86
10 Pringkuku
Kelapa, Melinjo Kelapa
11 Ngadirojo Cengkeh, Tanaman Obat
Kelapa, Cengkeh, Panili 12 Tulakan
Kelapa, Melinjo Melinjo, Kopi, Tanaman
Obat, Panili
Kombinasi hasil analisis LQ dan Shift Share menunjukkan bahwa komoditas kelapa yang memiliki keunggulan komparatif di Kecamatan Pacitan,
Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Tulakan, ternyata menjadi komoditas yang tidak kompetitif. Komoditas kelapa di ketiga kecamatan tersebut
mengalami penurunan atau pertumbuhan yang lambat, dan ketiga kecamatan tersebut tidak memberikan kontribusi terbesar keunggulan kompetitif terhadap
pertumbuhan komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif, salah satu faktornya
adalah pemberian alam. Kondisi alam Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Tulakan memiliki keunggulan untuk menghasilkan
komoditas kelapa. Tetapi pemberian alam ini bila tidak disertai dengan upaya manusia untuk terus menjaga dan memelihara, maka keunggulan ini tidak akan
bertahan. Hal ini kemungkinan disebabkan nilai ekonomis kelapa yang mulai merosot, sehingga menyebabkan turunnya gairah petani dalam memelihara
kebun, yang pada akhirnya kebun menjadi terlantar dan rusak. Untuk itu diperlukan upaya-upaya peningkatan produktivitas tanaman kelapa dengan terus
memperbaiki pemeliharaan tanaman, pemberantasan hama dan penyakit, regenerasi tanaman, penyediaan bibit unggul serta teknik budidaya.
5.3 Analisis Kelayakan Finansial
Kelapa dijuluki pohon kehidupan, karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan seperti berikut: 1 sabut: coir fiber, keset, sapu, matras, bahan
pembuat spring bed; 2 tempurung: charcoal, carbon aktif dan kerajinan tangan; 3daging buah: VCO, minyak kelapa, coconut cream, santan, kelapa parutan
kering desiccated coconut; 4 air kelapa: cuka, Nata de Coco; 5 batang kelapa: bahan bangunan untuk kerangka atau atap; 6 daun kelapa: lidi untuk
sapu, barang anyaman daun kelapa muda atau janur untuk dekorasi pesta pernikahan; 7 nira kelapa: gula merah kelapa. Tetapi selama ini di
Kabupaten Pacitan keragaman produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas, baik dalam jumlah maupun jenis.
87
Penganekaragaman produk-produk olahan kelapa merupakan upaya dalam meningkatkan nilai ekonomi kelapa sehingga dapat lebih memberikan
kesejahteraan bagi petani. Dengan pengolahan kelapa secara terpadu akan dihasilkan beberapa produk, yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah
kelapa. Pada umumnya hasil produk olahan kelapa berasal dari dua sumber yaitu yang berbasis buah dan yang berbasis bunga. Berdasarkan output derivasi
dari tanaman kelapa baik yang berbasis buah maupun yang berbasis bunga, diharapkan dapat dikembangkan suatu bentuk klaster industri kelapa di
Kabupaten Pacitan. Gambar 9 menunjukkan output derivasi tanaman kelapa yang berbasis buah maupun bunga yang dapat dikembangkan dalam bentuk
klaster industri kelapa di Kabupaten Pacitan.
Gambar 9. Output Derivasi Produk Olahan Kelapa Salah satu ouput derivasi tanaman kelapa berbasis bunga yang
mempunyai nilai ekonomis adalah produk gula merah atau gula kelapa. Bagian penting bunga kelapa yang bernilai ekonomis itu adalah mayang. Mayang
merupakan bunga kelapa yang belum terbuka, sedangkan bila telah mekar atau pecah disebut manggar. Nira kelapa adalah eksudat cairan yang keluar dari
mayang pohon kelapa. Gula merah atau gula kelapa dibuat dari nira yang Berbasis Buah
Daging buah
Sabut
Tempurung
Air kelapa
Berbasis Bunga Æ Nira VCO
Minyak kelapa
Serat sabut Coco peat
Arang tempurung
Nata de Coco
Gula merah atau Gula kelapa Produk
Olahan Kelapa
88
diperoleh dari hasil penyadapan mayang kelapa, kemudian dimasak dan dicetak sesuai kebutuhan. Perolehan nira dari pohon kelapa dilakukan dengan cara
menderes atau melukai mayang. Bila diasumsikan tanaman kelapa di Kabupaten Pacitan mampu
menghasilkan nira sebanyak 30.9 liter per mayang, dan dalam satu pohon kelapa dapat menghasilkan 14 mayang per tahun, maka akan diperoleh nira sebanyak
432.6 liter per pohon per tahun Hamzah dan Jatnika, 1990 dalam Siahaan, 1992. Mayang yang telah dideres atau dilukai untuk diambil niranya sampai
habis, tidak akan menghasilkan buah. Dalam hal ini terdapat kemungkinan untuk memperoleh nira dan buah dari mayang yang sama, sehingga harus dipilih salah
satu dari kedua kemungkinan tersebut, nira atau kelapa, untuk mendapatkan nilai ekonomis yang optimal.
Bila mayang dibiarkan sampai pecah atau mekar, sehingga serbuk sari dari bungan jantan mampu menyerbuki bunga betina maka akan dihasilkan buah
kelapa dengan masa tunggu 11-12 bulan agar buah siap dipanen. Secara umum buah kelapa terdiri dari empat komponen, dengan komposisi yaitu 35 persen
sabut, 12 persen tempurung, 28 persen daging buah dan 25 persen air kelapa Samosir, 1991. Dari keempat komponen tersebut, masing-masing dapat
dihasilkan produk turunan yang bernilai ekonomis. Hasil pengukuran berat satu butir buah kelapa dalam yang ada di lokasi penelitian adalah seberat 2.2 kg.
Produk turunan berbasis buah yang bernilai ekonomi yang bisa dikembangkan di Kabupaten Pacitan adalah virgin coconut oil VCO. VCO atau
minyak kelapa murni merupakan salah satu produk diversifikasi dari daging buah kelapa, yang dimanfaatkan sebagai bahan suplemen kesehatan dan bahan baku
farmasi serta kosmetik. VCO diproses dari buah kelapa tua yang masih segar dan baru dipetik. Buah kelapa itu terlebih dahulu dikupas sabut, tempurung dan
kulit arinya. Daging buah kelapa diparut, kemudian diperas hingga diperoleh santan kental. Santan ini kemudian diproses menjadi VCO. Hasil sampingan
dalam proses pembuatan VCO berupa santan kental atau blondo dalam istilah Pacitan dapat terus diolah dengan dimasak hingga dihasilkan minyak goreng
berkualitas tinggi. Sementara itu kulit ari dapat diproses lagi untuk dijadikan minyak goreng kualitas kedua, sedangkan ampas kelapanya dapat digunakan
sebagai pakan ternak. Sabut kelapa adalah limbah dari proses pengolahan daging buah, dan
merupakan bagian yang terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari
89
bobot buah. Di Kabupaten Pacitan potensi sabut kelapa belum dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambah. Alternatif
produk pengolahan sabut kelapa adalah serat sabut atau Coco Fiber, yang merupakan hasil dari proses pemisahan serat dari bagian kulit buah epicarp dan
mesocarp. Secara tradisionil serat sabut kelapa hanya dimanfaatkan untuk bahan
pembuat sapu, keset, tali dan alat-alat rumah tangga lain. Dengan perkembangan teknologi, aspek karakteristik sifat fisika-kimia serat, dan
kesadaran konsumen untuk kembali ke bahan alami, membuat serat sabut kelapa dimanfaatkan menjadi bahan baku industri karpet, jok dan dashboard
kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Serat sabut kelapa juga dimanfaatkan untuk pengendalian erosi. Serat sabut kelapa dapat diproses untuk dijadikan Coir
Fiber Sheet yang digunakan untuk lapisan kursi mobil, spring bed dan lain-lain. Hasil samping pengolahan serat sabut kelapa berupa butiran-butiran
gabus sabut kelapa, dikenal dengan nama Coco Peat. Sifat fisika-kimianya yang dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk, serta dapat menetralkan
keasaman tanah menjadikan limbah ini mempunyai nilai ekonomi. Coco Peat digunakan sebagai media pertumbuhan tanaman hortikultur dan media tanaman
rumah kaca. Hasil samping atau limbah buah kelapa selain sabut adalah air kelapa.
Produk turunan yang dihasilkan dari air kelapa adalah nata de coco. Nata de coco merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan bantuan mikroba
acetobacter xyllium. Nata de coco merupakan salah satu produk olahan air kelapa yang memiliki kandungan serat tinggi dan kandungan kalori rendah
sehingga cocok untuk makanan diet dan baik untuk sistim pencernaan serta tidak mengandung kolesterol sehingga mulai poluler di kalangan masyarakat yang
memiliki perhatian pada kesehatan. Limbah buah kelapa yang lainnya adalah tempurung kelapa. Bobot
tempurung mencapai 12 persen dari bobot buah kelapa. Potensi hasil samping tempurung di Kabupaten Pacitan belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk
kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambahnya. Salah satu produk yang dibuat dari tempurung kelapa adalah pembuatan arang tempurung, yang
pada proses selanjutnya akan dapat diolah menjadi arang aktif. Arang tempurung merupakan bahan baku untuk industri arang aktif.
90
Untuk merencanakan pengolahan kelapa secara terpadu dalam bentuk klaster industri, dilakukan analisa kelayakan finansial pada 1 hektar lahan. Di
Kabupaten Pacitan, dalam luasan 1 hektar kebun kelapa, kerapatan tanaman adalah sebanyak 200 pohon ha. Analisa kelayakan finansial pada perencanaan
pengolahan kelapa secara terpadu, dilakukan dengan menggunakan empat skenario. Skenario yang pertama adalah perencanaan usaha pengolahan
dengan produk yang berbasis buah saja. Skenario yang kedua adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis bunga atau nira
saja. Skenario yang ketiga adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunganira dengan komposisi 30
persen nira dan 70 persen buah. Skenario yang keempat adalah perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunganira
dengan komposisi 50 persen nira dan 50 persen buah. Diasumsikan produk turunan yang dihasilkan dari basis buah adalah
VCO, minyak kelapa minyak klentik sebagai produk sampingan VCO, arang tempurung, serat sabut kelapa coco fiber dengan hasil sampingnya gabus
sabut kelapa coco peat, dan nata de coco. Sedangkan produk yang dihasilkan dari basis bunga atau nira adalah gula merah. Hasil analisis finansial usaha
pengolahan kelapa terpadu pada 1 hektar kebun kelapa dengan empat skenario tersebut disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Perencanaan Usaha Pengolahan Kelapa
Terpadu Pada Satu Hektar Kebun Dengan Empat Skenario.
Jenis Analisis Finansial Kategori
Perencanaan IRR
NPV RpHa BC
Kesimpulan Skenario I
Berbasis buah saja 18.42 5,039,719
1.0416 Layak
Skenario II Berbasis bunga saja
175.57 139,210,205 1.4828
Layak Skenario III
Buah 70, bunga 30
40.20 40,417,309 1.2295
Layak Skenario IV
Buah 50, bunga 50
53.51 68,808,128 1.2995
Layak
Keterangan : Dihitung pada tingkat suku bunga yang berlaku 15
91
Pada proses penyusunan analisis kelayakan finansial tersebut digunakan beberapa asumsi sebagai dasar perhitungan. Asumsi tersebut diperoleh
berdasarkan kajian di daerah penelitian, informasi dari pelaku usaha serta studi pustaka. Asumsi analisis finansial usaha VCO adalah sebagai berikut: teknologi
yang digunakan adalah teknologi sederhana dengan proses manual sehingga produk yang dihasilkan masih berupa VCO setengah jadi; dalam 1 hektar lahan
terdapat 200 pohon kelapa; 1 pohon kelapa menghasilkan buah 61 butir kelapa per tahun; untuk menghasilkan 1 liter VCO diperlukan 11 butir kelapa; harga 1
butir kelapa Rp 750,-; harga 1 liter VCO setengah jadi petani produsen Rp 12.000,-; harga 1 liter minyak kelapa yang merupakan produk sampingan VCO
Rp 7,000,-,; tiap 5 liter VCO akan menghasilkan produk samping minyak kelapa sebanyak 3 liter.
Limbah dari hasil pengolahan VCO tersebut berupa sabut, tempurung dan air kelapa, yang selanjutnya dapat diolah menjadi coco fiber dan coco peat,
arang tempurung dan nata de coco. Asumsi analisis finansial usaha nata de coco adalah sebagai berikut: 1 butir kelapa mengandung air kelapa sebanyak
0.333 liter; 1.2 liter air kelapa menghasilkan 1 lembar nata de coco; harga jual produsen per lembar nata de coco Rp 1000,-. Asumsi analisis finansial usaha
arang tempurung adalah sebagai berikut: 1 butir kelapa menghasilkan tempurung seberat 0.306 kg; untuk menghasilkan 1 kg arang tempurung dibutuhkan 4 kg
tempurung kelapa; harga jual produsen 1 kg arang tempurung Rp 1100,-. Asumsi analisis finansial usaha sabut kelapa adalah sebagai berikut: sabut dari 9
butir buah kelapa akan menghasilkan serat sabut coco fiber sebanyak 1 kg dan debu sabut coco peat sebanyak 0.4 kg; harga coco fiber Rp 1200 kg
sedangkan harga coco peat Rp 500 kg. Sedangkan pada usaha gula merah, asumsi analisis finansialnya adalah
sebagai berikut: 1 pohon kelapa bila diambil semua niranya akan menghasilkan sebanyak 432 liter per tahun; untuk membuat 1 kg gula merah diperlukan nira
sebanyak 5.5 liter; harga 1 liter nira Rp 350,-; harga jual produsen 1 kg gula merah Rp 5200.
Untuk memproduksi sabut kelapa coco fiber dan coco peat, VCO, nata de coco, arang tempurung, dan gula merah dibutuhkan input tetap fixed input
dan input variabel variabel input. Pemakaian input membawa konsekuensi pada biaya, yaitu biaya tetap fixed cost dan biaya variabel variable cost. Input
tetap adalah adalah input yang jumlahnya tidak tergantung dari jumlah output
92
yang diproduksi. Dalam bahasa sehari-hari biaya tetap ini sering disebut dengan biaya investasi. Komponen biaya investasi meliputi: biaya perijinan usaha, biaya
tanah dan bangunan, mesin dan peralatan, serta kendaraan. Input variabel adalah input yang jumlahnya tergantung dari jumlah output
yang diproduksi. Dalam bahasa sehari-hari biaya variabel ini sering disebut biaya operasional. Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
upah, bahan baku, bahan pembantu, listrik dan lain-lain yang terkait dengan penggunaan input.
Usaha pengolahan kelapa terpadu yang layak dikembangkan di Kabupaten Pacitan adalah usaha dengan IRR suku bunga yang berlaku, NPV
bernilai positif dan BC 1. Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial yang tersaji pada Tabel 24, terlihat bahwa dari empat skenario analisis yang dilakukan,
semuanya memberikan kriteria layak. Skenario kedua, yaitu perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis bunga atau nira saja, mempunyai nilai
yang tertinggi dengan NPV Rp 139,210,205, IRR 175.57 dan BC Ratio 1.4828. Tetapi skenario ini tidak tepat bila dilaksanakan, karena pasokan buah kelapa di
Kabupaten Pacitan akan habis, bila semua niranya diambil. Selain itu, dalam jangka panjang hal ini justru dapat mematikan keunggulan komparatif komoditas
kelapa di Kabupaten Pacitan. Nilai hasil analisis kelayakan finansial yang tinggi pada skenario kedua, disebabkan karena dalam pengolahan gula merah proses
yang digunakan cukup sederhana sehingga tidak diperlukan investasi yang banyak khususnya pada mesin serta nilai jual produk gula merah yang cukup
tinggi. Sedangkan pada skenario pertama, yaitu perencanaan usaha
pengolahan dengan produk yang berbasis buah saja, walaupun termasuk pada kriteria layak, tetapi mempunyai nilai yang terendah dengan NPV 5,039,719, IRR
18.42 persen dan BC Ratio 1.0416. Hal ini disebabkan karena pada proses pengolahan produk turunan yang berbasis buah bila menghendaki mutu dan
kualitas yang bagus dengan harga yang tinggi maka teknologi yang digunakan mesti standard dan menggunakan mesin modern. Tentu saja ini memerlukan
investasi yang cukup tinggi. Selain itu skala ekonomis luasan lahan harus ditingkatkan, dan supplai bahan baku harus dijamin kontinuitasnya, supaya
kapasitas produksi mesin terpenuhi. Tingkat keuntungan dan kelayakan usaha semakin baik bila tingkat produksi semakin besar dan mencapai batas
maksimum kapasitas mesin. Karena cakupan lahan yang dihitung pada analisis
93
ini hanya 1 hektar maka tidak dihitung biaya investasi mesin yang modern, sehingga asumsi produk yang dihasilkan adalah produk setengah jadi atau
produk dengan kualitas mutu dan harga yang rendah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan VCO yang siap konsumsi dan
memenuhi standard sertifikasi BPOM, maka proses produksi yang dilakukan harus memenuhi standard kualifikasi mutu. Produk VCO dengan kualitas
demikian mempunyai nilai jual yang sangat tinggi yaitu Rp 100 ribu sampai 120 ribu per liter di tingkat konsumen, sedangkan di tingkat produsen seharga Rp 90
ribu per liter. Adapun VCO setengah jadi yang diproduksi di Pacitan saat ini hanya mempunyai nilai jual sebesar Rp 12.000 per liter, karena proses produksi
yang digunakan belum memenuhi standard. Bila dilihat dari optimalisasi pemanfaatan, maka skenario keempat, yaitu
perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunganira dengan komposisi 50 persen nira dan 50 persen buah
merupakan pilihan yang terbaik, karena mempunyai nilai NPV Rp 68,808,128, IRR 53.51 persen dan BC Ratio 1.2995.
5.4 Analisis Nilai Tambah