106
pemisah serat sabut kelapa. Tetapi baru sekali pengiriman penjualan lantas terhenti. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kapasitas mesin sehingga
kualitas serat yang dihasilkan masih belum memenuhi persyaratan. Selain itu kendala dan masalah dalam pengembangan usaha kecil industri pengolahan
serat sabut kelapa adalah keterbatasan modal, akses terhadap informasi pasar dan pasar yang terbatas.
Ditinjau dari sisi pemasaran, usaha kecil serat sabut kelapa secara umum tidak dapat langsung memasarkan produknya kepada eksportir. Hal ini karena
persyaratan mutu produk usaha kecil masih belum dapat memenuhi persyaratan mutu yang diinginkan. Selain itu, ketiadaan fasilitas mesin pengepress sabut -
menyebabkan biaya transportasi per kg produk untuk dipasarkan langsung ke eksportir menjadi mahal dan tidak layak secara finansial. Ketidaklayakan mesin
dan peralatan produksi pada usaha kecil menyebabkan jumlah dan kualitas produk yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk ekspor langsung.
Pada tingkat pemasaran lokal dan domestik yang terjadi selama ini, kendala yang dihadapi oleh pengusaha kecil adalah lamanya realisasi pembayaran hasil
penjualan produk. Kendala ini semakin dirasakan oleh pengusaha kecil karena keterbatasan modal kerja.
Secara umum fasilitas produksi utama yang dibutuhkan adalah mesin pengurai dan pemisah serat dari sabut kelapa, fasilitas penjemuran atau mesin
pengering, dan alat press serat sabut kelapa dan serbuk gabus sabut kelapa. Proses produksi serat sabut kelapa secara garis besar adalah persiapan bahan,
pelunakan sabut, pemisahan serat, sortasi pengayakan, pembersihan dan pengeringan, pengepakan. Jenis produk yang dihasilkan dari industri
pengolahan serat dapat dikelompokan menjadi dua yaitu : 1 serat sabut kelapa coco fiber dan 2 butiran gabus coco peat. Hambatan yang sering dihadapi
pada aspek produksi adalah kinerja mesin produksi dan mesin penggerak. Kinerja mesin yang rendah menyebabkan kualitas produk dari segi panjang dan
kebersihan serat yang tidak dapat memenuhi standar kualitas untuk ekspor. Selain panjang dan kebersihan serat, tingkat kekeringan juga merupakan salah
satu kriteria kualitas yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, yang disebabkan kendala modal untuk pengadaan mesin pengering.
5.6 Karakteristik Petani dan Produsen Industri Rumah Tangga Produk Kelapa
107
Penelitian difokuskan di Kecamatan Kebonagung, pada dua desa yang menjadi wilayah pendampingan Program Masyarakat Mandiri sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat, yakni Desa Kemantren dan Desa Worawari. Kecamatan Kebonagung terdiri dari 19 desa, merupakan salah satu sentra kelapa di
Kabupaten Pacitan. Kecamatan ini luasnya 2,916 Ha, dengan total produksi kelapa 2,572,120 kg dan produktivitas sebesar 1,268.93 kgHaTh. Kebonagung
juga merupakan sentra industri rumah tangga berbasis komoditas kelapa yaitu gula merah. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pacitan
pada tahun 2004-2005 menyebutkan, di Kecamatan Kebonagung ada 2,526 unit usaha gula merah yang merupakan industri rumah tangga dan menyerap 5,634
orang tenaga kerja. Mayoritas mata pencaharian masyarakat di Desa Kemantren dan Desa
Worawari adalah penyadap nira bagi laki-laki atau suami sedangkan kaum wanita atau istri sebagai pembuat gula merah. Selain itu mereka juga melakukan
usaha tani yang lainnya. Distribusi karakteristik responden petani dan produsen gula merah di Kecamatan Kebonagung pada Tahun 2007 yang dikumpulkan dari
90 responden ditampilkan pada Tabel 32. Tabel 32 Distribusi Karakteristik Responden Petani dan Produsen Gula Merah di
Kecamatan Kebonagung pada Tahun 2007
No Karakteristik Minimum
Maksimum Rataan
1 Umur tahun
22 63
40 2
Tingkat Pendidikan Formal SD 72 org
Diploma 2 2 org SD
3 Jumlah Tanggungan
Keluarga orang 2 8
5 4
Luas lahan “tegalan” Ha 0.5 3
1 5
Status lahan Sewa 20 org Milik 70 org
Milik 5
Jumlah pohon kelapa yang disadap per hari batang
10 40 20
Sumber : Data primer diolah
Rata-rata responden petani kelapa memiliki lahan berupa lahan pekarangan dan “tegalan”. Luas kepemilikan lahan tegalan berupa lahan kering
yang ditanami kelapa rata-rata seluas 1 ha. Pemanfaatan pohon kelapa ini sebagian untuk produksi buah saja yang dijual langsung dalam bentuk butiran,
sebagian lagi disadap niranya untuk diolah menjadi gula merah. Walaupun rata-
108
rata petani memiliki lahan tegalan dengan kepemilikan pohon kelapa 200 batang ha, tetapi kemampuan penyadapan nira per hari pada setiap keluarga petani
hanya berkisar 20 batang pohon. Usia rata-rata petani kelapa yang telah mencapai 40 tahun, cukup riskan dalam menjalani aktivitas penyadapan nira bila
lebih dari 20 batang per hari, karena pohon kelapa yang disadap cukup tinggi sehingga sangat beresiko mengalami kecelakaan seperti jatuh dari pohon.
Dapat dikatakan para responden petani kelapa tersebut belum mengoptimalkan kepemilikan pohon kelapa untuk nilai ekonomis yang dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Hal ini disebabkan karena faktor keterbatasan tenaga sumberdaya manusia yang dapat memanjat kelapa dan menyadap nira. Para
pemuda di Desa Kemantren dan Worawari umumnya lebih suka merantau dan mengadu nasib sebagai TKI di luar negeri daripada menjadi petani kelapa.
Pekerjaan pembuatan gula merah dianggap sebagai pekerjaan sambilan, namun setelah ditelusuri ternyata penjualan harian gula merah inilah yang paling
menopang kebutuhan hidup keluarga petani. Hasil wawancara dengan beberapa warga Desa Kemantren, menunjukkan bahwa rata-rata dalam sehari setiap
kepala keluarga mendapatkan penghasilan sekitar Rp 17.500,- dari hasil pembuatan gula merah. Jumlah pendapatan yang diterima tergantung dari
kualitas gula merah yang dihasilkan. Sebagian besar warga di Kecamatan Kebonagung menjadikan hasil penjualan gula merah ini sebagai penghasilan
tetap yang menopang kebutuhan sehari-hari. Industri rumah tangga pembuatan gula merah maupun produk turunan
kelapa lainnya di Desa Kemantren dan Desa Worawari merupakan usaha-usaha mikro yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pedagang pengumpul
lokal. Produk turunan kelapa yang dihasilkan unit-unit usaha rumah tangga tersebut masih ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak terlalu menuntut kualitas.
Sebagian besar unit usaha rumah tangga yang ada tidak memiliki keterikatan internal satu sama lain sehingga upaya “membangun kepercayaan” sulit
dilakukan. Sentra industri rumah tangga ini memiliki struktur sosial yang mudah bercerai berai dan masih berkutat pada upaya untuk mempertahankan hidup.
Upaya pengembangan industri rumah tangga gula merah maupun produk turunan kelapa lainnya di Desa Kemantren dan Desa Worawari serta di wilayah
Kabupaten Pacitan secara umum, masih menghadapi persoalan dasar yaitu kelemahan internal usaha dan pelaku usaha, serta kelemahan eksternal berupa
hubungan dengan pelaku-pelaku lain yang terkait dalam usaha tersebut.
109
Kelemahan internal industri rumah tangga berbasis produk kelapa secara umum di Kabupaten Pacitan adalah lemahnya kapasitas manajemen dan
wirausaha, serta teknis produksi dan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud meliputi akses terhadap sumber modal, pasar, informasi, teknologi, sarana dan
prasarana. Sedangkan kelemahan eksternal terkait dengan pelaku-pelaku dalam lingkup usaha, yang disebut sebagai hubungan usaha hulu – hilir. Hubungan
usaha tersebut adalah hubungan antara pelaku usaha dengan pelaku-pelaku lain yang ada dalam jalur produksi dan pemasaran.
5.7 Penumbuhan Klaster Kelapa Berbasis Komunitas