Cloning Trehalose Synthase Gene And Its Expression In Arabidopsis thaliana

(1)

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN

TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH

DI INDONESIA

Oleh:

VERALIANTA BR SEBAYANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan tesis yang berjudul :

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2010

Veralianta Br Sebayang NRP. A151050021


(3)

ABSTRACT

VERALIANTA BR SEBAYANG. Regional Linkages and Policy Impact on Regional Economic Performance in Indonesia. (BONAR M. SINAGA as a Chairman and ARIEF DARYANTO as a Member of the Advisory Committee)

The objective of this study is to analyze regional linkages and policy impact on regional economic preformance in Indonesia. Regional linkages is showed by the migration and trade flows. The observation of the immigration and emigration based on origin and the destination. Trade flows are also seen by the region of origin and the destination. Specification model uses simultaneous equations and estimated by two stages least squares methods, and uses secondary data of time series from 1975 until 2008.

The estimation result indicates that the differential wages in origin and destination, population density, poverty and unemployment are determinants of population movement, while determinant of interregional trade are export and import price, regional income and population.

The scenario of increasing regional minimum wages will increase the unemployment caused by the decreasing of demand for labor and the increasing of the migration to the region, this policy will increase interregional income disparity, except if the policy implemented in Sumatera and Java-Bali. The scenario of increasing public services expenditure will increase the regional economic performance in the region and other regions and the disparity will increase, except if it is allocated in Eastern Indonesia. Private and government investment stimulus has important role to increase the economic performance and decrease the unemployment and poverty and increase balance of trade, but also increase regional disparity, except if it is allocated in Eastern Indonesia. To reduce regional income disparity, the government can use the policy instrument: (1) increasing of minimum wages in Sumatera and Java-Bali, (2) increasing public services expenditure, and investment in Eastern Indonesia.

Key word: simultaneous equations, economic linkages, migration, trade,


(4)

RINGKASAN

VERALIANTA BR SEBAYANG. Keterkaitan Wilayah dan Dampak Kebijakan terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah di Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan ARIEF DARYANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Dalam perencanaan pembangunan perlu ditekankan keterkaitan wilayah, mengingat wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang khas. Dua aspek keterkaitan wilayah yang dilihat dalam penelitian ini yaitu keterkaitan ekonomi dan keterkaitan pergerakan penduduk. Keterkaitan ekonomi diwakili oleh arus perdagangan antarwilayah, sedangkan keterkaitan pergerakan penduduk dilihat dari migrasi penduduk berdasarkan wilayah asal dan wilayah tujuan. Keterkaitan wilayah akan dapat saling mempengaruhi kinerja perekonomian dan memberikan dampak tersendiri bagi masing-masing wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan wilayah dan dampak kebijakan ekonomi terhadap kinerja perekonomi wilayah di Indonesia. Spesifikasi model menggunakan persamaan simultan dan diduga dengan metode two stages least squares. Menggunakan data sekunder dengan periode tahun 1975 sampai tahun 2008.

Hasil pendugaan menunjukkan migrasi masuk dipengaruhi secara positif oleh tingkat perbedaan upah wilayah tujuan dengan wilayah asal dan secara negatif di pengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk dan kemiskinan di wilayah tujuan. Respon perubahan migrasi masuk terhadap perubahan variabel tersebut adalah inelastis dalam jangka pendek dan umumnya elastis dalam jangka panjang. Migrasi keluar dari wilayah tertentu ke wilayah lain dipengaruhi secara negatif antara perbedaan dan rasio upah antarwilayah, dan secara positif dipengaruhi oleh tingkat pengangguran atau jumlah penawaran tenaga kerja di masing-masing wilayah. Ekspor wilayah tertentu ke wilayah tujuan dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor, PDRB wilayah itu sendiri dan jumlah populasi wilayah tujuan ekspor. Sebaliknya impor suatu wilayah dipengaruhi secara negatif oleh harga impor dan secara positif dipengaruhi PDRB wilayah itu sendiri. Respon perubahan ekspor terhadap perubahan harga dan PDRB adalah inelastis, kecuali untuk eskpor wilayah Jawa-Bali ke wilayah tujuan Sumatera dan WTI adalah elastis dalam jangka panjang. Respon perubahan impor terhadap perubahan harga impor dan PDRB juga inelastis, kecuali respon perubahan impor wilayah WTI dari wilayah asal Sumatera dan Jawa-Bali terhadap perubahan harga adalah elastis dalam jangka panjang.

Skenario kenaikan upah minimum regional berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran, karena permintaan tenaga kerja menurun dan migrasi masuk ke wilayah tersebut tinggi, sehingga ketimpangan pendapatan antarwilayah akan meningkat, kecuali upah minimum regional ditingkatkan di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali. Peningkatan belanja pelayanan publik meningkatkan kinerja perekonomian wilayah itu sendiri dan wilayah lainnya namun ketimpangan cenderung meningkat, kecuali jika dialokasikan di WTI. Stimulus investasi swasta dan pemerintah di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali memiliki peranan yang penting untuk meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dimana PDRB meningkat, penduduk miskin dan jumlah pengangguran menurun serta


(5)

neraca perdagangan meningkat, tetapi ketimpangan antarwilayah mengalami peningkatan, kecuali dialokasikan di WTI.

Untuk mengurangi tingkat pengangguran di masing-masing wilayah, peningkatan investasi swasta dan pemerintah dapat digunakan sebagai instrumen kebijakan pemerintah daerah, karena selain dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan jumlah penduduk miskin, dan menurunkan migrasi bersih wilayah Jawa-Bali yang berasal dari wilayah Sumatera dan WTI tanpa mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa-Bali bahkan jumlah penduduk yang menganggur di wilayah Jawa-Bali dapat berkurang cukup besar. Untuk mengurangi ketimpangan antarwilayah disarankan untuk menggunakan instrumen kebijakan: (1) peningkatan UMR di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali, (2) peningkatan belanja pelayanan publik, investasi swasta dan pemerintah di wilayah Timur Indonesia. Dalam hal ini diperlukan koordinasi dan dukungan pemerintah pusat yang paling berkepentingan dengan ketimpangan antarwilayah.

Kata kunci: persamaan simultan, keterkaitan ekonomi, migrasi, perdagangan, ketimpangan antarwilayah


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN

TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH

DI INDONESIA

OLEH

VERALIANTA BR SEBAYANG

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MSc ( Dosen Departemen Ilmu Ekonomi,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang : Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS

( Dosen Departemen Agribisnis,


(9)

Judul Tesis : Keterkaitan Wilayah dan Dampak Kebijakan terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah di Indonesia

Nama Mahasiswa : Veralianta Br Sebayang Nomor Pokok : A151050021

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Februari 1977 di Tigabinanga, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, puteri keempat dari lima bersaudara dari ayahanda bernama Tuhu Sebayang (Alm) dan ibunda bernama Pelajaren Br. Tarigan.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar SD Negeri 1 Tigabinanga, tahun 1989, tahun 1992 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Tigabinanga, tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan di SMA Negeri 1 Tigabinanga, dan tahun 1999 penulis menyelesaikan Program Diploma (D3) di Program Studi Manajer Koperasi, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan tahun 2001 melanjutkan ke jenjang Sarjana Program Studi Manajemen Agribisnis di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2004.

Pada tahun 2005 penulis mendapat kesempatan belajar di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS. Penulis telah bekerja dari 1999 dan pada tahun 2007 telah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil tenaga pendidik di instansi Institut Pertanian Bogor hingga sekarang.


(11)

PRAKATA

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rakhmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan tesis dapat terselesaikan. Tesis ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengevaluasi keterkaitan wilayah dan dampak kebijakan terhadap perekonomian wilayah di Indonesia.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam terutama kepada Prof. Dr. lr. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. lr. Arief Daryanto, MEc selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

2. Prof. Dr. lr. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf yang telah memberikan berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.


(12)

3. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MSc, sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan

kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan tesis ini.

4. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS, sebagai penguji luar komisi mewakili Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan masukan dan saran perbaikan untuk tesis ini.

5. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja,MSc selaku Ketua Program Keahlian Manajemen Agribisnis, Direktorat Program Diploma, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan kesempatan waktu dan bantuan moril kepada penulis dalam menjalani dan menyelesaikan studi.

6. Rekan-rekan di Program Keahlian Manajemen Agribisnis, Direktorat Program Diploma, Institut Pertanian Bogor, Ibu Anita, Pak Firman, Pak Asi, Pak Wawan, Uding, Kak Leny, Mba Wien, Fatur, Intan, Lisa, Ika dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebut namanya satu persatu, yang telah memberi semangat kepada penulis.

7. Rekan-rekan seperjuangan, seperti Pini, Yajid, Pak Wiji, Uni Zet, Mas Adi dan semua rekan-rekan angkatan 2005, yang telah memberikan dorongan moral dan semangat kepada penulis untuk penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih dan rasa cinta kepada Rasidin K. Sitepu, suami yang begitu banyak membantu khususnya dalam penyelesaian tesis ini, begitu juga atas pengertian, kesabaran, kasih sayang yang begitu besar dan kedua anak kebanggaan hidup penulis (M. Rizky Rasid Sitepu dan M. Najwan Rasid Sitepu).

Secara khusus, penulis mengucapkan rasa terima kasih dan rasa hormat yang mendalam pada ayahanda Tuhu Sebayang (Alm), ibunda Pelajaren Br. Tarigan,


(13)

ayahanda mertua Harun Sitepu (Alm), ibunda mertua Miah Br. Sembiring dan Abanganda/kakanda (Oktaria Nusanta Sebayang/Donna, Julmasrita Sebayang/Sari, Jhon B. Sebayang/Pini) serta adinda Desrianta Br. Sebayang yang telah memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para pembuat keputusan, khususnya dalam menyikapi berbagai fenomena keterkaitan wilayah di Indonesia. Penulis menyadari, sebagai bagian dari suatu proses tentunya dalam tesis ini masih ditemui berbagai kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Maret 2010


(14)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Konsep Wilayah ... 12

2.2. Migrasi di Indonesia ... 13

2.3. Ketimpangan Pendapatan Antarwilayah ... 15

2.4. Studi Terdahulu ... 21

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 28

3.1. Kerangka Teori ... 28

3.1.1. Model Harrod-Domar ... 28

3.1.2. Model Pertumbuhan Solow ... 31

3.1.3. Model Aliran Wilayah ... 33

3.1.3.1. Keunggulan Komparatif ... 34

3.1.3.2. Teori Heckscher–Ohlin ………. 37

3.1.3.3. Mobilitas Sumberdaya ……… 39

3.1.4. Perpindahan Penduduk dan Tenaga Kerja ... 41

3.1.4.1. Ekonomi Migrasi ... 41

3.1.4.2. Faktor Non Upah ... 42

3.1.4.3. Model Harris-Tadaro ……….. 44

3.1.4.4. Model Gravitasi ………. 45


(15)

xiii

3.1.4.6. Efisiensi Migrasi ... 49

3.1.5. Mobilitas Kapital ... 50

3.1.6. Pendekatan Neraca Pembayaran untuk Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……… 51

3.2. Kerangka Konseptual ……….. 55

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS ….… 58 4.1. Spesifikasi Model Keterkaitan Wilayah di Indonesia ... 58

4.1.1. Blok PDRB ……….. 61

4.1.2. Blok Tenaga Kerja ……… 61

4.1.3. Blok Upah ……… 63

4.1.4. Blok Kemiskinan ………... 63

4.1.5. Blok Migrasi …..…...………. 64

4.1.6. Blok Neraca Perdagangan……….. 67

4.1.7. Blok Ketimpangan Antarwilayah ... 69

4.2. Prosedur Analisis ……… 70

4.2.1. Identifikasi Model ……….. 70

4.2.2. Metode Pendugaan Model ……….. 72

4.2.3. Validasi Model ……….. 72

4.2.4. Simulasi Model ……….. 73

4.3. Jenis dan Sumber Data ……… 75

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 77

5.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model ………..… 77

5.2. Keragaan Model Keterkaitan Wilayah di Indonesia ... 78

5.2.1. Blok PDRB ... 78

5.2.1.1. Respon PDRB Wilayah Sumatera ... 78

5.2.1.2. Respon PDRB Wilayah Jawa-Bali ... 80

5.2.1.3. Respon PDRB Wilayah Timur Indonesia... 81

5.2.2. Blok Permintaan Tenaga Kerja... 83

5.2.2.1. Respon Permintaan Tenaga Kerja Wilayah Sumatera ... 83

5.2.2.2. Respon Permintaan Tenaga Kerja Wilayah Jawa-Bali ... 85


(16)

xiv

5.2.2.3. Respon Permintaan Tenaga Kerja Wilayah

Timur Indonesia ... 87

5.2.3. Blok Penawaran Tenaga Kerja... 89

5.2.3.1. Respon Penawaran Tenaga Kerja Wilayah Sumatera ... 89

5.2.3.2. Respon Penawaran Tenaga Kerja Wilayah Jawa-Bali ... 91

5.2.3.3. Respon Penawaran Tenaga Kerja Wilayah Timur Indonesia ... 92

5.2.4. Blok Upah ... 93

5.2.4.1. Respon Upah Wilayah Sumatera ... 93

5.2.4.2. Respon Upah Wilayah Jawa-Bali ... 95

5.2.4.3. Respon Upah Wilayah Timur Indonesia ... 96

5.2.5. Blok Kemiskinan ... 97

5.2.5.1. Respon Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Sumatera ... 97

5.2.5.2. Respon Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Jawa-Bali ... 99

5.2.5.3. Respon Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Timur Indonesia... 100

5.2.6. Blok Migrasi ... 102

5.2.6.1. Respon Migrasi Masuk Wilayah Sumatera dari Wilayah Jawa-Bali ... 103

5.2.6.2. Respon Migrasi Masuk Wilayah Sumatera dari Wilayah Timur Indonesia ... 104

5.2.6.3. Respon Migrasi Masuk Wilayah Jawa-Bali dari Wilayah Sumatera ... 106

5.2.6.4. Respon Migrasi Masuk Wilayah Jawa-Bali dari Wilayah Timur Indonesia ... 107

5.2.6.5. Respon Migrasi Masuk Wilayah Timur Indonesia dari Wilayah Sumatera ... 108

5.2.6.6. Respon Migrasi Masuk Wilayah Timur Indonesia dari Wilayah Jawa-Bali ... 109

5.2.6.7. Respon Migrasi Keluar Wilayah Sumatera ke Wilayah Jawa-Bali ... 110

5.2.6.8. Respon Migrasi Keluar Wilayah Sumatera ke Wilayah Timur Indonesia ... 112


(17)

xv

5.2.6.9. Respon Migrasi Keluar Wilayah Jawa-Bali ke Wilayah Sumatera ... 113

5.2.6.10.Respon Migrasi Keluar Wilayah Jawa-Bali Wilayah Timur Indonesia ... 115

5.2.6.11.Respon Migrasi Keluar Wilayah Timur

Indonesia ke Wilayah Sumatera ... 116 5.2.6.12.Respon Migrasi Keluar Wilayah Timur

Indonesia ke Wilayah Jawa-Bali ... 117 5.2.7. Blok Perdagangan ... 119 5.2.7.1. Respon Ekspor Wilayah Sumatera ke

Wilayah Jawa-Bali ... 120 5.2.7.2. Respon Ekspor Wilayah Sumatera ke

Wilayah Timur Indonesia ... 122 5.2.7.3. Respon Ekspor Wilayah Jawa-Bali ke Wilayah Sumatera ... 123

5.2.7.4. Respon Ekspor Wilayah Jawa-Bali ke Wilayah Timur Indonesia ... 125

5.2.7.5. Respon Ekspor Wilayah Timur Indonesia ke Wilayah Sumatera ... 126

5.2.7.6. Respon Ekspor Wilayah Timur Indonesia ke Wilayah Jawa-Bali ... 128

5.2.7.7. Respon Impor Wilayah Sumatera dari

Wilayah Jawa-Bali ... 130 5.2.7.8. Respon Impor Wilayah Sumatera dari

Wilayah Timur Indonesia ... 131 5.2.7.9. Respon Impor Wilayah Jawa-Bali dari Wilayah Sumatera ... 132

5.2.7.10.Respon Impor Wilayah Jawa-Bali dari Wilayah Timur Indonesia ... 134

5.2.7.11.Respon Impor Wilayah Timur Indonesia dari

Wilayah Sumatera ... 135 5.2.7.12.Respon Impor Wilayah Timur Indonesia dari Wilayah Jawa-Bali ... 136

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP

PEREKONOMIAN WILAYAH ... 139 6.1. Validasi Model ... 139 6.2. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan ... 141


(18)

xvi

6.2.1. Dampak Perubahan Kebijakan Upah Minimum

Regional di Wilayah Sumatera ... 142 6.2.2. Dampak Perubahan Kebijakan Upah Minimum

Regional di Wilayah Jawa-Bali ... 145 6.2.3. Dampak Perubahan Kebijakan Upah Minimum

Regional di Wilayah Timur Indonesia ... 149 6.2.4. Dampak Perubahan Kebijakan Upah Minimum

Regional Di Wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan

Wilayah Timur Indonesia ... 153 6.2.5. Dampak Perubahan Kebijakan Belanja Pelayanan

Publik Wilayah Sumatera ... 157 6.2.6. Dampak Perubahan Kebijakan Belanja Pelayanan

Publik di Wilayah Jawa-Bali ... 159 6.2.7. Dampak Perubahan Kebijakan Belanja Pelayanan

Publik di Wilayah Timur Indonesia ... 162 6.2.8. Dampak Perubahan Kebijakan Belanja Pelayanan

Publik Di Wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Wilayah

Timur Indonesia ... 165 6.2.9. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Swasta

di Wilayah Sumatera ... 167 6.2.10. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Swasta

di Wilayah Jawa-Bali ... 170 6.2.11. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Swasta

di Wilayah Timur Indonesia ... 174 6.2.12. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Swasta

di Wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Wilayah Timur

Indonesia ... 178 6.2.13. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Pemerintah

di Wilayah Sumatera ... 180 6.2.14. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Pemerintah

di Wilayah Jawa-Bali ... 183 6.2.15. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Pemerintah

di Wilayah Timur Indonesia ... 186 6.2.16. Dampak Perubahan Kebijakan Investasi Pemerintah

Di Wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Wilayah Timur

Indonesia ... 190 6.3. Rekapitulasi Hasil Simulasi ... 192


(19)

xvii

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 195

7.1. Kesimpulan ... 195

7.2. Implikasi Kebijakan ... 198

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 199

DAFTAR PUSTAKA ... 201


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi Tahun

2005-2008 ………..………… 6

2. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Indonesia Harga Konstan 2000 Menurut Pulau Tahun 2005-2007 ……..………… 7 3. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita dalam Harga

Konstan 2000 Menurut Pulau Tahun 2005-2007 ... 8 4. Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Proses Produksi ... 35 5. Matriks Daftar Faktor-Faktor Perbandingan Biaya-Keuntungan

Berpindah ... 43 6. Perpindahan Gross dan Net Migrasi dan Kondisi Ekonomi Lokal .. 47 7. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produk Domestik

Regional Bruto Wilayah Sumatera ………..…. 79 8. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produk Domestik

Regional Bruto Wilayah Jawa-Bali ... 80 9. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produk Domestik

Regional Bruto Wilayah Timur Indonesia ………....…………... 82 10. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Permintaan Tenaga

Kerja Wilayah Sumatera ... 84 11. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Permintaan Tenaga

Kerja Wilayah Jawa-Bali ………..…... 86 12. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Permintaan Tenaga

Kerja Wilayah Timur Indonesia ………….……….. 88 13. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran Tenaga

Kerja Wilayah Sumatera ... 89 14. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran Tenaga

Kerja Wilayah Jawa-Bali ………..………….…….. 91 15. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran Tenaga


(21)

xix

16. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Upah Wilayah Sumatera ... 94 17. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Upah Wilayah

Jawa-Bali ... 95 18. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Upah Wilayah Timur

Indonesia ... 97 19. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Penduduk

Miskin Wilayah Sumatera ... 98 20. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Penduduk

Miskin Wilayah Jawa-Bali ……….………. 100 21. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Penduduk

Miskin Wilayah Timur Indonesia ………..……… 101 22. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Masuk

Wilayah Sumatera dari Wilayah Jawa-Bali ………..… 104 23. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Masuk

Wilayah Sumatera dari Wilayah Timur Indonesia ………..… 105 24. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Masuk

Wilayah Jawa-Bali dari Wilayah Sumatera ……….. 106 25. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Masuk

Wilayah Jawa-Bali dari Wilayah Timur Indonesia ………. 107 26. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Masuk

Wilayah Timur Indonesia dari Wilayah Sumatera ………. 109 27. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Masuk

Wilayah Timur Indonesia dari Wilayah Jawa-Bali ………. 110 28. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Keluar

Wilayah Sumatera ke Wilayah Jawa-Bali ……… 111 29. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Keluar

Wilayah Sumatera ke Wilayah Timur Indonesia ……….. 112 30. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Keluar


(22)

xx

31. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Keluar Wilayah Jawa-Bali ke Wilayah Timur Indonesia ………..… 115 32. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Keluar

Wilayah Timur Indonesia ke Wilayah Sumatera ……….. 116 33. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Migrasi Keluar

Wilayah Timur Indonesia ke Wilayah Jawa-Bali … 118 34. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Ekspor

Wilayah Sumatera ke Wilayah Jawa-Bali ………..… 120 35. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Ekspor

Wilayah Sumatera ke Wilayah Timur Indonesia ………. 122 36. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Ekspor

Wilayah Jawa-Bali ke Wilayah Sumatera ……….………….. 124 37. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Ekspor

Wilayah Jawa-Bali ke Wilayah Timur Indonesia ………..…. 125 38. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Ekspor

Wilayah Timur Indonesia ke Wilayah Sumatera ……….……. 127 39. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Ekspor

Wilayah Timur Indonesia ke Wilayah Jawa-Bali ………..…. 129 40. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Wilayah

Sumatera dari Wilayah Jawa-Bali ………..…..………….. 130 41. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Wilayah

Sumatera dari Wilayah Timur Indonesia ………..… 131 42. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Wilayah

Jawa-Bali dari Wilayah Sumatera ………..………. 133 43. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Wilayah

Jawa-Bali dari Wilayah Timur Indonesia ... 134 44. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Wilayah

Timur Indonesia dari Wilayah Sumatera ………... 136 45. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Wilayah

Timur Indonesia dari Wilayah Jawa-Bali ... 137 46. Hasil Validasi Model ………... 140


(23)

xxi

47. Dampak Peningkatan Upah Minimum Regional di Wilayah Sumatera Sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ... 142 48. Dampak Peningkatan Upah Minimum Regional di Wilayah

Jawa-Bali Sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ... 146 49. Dampak Peningkatan Upah Minimum Regional di Wilayah Timur

Indonesia Sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ………. 149

50. Dampak Peningkatan Upah Minimum Regional di Wilayah Sumatera, Wilayah Jawa-Bali dan Wilayah Timur Indonesia masing-masing sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ……… 154

51. Dampak Peningkatan Belanja Pelayanan Publik di Wilayah Sumatera, sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ……….. 158

52. Dampak Peningkatan Belanja Pelayanan Publik di Wilayah

Jawa-Bali sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah …. 160 53. Dampak Peningkatan Belanja Pelayanan Publik di Wilayah Timur

Indonesia sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ……… 163 54. Dampak Peningkatan Belanja Pelayanan Publik di Wilayah

Sumatera, Jawa-Bali dan Wilayah Timur Indonesia masing-masing sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ………. 166 55. Dampak Peningkatan Investasi Swasta di Wilayah Sumatera

sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah……….. 168 56. Dampak Peningkatan Investasi Swasta di Wilayah Jawa-Bali

sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ………. 171 57. Dampak Peningkatan Investasi Swasta di Wilayah Timur

Indonesia sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ………. 175

58. Dampak Peningkatan Investasi Swasta di Wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Wilayah Timur Indonesia masing-masing sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ……… 178


(24)

xxii

59. Dampak Peningkatan Investasi Pemerintah di Wilayah Sumatera sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ………. 181 60. Dampak Peningkatan Investasi Pemerintah di Wilayah Jawa-Bali

sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ………. 184 61. Dampak Peningkatan Investasi Pemerintah di Wilayah Timur

Indonesia sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian

Wilayah ……… 187

62. Dampak Peningkatan Investasi Pemerintah di Wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Wilayah Timur Indonesia masing-masing sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah ……… 190 63. Rekapitulasi Dampak Perubahan Kebijakan terhadap Kinerja


(25)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva Kemungkinan Produksi dan Konsumsi ... 36 2. Model Perpindahan Sumberdaya ... 39 3. Kerangka Konseptual Keterkaitan Wilayah... 56 4. Diagram Model Keterkaitan Wilayah di Indonesia ... 60


(26)

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Pendukung ... 206 2. Program Pendugaan Model ... 210 3. Hasil Pendugaan Model ... 215 4. Program dan Hasil Validasi Model ... 223 5. Program Nilai Dasar untuk Simulasi Model Periode 2001-2008... 232 6. Program Simulasi Model Periode 2001-2008 ... 241 7. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan UMR sebesar 10 persen di


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata menjadi salah satu faktor yang mendorong belum optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada, baik di laut maupun di darat. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan selain memerlukan intervensi kebijakan yang berpihak pada kearifan lokal yang berbasis kewilayahan, juga memerlukan strategi pembangunan yang bersifat lintas wilayah dan lintas sektor. Strategi ini diperlukan agar wilayah tersebut dapat berkembang mencapai tingkat yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dengan pendekatan komprehensif yang memperhatinkan keseimbangan fisik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kebijaksanaan pembangunan di masa lalu sampai sekarang dianggap hampir identik dengan pemusatan perhatian kepada kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat regional maupun nasional, selain itu kebijakan pembangunan bersifat parsial dan kurang memperhatikan keterkaitan antarwilayah. Strategi pembangunan terlalu menekankan kepada akumulasi dari kapital fisik (man-made capital), yang mengabaikan keterkaitannya dengan kapital-kapital lain, seperti kapital alami (natural capital), kapital manusia (human capital) dan kapital sosial (social capital).


(28)

2

Pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu lebih dari 30 tahun telah menguras sumberdaya alam dan tidak ada investasi dalam pemeliharaannya, hal ini berdampak terhadap rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penyusutan dan degradasi dari sumberdaya tersebut juga telah memperparah terjadinya ketidakseimbangan (unbalance growths) pembangunan (provinsi, kabupaten/kota, wilayah perdesaan- perkotaan) dan kelompok–kelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok ini mengarah kepada melebarnya tingkat kemiskinan yang semakin besar.

Persoalan-persoalan penting lain di daerah antara lain daya saing daerah yang rendah, keterkaitan ekonomi antar daerah yang rendah, kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi hanya pada beberapa daerah tertentu saja, belum termanfaatkannya secara optimal potensi sumber daya wilayah, produktivitas wilayah yang rendah, masih banyaknya wilayah-wilayah miskin, konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian, kapasitas aparat yang masih rendah, kurangnya keterlibatan masyarakat dan dunia usaha serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pembangunan, dan belum kondusifnya iklim untuk investasi di daerah yang merupakan akibat dari pembangunan yang bersifat parsial seperti pendekatan dengan pembangunan sektoral.

Salah satu implikasi terpenting dari kecenderungan perubahan ini, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi adalah apa yang dikenal dengan integrasi ekonomi menjadi satu kesatuan ekonomi kawasan. Arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara akan semakin meluas, intensif dan dinamis.


(29)

3

Berbagai literatur tentang regional sciences atau regional development

menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan wilayah. Pertama, keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages) baik kondisi infrastruktur yang ada seperti jalan, kereta api, angkutan sungai, dan angkutan udara maupun jaringan interkoneksi yang menghubungkan berbagai infrastruktur tersebut. Kedua, keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages) terutama ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi, komoditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan. Ketiga, pergerakan dan perpindahan penduduk (population movement linkages) baik migrasi tetap maupun migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi. Keempat, keterkaitan teknologi (technological linkages) baik teknologi produksi, teknologi informasi, teknologi telekomunikasi. Kelima, keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam kehidupan budaya, agama dan kekerabatan. Keenam, keterkaitan layanan jasa (service delivery linkages) termasuk jaringan layanan energi, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik, pengorganisasian (political, administrative, and organizational linkages). Selain itu, keseimbangan dan keterkaitan lintas wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan melalui penataan ruang sebagai salah satu instrumen utama dalam pengarusutamaan (mainstreaming) kebijakan pembangunan berbasis wilayah (Bappenas, 2008).

Pendekatan pengembangan wilayah, prinsip-prinsip dari dimensi-dimensi spasial menjadi suatu syarat penting yang perlu dipahami. Pada dasarnya terdapat dua dimensi spasial penting yang perlu dipahami yaitu: (1) local specificity, yang


(30)

4

merujuk pada pengertian bahwa setiap lokasi dalam suatu ruang pasti mempunyai kekhasan. Kekhasan ini bisa diartikan sebagai kekhasan alamiah seperti kandungan sumberdaya, dan bisa diartikan pula sebagai kekhasan buatan seperti wilayah sentra produksi kerajinan, wilayah sentra bisnis dan sebagainya, dan (2)

spatial interaction, yang merujuk pada pengertian bahwa harus terjadi interaksi antara wilayah-wilayah dengan local specificity agar bisa meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan pembangunan dari masing-masing wilayah yang terlibat, sedangkan konsep pembangunan wilayah pada intinya mempunyai lima arah.

Pertama, menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan

berkembangnya potensi masyarakat di berbagai wilayah. Kedua, meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga, menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang. Keempat, memperkuat kerjasama antarwilayah dengan memperhatikan keterkaitan pembangunan lintas wilayah dan lintas sektor. Kelima, mempercepat pembangunan wilayah-wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan.

Oleh karena itu, dengan melihat berbagai permasalahan dan keperluan pembangunan wilayah yang lebih komprehensif perlu sebuah skenario pembangunan wilayah yang mendorong integrasi pembangunan nasional sekaligus memperhatikan keterkaitan dan kesenjangan . Dalam skenario tersebut, optimalisasi investasi pemerintah dan insentif dunia usaha dalam pembangunan harus menjadi fokus utama. Namun keterbatasan sumberdaya pembangunan khususnya pemerintah, lebih tepat adalah dengan pemilihan prioritas wilayah, prioritas industri atau sektor usaha dan prioritas memiliki dampak pengganda


(31)

5

paling besar baik secara sektoral (forward and backward linkages) maupun spasial (interregional linkages).

Berbagai model pembangunan wilayah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai kelemahan dan kelebihan masing-masing model. Secara umum model keterkaitan wilayah umumnya digunakan dengan interregional input-output. Kecermatan dalam membangun model pembangunan wilayah akan berpengaruh terhadap akurasi analisis keterkaitan pembangunan antarwilayah. Diharapkan pembangunan model keterkaitan antarwilayah dapat diketahui skenario kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah yang selama ini terpusat di Jawa dan Sumatera.

Selain itu, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan wilayah masing-masing. Dengan latar belakang demografi, geografis, infrastruktur dan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, maka salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah keberagaman daerah dalam hal kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antarwilayah, timbulnya konflik dan kemungkinan disintegrasi bangsa.

Pendekatan pembangunan berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam konteks pemikiran tersebut, penyusunan model keterkaitan regional menjadi suatu keniscayaan guna


(32)

6

mengatisipasi perubahan di masa depan, dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan antarwilayah.

1.2. Perumusan Masalah

Proses pembangunan yang terjadi selama ini lebih terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa wilayah Jawa-Bali memiliki kesiapan lebih awal dalam menjalankan pembangunan. Dampak dari proses ini jelas sekali, ditandai dengan tingginya kesenjangan ekonomi antara wilayah Jawa-Bali dengan wilayah lainnya di Indonesia, terutama wilayah Timur Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan karena investasi terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali. Ada dua alasan mengapa pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di wilayah timur. Pertama, penduduk Jawa-Bali mencapai 60 persen dari total penduduk Indonesia (Tabel 1), sedangkan luasnya hanya sekitar 7 persen. Akibatnya investor lebih tertarik berproduksi di Jawa-Bali dengan alasan skala ekonomi dan mendekati lokasi pasar. Kedua, sarana dan prasarana di wilayah timur belum memadai dalam mendukung investasi, terutama prasarana angkutan dan komunikasi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat investor.

Tabel 1. Komposisi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2005-2008

Tahun Share No Pulau

2005 2006 2007 2008 (%)

1 Sumatera 46,030 48,163 49,129 49,920 21.64

2 Jawa 131,854 133,428 133,868 135,236 58.63

3 Kalimantan 12,098 12,338 13,107 13,372 5.80

4 Sulawesi 15,788 17,044 17,447 17,676 7.66

5 Wilayah Timur Indonesia 13,099 14,108 14,246 14,472 6.27

Indonesia 218,869 225,081 227,798 230,675 100.00


(33)

7

Diterapkannya otonomi daerah, membuat pemerintah daerah berlomba-lomba menarik minat investor masuk dan menanamkan modalnya di daerah. Daerah berharap bahwa seluruh atau sebagian besar manfaat dari investasi di daerahnya mampu memicu pertumbuhan perekonomian daerahnya. Pemerintah daerah belum menyadari dengan baik bahwa limpahan manfaat investasi tidak semuanya mengalir ke daerah tempat investasi, tetapi sebagian kecil atau dapat juga dalam porsi yang cukup besar dapat mengalir ke daerah lain, terutama wilayah Jawa-Bali. Hal ini disebabkan karena wilayah Jawa-Bali memiliki infrastruktur perekonomian paling lengkap.

Tingginya konsentrasi penduduk di wilayah Jawa tentu saja diikuti oleh konsentrasi aktivitas ekonomi. Kadar aktivitas ekonomi dapat ditunjukkan oleh angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), periode 2000-2005, Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap total PDRB seluruh daerah (Tabel 2). Kemudian perannya agak menurun ketika terjadi krisis ekonomi nasional. Fakta demikian menunjukkan bahwa peran wilayah Jawa sangat dominan dalam perekonomian Indonesia.

Tabel 2. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi, Tahun 2005-2007 (Rp Miliar)

No Pulau 2005 2006 2007 Kontribusi

%

1 Sumatera 367,710 389,297 408,677 21.76

2 Jawa-Bali 1,036,613 1,093,195 1,160,726 61.80

3 Kalimantan 152,555 160,483 165,741 8.82

4 Sulawesi 74,070 79,244 84,662 4.51

5 Wilayah Timur 58,000 55,530 58,513 3.12

Indonesia 1,688,948 1,777,750 1,878,319 100.00


(34)

8

Dilihat berdasarkan pulau, Jawa sangat dominan dan pendapatan per kapitanya juga merupakan tertinggi. Sedangkan perprovinsi PDRB per kapita tertinggi diraih oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Jawa, seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. PDRB per kapita Pulau Jawa berada di atas nilai PDRB per kapita nasional. PDRB per kapita Jawa tertekan oleh jumlah penduduknya yang mencapai lebih 60 persen dari penduduk Indonesia. Pada Tabel 3 dicantumkan nilai PDRB per kapita dalam harga konstan 2000 menurut wilayah pulau.

Posisi ekonomi Jawa yang dominan menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antara Jawa dan pulau lain di luar Jawa. Ketimpangan ini mendapat perhatian karena dapat menimbulkan dampak negatif terhadap aspek demografi, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan sebagainya. Penyebab lain ketimpangan ekonomi di antaranya adalah kondisi infrastruktur dan sumberdaya manusia Jawa & Bali telah lebih maju daripada daerah lain. Infrastruktur yang dimaksud diantaranya adalah ketersediaan tenaga listrik, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi. Kelebihannya dalam kepemilikan infrastruktur maka pelaku ekonomi memilih Jawa & Bali sebagai pusat kegiatan bisnis nasional. Tabel 3. PDRB per Kapita dalam Harga Konstan 2000 Menurut Pulau, Tahun

2005-2007 (Ribu Rupiah per Jiwa)

No Pulau 2005 2006 2007

1 Sumatera 11,599.29 13,172.96 14,818.35

2 Jawa-Bali 14,668.96 16,798.14 18,665.67

3 Kalimantan 13,188.65 15,000.29 16,595.94

4 Sulawesi 6,343.97 7,169.24 8,138.32

5 Nusa Tenggara 4,807.05 5,298.89 6,055.10

6 Maluku 3,279.16 3,523.51 3,855.61

7 Papua 15,849.00 16,505.80 18,938.27

Nasional (PDB) 11,231.53 13,354.68 15,731.19 Sumber: PDRB Provinsi dan Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS


(35)

9

Wilayah Jawa-Bali oleh sebagian besar pengusaha dijadikan tempat penyusunan kebijakan, strategi dan perencanaan bisnis berskala nasional maupun internasional. Sementara bisnis di luar Jawa kebanyakan berupa pabrikan atau unit usaha yang hanya menjalankan operasional secara teknis. Dengan demikian sekalipun omset bisnis di luar Jawa cukup besar, namun perputaran uang sebagian besar masih berada di antara rekanan usaha yang berlokasi di Jawa. Besarnya perputaran uang di Jawa ini mendorong kegiatan perekonomian yang semakin tinggi di Jawa, sekalipun usaha penciptaan uangnya berada di luar Jawa.

Salah satu penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah berikutnya dapat dilihat dari aspek kepemilikan faktor produksi, yaitu modal atau kapital dan tenaga kerja. Jawa memiliki keunggulan dalam faktor kapital dan tenaga kerja, tetapi miskin akan sumberdaya alam. Sementara itu daerah luar Jawa memiliki keunggulan dalam kepemilikan bahan baku berupa sumberdaya alam, baik berupa barang tambang, hasil perkebunan dan kelautan. Daerah yang menguasai kepemilikan kapital dan tenaga kerja cenderung mengalami laju pertumbuhan ekonomi tinggi, sedangkan daerah kaya sumberdaya alam mengalami laju pertumbuhan ekonomi lebih lamban. Oleh karena terdapat perbedaan kepemilikan faktor antar daerah, maka terjadi spesifikasi produksi, yang akan mendorong kegiatan perdagangan antardaerah.

Wilayah yang memiliki banyak keunggulan dalam kepemilikan faktor akan menjadi tempat berproduksi (sentra produksi) dan sekaligus sebagai pemasok barang dan jasa bagi daerah-daerah lainnya. Jika ditunjang dengan jumlah penduduk yang besar. Berbeda dengan daerah yang memiliki keunggulan dalam aspek kepemilikan sumberdaya alam dan kepemilikan faktor, maka


(36)

daerah-10

daerah yang terbelakang perkembangan ekonominya hampir dipastikan lebih lambat. Selain itu daerah ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap daerah yang lebih maju. Mengingat adanya perbedaan karakteristik antarwilayah di Indonesia yang disebabkan oleh jumlah penduduk, kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kapital dan sumberdaya alam, maka ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antarwilayah akan terjadi. Sehubungan dengan struktur keterkaitan ekonomi tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban melalui suatu penelitian ilmiah, yaitu:

1. Bagaimana keterkaitan antarwilayah dapat saling mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah.

2. Bagaimana dampak kebijakan ekonomi disuatu wilayah dapat mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah lainnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan studi yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan penelitian adalah untuk:

1. Membangun model yang mengintegrasikan keterkaitan ekonomi antara wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan wilayah Timur Indonesia.

2. Mengetahui dampak kebijakan ekonomi di suatu wilayah terhadap kinerja perekonomian wilayah sendiri dan wilayah lain di Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup Kegiatan

Model keterkaitan wilayah dititikberatkan pada serangkaian kegiatan untuk mengetahui berbagai dampak kebijakan yang ada diwilayah tertentu terhadap wilayah lain. Wilayah dalam hal ini adalah diwakili oleh tiga wilayah


(37)

11

besar di Indonesia, yaitu wilayah Sumatera yang terdiri dari 10 provinsi, wilayah Jawa-Bali terdiri dari 8 provinsi dan wilayah Timur Indonesia (WTI) yang merupakan gabungan dari wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang secara keseluruhan yang terdiri dari 15 provinsi.


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah

Setidaknya ada tiga konsep tentang wilayah yang sering dijumpai dalam literatur, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah perencanaan atau wilayah administratif (Richardson, 1969).

Konsep wilayah homogen didasarkan pada suatu pandangan bahwa unit-unit spasial dapat dikelompokkan menjadi suatu tunggal jika mereka memiliki karakteristik yang sama. Karakteristik yang dimaksud dapat berupa karakteristik ekonomi, geografi ataupun sosial-politik. Pendefinisian daerah akan menjadi sulit manakala daerah-daerah tersebut seragam dalam beberapa hal tetapi tidak seragam dalam aspek lainnya.

Konsep wilayah nodal, didefinisikan sebagai suatu daerah yang terdiri atas satuan-satuan ruang yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal keterkaitan fungsional terjadi melalui perdagangan dan layanan jasa-jasa di dalam daerah yang bersangkutan. Secara eksternal jaringan produksi, perdagangan, angkutan, komunikasi, imigrasi, aliran bahan baku dan komoditas mengaitkan suatu daerah dengan daerah yang lainnya, termasuk dengan luar negeri.

Konsep wilayah perencanaan atau administratif dipandang penting dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan dan perencanaan serta analisis daerah. Mengingat pelaksanaan kebijakan daerah membutuhkan legitimasi kekuasaan maka daerah ini perlu didefinisikan sebagai daerah administratif dengan legalitas politik yang jelas pada berbagai tingkat.


(39)

13

Mengacu kepada konsep wilayah administratif, maka Indonesia dapat dibagi-bagi menjadi beberapa tingkat wilayah yaitu propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Memperhatikan aspek ini sangatlah penting dalam upaya mengelompokkan berbagai propinsi menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas, misalnya kesatuan pulau. Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, dengan adat-istiadat dan budaya yang berbeda-beda menjadi dasar terjadinya perbedaan karakter sosial, politik dan ekonomi. Aspek ekonomi sangat dipengaruhi oleh karakter geografis, aspek sosial dan politik. Oleh karena itu di samping mempertimbangkan aspek ekonomi, untuk mengelompokkan daerah-daerah menjadi beberapa kesatuan daerah-daerah yang lebih luas, misalnya pulau, juga harus mempertimbangkan aspek geografis, sosial dan politik. Akibat dari penjelasan pada dua paragraf sebelumnya, maka penggabungan beberapa propinsi menjadi daerah yang lebih besar harus mempertimbangkan kriteria daerah administratif dan daerah homogen.

2.2. Migrasi di Indonesia

Migrasi merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari gerak langkah pembangunan ekonomi. Berbagai motif yang melatarbelakangi individu untuk melakukan migrasi didominasi oleh adanya keinginan untuk mengubah hidup dan mutu kehidupan individu tersebut. Tirtosudarmo (1985), menyatakan bahwa keputusan dan kemampuan merealisasikan keputusan tersebut sangat tergantung pada lingkungan sosial, ekonomi dan industri yang bersangkutan. Artinya keputusan untuk melakukan migrasi tidak hanya semata-mata karena pertimbangan sendiri tetapi juga oleh perubahan-perubahan struktural di dalam masyarakat dimana individu berdomisili (Syafa’at, 1998).


(40)

14

Keputusan untuk melakukan migrasi ditandai oleh adanya faktor pendorong (push factor) dari tempat seseorang bermukim dan pilihan tujuan sebagai tempat berpindah yang dicirikan oleh adanya faktor penarik (pull factor)

dari tempat tujuan tadi. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, satu hal yang dominan adalah kemungkinan diperolehnya tambahan pendapatan tunai sebagai hasil jerih payah bekerja pada berbagai pilihan pekerjaan di tempat yang baru. Berbagai alasan yang dikemukakan untuk melakukan migrasi sebenarnya mempunyai tujuan utama untuk mengubah status ekonomi, sekaligus status sosial dan kehidupan seseorang/sekeluarga di tengah masyarakat.

Colter (1984), menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi antara perdesaan dan kota belum seimbang, sehingga mendorong adanya mobilitas penduduk dari wilayah perdesaan ke perkotaan. Pola migrasi penduduk, menunjukkan adanya kecenderungan meningkatnya migran sirkuler dan kecenderungan makin menurunnya migran komuter. Hal ini terjadi karena faktor sosial, yaitu adanya pandangan dalam masyarakat desa bahwa migran sirkuler merupakan kelompok migran paling berhasil dalam memperbaiki status ekonomi dan sosialnya (Erwidodo, 1991), sehingga kelompok migran komuter yang sudah merasa mapan pekerjaannya mengubah pola migrannya menjadi sirkuler. Perubahan pola migran tersebut, juga dipengaruhi oleh semakin mahalnya biaya transportasi dan makin tidak pastinya kesempatan kerja di desa.

Ada empat konsep yang dapat digunakan untuk menelaah proses urbanisasi yaitu: (1) sistem perekonomian (urban systems), (2) mobilitas penduduk desa-desa, kota-kota, desa-kota, (3) struktur tata ruang, dan (4) model ekonomi yang digunakan dalam pembangunan ekonominya (Todaro, 2000).


(41)

15

Urbanisasi merupakan suatu proses yang wajar dan dialami oleh semua penduduk pada suatu negara. Proses urbanisasi suatu negara perlu diketahui untuk melihat sejauh mana tingkat hubungan antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan, apakah hubungan tersebut bersifat simetris atau asimetris, dan sejauh mana intensitas atau bentuk hubungan antara kedua wilayah tersebut. Proses urbanisasi dapat dilihat dari dinamika mobilitas penduduk desa-kota dan kota-desa. Mobilitas penduduk secara geometris antara satu lokasi dengan lokasi yang lain atau antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan merupakan suatu fenomena yang dapat terjadi selama dua lokasi tersebut masih terdapat adanya perbedaan.

Selanjutnya pada periode krisis ekonomi tingkat urbanisasi tergolong tinggi, karena lebih kurang 50 persen penduduk telah terurbanisasi. Tingkat urbanisasi meningkat dari 2.17 persen menjadi 2.48 persen pada periode krisis ekonomi (BPS, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa selama periode krisis, perpindahan penduduk dari desa ke kota tetap terjadi. Namun diperkirakan keputusan migrasi yang terjadi pada periode tersebut terjadi bukan karena alasan ekonomi, tetapi lebih mengarah kepada alasan non-ekonomi.

2.3. Ketimpangan Pendapatan Antarwilayah

Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) distribusi pendapatan institusional atau distribusi pendapatan personal, yaitu distribusi pendapatan yang terjadi antarinstitusi maupun antarkelompok rumahtangga, dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial, adalah distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi (Semaoen, 1992).


(42)

16

Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah ukuran yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan tiap-tiap individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal (Semaoen. 1992).

Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat berupa : (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, dividen, bunga, sewa, dan lain sebagainya atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya.

Selanjutnya Todaro (2000), Yotopolus dan Nugent (1976), menggunakan Kurva Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi pendapatan. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis, sedangkan Koefisien Gini mengukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase kumulatif.

Distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial ini menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan


(43)

17

ini tergantung dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor produksi yang digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga faktor produksi.

Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi total dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis SAM, ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi.

Semaoen (1992) mengatakan bahwa pengukuran distribusi pendapatan dapat dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi produksi guna memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi yang digunakan. Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan (faktor produksi) memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor tersebut. Dalam perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa terhadap faktor produksi ini, merupakan pendapatan dari masing-masing faktor tersebut, atau yang disebut sebagai pendapatan faktorial.

Wie (1981) mengemukakan bahwa negara yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan distribusi pendapatan, akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan di antaranya:

a. Ketimpangan pendapatan antargolongan atau ketimpangan relatif. Ketimpangan yang terjadi antargolongan ini sering kali diukur dengan


(44)

18

menggunakan koefisien Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan.

b. Ketimpangan pendapatan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan. Ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan pendapatan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan (urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal itu digunakan dua indikator: (1) perbandingan antara tingkat pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, dan (2) disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah perdesaan(perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua daerah sebagai persentase dari pendapatan nasional rata-rata). Menurut Bank Dunia, pola pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu urban bias dengan tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi ketimpangan distribusi pendapatan di kemudian hari.

c. Ketimpangan pendapatan antardaerah. Untuk melihat ketimpangan distribusi pendapatan nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antarberbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya ketimpangan pendapatan per kapita antardaerah (regional income disparities). Ketimpangan pendapatan seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata, perbedaan laju pertumbuhan antardaerah, dan belum berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antar daerah di Indonesia.


(45)

19

menimbulkan ketimpangan yang pada suatu wilayah ( pada level propinsi ataupun negara), di antaranya (1) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita, (2) Inflasi pendapatan dimana uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang, (3) Ketidakmerataan pembangunan antarsubwilayah (atau daerah yang lebih kecil), (4) Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang intensif modal sehingga persentase pendapatan dari harta bertambah besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah, (5) Rendahnya mobilitas sosial, (6) Pelaksanaan kebijaksanaan substitusi-impor industri yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang hasil industri untuk melindungi golongan kapitalis, (7) Memburuknya term of trade bagi wilayah yang sedang berkembang dalam perdagangan dengan wilayah maju (daerah atau negara) sebagai akibat ketidak elastisan permintaan wilayah maju, dan (8) Hancurnya industri-industri rakyat, seperti: pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lainnya.

Lebih lanjut, Wie (1981) menjelaskan bahwa dalam upaya mengurangi ketimpangan tersebut adalah dengan strategi campur tangan pemerintah. Dalam hal ini diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya yang ada kepada golongan masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat.

Terdapat tiga cara dalam menanggulangi atau melakukan redistribusi ketimpangan pendapatan, yaitu, (1) Redistribusi Non-Incremental. Hal ini menyangkut kebijaksanaan redistribusi harta yang ada, seperti: pemungutan pajak pendapatan secara progresif, (2) Redistribusi Incremental. Cara ini digunakan dalam pemungutan pajak bagi golongan yang berpendapatan tinggi, yang


(46)

20

selanjutnya dibagikan langsung kepada mereka yang kurang mampu. Kebijaksanaan ini biasanya dianut oleh negara-negara sosialis, dan (3) Redistribusi melalui pertumbuhan. Kebijakan ini bertujuan untuk menaikkan laju pertumbuhan pendapatan golongan masyarakat miskin, dengan tidak mengurangi secara absolut pendapatan total.

Ada beberapa hal yang terkandung dalam kebijaksanaan ini, seperti: (1) mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi, (2) menstabilkan penghasilan golongan paling kaya, (3) menyalurkan sebagian pendapatan golongan kaya sebagai hasil pertumbuhan ke dalam berbagai bentuk investasi, dan (4) mengalokasikan investasi ke dalam bentuk yang lebih bermanfaat bagi golongan masyarakat termiskin.Redistribusi melalui pertumbuhan dapat digunakan untuk menganalisis potensi jangka panjang pembangunan ekonomi, khususnya yang menyangkut kesenjangan (trade-off).

Empat pendekatan untuk meningkatkan kesejahteraan golongan masyarakat paling miskin (1) meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah sampai tingkat maksimal dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien, (2) mengalihkan investasi kepada golongan masyarakat miskin dalam bentuk pendidikan, kesehatan, penyediaan kredit dan fasilitas umum, (3) melakukan redistribusi pendapatan kepada golongan masyarakat miskin melalui sistem fiskal, atau mengalokasikan barang-barang konsumsi secara langsung, dan (4) pengalihan harta yang sudah ada kepada golongan masyarakat miskin, misalnya melalui land reform.


(47)

21

2.4. Studi Terdahulu

Model keterkaitan regional dengan pendekatan ekonometrika di Indonesia pertama sekali dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2007. Model yang dibangun terdiri dari 1650 persamaan, terdiri dari 1530 persamaan perilaku dan 120 persamaan endogen. Hasil temuan antara lain (1) arus migrasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path dibandingkan dengan faktor upah dan kinerja perekonomian daerah yang akan dikunjungi oleh para migran.

Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah tersebut. Dalam arti bahwa, jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan mereka akan semakin besar, (2) Dampak pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Kepulauan Timur Indonesia terhadap region itu sendiri, berdampak pada penurunan jumlah pengangguran kemiskinan semakin rendah, serta peningkatan balance of trade. kecuali untuk provinsi NTT, NTB dan Maluku, dan (3) Pulau Sumatera dan Jawa umumnya mampu membangun daerahnya tanpa intervensi investasi dari luar. Karena kedua pulau tersebut, dapat meningkatkan akumulasi modal sendiri dari akumulasi dampak dari interaksi keterkaitan ekonomi domestik. Sementara itu Kalimantan, Nusatenggara, dan Maluku & Papua, memerlukan intervensi yaitu dalam bentuk tambahan investasi dari luar pulau, karena dampak balik dan tambahan pendapatan tidak memadai untuk memupuk akumulasi modal. Pada dasarnya penelitian mengenai keterkaitan regional di Indonesia dengan menggunakan analisis ekonometrika baru dilakukan oleh Bappenas.


(48)

22

Penelitian lain mengenai keterkaitan regional biasanya dilakukan menggunakan kerangka analisis input-output (I-O) dan Social Accounting Matrix

(SAM). Para peneliti umumnya menggunakan kedua alat analisis di atas mencoba mengungkapkan dan mencari jawabannya, "siapa menerima apa" dari hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan.

Downey (1984), melakukan penelitian untuk disertasi, mencoba menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa (who gets what). Untuk menggambarkan kondisi ini, Downey melakukan disagregasi terhadap institusi rumahtangga berdasarkan kepemilikan tanah pertanian, buruh tani, buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain sebagainya. Kemudian baru dianalisis distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing klasifikasi rumahtangga tersebut. Pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruh tani sedangkan yang tertinggi diterima oleh tenaga kerja perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima hektar. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (1986), menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi istilah lain dari SAM dan Model Keseimbangan Umum untuk melihat pengaruh turunnya harga minyak dan subsidi minyak terhadap distribusi pendapatan. Analisis SAM juga dapat digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan antar sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerah-daerah produksi, buruh tani dan tenaga kerja wanita, dilakukan oleh Budiyanti dan Schreiner (1991).

Sutomo (1995), dengan menggunakan analisis SAM mencoba membandingkan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Propinsi Riau dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diperoleh hasil bahwa dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini


(49)

23

telah terjadi ketimpangan pendapatan antar kedua wilayah (NTT dan Riau), dan ketimpangan juga terjadi antar kelompok rumahtangga kedua wilayah. Masyarakat miskin (dengan pendapatan terendah) diterima oleh rumahtangga buruh non-pertanian dan tertinggi pada kelompok rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian (terjadi pada kedua propinsi). Ketimpangan pendapatan ini ditunjukkan oleh indeks gini kedua propinsi tersebut melebihi 0.5. Sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial, menunjukkan propinsi NTT intensif tenaga kerja sedangkan di propinsi Riau terjadi sebaliknya, yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua propinsi, bila terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja dan modal memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah.

Analisis SAM regional dapat juga digunakan untuk menganalisis keterkaitan sosial-ekonomi antarpropinsi atau antar wilayah (dua wilayah atau lebih). Analisis ini dikenal dengan analisis SAM Interregional (IRSAM). Analisis IRSAM untuk Malaysia sudah dilakukan tahun 1970 (Pyatt dan Round, 1985), dengan membagi wilayah Malaysia menjadi dua wilayah, yaitu: Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Studi IRSAM di Indonesia dilakukan oleh Hidayat (1991). Hidayat membagi wilayah Indonesia menjadi dua wilayah makro (Jawa dan Luar Jawa) dan tujuh wilayah mikro, masing-masing tiga wilayah mikro di Jawa, dan empat wilayah mikro untuk luar Jawa. Studi ini digunakan untuk menguji struktur dan keterkaitan (interdependence) antar kedua wilayah makro dan menunjukkan implikasinya pada perekonomian secara menyeluruh, termasuk di dalamnya: distribusi pendapatan, peningkatan produksi dan kinerja ekspor dari sektor-sektor yang berlainan antara wilayah pinggir dengan wilayah pusat.


(50)

24

Model Interregional Computable General Equilibrium (IRCGE) adalah pengembangan dari IRSAM, seperti yang dilakukan oleh Tumenggung (1995) dan Wuryanto (1996). Tumenggung membangun model IRCGE dengan menggunakan kerangka IRSAM Indonesia yang dibangun oleh Hidayat sebagai tabel dasar, dengan membagi wilayah Indonesia menjadi dua, Jawa dan Luar Jawa.

Wuryanto (1996), dengan menggunakan model CGE, menganalisis keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan kinerja ekonomi Indonesia. Wuryanto juga mengelompokkan Indonesia menjadi dua wilayah makro; Jawa dan Luar Jawa, seperti halnya Hidayat dan Tumenggung. Dari hasil studinya ditemukan bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga regional hampir di semua wilayah (region), terutama di Jawa. Namun, peningkatan pendapatan rumahtangga di Luar Jawa yang awalnya rendah cenderung menimbulkan ketimpangan pendapatan.

Penelitian mengenai migrasi lebih banyak dilakukan dalam skala mikro dan spasial/kewilayahan. Pergerakan atau mobilitas penduduk sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan proses berkembangnya pembangunan di Indonesia. Mobilitas penduduk sendiri merupakan produk dari berbagai faktor antara lain kepadatan penduduk, langkanya lapangan kerja di desa, keinginan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, daya tarik kota dan berbagai faktor lainnya yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan pada faktor penarik dan pendorong terjadinya mobilitas penduduk.

Noekman dan Erwidodo (1992), meneliti tentang pengaruh kondisi desa dan karakteristik individu terhadap mobilitas penduduk dengan menggunakan fungsi logit. Hasil studinya menunjukkan bahwa keputusan seseorang untuk


(51)

25

bermigrasi dipengaruhi oleh luas lahan yang dimiliki, usia, pendidikan, dan kondisi desa yang diwakili oleh keadaan irigasinya.

Hasil studi di atas sejalan dengan hasil penelitian Gunawan dan Zulham (1992), yang menemukan bahwa minat masyarakat perdesaan untuk bekerja di sektor pertanian berkurang terutama pada kelompok muda dan berpendidikan. Pada kelompok ini tingkat migrasi sangat tinggi, sehingga diperkirakan pertanian akan didominasi pekerja berusia tua dan berpendidikan rendah.

Hasil penelitian Levy dan Wadycki (1974), menunjukkan hasil yang berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Noekman dan Erwidodo (1992), terutama mengenai faktor jarak, yaitu menunjukkan bahwa: (1) Jarak berpengaruh nyata terhadap migrasi, baik migran yang tidak berpendidikan maupun migran yang berpendidikan dasar dan lanjutan, dimana semakin jauh jarak yang ditempuh migran akan mengurangi jumlah migran di Venezuela. Pengaruh jarak ini semakin kecil dengan semakin tinggi pendidikan migran, (2) Jumlah migran akan menurun dengan meningkatnya upah di daerah asal dan jumlah migran akan meningkat dengan meningkatnya upah di daerah tujuan, (3) Berdasarkan tingkat pendidikan, migran yang berpendidikan lebih responsif terhadap perubahan upah baik di daerah asal maupun di daerah tujuan daripada migran yang tidak berpendidikan, dan (4) Tingkat pengangguran di daerah asal mempunyai hubungan positif dengan jumlah migrasi, sedangkan tingkat pengangguran di daerah tujuan (Venezuela) mempunyai hubungan negatif dengan jumlah migrasi.

Sebaliknya, hasil penelitian Rofiqoh (1994), menunjukkan hasil analisis yang sama dengan penelitian Levy dan Wadycki (1974). Rofiqoh (1994), meneliti


(52)

26

faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi di Kalimantan Timur dan menemukan bahwa: (1) Jarak antara daerah asal dan daerah tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (2) Rasio upah nyata antara daerah asal dan tujuan berhubungan positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (3) Rasio jumlah tenaga kerja yang menamatkan SMP dan SMA antara daerah asal dan tujuan mempunyai hubungan yang positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (4) Rasio jumlah tenaga kerja yang menamatkan Perguruan Tinggi antara daerah asal dan tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (5) Tingkat kesempatan kerja relatif daerah asal terhadap daerah tujuan berpengaruh positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (6) Tingkat industrialisasi di propinsi tersebut relatif terhadap daerah asal berhubungan positif dengan migrasi neto.

Secara lebih spesifik hasil studi Mintchell (1961) dan Mantra (1978), mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang mendorong migran melakukan migrasi. Faktor-faktor yang mendorong migran meninggalkan daerah asalnya disebut faktor sentrifugal, sedangkan faktor-faktor yang menarik kembali ke daerah asalnya disebut faktor sentripetal.

Penelitian Alim (2006) yang berjudul analisis keterkaitan dan kesenjangan ekonomi Intra dan Interregional Jawa dan Sumatera menggunakan model model Interregional Social Accounting Matrix Pulau Jawa dan Sumatera. Hasil analisis yang didasarkan pada SAMIJASUM 2002 menunjukkan bahwa : (1) neraca perdagangan antara Jawa dan Sumatera lebih menguntungkan Jawa, dimana perekonomian Sumatera mengalami defisit neraca perdagangan, (2) keterkaitan


(1)

Actual

Predicted

Variable N Obs N

Mean Std Dev

Mean Std Dev Label

UN3

8 8 1733.4 161.3 1174.0 172.8 UN3

NX1

8 8 3502.8 126.2 3852.3 101.0 NX1

NX2

8 8 67911.5 1456.3 71526.5 1608.3 NX2

NX3

8 8 1358.8 130.9 1597.2 92.9414 NX3

NMG1

8 8 -220.4 36.3157 -326.6 7.3924 NMG1

NMG2

8 8 558.8 39.5134 661.0 39.0806 NMG2

NMG3

8 8 -338.4 36.5001 -283.8 18.1716 NMG3

Statistics of fit

Variable

N

Mean

Error

Mean

%

Error

Mean

Abs

Error

Mean Abs

% Error

RMS

Error

RMS %

Error

R-Square Label

PDRB1

8 -21122.2 -3.8774 37570.9 8.8833 59462.1 12.3192 0.1146 PDRB1

PDRB2

8 -5505.5 0.7254 73983.6 6.5492 123804 9.9277 0.3706 PDRB2

PDRB3

8 -2098.0 -0.1640 20093.6 6.5472 27556.2 8.3974 0.6281 PDRB3

TK1

8 -1359.6 -7.1128 1359.6 7.1128 1413.0 7.3716 -15.43 TK1

TK2

8 896.6 2.4215 2680.5 5.3597 4403.3 9.6201 0.3052 TK2

TK3

8 60.4714 0.4172 776.2 4.4522 864.1 5.0418 -.3206 TK3

LF1

8 -840.7 -3.9581 1135.2 5.3980 1276.3 6.0705 -6.381 LF1

LF2

8 1411.7 2.7375 2098.6 3.8171 3641.2 7.2173 0.5926 LF2

LF3

8 -498.9 -2.5193 770.9 4.0000 941.5 4.8667 -.5845 LF3

Upah1

8 -13.0926 -2.8631 84.7736 9.7019 88.2554 10.4001 0.6679 Upah1

Upah2

8 -20.7189 -3.5094 45.1030 6.0910 52.0454 7.5476 0.9128 Upah2

Upah3

8 -20.8031 -3.2767 100.1 10.0131 111.6 11.5481 0.2815 Upah3

POV1

8 163.2 2.3460 342.9 4.4411 436.3 5.7593 0.1979 POV1

POV2

8 763.2 3.7498 1145.2 5.6538 1297.2 6.3440 -2.156 POV2

POV3

8 182.6 2.0319 502.7 5.9885 535.0 6.3403 -.4411 POV3

MI1D2

8 -23.9345 -7.2835 24.5901 7.4582 30.6101 9.3211 -1.260 MI1D2

MI1D3

8 0.4435 3.8701 6.7441 17.3380 8.1736 21.6429 -.9204 MI1D3

MI2D1

8 94.6384 16.7174 94.6384 16.7174 100.4 17.9424 -2.433 MI2D1


(2)

Variable

N

Mean

Error

Mean

%

Error

Mean

Abs

Error

Mean Abs

% Error

RMS

Error

RMS %

Error

R-Square Label

MI2D3

8 15.5604 4.2162 35.6034 8.3875 44.7238 11.1546 -.6768 MI2D3

MI3D1

8 2.5858 21.8041 2.5858 21.8041 2.8098 24.6890 -.3531 MI3D1

MI3D2

8 26.3216 20.4343 26.3216 20.4343 28.6230 22.7378 -.2233 MI3D2

MO1K2

8 80.1151 14.2191 80.1151 14.2191 85.1916 15.3834 -1.474 MO1K2

MO1K3

8 2.5349 21.3463 2.5349 21.3463 2.7499 24.1052 -.2959 MO1K3

MO2K1

8 3.4360 1.1401 10.4347 3.1914 12.9210 4.0193 0.5974 MO2K1

MO2K3

8 4.5575 6.7078 28.1545 19.5114 33.6090 22.3209 -.6866 MO2K3

MO3K1

8 1.9041 6.3525 3.4741 9.8081 4.2421 12.7861 0.4827 MO3K1

MO3K2

8 -27.5642 -5.4587 41.4410 9.0962 47.2115 10.3249 -.8685 MO3K2

X1K2

8 358.5 14.6996 358.5 14.6996 390.1 16.0961 -12.39 X1K2

X1K3

8 80.0368 4.5314 195.7 9.1574 250.1 11.9115 -.8848 X1K3

X2K1

8 -954.5 -2.9656 1318.9 4.4634 1718.4 5.5716 0.5741 X2K1

X2K3

8 5243.2 10.9786 5243.2 10.9786 5946.9 12.7749 -1.377 X2K3

X3K1

8 2.8052 0.8165 53.3881 6.5237 65.4906 7.8717 -.0017 X3K1

X3K2

8 -12.1333 -0.7770 69.2809 6.6137 80.6901 7.6813 -.4220 X3K2

M1D2

8 25.1608 5.1814 30.0597 5.9729 44.8804 9.5815 0.0285 M1D2

M1D3

8 63.8197 10.6322 64.6041 10.7425 77.2978 12.8911 -1.575 M1D3

M2D1

8 256.7 5.9793 319.9 7.3034 356.9 8.1335 -1.074 M2D1

M2D3

8 416.9 7.1173 459.7 7.9120 518.1 8.9541 -1.510 M2D3

M3D1

8 -7.3741 -3.2962 12.5573 6.3788 20.0384 9.5892 -.5070 M3D1

M3D2

8 -11.3604 -10.1321 13.4897 12.6197 15.3055 14.0012 -1.077 M3D2

UN1

8 518.9 25.2336 570.0 28.2178 863.5 44.1508 -10.12 UN1

UN2

8 515.1 6.9462 1691.5 25.2005 2211.8 33.1235 -14.34 UN2

UN3

8 -559.3 -32.4752 559.3 32.4752 564.8 32.8485 -13.02 UN3

NX1

8 349.5 10.1762 349.5 10.1762 404.6 11.8472 -10.75 NX1

NX2

8 3615.0 5.3698 3753.2 5.5673 4192.5 6.2471 -8.472 NX2

NX3

8 238.4 18.3618 242.6 18.6383 271.1 21.2803 -3.903 NX3


(3)

Variable

N

Mean

Error

Mean

%

Error

Mean

Abs

Error

Mean Abs

% Error

RMS

Error

RMS %

Error

R-Square Label

NMG2

8 102.2 18.6449 102.2 18.6449 109.9 20.4436 -7.842 NMG2

NMG3

8 54.5675 -15.1403 60.0043 17.0420 68.4949 18.8166 -3.025 NMG3

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition

Proportions

Inequality

Coef

Variable N

MSE

Corr

(R)

Bias

(UM)

Reg

(UR)

Dist

(UD)

Var

(US)

Covar

(UC)

U1

U Label

PDRB1

8 3.5357E9 0.48 0.13 0.01 0.86 0.42 0.46 0.1564 0.0809 PDRB1

PDRB2

8 1.533E10 0.62 0.00 0.01 0.99 0.35 0.65 0.1215 0.0612 PDRB2

PDRB3

8 7.5934E8 0.80 0.01 0.00 0.99 0.07 0.92 0.0968 0.0487 PDRB3

TK1

8 1996433 0.13 0.93 0.01 0.06 0.01 0.07 0.0742 0.0385 TK1

TK2

8 19388667 0.72 0.04 0.27 0.69 0.73 0.23 0.0773 0.0384 TK2

TK3

8 746751 0.50 0.00 0.43 0.57 0.05 0.95 0.0488 0.0243 TK3

LF1

8 1628886 0.20 0.43 0.44 0.13 0.13 0.43 0.0605 0.0308 LF1

LF2

8 13258043 0.84 0.15 0.13 0.72 0.37 0.48 0.0572 0.0283 LF2

LF3

8 886508 0.55 0.28 0.28 0.44 0.03 0.69 0.0484 0.0245 LF3

Upah1

8 7789.0 0.98 0.02 0.87 0.11 0.81 0.17 0.0955 0.0476 Upah1

Upah2

8 2708.7 0.99 0.16 0.61 0.23 0.56 0.28 0.0594 0.0299 Upah2

Upah3

8 12443.8 0.98 0.03 0.91 0.06 0.86 0.11 0.1067 0.0534 Upah3

POV1

8 190356 0.58 0.14 0.04 0.82 0.43 0.43 0.0546 0.0271 POV1

POV2

8 1682649 0.78 0.35 0.53 0.12 0.36 0.29 0.0650 0.0318 POV2

POV3

8 286242 0.86 0.12 0.70 0.18 0.52 0.36 0.0644 0.0318 POV3

MI1D2

8 937.0 0.89 0.61 0.30 0.09 0.22 0.16 0.0904 0.0468 MI1D2

MI1D3

8 66.8079 -0.32 0.00 0.53 0.47 0.05 0.95 0.2045 0.1020 MI1D3

MI2D1

8 10074.2 0.83 0.89 0.02 0.09 0.06 0.05 0.1707 0.0791 MI2D1

MI2D3

8 2000.2 -0.60 0.12 0.49 0.38 0.28 0.60 0.0987 0.0486 MI2D3

MI3D1

8 7.8952 0.89 0.85 0.00 0.15 0.01 0.15 0.2188 0.0996 MI3D1

MI3D2

8 819.3 0.96 0.85 0.09 0.06 0.12 0.04 0.2004 0.0922 MI3D2


(4)

MSE Decomposition

Proportions

Inequality

Coef

Variable N

MSE

Corr

(R)

Bias

(UM)

Reg

(UR)

Dist

(UD)

Var

(US)

Covar

(UC)

U1

U Label

MO1K2

8 7257.6 0.97 0.88 0.09 0.02 0.10 0.01 0.1449 0.0679 MO1K2

MO1K3

8 7.5617 0.90 0.85 0.00 0.15 0.00 0.15 0.2142 0.0977 MO1K3

MO2K1

8 167.0 0.79 0.07 0.01 0.92 0.05 0.88 0.0382 0.0190 MO2K1

MO2K3

8 1129.6 -0.35 0.02 0.46 0.52 0.13 0.85 0.2353 0.1165 MO2K3

MO3K1

8 17.9952 0.88 0.20 0.38 0.42 0.60 0.20 0.1061 0.0520 MO3K1

MO3K2

8 2228.9 -0.23 0.34 0.15 0.51 0.26 0.40 0.1042 0.0538 MO3K2

X1K2

8 152173 -0.44 0.84 0.10 0.06 0.01 0.15 0.1570 0.0732 X1K2

X1K3

8 62559.0 -0.72 0.10 0.64 0.25 0.20 0.69 0.1135 0.0558 X1K3

X2K1

8 2952820 0.95 0.31 0.46 0.23 0.57 0.12 0.0607 0.0309 X2K1

X2K3

8 35365755 0.75 0.78 0.04 0.18 0.13 0.09 0.1188 0.0565 X2K3

X3K1

8 4289.0 0.36 0.00 0.13 0.87 0.08 0.92 0.0793 0.0396 X3K1

X3K2

8 6510.9 0.14 0.02 0.29 0.69 0.03 0.94 0.0765 0.0385 X3K2

M1D2

8 2014.2 0.65 0.31 0.09 0.60 0.43 0.26 0.0811 0.0397 M1D2

M1D3

8 5974.9 0.51 0.68 0.03 0.29 0.02 0.30 0.1235 0.0588 M1D3

M2D1

8 127405 0.60 0.52 0.17 0.31 0.02 0.47 0.0816 0.0396 M2D1

M2D3

8 268395 0.78 0.65 0.20 0.16 0.09 0.26 0.0887 0.0428 M2D3

M3D1

8 401.5 0.01 0.14 0.20 0.66 0.13 0.74 0.1081 0.0552 M3D1

M3D2

8 234.3 0.27 0.55 0.00 0.45 0.21 0.24 0.1483 0.0787 M3D2

UN1

8 745703 0.39 0.36 0.56 0.08 0.32 0.32 0.4171 0.1818 UN1

UN2

8 4891978 0.46 0.05 0.89 0.05 0.65 0.29 0.3269 0.1536 UN2

UN3

8 318955 0.88 0.98 0.00 0.02 0.00 0.02 0.3246 0.1931 UN3

NX1

8 163699 -0.84 0.75 0.23 0.03 0.00 0.25 0.1154 0.0550 NX1

NX2

8 17577107 -0.10 0.74 0.15 0.10 0.00 0.26 0.0617 0.0301 NX2

NX3

8 73506.2 0.28 0.77 0.04 0.19 0.02 0.21 0.1987 0.0915 NX3

NMG1

8 12818.7 -0.75 0.88 0.08 0.04 0.06 0.06 0.5076 0.2060 NMG1

NMG2

8 12079.3 0.40 0.86 0.04 0.10 0.00 0.14 0.1962 0.0899 NMG2

NMG3

8 4691.5 -0.22 0.63 0.13 0.24 0.06 0.30 0.2014 0.1097 NMG3


(5)

Variable Relative Change

MSE Decomposition

Proportions

Inequality

Coef

N

MSE

Corr

(R)

Bias

(UM)

Reg

(UR)

Dist

(UD)

Var

(US)

Covar

(UC)

U1

U Label

PDRB1

8 0.0230 -0.65 0.11 0.69 0.20 0.02 0.87 1.3403 0.8244 PDRB1

PDRB2

8 0.0147 -0.32 0.00 0.53 0.47 0.05 0.95 1.0834 0.5940 PDRB2

PDRB3

8 0.00962 0.35 0.00 0.20 0.80 0.03 0.96 0.8541 0.4636 PDRB3

TK1

8 0.00568 0.88 0.92 0.00 0.07 0.02 0.06 1.7112 0.6680 TK1

TK2

8 0.00652 0.76 0.04 0.01 0.94 0.22 0.74 0.6545 0.3729 TK2

TK3

8 0.00241 0.60 0.00 0.25 0.74 0.00 0.99 0.8748 0.4213 TK3

LF1

8 0.00391 0.26 0.44 0.12 0.44 0.03 0.53 1.3823 0.7131 LF1

LF2

8 0.00386 0.87 0.13 0.15 0.72 0.37 0.50 0.5660 0.3199 LF2

LF3

8 0.00246 0.61 0.29 0.09 0.62 0.01 0.70 0.9360 0.5050 LF3

Upah1

8 0.0142 0.20 0.09 0.49 0.42 0.03 0.88 0.9002 0.4681 Upah1

Upah2

8 0.00868 0.53 0.23 0.01 0.76 0.16 0.61 0.5664 0.3439 Upah2

Upah3

8 0.0177 -0.13 0.09 0.61 0.30 0.03 0.88 1.1775 0.6101 Upah3

POV1

8 0.00327 0.79 0.12 0.09 0.79 0.36 0.51 0.6924 0.4244 POV1

POV2

8 0.00388 0.23 0.32 0.23 0.45 0.00 0.67 1.3296 0.6934 POV2

POV3

8 0.00375 0.30 0.09 0.57 0.33 0.11 0.79 1.2086 0.5555 POV3

MI1D2

8 0.00886 0.13 0.60 0.17 0.23 0.00 0.40 1.8309 0.5962 MI1D2

MI1D3

8 0.0359 0.19 0.03 0.76 0.22 0.23 0.74 1.9447 0.6783 MI1D3

MI2D1

8 0.0298 0.70 0.87 0.11 0.02 0.08 0.06 3.1852 0.8717 MI2D1

MI2D3

8 0.00948 0.51 0.14 0.24 0.62 0.00 0.86 1.0907 0.5122 MI2D3

MI3D1

8 0.0500 0.74 0.79 0.10 0.11 0.03 0.17 1.6664 0.6796 MI3D1

MI3D2

8 0.0458 0.82 0.81 0.14 0.05 0.09 0.10 1.9759 0.7027 MI3D2

MO1K2

8 0.0220 0.73 0.85 0.12 0.02 0.08 0.06 2.7339 0.8436 MO1K2

MO1K3

8 0.0475 0.75 0.80 0.09 0.11 0.03 0.17 1.6242 0.6746 MO1K3

MO2K1

8 0.00154 0.68 0.07 0.20 0.73 0.00 0.92 0.7642 0.3871 MO2K1

MO2K3

8 0.0457 0.84 0.12 0.83 0.05 0.71 0.16 1.9730 0.5698 MO2K3

MO3K1

8 0.0143 0.69 0.26 0.44 0.30 0.18 0.56 1.2264 0.4965 MO3K1

MO3K2

8 0.00985 0.55 0.36 0.07 0.57 0.02 0.62 1.1118 0.5408 MO3K2

X1K2

8 0.0248 0.73 0.83 0.04 0.13 0.00 0.17 1.9046 0.6422 X1K2


(6)

Variable Relative Change

MSE Decomposition

Proportions

Inequality

Coef

N

MSE

Corr

(R)

Bias

(UM)

Reg

(UR)

Dist

(UD)

Var

(US)

Covar

(UC)

U1

U Label

X1K3

8 0.0140 0.46 0.11 0.31 0.59 0.01 0.89 1.0648 0.5281 X1K3

X2K1

8 0.00343 -0.29 0.30 0.45 0.25 0.00 0.70 1.2593 0.7614 X2K1

X2K3

8 0.0152 0.56 0.73 0.20 0.07 0.10 0.17 2.1626 0.7862 X2K3

X3K1

8 0.00631 0.58 0.00 0.27 0.73 0.01 0.99 0.9339 0.4481 X3K1

X3K2

8 0.00630 0.67 0.03 0.01 0.96 0.30 0.67 0.7563 0.4737 X3K2

M1D2

8 0.00590 0.88 0.34 0.16 0.51 0.34 0.33 0.6739 0.3781 M1D2

M1D3

8 0.0131 0.79 0.70 0.01 0.29 0.01 0.29 1.0015 0.5371 M1D3

M2D1

8 0.00673 0.63 0.53 0.24 0.22 0.07 0.39 1.6127 0.5447 M2D1

M2D3

8 0.00740 0.71 0.63 0.16 0.21 0.05 0.33 1.2731 0.5829 M2D3

M3D1

8 0.0150 0.66 0.13 0.00 0.87 0.16 0.71 0.7790 0.4707 M3D1

M3D2

8 0.0269 0.90 0.54 0.18 0.28 0.31 0.16 0.8258 0.4940 M3D2

UN1

8 0.1571 -0.58 0.33 0.60 0.07 0.06 0.61 2.7584 0.7765 UN1

UN2

8 0.1012 -0.80 0.02 0.95 0.03 0.24 0.74 3.2252 0.8876 UN2

UN3

8 0.1210 0.85 0.96 0.00 0.04 0.01 0.03 2.4991 0.7758 UN3

NX1

8 0.0135 0.76 0.73 0.13 0.14 0.05 0.22 1.6154 0.6140 NX1

NX2

8 0.00380 0.67 0.73 0.11 0.15 0.03 0.24 1.7058 0.6624 NX2

NX3

8 0.0436 0.57 0.77 0.11 0.12 0.02 0.21 2.3132 0.6470 NX3

NMG1

8 0.2849 0.47 0.82 0.16 0.02 0.10 0.08 4.8475 0.8951 NMG1

NMG2

8 0.0373 -0.07 0.88 0.05 0.07 0.00 0.12 3.6998 0.8515 NMG2

NMG3

8 0.0414 0.50 0.69 0.02 0.29 0.02 0.29 1.5126 0.7028 NMG3