Teori Sistem Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir Studi kasus Teluk Lampung

34 juga aspek manajerial suatu pabrik Rohmatulloh 2008. Sistem dinamik berkemampuan dalam mengkaji sistem yang berciri kompleks, dinamik, dan probabilistik Sushil 1993; Forrester 1998; Sterman 2002. Kemampuan sistem dinamik yang demikian, sangat membantu dalam penyusunan skenario kebijakan dan pengambilan keputusan dalam kajian sistem kompleks. Dengan demikian dapat dipelajari sifat sistem wilayah pesisir Teluk Lampung. Kemampuan tersebut memudahkan penyusunan skenario perencanaan sistem kompleks, yaitu perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung ditentukan oleh tiga komponen utama yaitu populasi penduduk, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Upaya pemahaman yang utuh dan terpadu dari ketiga komponen adalah sangat penting untuk membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dalam penelitian ini, pendekatan sistem dinamik ditandai oleh dua hal, yaitu: 1 mencari semua faktor penting yang ada untuk menyelesaikan masalah, dan 2 membuat model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Untuk itu, pendekatan sistem dinamik dilakukan dalam beberapa tahap proses yang terdiri dari penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem Grant et al. 1997; Eriyatno 1999. Pemodelan sistem dinamik dilakukan secara determinsitik, untuk membatasi kompleksitas metodologi. Pilihan tersebut dilakukan sebagai kompromi ata keterbatasan ketersediaan data yang diperlukan dalam pemodelan sistem dinamik.

2.4 Penelitian Partisipatif

Terminologi partisipasi paticipation di dalam penelitian, aktivitas perencanaan, dan pengambilan keputusan, semakin banyak digunakan pada berbagai artikel ilmiah. Partisipasi berkonotasi pada keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan pemangku kepentingan terhadap suatu objek. Namun demikian, makna yang dimaksudkan pada berbagai artikel, seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Keberbedaan tersebut bersumber dari sifat dan kedalaman 35 “keterlibatan” pemangku kepentingan dalam berbagai aktivitas seperti penelitian, perencanaan, ataupun pengambilan keputusan. Seperti dalam penelitian, terutama penelitian sosial, secara umum akan melibatkan pemangku kepentingan, baik sebagai responden, pengamat, ataupun pelaksana Cornwall dan Jewkes 1995; Sutherland 1998; Wiber et al. 2004; Walz et al. 2007. Permasalahannya adalah seberapa jauh keterlibatan pemangku kepentingan, sehingga suatu penelitian dapat dikategorikan sebagai penelitian partispatif. Berkaitan dengan kedalaman partisipasi, Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995 menyatakan bahwa partispasi dalam penelitian dapat dibedakan ke dalam empat kelompok, yaitu: 1 Kontraktual, masyarakat dikontrak ke dalam proyek penelitian, dan mengambil peran sebagai objek di dalam penelitian, terutama yang menggunakan percobaan experiment. 2 Konsultatif, masyarakat ditanya opininya oleh peneliti sebelum dilakukan suatu intervensi. 3 Kolaboratif, peneliti dan masyarakat bekerja bersama pada suatu proyek penelitian, namun penelitian tersebut sepenuhnya dirancang, digagas, dan dikelola oleh peneliti. 4 Kolegiat, peneliti dan masyarakat bekerja bersama sebagai kolega dengan masing-masing keahlian yang berbeda, di dalam suatu proses pembelajaran silang mutual learning, dan masyarakat mempunyai kontrol terhadap proses tersebut. Dari keempat kelompok di atas, penelitian kolegiat merupakan tingkat partisipasi yang paling dalam. Lebih lanjut Cornwall dan Jewkes 1995 menyatakan bahwa penelitian partisipatif pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan hak masyarakat sebagai pemilik dan sekaligus objek penelitian, serta memungkinkan masyarakat menyusun agenda-nya sendiri dalam pembangunan. Dengan demikian, penelitian partisipatif dapat menjadi koridor bagi penyusunan kebijakan yang bersifat dari bawah ke atas. Brown et al. 2001 mendefinsikan partisipasi sebagai mengambil bagian atau terlibat secara aktif dalam suatu proses. Oleh karena itu, sesuatu proses dikatakan bersifat partisipatif, hanya bila terdapat keterlibatan aktif dari berbagai 36 pelaku. Berdasarkan pengalaman penelitian dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir, Brown et al. 2001 memberikan tipologi partisipasi sesuai dengan tingkat keterlibatan masyarakat, mulai dari yang sangat dangkal pasif sampai pada bentuk partispasi mandiri. Tipologi partisipasi tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Tipologi partisipasi Bentuk Partisipasi Karakteristik Partisipasi pasif Masyarakat diberi tahu proses yang akan dilakukan atau proses yang sedang berlangsung, melalui pemberitahuan tanpa adanya mekanisme respon. Partisipasi pemberian informasi Masyarakat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan yang diajukan. Masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mempengaruhi proses yang sedang atau akan berlangsung. Partisipasi melalui konsultasi Masyarakat diajak berkonsultasi dan keinginannya didengar, sehingga proses yang akan atau sedang berlangsung dapat sedikit dipengaruhi. Akan tetapi dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Partisipasi untuk insentif material Masyarakat berpartispasi hanya untuk tujuan mendapatkan pangan, uang, atau insentif material lainnya. Partisipasi fungsional Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk merumuskan suatu tujuan, dan kelompok atau lembaga masyarakat tersebut terus terlibat dalam proses yang sedang atau akan berlangsung. Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dengan melakukan analisis bersama untuk mendapatkan penguatan pengetahuan mereka tentang proses yang akan atau sedang berlangsung, sehingga masyarakat memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi mandiri self mobilization Masyarakat mengambil inisiatif independen untuk mengubah sistem. Sumber: Brown et al. 2001 Pengertian pemangku kepentingan stakeholder adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumberdaya tertentu Grimble 1998; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Wiber et al. 2004. Pemangku kepentingan dapat sangat berpengaruh, sedikit berpengaruh, atau bahkan hanya menjadi penerima dampak dari suatu isu atau proses. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, pemangku kepentingan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimilikinya, ke dalam tiga kelompok besar, yaitu Brown et al. 2001: 1 Pemangku kepentingan primer, yaitu kelompok yang hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap suatu pengambilan keputusan pengelolaan 37 sumberdaya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka sangat dipengaruhi secara langsung oleh hasil keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan mengantungkan kehidupannya dengan sumberdaya pesisir, yaitu nelayan dan pembudidaya ikan. 2 Pemangku kepentingan sekunder, yaitu kelompok yang dapat mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumberdaya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka tidak terpengaruh langsung oleh keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir tetapi tidak secara langsung menggantungkan kehidupannya dengan sumberdaya pesisir, misalnya pedagang, buruh, pengusaha, dan lain-lain yang bertempat tinggal di kawasan pesisir, . 3 Pemangku kepentingan eksternal, yaitu individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumberdaya pesisir melalui lobi, akan tetapi kehidupan atau kepentingan mereka sama sekali tidak berhubungan dengan keputusan tersebut. Kelompok ini dapat berupa organisasi massa, keagaaman, atau lembaga swadaya masyarakat LSM. Sehubungan dengan penelitian dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir, pelibatan pemangku kepentingan dari kelompok primer menjadi penting, karena mereka akan menjadi kelompok yang paling dipengaruhi oleh kebijakan dan perencanaan yang akan dibuat Brown et al. 2001. Oleh karena itu, keterwakilan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, menjadi penting. Untuk menjaring kebutuhan para pemangku kepentingan, dibutuhkan alat analisis yang secara efektif mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan, termasuk pemangku kepentingan primer di wilayah pesisir Teluk Lampung. Menurut Godet dan Roubelat 1998 dan Bourgeois dan Jesus 2004, alat analisis yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah analisis prospektif partisipatif participatory prospective analysis , PPA. Analisis prospektif partisipatif merupakan adaptasi dari berbagai metode komprehensif yang dikemas dalam suatu kerangka kerja operasional yang