Penelitian Partisipatif Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir Studi kasus Teluk Lampung
40 berikutnya, yaitu: 3 menetapkan kebijakan, 4 implementasi, dan 5
monitoring. Bila kedua tahapan proses yang pertama tidak dapat dilakukan secara objektif dan rasional, maka tahapan berikutnya akan menjadi bias dan
menghasilkan kebijakan yang salah McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996; Taussik 2004; Rustiadi et al. 2009.
Diketahui bahwa selama ini data merupakan titik lemah dalam perencanaan, dimana sangat sulit untuk mendapatkan data yang lengkap dan
akurat Fedra 2004; Håkanson dan Duarte 2008; Martin dan Hall-Arber 2008. Sistem informasi yang handal seharusnya dapat memberikan data yang berkualitas
bagi proses perencanaan, namun sayangnya justru sistem informasi tersebut belum tersedia. Data yang ada umumnya hanya bersifat “resmi” seperti yang dikeluarkan
oleh BPS, namun kelengkapan dan kualitasnya sering diragukan. Ketidaktersediaan data dan informasi yang memadai tersebut merupakan salah
Gambar 8 Sistem Penataan Ruang Rustiadi et al. 2009
Pengendalian Tata Ruang
Perencanaan Tata Ruang
Implementasi Rencana
Tujuan
Outcome
Monitoring, evaluasi Izin, insentif dan disinsentif, pengaturan zonasi dan sanksi
Implementasi dan ,
pembiayaan Revisi, perencanaan
kembali
= Aliran Tindakan = Aliran Informasi
41 satu permasalahan mendasar yang menjadikan proses perencanaan tata ruang
selama ini menjadi titik lemah dalam penataan ruang.
Di sisi lain proses perencanaan selama ini dilakukan adalah melalui pendekatan perencanaan rasional, yang didasari pada logika rasional dan teori-
teori. Pendekatan rasional pada dasarnya sangat bersifat ilmiah dan lintas disiplin, sehingga sangat dipercaya akan mampu menghasilkan suatu perencanaan yang
baik dan komprehensif. Namun demikian, pendekatan rasional membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang lengkap untuk dapat membuat keputusan-
keputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif. Pendekatan rasional yang Gambar 9 Struktur Penyelenggaraan Penataan Ruang Rustiadi et al. 2009
Ruang dan sumberdaya-sumberdaya dalam ruang Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah Penyelenggaraan Penataan Ruang
Pengaturan
Pembinaan Pengawasan
Pelaksanaan
Perencanaan Pengendalian
Pemanfaatan
42 juga disebut sebagai pendekatan komprehensif, menjadi tidak berarti tanpa
ketersediaan pengetahuan data dan informasi yang lengkap, dan akan sulit menghasilkan suatu perencanaan yang baik. Pada kenyataannya, justru prasyarat
harus tersedianya data dan informasi yang lengkap tersebut tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu penekanan pada pendekatan rasional semata, juga memberikan
sumbangan signifikan, sehingga menjadikan ”proses” sebagai titik lemah dalam perencanaan tata ruang. Pada gilirannya, perencanaan yang dihasilkan berkualitas
buruk dan tidak dapat diimplementasikan. Untuk menanggulangi lemahnya proses perencanaan tata ruang, maka
harus disediakan data dan informasi yang lengkap dan handal dengan cara menggalinya secara langsung dari pemangku kepentingan. Untuk mengakses data
dan informasi dari pemangku kepentingan, maka pendekatan perencanaan rasional harus dimodifikasi menjadi lebih bersifat partisipatif dengan melibatkan
pemangku kepentingan, sehingga membentuk suatu perencanaan konsensus. Dengan demikian, data dan informasi primer yang diperlukan bagi proses
perencanaan akan dapat dipenuhi Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Taussik 2004; Walz et al. 2007; Martin dan Hall-Arber 2008;
Rustiadi et al. 2009; Schumann 2010. Filosofi dibalik perencanaan tata ruang yang umum dipraktekkan adalah
sangat mengarah pada konsep perencanaan induk tetap fixed master plan. Dalam filosofi tersebut perencanaan dipandang sebagai kegiatan produksi rencana-
rencana yang ditunjukkan dengan pernyataan detil kondisi masa depan yang disusun dalam urutan sekuen yang sederhana, dan akan dicapai dalam waktu
tertentu. Pada kenyataannya pendekatan tersebut dalam banyak hal menemui kegagalan, karena tingginya kompleksitas masing-masing komponen dan interaksi
yang terlibat di antaranya, sehingga harus selalu direvisi dan disesuaikan dengan kenyataan McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996.
Pendekatan sistem dalam perencanaan diturunkan dari konsep sibernetika yang dikembangkan oleh Wiener 1948 in Hall 1996. Dalam pendekatan ini,
fenomena sosial, ekonomi, biologi, dan fisik, dipandang sebagai sistem kompleks yang saling berinteraksi McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996;
O’Connor dan McDermott 1997; Taussik 2004, dengan demikian semua bagian
43 sistem dan interaksinya tersebut dapat dipelajari secara tegas sekaligus
menyeluruh. Cara pandang tersebut membuka peluang untuk mengubah prilaku sistem ke arah tujuan yang diinginkan, melalui mekanisme kontrol tertentu.
Dalam cara pandang sistem, wilayah akan “mengembangkan” diri sesuai dengan wujud respon dari beragam pengaruh perencanaan tata ruang yang dibuat
McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Walz et al. 2007. Konsep dari perencanaan dengan pendekatan sistem adalah ide dasar interaksi antara dua sistem paralel
yaitu sistem perencanaan itu sendiri, dan sistem yang ‘akan’ mengontrol perencanaan yang dibuat Hall 1996. Keberadaan dua sistem paralel tersebut
membentuk lingkaran loop, oleh karena itu perencanaan tata ruang dalam pandangan sistem merupakan suatu proses siklikal McLoughlin 1970; Chadwick
1971; Hall 1996. Melalui pendekatan sistem, wilayah pesisir yang kompleks dengan paduan
daratan dan perairan, dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh, dengan komponen utama terdiri atas populasi penduduk, aktivitas ekonomi, dan
penggunaan ruang tata ruang. Perilaku sistem dapat dipelajari secara komprehensif melalui pemodelan sistem, dan dilakukan intervensi yang mendasari
penyusunan perencanaan Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010. Dengan demikian,
pendekatan sistem diajukan sebagai suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan secara komprehensif.