lebih besar dalam perluasan areal dan produksi minyak sawit. Pada tahun 2009, luas areal perkebunan kelapa sawit yang dimiliki perusahaan swasta, baik nasional
maupun asing yang beroperasi di Indonesia adalah 4.181.369 hektar di seluruh Indonesia, atau mencapai 53 persen dari luas total areal kelapa sawit di Indonesia
Gambar 16
Gambar 16 Perbandingan luas areal perkebunan kelapa sawit menurut pengusahaan tahun 2011
Sumber: Ditjenbun, 2011
Hingga saat ini areal kelapa sawit telah tersebar di 20 propinsi. Sebagai tempat awal perkembangan perkebunan kelapa sawit, pulau Sumatera mempunyai
areal kelapa sawit terbesar dengan luas mencapai 66 dari total luas areal kelapa sawit di Indonesia. Pembukaan hamparan dalam skala luas di kawasan barat
Indonesia saat ini mulai sulit dilakukan, sehingga investasi perkebunan kelapa sawit mulai mengarah ke kawasan timur Indonesia.
Tabel 4 Persebaran areal kelapa sawit menurut pengusahaan tahun 2009 Wilayah
Luas Areal Ha Perkebunan
Rakyat Perkebunan
Negara Perkebunan
Swasta
Sumatera 2 481 347
509 866 2 230 611
Jawa 6 795
17 079 3 289
Bali, NTB dan NTT Kalimantan
468 008 62 874
1 824 648 Sulawesi
79 510 15 766
116 103 Maluku
Papua dan Papua Barat 25 753
24 927 6 718
INDONESIA 3 061 413
630 512 4 181 369
Sumber : Ditjenbun 2011, diolah
Dari tabel 4 terlihat investasi perkebunan yang dilakukan pihak swasta baik nasional maupun asing banyak dilakukan di Kalimantan dan Sulawesi namun
belum banyak dilakukan di Papua dimana kepemilikan perkebunan kelapa sawit di Papua maupun Papua Barat masih didominasi oleh perkebunan negara.
Ditinjau dari sisi pemasarannya, dari ketiga pelaku perkebunan kelapa sawit hanya perkebunan rakyat yang menjual produksinya dalam bentuk TBS,
sementara perkebunan negara dan perkebunan swasta telah terintegrasi dengan unit usaha pengolahan minyak sawit yang dimiliki masing-masing perusahaan.
Pengolahan TBS dari perkebunan rakyat di luar program PIR harus dikumpulkan terlebih dahulu melalui agen sebelum dapat diolah di pabrik pengolahan kelapa
sawit karena pada umumnya produksi dari masing-masing kebun petani jumlahnya tidak banyak.
--- Rantai nilai ;
__
Gambar 17 Rantai Pasok dan Rantai Nilai Kelapa Sawit
Rantai pasok
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
Agen
PPKS PTPN PPKS Swasta
KPB-PTPN Divisi
Marketing
Perusahaan Trading
Konsumen Domestik
Konsumen Luar Negeri
Kelapa Sawit
CPO
Minyak Goreng Oleokimia
Bioetanol dll
Rantai pasok CPO menampilkan Pabrik pengolahan Kelapa Sawit mengolah TBS menjadi minyak sawit mentah CPO dan minyak inti sawit PKO. CPO
yang diproduksi oleh perkebunan negara dipasarkan melalui Kantor Pemasaran Bersama KPB-PTPN melalui sistem lelang, sementara pemasaran CPO pada
perusahaan perkebunan swasta dilakukan oleh divisi pemasaran masing-masing perusahaan. Di dalam negeri, industri minyak goreng sawit merupakan konsumen
terbesar disamping industri lain, seperti biofuel dan oleokimia. Sementara ekspor CPO juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri turunan kelapa
sawit di berbagai negara importir Gambar..
5.2 Profil Industri Pengolahan CPO
Industri pengolahan kelapa sawit merupakan subsistem dalam agribisnis kelapa sawit yang mempunyai peranan penting pada tahap pasca panen. Hal ini
terkait dengan sifat kelapa sawit yang mudah mengalami penurunan mutu setelah di panen. Standar mutu kelapa sawit antara lain ditentukan oleh kadar asam
lemak bebas ALB yang akan sangat berpengaruh terhadap mutu CPO yang dihasilkan. ALB merupakan hasil dari reaksi hidrolisa minyak. Kadar ALB akan
semakin meningkat jika jangka waktu antara pemanenan dengan pengolahan juga semakin lama. Kenaikan kadar ALB akan menurunkan mutu minyak yang
dihasilkan. Oleh karena itu tandan buah segar harus sesegera mungkin dibawa dan diolah di pabrik pengolahan minyak sawit.
Industri perkebunan kelapa sawit yang dimiliki perusahaan besar negara dan perusahaan besar swasta sudah terintegrasi dengan pabrik pengolahan minyak
kelapa sawit sehingga perdagangan kelapa sawit pada kedua perusahaan ini dilakukan dalam bentuk CPO dan atau PKO. Kondisi ini berbeda dengan
perkebunan rakyat. Tandan buah segar dari perkebunan rakyat dipasarkan melalui pengumpul sebelum dapat diproses pada unit pengolahan minyak sawit yang
dimiliki perusahaan besar negara atau perusahaan besar swasta. Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia juga diikuti oleh
perkembangan industri pengolahan minyak kelapa sawit. Jumlah industri pengolahan kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004,
terdapat 320 industri pengolahan minyak sawit dengan total kapasitas 13.520 ton TBSjam yang tersebar di 19 propinsi di Indonesia Ditjenbun, 2004. Pada tahun
2008, jumlah ini mengalami kenaikan hampir dua kali lipatnya menjadi 608 unit dengan total kapasitas mencapai 34.280 ton TBSjam dan telah tersebar di 22
propinsi Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah Industri Pengolahan Kelapa Sawit CPO dan PKO Tahun 2008
No Propinsi
Jumlah PPKS Kapasitas
ton TBSjam
1 NAD
25 980
2 Sumatera Utara
92 3 815
3 Sumatera Barat
26 1 645
4 Riau
140 6 660
5 Kepulauan Riau
1 40
6 Jambi
42 2 245
7 Sumatera Selatan
58 3 555
8 Kepulauan Bangka Belitung
16 1 235
9 Bengkulu
19 990
10 Lampung
10 375
11 Jawa Barat
1 30
12 Banten
1 60
13 Kalimantan Barat
65 5 475
14 Kalimantan Tengah
43 3 100
15 Kalimantan Selatan
15 770
16 Kalimantan Timur
29 1 545
17 Sulawesi Tengah
7 590
18 Sulawesi Selatan
2 150
19 Sulawesi Barat
6 260
20 Sulawesi Tenggara
3 260
21 Papua
3 140
22 Papua Barat
4 360
TOTAL 608
34 280
Sumber : Dewan Kelapa Sawit
Jumlah PPKS di tiap wilayah berbanding lurus dengan luas areal kelapa sawit yang ada. Ditinjau dari persebarannya, sekitar 71 industri pengolahan
minyak sawit berada di Sumatera, 25 berada di Kalimantan dan sisanya tersebar di Jawa, Sulawesi dan Papua. Industri pengolahan minyak sawit di wilayah
Sumatera telah tumbuh cukup lama sejalan dengan pertumbuhan areal kelapa sawit di wilayah ini, terutama di Riau dan Sumatera Utara. Sementara itu, sejalan
dengan investasi perkebunan kelapa sawit yang banyak dilakukan di kawasan timur Indonesia juga diikuti pembangunan industri pengolahan kelapa sawit di
kawasan ini. Meskipun jumlah industri pengolahan yang dibangun di Kalimantan, Sulawesi dan Irian belum sebanyak yang ada di Sumatera, tetapi pabrik
pengolahan minyak sawit di ketiga wilayah ini rata-rata mempunyai kapasitas produksi yang lebih besar dengan rata-rata kapasitas produksi setiap pabrik adalah
68,7 ton TBSjam, sementara rata-rata kapasitas produksi pabrik pengolahan minyak sawit di Sumatera adalah 51,3 ton TBSjam.
5.3 Profil Industri Minyak Goreng di Indonesia
Agroindustri minyak goreng sawit merupakan industri yang mempunyai kedudukan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik, baik
untuk kebutuhan masyarakat maupun industri pangan. Seiring dengan pergeseran pola konsumsi minyak nabati masyarakat Indonesia dari minyak kelapa ke minyak
sawit, maka perkembangan industri minyak goreng sawit juga menjadi semakin penting. Sejak Pelita I hingga tahun 1974, industri minyak goreng nasional masih
menggunakan kopra sebagai bahan baku. Pada era tersebut pangsa pasar minyak goreng kelapa pada pasar minyak goreng domestik mencapai 90 sementara
minyak goreng sawit hanya sekitar 10 Amang, 1996. Selain didorong oleh peningkatan produksi CPO di Indonesia, perkembangan industri minyak goreng
sawit juga disebabkan biaya produksi minyak goreng sawit yang lebih rendah dibandingkan minyak goreng kelapa.
Industri minyak goreng sawit telah berkembang lama di beberapa wilayah di pulau Sumatera seperti di Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan. Produksi
CPO di ketiga wilayah ini mencapai lebih dari 11 juta ton pada tahun 2009 Tabel 6 dengan jumlah industri minyak goreng sawit sebanyak 26 unit pabrik pengolah
minyak goreng sawit. Di wilayah pulau Kalimantan juga mulai tumbuh sentra- sentra industri minyak goreng sawit, terutama di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. Namun demikian produksi CPO di wilayah ini belum terlalu tinggi karena usia perkebunan kelapa sawit yang relatif masih muda sehingga
belum berproduksi secara maksimal. Pembangunan industri minyak goreng di wilayah yang juga sentra kelapa sawit merupakan salah satu bentuk efisiensi
karena dapat menekan biaya transportasi bahan baku.