Permasalahan Penelitian Market Integration and Price Transmission on the CPO and Cooking Oil Markets in Indonesia

Model . Analisis dilanjutkan dengan melihat transmisi harga yang berlangsung. Analisis transmisi harga vertikal dilakukan secara bivariate antara harga minyak goreng masing-masing dengan harga CPO internasional dan harga CPO domestik. Analisis transmisi harga spasial dilakukan antara masing-masing pasar lokal dengan pasar acuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui analisis kausalitas. Model-model yang diperoleh dari hasil estimasi kemudian dianalisis dan digunakan untuk mengambil kesimpulan. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian

Fluktuasi harga merupakan permasalahan umum pada pemasaran produk pertanian. Menurut KohlsUhl 2002, penyebab instabilitas harga komoditas pertanian dapat muncul dari sisi penawaran maupun permintaan. Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara penawaran dan permintaan komoditas tersebut. Menurut Schnepf 2006, keseimbangan antara penawaran dan permintaan dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang muncul dalam pasar. Diantara bentuk kekuatan tersebut adalah preferensi konsumen dan perubahan apa yang diinginkan konsumen akhir, berbagai faktor yang mempengaruhi proses produksi cuaca, biaya input, ancaman kegagalan panen, kebijakan pemerintah serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penyimpanan dan distribusi komoditas pertanian. Pada subsektor perkebunan yang didominasi oleh tanaman keras, fluktuasi harga komoditas perkebunan dapat terjadi karena berbagai faktor yang dapat mempengaruhi produksi, diantaranya adalah iklim dan siklus biologis tanaman. Pada tahun 1991 terjadi musim kering yang cukup lama sehingga menyebabkan penurunan produksi komoditas perkebunan pada tahun 1993. Dampaknya harga beberapa produk perkebunan mengalami kenaikan pada tahun 1994. Fluktuasi harga komoditas perkebunan dipengaruhi penawaran yang inelastis. Tanaman perkebunan pada umumnya mempunyai masa belum menghasilkan pada 3-6 tahun awal penanaman sehingga kenaikan harga pada suatu periode tidak dapat direspon dengan peningkatan produksi pada jangka pendek. Respon peningkatan produksi baru akan terjadi setelah 4-7 tahun. Menurut Oktavianto 2009, Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Sebaliknya, harga sangat fleksibel terhadap penawaran dimana ketika terjadi kelebihan produksi, maka harga akan turun dengan cepat. Gejolak harga CPO di pasar domestik dan pasar dunia juga berkaitan dengan siklus bisnis dan adanya fluktuasi musiman. Menurut KohlsUhl 2002, fluktuasi musiman pada harga tanaman tahunan merupakan akumulasi dari pola musiman pada permintaan, produksi dan pemasaran. Siklus bisnis CPO mempunyai panjang 5-6 tahun. Dalam satu siklus bisnis biasanya mempunyai satu puncak utama dengan panjang sekitar 18-25 bulan dan beberapa puncak minor. Pola fluktuasi musiman harga CPO dalam satu tahun menunjukkan harga tertinggi biasanya terjadi pada bulan Januari yang kemudian turun melandai antara Februari-Mei. Penurunan harga paling tajam terjadi antara Mei hingga Juli dan setelah itu harga mulai mengalami kenaikan hingga bulan DesemberJanuari Dradjat, 2007. Minyak goreng sawit pada pasar minyak goreng domestik diperdagangkan dalam bentuk curah sawit kuning dan kemasan. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia GIMNI menyebutkan bahwa pada tahun 2011, komposisi minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat dan digunakan dalam industri 63 persen berupa minyak goreng curah, minyak goreng kemasan 12 persen dan sisanya 25 persen dalam kemasan drum atau plastik. Data perkembangan harga minyak goreng dari Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa harga minyak goreng curah lebih fluktuatif dibandingkan minyak goreng kemasan Gambar 4. Dari data dalam gambar tersebut diketahui bahwa selama periode 2008-2010, keragaman antar waktu minyak goreng curah mencapai 10,8 , sementara minyak goreng kemasan hanya berkisar 4,3 . Gambar 5 Perkembangan harga minyak goreng curah + dan kemasan x tahun 2008-2010 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2011 Besarnya proporsi penggunaan minyak goreng curah ini menyebabkan harga minyak goreng secara keseluruhan mudah mengalami fluktuasi. Salah satu faktor yang menyebabkan harga minyak goreng curah lebih fluktuatif dibandingkan minyak goreng dalam kemasan adalah karena harga minyak goreng curah sangat mudah dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO internasional dan pola pemasarannya melalui pasar tradisional. Sebaliknya minyak goreng kemasan lebih banyak dipasarkan melalui retail moderen yang mekanisme penetapan harganya telah ditentukan seminggu atau dua minggu sebelumnya.

2.2 Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng

Untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng, berbagai kebijakan dijalankan pemerintah untuk mencegah terjadinya fluktuasi harga. Menurut KPPU 2010, kebijakan stabilisasi harga minyak goreng Indonesia dilakukan melalui intervensi kebijakan pada sisi input dan output. Kebijakan yang ditetapkan pada sisi input meliputi: 1. Domestic Market Obligation DMO Yaitu kebijakan yang mewajibkan produsen CPO untuk mengalokasikan produksinya untuk memasok bahan baku bagi industri minyak goreng. Kebijakan ini merupakan perkembangan dari komitmen antar produsen CPO pada tahun 2007 yang kemudian dilegalisasi melalui SK Menteri Pertanian No 339KptsPD.30052007. 2. Pajak Ekspor Pengenaan pajak terhadap ekspor komoditas CPO ditetapkan dengan tujuan untuk mengendalikan harga CPO domestik. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat menjamin pasokan CPO bagi industri minyak goreng sawit di dalam negeri. Stabilisasi harga CPO yang merupakan bahan baku utama bagi industri minyak goreng sawit akan menjaga stabilitas harga minyak goreng domestik. Kebijakan pajak ekspor CPO telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Kebijakan ini mulai diandalkan pemerintah sebagai salah satu sumber devisa sejak tahun 1994, dimana pada era tersebut perkebunan-perkebunan baru kelapa sawit mulai berproduksi. Pada awal penerapan kebijakan ini, besar pajak ditetapkan mencapai 40-60 persen. Dalam perkembangannya, penetapan pajak ekspor CPO terus mengalami perubahan. Sejak tahun 2007, formulasi pengenaan pajak ekspor berubah dari single rate menjadi progresif dimana besaran pajak yang dikenakan disesuaikan dengan harga CPO internasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 02M-DagPer22011 46M-DagPer112010 Tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar, tarif bea keluar untuk komoditas kelapa sawit dan turunannya berpedoman kepada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam satu bulan sebelum penetapan harga pungutan ekspor HPE. Perkembangan penetapan pajak ekspor CPO di Indonesia dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3 Keterkaitan Harga CPO Internasional dengan Penetapan Besaran Pajak Ekspor Waktu Bentuk Kebijakan Harga CPO Internasional Sep 1994 PE CPO sebesar 40-60 Harga CPO internasional melonjak dari 494 Jul 1994 menjadi 719 Des 1994 Jul 1997 PE CPO turun hingga 5 Harga CPO internasional 498 terendah sejak Jul 1994 Des 1997 PE CPO naik menjadi 30 Harga CPO Internasional naik 566 Feb 1998 Larangan ekspor CPO Harga Internasional 659 Apr 1998 Larangan ekspor CPO dicabut. PE 40 Harga internasional mencapai puncak pada bulan Mei 1998 705 Jul 1998 PE dinaikkan menjadi 60 Harga CPO Internasional turun pada Bulan Jul 1998 661 Jun 1999- Feb 2001 PE diturunkan bertahap dari 30 Jul 1999 menjadi 3 Feb 2001 Harga CPO Internasional terus turun dari 392 Jun 1999 menjadi 240Feb 2001 Sep 2007 PE ditetapkan progresif mengacu kepada harga Rotterdam bulan sebelumnya Sumber : Kementerian Perdagangan 2008 Selain dari sisi input, upaya stabilisasi harga minyak goreng juga dilakukan dari sisi output, melalui kebijakan-kebijakan sebagai berikut : 1. Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah PPNDP Kebijakan PPNDP bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga minyak goreng nasional melalui konversi bentuk minyak goreng curah menjadi