Estimasi Model Integrasi Pasar CPO Internasional dan Pasar Minyak Goreng

mengindikasikan jika harga minyak goreng berada di bawah keseimbangan jangka panjangnya sehingga margin antara harga CPO domestik dengan harga minyak goreng juga lebih rendah dari kondisi keseimbangannya. Dari persamaan asimetris pada Tabel 26 di atas terlihat jika dalam jangka pendek harga minyak goreng domestik secara signifikan dipengaruhi oleh harga CPO domestik. Perubahan harga CPO domestik sebesar 1 akan menyebabkan perubahan sementara pada harga minyak goreng sebesar 0.27. Koefisien ECT yang tersegmentasi maupun yang tidak tersegmentasi mempunyai tanda negatif sebagaimana yang diharapkan, yang menunjukkan adanya koreksi terhadap deviasi yang terjadi pada jangka pendek. Pada persamaan asimetri, variabel ECT - terlihat memberikan pengaruh yang lebih besar dari ECT + Koefisien ECT negatif lebih besar dari ECT positif berarti deviasi yang menyebabkan margin harga CPO domestik dengan minyak goreng yang lebih kecil dari keseimbangan akan dikoreksi lebih cepat dari deviasi yang menyebabkan margin antara kedua harga tersebut lebih besar dari kondisi keseimbangan. Dalam hal ini, produsen dan distributor minyak goreng akan bereaksi lebih cepat ketika terjadi kenaikan harga CPO dengan menaikkan harga minyak goreng, sebaliknya ketika terjadi penurunan harga CPO produsen dan distributor menikmati kenaikan margin dan tidak memberikan respon berupa penurunan harga minyak goreng dengan kecepatan yang sama ketika terjadi kenaikan harga CPO. Margin antara harga minyak goreng dengan harga CPO domestik mencerminkan keuntungan yang diperoleh pelaku pasar produsen dan distributor minyak goreng. . Terjadinya deviasi negatif akan dikoreksi sebesar 0.19 setiap bulan, sementara jika terjadi deviasi positif hanya akan dikoreksi sebesar 0.16 setiap bulan. Meskipun terdapat perbedaan koefisien antara variabel ECT positif dan ECT negatif, secara statistik perlu diuji apakah respon dari pasar minyak goreng terhadap perubahan harga CPO memang berbeda nyata terhadap adanya kenaikan dan penurunan margin harga. Tabel 27 menampilkan hasil pengujian terhadap koefisien ECT positif dan ECT negatif dengan metode Wald. Dari pengujian tersebut terlihat jika hipotesis nol bahwa kedua koefisien sama tidak dapat ditolak, sehingga meskipun koefisien kedua variabel berbeda, namun secara statistik kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang sama terhadap perubahan harga minyak goreng domestik, dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat APT dalam transmisi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik transmisi berjalan simetris. Tabel 27 Hasil Uji Wald Uji Statistik Nilai df Probabilitas F-statistic 0.109313 1, 141 0.7414 Chi-square 0.109313 1 0.7409 Keterangan:H : Koefisien ECT + = Koefisien ECT - Transmisi harga yang berjalan simetris antara harga CPO domestik dengan harga minyak goreng menunjukkan tidak adanya market power yang dimanfaatkan oleh industri minyak goreng sawit dalam menetapkan harga sehingga pasar berjalan efisien. Perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan baik dari jumlah pelaku maupun kapasitas industrinya. Hal ini berdampak pada perubahan struktur pasar industri minyak goreng sawit menjadi semakin tidak terkonsentrasi. Pada tahun 1997, struktur pasar industri minyak goreng sawit mempunyai konsentrasi yang cukup tinggi, yang ditunjukkan dari angka CR-4 yang mencapai 0.65-0.80 Erdiman, 2001. Angka CR-4 industri minyak goreng sawit pada tahun 2010 turun menjadi 42.6 KPPU, 2010. Pasar yang semakin tidak terkonsentrasi dapat meningkatkan efisiensi pasar dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. IX. INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA Meskipun industri minyak goreng sawit telah tersebar di 19 propinsi, sentra produksi minyak goreng yang utama masih terpusat di Indonesia bagian barat, yaitu di Sumatera dan Jawa. Integrasi spasial pada pasar domestik untuk komoditas minyak goreng menyebabkan perubahan harga yang terjadi di wilayah produsen akan ditransmisikan ke wilayah konsumen. Pasar di wilayah konsumen yang tidak terintegrasi dengan wilayah produsen cenderung akan merugikan konsumen karena perubahan harga di wilayah produsen tidak ditransmisikan sehingga harga di wilayah konsumen cenderung sulit untuk turun.

9.1 Pengujian Stasioneritas Data

Sebagaimana prosedur yang dilaksanakan dalam analisis integrasi pasar vertikal, langkah pertama adalah pengujian terhadap stasioneritas data harga minyak goreng di setiap kota yang dianalisis karena adanya dugaan bahwa data harga minyak goreng di 10 kota yang dianalisis dalam penelitian ini bersifat non stasioner. Jika terdapat akar unit berarti data tersebut non stasioner. Pengujian stasioneritas dilakukan pada level dan first difference dan menggunakan metode ADF. Spesifikasi model yang dipilih untuk tingkat level adalah model dengan konstansta dan tanpa trend. Tabel 28 Hasil Pengujian Stasioneritas Data Variabel Harga log ADF Test Pada Level ADF Test Pada First Difference Medan LMGMDN -1.06 lag 0 - 11.18 lag 0 Pekanbaru LMGPKB -1.86 lag 0 - 11.77 lag 0 Palembang LMGPLB -0.60 lag 0 - 11.69 lag 0 Jakarta LMGJKT -1.02 lag 0 - 13.20 lag 0 Bandung LMGBDG -0.91 lag 0 - 11.82 lag 0 Semarang LMGSMR -1.03 lag 0 - 11.55 lag 0 Surabaya LMGSBY -1.03 lag 0 - 11.08 lag 0 Denpasar LMGDPS -1.60 lag 0 - 11.46 lag 0 Pontianak LMGPTK -0.89 lag 0 - 10.35 lag 0 Makasar LMGMKS -0.57 lag 0 - 10.31 lag 0 Critical Value 1 5 10 -3.48 -2.88 -2.58 -2.58 -1.94 -1.62 Keterangan: Panjang lag optimal berdasarkan Akaike’s Information Criterion AIC, Hipotesis H : Series mempunyai akar unit nonstasioner, tanda berarti H ditolak data stasioner