Definisi Operasional Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir Studi kasus Teluk Lampung
14 sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru
yang digagas Krugman pada awal 1990-an. Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah
dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran
dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010.
Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu Rustiadi et al.
2009: 1 kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan 2 adanya kemauan
politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk
dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting.
Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi.
Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat
rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya,
maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan. Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir
Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan
strategis kawasan tertentu maupun kawasan andalan. Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, danatau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis
provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupatenkota di bawahnya.
Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.
15
Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi
lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama Graham
1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008
yaitu: 1 populasi penduduk, 2 aktivitas ekonomi, dan 3 penggunaan ruang tata ruang.
Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling
berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan
penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi.
Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar
komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas
ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.
Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang Rustiadi et al. 2009
RTRW Nasional Fungsional
RTR Pulau Kepulauan Rencana Tata Ruang
Wilayah RTRW Umum
RTRW Provinsi
RTRW Kabupaten Kota
RTR Kawasan Strategis Nasional RTR Kawasan Strategis Provinsi
RTR Kawasan Strategis KabupatenKota
Rencana Detil Tata Ruang RDTR Rencana Tata Ruang Rinci
16 Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh holistik
dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari
perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut Deal dan Schunk 2004; Wiek and
Walter 2009; Faure et al. 2010. Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan
para pemangku kepentingan Brown et al. 2001. Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di
wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir.
Analisis prospektif partisipatif participatory prospective analysis, PPA, memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku
kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan
Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004. Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat
digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng
dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010. Terdapatnya anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling
bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada
rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan
spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik
sebagai lex generalis bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
memiliki kekhasan tersendiri sebagai lex specialis Adrianto 2010, seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir
haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.
17 Berdasarkan kondisi khas wilayah pesisir, perencanaan tata ruang wilayah
pesisir Teluk Lampung menghendaki pendekatan yang dapat memadukan ruang daratan dan perairan, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para
pemangku kepentingan. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam perencanaan tata ruang umumnya adalah pendekatan rasional, parsial, dan baru bersifat partisipatif
secara prosedural. Oleh karena itu, diajukan konsep pemikiran pendekatan sistem yang dapat memberikan pandangan keutuhan antara ruang daratan dan perairan,
dan bersifat partisipatif secara substansial.
Penelitian mengenai perencanaan wilayah yang menerapkan sistem dinamik, sudah pernah dilakukan. Pendekatan sistem dinamik yang diterapkan
untuk mengkaji dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai DAS, menunjukkan hasil yang memuaskan Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al.
2005; Elshorbagy et al. 2005. Dalam perencanaan kota dan wilayah, pendekatan sistem dinamik dapat menunjukkan dinamika penggunaan lahan dengan sangat
baik, dan sangat membantu dalam perencanaan White dan Engelen 2000; Deal
dan Schunk 2004 ; Yufeng dan ShuSong 2005. Demikian juga dalam perencanaan
wilayah pesisir, pendekatan sistem dinamik dan analisis spasial, dapat Gambar 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia Adrianto 2010
A ra
h k e l
aut
Pe si
si r
Garis pantai
Non -Pe
si si
r Re
ji m
U U
2 6
20 07
Re ji
m U
U 2
7 20
07
A ra
h k e da
ra t
Batas ke darat Lex specialis
Lex generalis
18 menunjukkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap wilayah pesisir, dan
dapat diterapkan untuk kepentingan pengelolaan wilayah pesisir Villa et al. 2002; Ramos 2004;
Gangai dan Ramachandran 2010 .
Dari beberapa penelitian di atas, terlihat pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam
mengkaji kompleksitas wilayah. Namun demikian, di sisi lain, aspek partisipatif yang melibatkan pemangku kepentingan di wilayah yang bersangkutan, masih
kurang mendapatkan porsi yang cukup. Padahal pada dasarnya pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah, merupakan
aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian mengenai perencanaan wilayah pesisir yang kompleks dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui
pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, akan menjadi suatu kebaruan dan penting dilakukan.
Kebaruan novelty yang diajukan adalah pada penerapan metode sistem dinamik dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yang memungkinkan
komponen sistem di darat maupu n di perairan dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan, serta dilakukan intervensi, sehingga analisis lebih bersifat
komprehensif yang memadukan daratan dan perairan; penyusunan analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan
secara partisipatif; serta
mengakomodasi rejim perencanaan spasial yang dilingkup dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memadukan ruang daratan dan perairan.
Dengan demikian diharapkan perencanaan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan, serta tidak terjadi
dikotomi dalam perencanaan spasial wilayah pesisir. Ringkasan pendekatan perencanaan tata ruang yang umum dilakukan disajikan pada Gambar 3, dan
pendekatan perencanaan yang diajukan pada Gambar 4. Ringkasan karakateristik pendekatan perencanaan yang diajukan disajikan pada Tabel 1, adapun perbedaan
dengan metode yang umum dilakukan, secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.