93
ini hanya 1 hektar maka tidak dihitung biaya investasi mesin yang modern, sehingga asumsi produk yang dihasilkan adalah produk setengah jadi atau
produk dengan kualitas mutu dan harga yang rendah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan VCO yang siap konsumsi dan
memenuhi standard sertifikasi BPOM, maka proses produksi yang dilakukan harus memenuhi standard kualifikasi mutu. Produk VCO dengan kualitas
demikian mempunyai nilai jual yang sangat tinggi yaitu Rp 100 ribu sampai 120 ribu per liter di tingkat konsumen, sedangkan di tingkat produsen seharga Rp 90
ribu per liter. Adapun VCO setengah jadi yang diproduksi di Pacitan saat ini hanya mempunyai nilai jual sebesar Rp 12.000 per liter, karena proses produksi
yang digunakan belum memenuhi standard. Bila dilihat dari optimalisasi pemanfaatan, maka skenario keempat, yaitu
perencanaan usaha pengolahan dengan produk yang berbasis berbasis buah dan bunganira dengan komposisi 50 persen nira dan 50 persen buah
merupakan pilihan yang terbaik, karena mempunyai nilai NPV Rp 68,808,128, IRR 53.51 persen dan BC Ratio 1.2995.
5.4 Analisis Nilai Tambah
Nilai tambah yang dimaksud adalah nilai tambah bruto yang diperoleh dari aktivitas industri kelapa. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai
produksi dengan nilai bahan baku bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi produk turunan kelapa. Analisis nilai tambah beberapa produk
turunan kelapa dihitung berdasarkan satuan bahan baku yang diolah menjadi produk akhir yang siap dijual. Tabel 25 menunjukkan nilai tambah produk
turunan kelapa berdasarkan perencanaan usaha yang menggunakan skenario keempat yaitu produk turunan yang berbasis berbasis buah dan bunga dengan
komposisi 50 persen bunga dan 50 persen buah. Tabel 25. Hasil Analisis Nilai Tambah Perencanaan Usaha Pengolahan Kelapa
Terpadu per ha Dengan Skenario Berbasis Buah 50 persen dan Berbasis
Bunga 50 persen.
No Variabel Nilai
Gula Merah
Nilai Arang Tempurung
Nilai Nata de
Coco Nilai
Sabut Kelapa
Nilai VCO
I OUTPUT, INPUT dan HARGA
1 Produk ouput kg 7854
467 1693
678 555
94
2 Bahan
baku kg
43200 1867 2031 4697 6100
3 Tenaga
kerja HOK
523.6 4
40 12 55.5 4 Faktor konversi 1:2 0.182
0.25 0.83
0.144 0.091
5 Koefisien tenaga kerja 3:2 0.012
0.002 0.0197
0.0025 0.009
6 Harga produk rata-rata Rp kg 5200
1100 1000
1100 12000
7 Upah rata-rata tenaga kerja Rp HOK 15000
15000 15000
10000 15000
II PENDAPATAN dan KEUNTUNGAN
8 Harga bahan baku Rp kg 350
100 100
25 750
9 Sumbangan input lain Rp kg 250
100 295
100 150
10 Nilai produk output Rp 946.4 275
830 158.4
1092 11 a. Nilai Tambah Rp
346.4 75
435 33.4
192 b. Rasio Nilai Tambah
36.6 27.3
52.4 21.1
17.58 12 a. Imbalan Tenaga Kerja Rp
180 30
295.5 25
135 b. Bagian Tenaga Kerja
51.96 40
67.93 74.85
70.3 13 a. Keuntungan Rp
166.4 45
139.5 8.4
57 b. Tingkat keuntungan
17.58 16.4
16.8 5.3
5.22 III
BALAS JASA FAKTOR PRODUKSI 14 Marjin
keuntungan 596.4 175
730 133.4
342 a. Pendapatan tenaga kerja
30.18 17.14 40.48 18.74 39.47
b. Sumbangan input lain 41.92
57.14 40.41
74.9 43.86
c. Keuntungan pengolah 27.90 25.71
19.11 6.29
16.67 Hasil analisis nilai tambah pada Tabel 25 tersebut menunjukkan bahwa
pada usaha gula merah, setiap liter nira yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 346.4 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan
mencapai 36.6 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar 30.18 persen, input lain mendapat
marjin keuntungan sebesar 41.92 persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar 27.90 persen untuk setiap kilogram produk yang
dihasilkan. Pada usaha arang tempurung, setiap kilogram limbah tempurung kelapa
yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 75 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan sebesar 27.3 persen. Dari kegiatan
pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar 17.14 persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar 57.14 persen,
sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar 25.71 persen untuk setiap kilogram produk yang dihasilkan.
Pada usaha nata de coco, setiap liter limbah air kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 435 dengan rasio nilai tambah
pada proses pengolahan sebesar 52.4 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar 40.48 persen,
input lain mendapat marjin keuntungan sebesar 40.41 persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar 19.11 persen.
95
Pada usaha serat sabut, setiap kilogram limbah sabut kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 33.4 dengan rasio nilai tambah
pada proses pengolahan sebesar 21.1 persen. Dari kegiatan pengolahan tersebut, tenaga kerja memperoleh marjin keuntungan sebesar 18.74 persen,
input lain mendapat marjin keuntungan sebesar 74.9 persen, sedangkan pengusaha memperoleh marjin keuntungan sebesar 6.29 persen. Rendahnya
marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha disebabkan karena skala ekonomis usaha yang belum memenuhi, investasi mesin dan peralatan yang
cukup mahal agar mampu menghasilkan kualitas mutu dan harga yang bagus, serta kuantitas bahan baku yang belum mencukupi agar kapasitas produksi
mesin terpenuhi. Pada usaha VCO, setiap butir buah kelapa yang diolah mampu
menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 192 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan sebesar 17.58 persen. Dari kegiatan tersebut, tenaga kerja
memperoleh marjin keuntungan sebesar 39.47 persen, input lain mendapat marjin keuntungan sebesar 43.86 persen, sedangkan pengusaha memperoleh
marjin keuntungan sebesar 16.67 persen. Rendahnya nilai tambah pada usaha VCO ini disebabkan karena output yang dihasilkan di Kabupaten Pacitan masih
berupa produk setengah jadi dengan harga jual yang sangat murah dan kualitas mutu yang rendah. Proses pengolahan masih dilakukan secara tradisional yang
banyak menggunakan tenaga kerja manusia, dengan tingkat keahlian yang masih terbatas.
Ditinjau dari karakteristik tenaga kerja diketahui bahwa usaha pengolahan gula merah merupakan jenis usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja
yaitu 523.6 HOK. Usaha gula merah menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja karena merupakan jenis usaha yang mempunyai
pangsa pasar yang luas serta tidak membutuhkan proses pengolahan yang rumit.
Keuntungan terbesar usaha pengolahan juga didapat dari usaha gula merah. Hal tersebut disebabkan besarnya selisih nilai tambah dengan imbalan
terhadap tenaga kerja pada usaha gula merah. Imbalan terhadap tenaga kerja tergantung pada jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam aktivitas usaha
untuk mengolah satu liter bahan baku nira menjadi produk gula merah, serta upah per hari yang diberikan pada tenaga kerja usaha gula merah. Apabila nilai
tambah produk semakin besar dan faktor imbalan terhadap tenaga kerja makin
96
kecil maka keuntungan yang diperoleh makin besar. Peringkat keuntungan masing-masing jenis usaha pengolahan adalah gula merah 166.4, nata de coco
139.5, VCO 57, arang tempurung 45, dan serat sabut kelapa 8.4. Produk gula merah masih merupakan primadona produk turunan kelapa
di Kabupaten Pacitan karena pemasarannya yang cukup luas dan telah terbukti menambah kesejahteraan petani. Pekerjaan membuat gula kelapa sebagian
besar merupakan usaha sampingan yang dilakukan oleh kaum wanita. Koefisien tenaga kerja menggambarkan efisiensi tenaga kerja dari
sebuah industri. Usaha nata de coco merupakan usaha yang memiliki efisiensi tenaga kerja yang paling baik 0.0197, berturut-turut kemudian gula merah
0.012, VCO 0.009, sabut kelapa 0.0025 dan arang tempurung 0.002. Tingginya efisiensi tenaga kerja pada usaha nata de coco disebabkan karena
pada jenis usaha ini seorang tenaga kerja mampu mengolah bahan baku dalam jumlah yang besar.
Ditinjau dari aspek nilai tambah diketahui bahwa usaha nata de coco mampu menghasilkan nilai tambah paling besar. Nilai tambah yang besar
tersebut dihasilkan dari besarnya perbedaan nilai produk dengan harga bahan baku serta bahan penolong. Dalam hal ini harga bahan baku nata de coco relatif
murah serta penggunaan bahan penolong yang sedikit sehingga selisih nilai produk dengan harga bahan baku dan bahan penolong menjadi tinggi.
Peringkat nilai tambah masing-masing jenis usaha pengolahan berturut-turut adalah nata de coco 435, gula merah 346.4, VCO 192, arang tempurung
75, dan sabut kelapa 33.4. Walaupun secara perhitungan usaha nata de coco cukup mempunyai
prospek, tetapi usaha ini masih belum banyak diminati karena jalur pemasarannya yang masih terbatas. Begitu juga dengan arang tempurung,
hanya sebagian kecil petani saja yang mengolah arang tempurung untuk dijual, karena mereka lebih cenderung menggunakan sendiri limbah tempurung untuk
bahan bakar di dapur. Dalam konteks pengembangan industri indikator yang harus
diperhitungkan tidak hanya nilai tambah, imbalan tenaga kerja dan keuntungan saja. Tetapi juga harus dipertimbangkan indikator yang lebih penting yaitu rasio
nilai tambah, bagian tenaga kerja dan tingkat keuntungan. Ketiga unsur yang berhubungan linier ini lebih riil menggambarkan kinerja suatu usaha.
97
Selain analisis nilai tambah yang dihitung berdasarkan satuan bahan baku yang diolah menjadi produk akhir yang siap dijual dengan metode Hayami,
juga akan dilihat nilai ekonomis per butir kelapa apabila diolah menjadi beberapa produk turunan, dibandingkan dengan nilai ekonomis kelapa butiran yang
langsung dijual dalam bentuk buah segar. Tabel 26 menggambarkan nilai tambah per butir kelapa dari berbagai produk yang dihasilkan.
Tabel 26. Nilai per Butir Kelapa dari Berbagai Produk yang Dihasilkan Jenis produk Komponen
buah yang digunakan
Kuantitas produk yang
dihasilkan kg Harga per kg
Rp Nilai Rp
Nata de coco
Air kelapa 0.333 liter
0.2775 1000
277.5 Coco fiber
serat sabut kelapa
Sabut kelapa 0.77 kg
0.1111 1000 111.1 Coco peat
Sabut kelapa 0.77 kg
0.04 300 12 Arang
tempurung Tempurung
0.306 kg 0.0765 1100 84.2
VCO Daging buah
0.616 kg 0.091 12000
1092 Minyak
kelapa Daging buah
Hasil samping VCO
0.054 7000 378 TOTAL 1954.8
Tabel 26 memberikan gambaran bahwa upaya peningkatan nilai ekonomi kelapa melalui penganekaragaman produk-produk olahan dengan memanfaatkan
hasil samping yang bernilai ekonomi, dapat meningkatkan nilai akhir satu butir kelapa sampai Rp 1954.8. Nilai per butir kelapa apabila hanya dijual langsung
dalam bentuk buah segar adalah sebesar Rp 750, dan apabila dilakukan pengolahan kelapa secara terpadu dengan menghasilkan beberapa produk
turunan, maka nilai total per butir kelapa mengalami peningkatan sebesar 160.6 persen.
Sebuah mayang pada pohon kelapa bila dideres atau diambil niranya sampai habis, maka tidak akan menghasilkan buah kelapa. Sebuah mayang
mampu menghasilkan nira sebanyak 30.9 liter atau setara dengan 5.6 kg gula merah Hamzah dan Jatmika, 1990 dalam Djamin dan Girsang, 1992. Bila
mayang tersebut tidak dideres, tetapi dijadikan buah, maka jumlah buah yang
98
dihasilkan sebanyak 10 butir. Diasumsikan harga gula merah Rp 5200 kg, sedangkan harga kelapa Rp 750 butir. Sebuah mayang yang menghasilkan 10
butir buah kelapa, mempunyai nilai ekonomis sebesar Rp 7,500. Sedangkan bila mayang tersebut diambil niranya, mempunyai nilai ekonomis sebesar Rp 29,120.
Dapat dikatakan nilai ekonomis sebuah mayang mengalami peningkatan sebesar 288 persen bila diolah menjadi gula merah, dibandingkan bila menghasilkan
buah kelapa segar.
5.5 Analisis Marjin Pemasaran 5.5.1 Gula Merah