada umumnya harga minyak goreng di 10 kota besar pada periode bulan Januari 2000-April 2012 menunjukkan arah pergerakan yang sama dan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Harga rata-rata terendah terjadi di Medan sebesar Rp 6 408kg dan tertinggi di Denpasar Rp 7 381kg. Pergerakan harga yang paling fluktuatif terjadi di Pekanbaru dengan CV sebesar 10.65 dan yang paling stabil adalah Jakarta dengan CV sebesar 7.22. Keragaman harga minyak goreng di seluruh kota yang dianalisis lebih tinggi dari keragaman harga minyak goreng secara nasional. Sementara itu terkait dengan integrasi pasar diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :