Virgin Coconut Oil VCO

103 produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, maka sistem pemasaran nata de coco ini tidak efisien karena proporsi harga yang diterima produsen jauh lebih rendah daripada yang beralih kepada pengusaha restoran atau pedagang minuman. Hal ini tidak menguntungkan pihak petani atau produsen sebab proporsi resiko yang ditanggung petani tidak mendapat harga yang tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam alur pemasaran nata de coco ini relatif redah, maka dapat dikatakan position petani sangat lemah terhadap pasar. Pasar nata de coco di Kabupaten Pacitan dapat dikatakan belum berkembang. Sistem penjualan yang diterapkan oleh produsen atau petani masih bersifat tradisional dan lokal. Kebanyakan produsen hanya menerima order dan bukan mencari order atau menjemput bola. Sifat ini yang menyebabkan pengusaha kurang proaktif dan ekspansif seperti mencari pasar di luar daerah atau luar propinsi. Jangkauan pasar nata de coco yang dimasuki oleh pengusaha masih bersifat lokal. Tabel 30. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Nata de Coco Lembaran No Uraian Nilai Rp Kg 1 Harga Jual Petani 1000 28.57 a. Bahan baku 120 b. Tenaga kerja 150 c. Input lain 295 d. Biaya transportasi 100 Total Biaya 665 Harga Bersih Petani 335 2 Pengusaha Restoran dan Pedagang Minuman a. Harga beli 1000 b. Penyimpanan 300 b. Proses Pengolahan Input lain 1000 Tenaga kerja 500 Total Biaya 1800 Harga Jual 3500 Keuntungan Bersih 700 Marjin Pemasaran 2500 71.43 Total Marjin Pemasaran 2500 Total Biaya Pemasaran 2465 Total Keuntungan 700

5.5.4 Virgin Coconut Oil VCO

104 Usaha pembuatan VCO di Kabupaten Pacitan masih dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan mesin dan peralatan yang standard, sehingga produk yang dihasilkan masih berupa VCO setengah jadi. Saat ini usaha pembuatan VCO setengah jadi ini telah banyak dilakukan oleh para petani di sepuluh kecamatan di Kabupaten Pacitan. Rantai pemasaran VCO setengah jadi di Kabupaten Pacitan tergolong pendek, yang dimulai dari petani atau produsen yang menjual kepada pengusaha VCO di Yogyakarta, selanjutnya pengusaha VCO Yogyakarta tersebut mengolah VCO setengah jadi ini menjadi produk yang siap dikonsumsi. Proses pengemasan dan pemberian label produk juga dilakukan oleh pengusaha VCO Yogyakarta ini, yang selanjutnya langsung memasarkan produk VCO kepada konsumen. Tabel 31. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Virgin Coconut Oil VCO No Uraian Nilai Rp liter 1 Harga Jual Petani 12000 14 a. Bahan baku 8250 b. Tenaga kerja 2500 c. Input lain 150 Total Biaya 10900 Harga Bersih Petani 1100 2 Pengusaha VCO Yogya a. Harga beli 12000 b. Proses pengolahan 10000 c. Biaya packing 3000 d. Biaya labelling 500 e. Biaya simpan 2000 f. Biaya transportasi 1500 Total Biaya 17000 Harga Jual 75000 Keuntungan Bersih 46000 Marjin Pemasaran 63000 74 3 Pedagang Pengecer a. Harga beli 75000 b. Biaya transportasi 2000 c. Biaya simpan 1000 Total Biaya 3000 Harga Jual 85000 Keuntungan Bersih 7000 Marjin Pemasaran 10000 12 Total Marjin Pemasaran 73000 Total Biaya Pemasaran 30900 Total Keuntungan 53000 Hasil analisis marjin pemasaran VCO yang disajikan pada Tabel 31 menunjukkan bahwa marjin total pemasaran VCO adalah sebesar Rp 73,000liter, yang artinya selisih antara harga yang diterima produsen dengan 105 harga yang diterima konsumen sebesar nilai tersebut. Proporsi harga yang diterima petani sebesar 14 persen sedangkan sisanya akan beralih ke pengusaha VCO Yogyakarta sebesar 74 persen, dan pedagang pengecer sebesar 12 persen. Produsen atau petani yang menghasilkan VCO keuntungannya berkurang 86 persen, kali jumlah produk kali harga akhir di tingkat konsumen. Berdasarkan harga yang diterima produsen relatif terhadap harga yang dibayar konsumen, sistem pemasaran VCO ini sangat tidak efisien karena proporsi harga yang diterima produsen jauh lebih rendah daripada yang beralih kepada pengusaha Yogyakarta dan pedagang pengecer. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan pihak petani sebab proporsi resiko yang ditanggung petani tidak mendapat harga yang tinggi. Karena proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam alur pemasaran VCO ini sangat rendah, maka dapat dikatakan position petani sangat lemah terhadap pasar. Para pelaku usaha VCO di Kabupaten Pacitan masih menggantungkan sepenuhnya pemasaran produknya kepada suatu perusahaan VCO di Yogyakarta. Perusahaan ini mempunyai cabang di Kabupaten Pacitan yang berfungsi menampung hasil produk VCO setengah jadi dari para petani. Pasar VCO di Kabupaten Pacitan dapat dikatakan sebagai pasar monopsoni, dimana hanya terdapat satu pembeli dengan banyak penjual. Ke depan diharapkan dengan adanya dukungan kebijakan dan suntikan modal, proses pengolahan VCO di Kabupaten Pacian dapat menggunakan mesin dan teknologi yang standard sehingga mampu dihasilkan VCO yang memenuhi kualifikasi sertifikasi BPOM RI. Proses pengemasan dan labelisasi produk pun diharapkan dapat dilakukan lansung di Kabupaten Pacitan. Tetapi rencana ini menuntut sikap yang proaktif dari pelaku usaha di Kabupaten Pacitan untuk berekspansi mencari pasar di seluruh wilayah Indonesia bahkan ekspor. Paradigma sikap pelaku usaha yang hanya ‘menerima order’ harus berganti menjadi sikap ‘siap menjemput bola’.

5.5.5 Serat Sabut Kelapa Coco Fiber