Latar Belakang Market Integration and Price Transmission on the CPO and Cooking Oil Markets in Indonesia
Ditinjau dari pengusahaannya, lahan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh tiga pihak yaitu Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat.
Pada awal perkembangannya, perkebunan kelapa sawit didominasi oleh Perkebunan Negara. Namun sejak tahun 80-an, perkebunan swasta menunjukkan
perkembangan yang sangat pesat karena dukungan pembiayaan perbankan pada saat itu. Dalam waktu 10 tahun, luas perkebunan swasta telah melebihi luas
perkebunan negara. Demikian pula Perkebunan Rakyat yang menunjukkan perkembangan luas areal yang juga pesat Gambar 3. Pada tahun 2010, luas
areal perkebunan swasta mencapai 54 4.3 juta hektar. Sementara luas perkebunan rakyat sebesar 38 3.1 juta hektar dan luas areal perkebunan
negara stagnan pada kisaran 0.64 juta hektar
Gambar 3 Perkembangan luas lahan kelapa sawit di Indonesia menurut pengusahaan tahun 1967-2011
Sumber : Ditenbun Kementan, 2011 Namun demikian, peningkatan luas areal pengelolaan lahan kelapa sawit
milik swasta tidak serta merta diikuti pertumbuhan jumlah perusahaan yang terlibat dalam industri kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit tergolong
usaha berskala besar sehingga perusahaan dengan modal yang terbatas akan menghadapi kesulitan untuk memasuki industri ini. Kondisi ini merupakan
bentuk barrier to entry yang akan mempengaruhi struktur pasar industri kelapa sawit. Menurut KPPU 2010, pada tahun 2010 terdapat 5 perusahaan besar yang
menguasai lebih dari 50 luas lahan milik swasta. Adanya penguasaan lahan
oleh sejumlah kecil perusahaan menyebabkan tingginya konsentrasi pada industri pengolahan CPO.
Karakter industri kelapa sawit di Indonesia juga dicirikan oleh tingginya integrasi vertikal antara industri hulu dan hilir kelapa sawit. Menurut KPPU
2010, 68 persen perusahaan dalam industri minyak goreng sawit terintegrasi dengan industri pengolahan minyak sawit dan perkebunan kelapa sawit. Integrasi
secara vertikal memungkinkan perusahaan utama untuk mengatur alokasi CPO sesuai dengan perkembangan harga CPO internasional. Ketika harga CPO
internasional naik, perusahaan akan mengalihkan alokasi CPO industri minyak goreng untuk ekspor, dan sebaliknya ketika harga CPO internasional mengalami
penurunan, CPO diolah pada unit refinery pabrik minyak goreng sawit yang dimiliki perusahaan. Kondisi tersebut menimbulkan peluang market power
dalam industri minyak goreng sawit yang akan mempengaruhi efisiensi pasar minyak goreng dan menciptakan tingkat harga yang cenderung merugikan
konsumen. Perilaku perusahaan dalam mentransmisikan perubahan harga CPO harga
input industri minyak goreng sawit kepada harga minyak goreng dapat menunjukkan digunakan atau tidaknya market power industri minyak goreng
sawit dalam penetapan harga. Jika transmisi harga CPO dan minyak goreng berjalan asimetris berarti terjadi perbedaan respon harga minyak goreng antara
ketika harga CPO mengalami kenaikan dengan ketika harga CPO turun. Dampak dari transmisi harga asimetris ini sering dirasakan konsumen sebagai hal yang
merugikan karena harga minyak goreng cepat mengalami kenaikan ketika harga CPO naik, namun ketika harga CPO turun, harga minyak goreng tidak mengalami
penurunan yang signifikan. Secara geografis, sentra industri minyak goreng sawit di Indonesia saat ini
telah tersebar di 19 propinsi, namun wilayah penghasil minyak goreng utama masih terkonsentrasi di bagian barat Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau dan
Jawa Timur. Minyak goreng yang diproduksi di wilayah sentra industri minyak goreng tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat
di wilayah itu saja. Misalnya di wilayah Sumatera Utara, produksi minyak goreng di propinsi tersebut pada tahun 2008 mencapai 3 085 250 ton. Sementara
kebutuhan minyak goreng di propinsi tersebut hanya 127 596 ton atau hanya sekitar 6 dari total produksi KPPU, 2010. Lebih dari 90 minyak goreng
yang diproduksi di Sumatera Utara digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di propinsi lainnya. Demikian pula dengan Jawa Timur sebagai
salah satu sentra produksi minyak goreng di luar Sumatera, menurut KPPU 2010, produksi minyak goreng di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai
906 800 ton. Sebagian dari minyak goreng Jawa Timur juga didistribusikan ke daerah lain.
Pemasaran minyak goreng dari wilayah produsen ke wilayah lain merupakan salah satu faktor terciptanya integrasi pasar minyak goreng antar
wilayah di Indonesia. Integrasi pasar diindikasikan dengan adanya keterkaitan harga di satu pasar dengan pasar lainnya. Jika pasar minyak goreng antar wilayah
di Indonesia terintegrasi secara spasial, maka disparitas harga antar wilayah hanya akan dipengaruhi oleh biaya transportasi dari wilayah produsen ke wilayah
konsumen. Integrasi pasar merupakan salah satu indikasi bahwa pasar minyak goreng berjalan efisien.
Reformasi perekonomian di Indonesia yang mengarah kepada sistem yang lebih terbuka membawa konsekuensi berkurangnya intervensi pemerintah dalam
perdagangan komoditas pertanian. Liberalisasi pada pasar komoditas pertanian dipandang perlu untuk mencapai efisiensi alokatif dan pertumbuhan jangka
panjang dalam bidang pertanian. Namun manfaat dari liberalisasi bagi produsen dan konsumen hanya akan terjadi jika pasar komoditas pertanian terintegrasi
secara spasial, dimana sinyal harga ditransmisikan secara tepat melalui saluran pemasaran sehingga petani dapat melakukan spesialisasi menurut keunggulan
komparatif dalam jangka panjang Gosh, 2010. Pada pasar yang terintegrasi, stabilitas harga akan dicapai melalui mekanisme pasar yang akan menuju
keseimbangan penawaran dan permintaan. Distribusi minyak goreng di Indonesia telah mengalami perubahan dimana
sejak era reformasi peran pemerintah dalam pengendalian harga eceran minyak goreng telah banyak tereduksi. Sebelum tahun 1998, Bulog mempunyai
wewenang dalam pengaturan distribusi dan stok minyak goreng di Indonesia. Intervensi pemerintah ini mampu menjaga stabilitas harga minyak goreng. Salah
satu indikasinya terlihat dari perkembangan harga minyak goreng yang stabil dibawah Rp 2 000,00kg selama 5 tahun 1993-1998 Data CEIC dalan Bank
Indonesia, 2008. Setelah wewenang Bulog sebagai stabilisator harga diubah pada tahun 1998, pasar minyak goreng di Indonesia dewasa ini menjadi lebih
kompetitif. Dengan adanya perubahan tersebut, setelah tahun 2000, produsen dan distributor minyak goreng antar wilayah mempunyai peranan dalam
mentransmisikan perubahan harga minyak goreng di wilayah acuan ke suatu pasar lokal. Transmisi harga yang berjalan simetris dari pasar acuan ke pasar lokal
menggambarkan jika pasar minyak goreng berjalan efisien. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka dirumuskan
beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu : 1. Bagaimanakah pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik,
harga minyak goreng domestik serta harga minyak goreng sawit curah di beberapa kota di Indonesia?
2. Bagaimanakah integrasi antara pasar CPO dunia dengan pasar CPO domestik, antara pasar CPO domestik dengan pasar minyak goreng domestik serta
integrasi spasial antar pasar minyak goreng di beberapa kota di Indonesia? 3. Bagaimanakah dampak perubahan mekanisme pajak ekspor CPO terhadap
integrasi pasar CPO dunia dan domestik? 4. Bagaimana dampak terjadinya shock pada suatu pasar terhadap pasar yang
lain, baik yang terintegrasi secara vertikal maupun spasial? 5. Bagaimanakah transmisi harga yang berlangsung secara vertikal dan spasial?