Konsep Wilayah TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah

Setidaknya ada tiga konsep tentang wilayah yang sering dijumpai dalam literatur, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah perencanaan atau wilayah administratif Richardson, 1969. Konsep wilayah homogen didasarkan pada suatu pandangan bahwa unit- unit spasial dapat dikelompokkan menjadi suatu tunggal jika mereka memiliki karakteristik yang sama. Karakteristik yang dimaksud dapat berupa karakteristik ekonomi, geografi ataupun sosial-politik. Pendefinisian daerah akan menjadi sulit manakala daerah-daerah tersebut seragam dalam beberapa hal tetapi tidak seragam dalam aspek lainnya. Konsep wilayah nodal, didefinisikan sebagai suatu daerah yang terdiri atas satuan-satuan ruang yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal keterkaitan fungsional terjadi melalui perdagangan dan layanan jasa-jasa di dalam daerah yang bersangkutan. Secara eksternal jaringan produksi, perdagangan, angkutan, komunikasi, imigrasi, aliran bahan baku dan komoditas mengaitkan suatu daerah dengan daerah yang lainnya, termasuk dengan luar negeri. Konsep wilayah perencanaan atau administratif dipandang penting dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan dan perencanaan serta analisis daerah. Mengingat pelaksanaan kebijakan daerah membutuhkan legitimasi kekuasaan maka daerah ini perlu didefinisikan sebagai daerah administratif dengan legalitas politik yang jelas pada berbagai tingkat. Mengacu kepada konsep wilayah administratif, maka Indonesia dapat dibagi-bagi menjadi beberapa tingkat wilayah yaitu propinsi, kabupatenkota, kecamatan dan desa. Memperhatikan aspek ini sangatlah penting dalam upaya mengelompokkan berbagai propinsi menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas, misalnya kesatuan pulau. Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, dengan adat-istiadat dan budaya yang berbeda-beda menjadi dasar terjadinya perbedaan karakter sosial, politik dan ekonomi. Aspek ekonomi sangat dipengaruhi oleh karakter geografis, aspek sosial dan politik. Oleh karena itu di samping mempertimbangkan aspek ekonomi, untuk mengelompokkan daerah- daerah menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas, misalnya pulau, juga harus mempertimbangkan aspek geografis, sosial dan politik. Akibat dari penjelasan pada dua paragraf sebelumnya, maka penggabungan beberapa propinsi menjadi daerah yang lebih besar harus mempertimbangkan kriteria daerah administratif dan daerah homogen. 2.2. Migrasi di Indonesia Migrasi merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari gerak langkah pembangunan ekonomi. Berbagai motif yang melatarbelakangi individu untuk melakukan migrasi didominasi oleh adanya keinginan untuk mengubah hidup dan mutu kehidupan individu tersebut. Tirtosudarmo 1985, menyatakan bahwa keputusan dan kemampuan merealisasikan keputusan tersebut sangat tergantung pada lingkungan sosial, ekonomi dan industri yang bersangkutan. Artinya keputusan untuk melakukan migrasi tidak hanya semata- mata karena pertimbangan sendiri tetapi juga oleh perubahan-perubahan struktural di dalam masyarakat dimana individu berdomisili Syafa’at, 1998. Keputusan untuk melakukan migrasi ditandai oleh adanya faktor pendorong push factor dari tempat seseorang bermukim dan pilihan tujuan sebagai tempat berpindah yang dicirikan oleh adanya faktor penarik pull factor dari tempat tujuan tadi. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, satu hal yang dominan adalah kemungkinan diperolehnya tambahan pendapatan tunai sebagai hasil jerih payah bekerja pada berbagai pilihan pekerjaan di tempat yang baru. Berbagai alasan yang dikemukakan untuk melakukan migrasi sebenarnya mempunyai tujuan utama untuk mengubah status ekonomi, sekaligus status sosial dan kehidupan seseorangsekeluarga di tengah masyarakat. Colter 1984, menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi antara perdesaan dan kota belum seimbang, sehingga mendorong adanya mobilitas penduduk dari wilayah perdesaan ke perkotaan. Pola migrasi penduduk, menunjukkan adanya kecenderungan meningkatnya migran sirkuler dan kecenderungan makin menurunnya migran komuter. Hal ini terjadi karena faktor sosial, yaitu adanya pandangan dalam masyarakat desa bahwa migran sirkuler merupakan kelompok migran paling berhasil dalam memperbaiki status ekonomi dan sosialnya Erwidodo, 1991, sehingga kelompok migran komuter yang sudah merasa mapan pekerjaannya mengubah pola migrannya menjadi sirkuler. Perubahan pola migran tersebut, juga dipengaruhi oleh semakin mahalnya biaya transportasi dan makin tidak pastinya kesempatan kerja di desa. Ada empat konsep yang dapat digunakan untuk menelaah proses urbanisasi yaitu: 1 sistem perekonomian urban systems, 2 mobilitas penduduk desa-desa, kota-kota, desa-kota, 3 struktur tata ruang, dan 4 model ekonomi yang digunakan dalam pembangunan ekonominya Todaro, 2000. Urbanisasi merupakan suatu proses yang wajar dan dialami oleh semua penduduk pada suatu negara. Proses urbanisasi suatu negara perlu diketahui untuk melihat sejauh mana tingkat hubungan antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan, apakah hubungan tersebut bersifat simetris atau asimetris, dan sejauh mana intensitas atau bentuk hubungan antara kedua wilayah tersebut. Proses urbanisasi dapat dilihat dari dinamika mobilitas penduduk desa-kota dan kota- desa. Mobilitas penduduk secara geometris antara satu lokasi dengan lokasi yang lain atau antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan merupakan suatu fenomena yang dapat terjadi selama dua lokasi tersebut masih terdapat adanya perbedaan. Selanjutnya pada periode krisis ekonomi tingkat urbanisasi tergolong tinggi, karena lebih kurang 50 persen penduduk telah terurbanisasi. Tingkat urbanisasi meningkat dari 2.17 persen menjadi 2.48 persen pada periode krisis ekonomi BPS, 1998. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode krisis, perpindahan penduduk dari desa ke kota tetap terjadi. Namun diperkirakan keputusan migrasi yang terjadi pada periode tersebut terjadi bukan karena alasan ekonomi, tetapi lebih mengarah kepada alasan non-ekonomi.

2.3. Ketimpangan Pendapatan Antarwilayah