29
klaster tersebut. Strategi ini memungkinkan bagi daerah untuk membangun kekuatan, baik aspek kepakaran maupun infrastruktur yang sesuai, yang akan
membawa kemajuan nyata bagi wilayah tersebut Bappenas, 2004. Strategi klaster industri membutuhkan komitmen yang berkelanjutan dari
pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan dunia pendidikan. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat, dimana masing-masing
pihak harus memberikan komitmen penuh terhadap perannya. Suatu klaster tidak boleh menampakkan kolaborasi hanya pada suatu kegiatan tertentu saja. Klaster
harus dilihat oleh para pesertanya sebagai cara yang efektif dalam menjalankan bisnis. Klaster mengidentifikasi isu-isu kunci dan mencoba mengatasinya. Klaster
juga menyediakan forum diskusi untuk melakukan perencanaan. Melalui forum ini, pemerintah daerah mempelajari kebutuhan infrastruktur industri dan
kebutuhan SDM untuk tahun-tahun kedepan. Sedangkan perusahaan akan menggali peluang kerjasama yang saling menguntungkan Bappenas, 2004.
Strategi pengembangan kawasan berbasis klaster industri memungkinkan pemerintah daerah mengarahkan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien.
Pendekatan klaster industri memungkinkan pemerintah daerah untuk bekerja langsung dengan industri-industri dan mengembangkan strategi dalam
membangun ekonomi wilayah yang berkelanjutan. Strategi ini menyediakan suatu kerangka bagi pemerintah daerah dalam menyediakan layanan bagi
keseluruhan klaster sehingga memberikan dampak yang maksimal Bappenas, 2004.
Komunitas perdesaan akan memperoleh manfaat dari strategi klaster industri dengan membangun dan memperkuat industri kunci mereka sendiri.
Industri-industri ekspor dapat menggerakkan vitalitas kawasan tersebut dan memungkinkan berkembangnya berbagai industri pendukung lainnya Bappenas,
2004. Klaster industri juga merupakan pilihan yang baik dalam membangun
kapital sosial hubungan sosial yang dapat meningkatkan produktivitas di suatu daerah. Klaster yang diwakili oleh industri, pemerintah, lembaga pendidikan, dan
organisasi lainnya akan bekerja bersama dalam meningkatkan ekonomi. Hubungan sosial yang dibangun ini merupakan sesuatu yang sangat penting
bagi kesuksesan ekonomi suatu daerah Bappenas, 2004.
2.4 Agribisnis Kelapa
30
Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31.2 persen dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki
Filipina pangsa 25.8 persen, disusul India pangsa 16.0persen, Sri Langka pangsa 3.7 persen dan Thailand pangsa 3.1 persen. Namun demikian, dari
segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi ke dua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah
India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai 229 juta US atau 11 persen dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 Allorerung et
al., 2005. Produk kelapa nasional sebagian besar merupakan komoditi ekspor,
dengan pangsa pasar sekitar 75 persen, sedangkan sisanya dikonsumsi oleh pasar domestik. Pada tahun 2003, total ekspor aneka produk kelapa Indonesia
mencapai US 396 juta dengan volume ekspor 708 ribu ton yang dikirim ke negara-negara USA, Belanda, Inggeris, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Belgia,
Irlandia, Singapura, dan ke negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, China, Bangladesh, Sri Lanka, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand. Belakangan ini
mulai dibuka penetrasi pasar aneka produk kelapa ke pasar-pasar baru seperti negara-negara yang termasuk kelompok Asia Pasifik, Eropa Timur dan negara-
negara Timur Tengah Allorerung et al., 2005. Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya,
tidak lagi pada produk primer, di mana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha
produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha kecil, menengah maupun besar. Pada gilirannya industri hilir
menjadi lokomotif industri hulu. Permintaan pasar ekspor produk olahan kelapa umumnya menunjukkan trend yang meningkat Allorerung et al., 2005.
Selama ini produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas baik dalam jumlah maupun jenisnya. Padahal, sebagai the tree of life banyak sekali
yang dapat dimanfaatkan dari setiap bagian pohon kelapa. Industri pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya berupa industri tradisional
dengan kapasitas industri yang masih sangat kecil dibandingkan potensi yang tersedia. Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15.5 milyar butir per tahun, total
bahan ikutan yang dapat diperoleh 3.75 juta ton air, 0.75 juta ton arang tempurung, 1.8 juta ton serat sabut, dan 3. 3 juta ton debu sabut Allorerung
et al., 2005.
31
Produk-produk yang dapat dihasilkan dari kelapa dan banyak diminati karena nilai ekonominya yang tinggi
adalah desicated coconut DC, coconut
milkcream CMCC, coconut charcoal CCL, activated carbon AC, brown sugar BS, nata de coco ND dan coconut fiber CF. Yang baru mulai
berkembang adalah virgin coconut oil VCO dan coconut wood CW. Produk DC, CCL, AC, BS, dan CF sudah masuk pasar ekspor dengan perkembangan
yang pesat, kecuali CF yang perkembangan ekspornya kurang karena belum terpenuhinya standar, walaupun permintaan dunia terus meningkat.
Demikian pula batang kelapa merupakan bahan baku industri untuk menghasilkan
perlengkapan rumah tangga furniture yang masih prospektif untuk dikembangkan Allorerung et al., 2005.
2.5 Pemberdayaan Petani Kelapa Posisi petani kelapa dalam berbagai pola pengembangan seperti PIR
hanya sebagai penyedia bahan baku bagi industri. Pola pengembangan tersebut belum mampu memperkuat posisi petani dalam agribisnis kelapa.
Hubungan antara petani sebagai penghasil bahan baku dengan industri pengolahan belum terjalin sebagai kemitraan yang saling menguntungkan,
sehingga seluruh nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan hanya dinikmati oleh industri atau pengolah. Tanpa adanya perubahan mendasar dari
cara pandang berbagai pelaku agribisnis kelapa termasuk pemerintah maka kondisi petani kelapa akan tetap terpuruk. Selama ini petani hanya diposisikan
sebagai produsen atau pemasok bahan baku untuk kebutuhan industri, tetapi pihak industri belum melihat bahwa keberlanjutan industri mereka sangat
bergantung pada stabilitas pasokan bahan baku dari petani Allorerung dan Mahmud, 2003.
Lemahnya keberdayaan petani kelapa ditunjukkan oleh sulitnya mereka mengemukakan pendapat dalam mengambil keputusan yang menguntungkan
untuk menghadapi kelompok lain yang ikut memanfaatkan kelapa sebagai sumber aktivitas. Petani selalu diposisikan sebagai objek dan kurang dilibatkan
dalam perencanaan sehingga dalam aktivitas pengelolaannya selalu dirugikan Salam dan Suwandi, 2003 dalam Supadi dan Nurmanaf, 2006.
Pemberdayaan petani kelapa bertujuan untuk: 1 mengembangkan kemampuan petani sehingga dapat mengakses permodalan, teknologi, agroinput
dan pemasaran hasil, termasuk membuat rencana, memproduksi, mengelola, memasarkan serta melihat setiap peluang yang ada, 2 memanfaatkan sumber
32
daya secara efisien melalui pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dengan usaha pokok tanaman perkebunan, 3 meningkatkan diversifikasi sumber
pendapatan sepanjang tahun, 4 menumbuhkembangkan kelembagaan ekonomi petani yang mampu mewakili kepentingan petani sehingga dapat meningkatkan
posisi tawar dan daya saing hasil usaha tani, dan 5 meningkatkan daya saing hasil usaha tani dan olahannya Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, 2003. Upaya pemberdayaan dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pemulihan
recovery stage dan tahap pengembangan development stage. Pada tahap pemulihan, pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan
kepercayaan petani pada kemampuan sendiri, sedangkan pada tahap pengembangan untuk mengembangkan kelembagaan ekonomi petani yang
mandiri dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri pedesaan secara berkelanjutan. Pada tahap pemulihan diperlukan suatu program pendampingan
untuk mendidik dan memotivasi petani meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Termasuk dalam tahap pemulihan adalah pembinaan kelompok
petani sebagai community based organization melalui pengembangan azas kebersamaan serta peningkatan kemampuan dalam memecahkan masalah dan
mengambil keputusan. Motivasi petani untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani kelapa, kondisi budi daya kelapa serta pemilihan aktivitas
ekonomi kelapa merupakan input dan landasan untuk upaya pengembangan lebih lanjut. Sedangkan pada tahap pengembangan, program pendampingan
diarahkan untuk mengembangkan agroindustri skala pedesaan bersifat spesifik untuk tiap daerah sentra kelapa serta kelembagaan ekonomi petani kelapa yang
mandiri. Dengan demikian di masa mendatang petani hendaknya menjadi salah satu komponen utama dalam agribisnis kelapa Brotosunaryo, 2003.
Tarigans 2003 dalam Supandi dan Nurmanaf 2006 menyatakan bahwa pemberdayaan petani kelapa dan keluarganya merupakan salah satu upaya
pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan dan berwawasan pengentasan kemiskinan, yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan
dalam teknik budi daya dan pengolahan hasil serta kemandirian petani. Pemberdayaan petani dan kelembagaannya merupakan salah satu faktor penting
dalam pengembangan agribisnis kelapa, terutama kaitannya dengan upaya meningkatkan penguasaan teknologi, informasi dan akses terhadap sumber-
sumber pembiayaan serta pemasaran. Pemberdayaan dilakukan terhadap
33
individu dan kelompok melalui kelembagaan ekonomi koperasi dan nonekonomi asosiasi dengan sasaran: 1 meningkatkan kemampuan dan kemandirian
dalam pengembangan dan pengelolaan organisasi dan usaha, 2 meningkatkan kemampuan mengakses sumber teknologi, informasi, pembiayaan dan pasar,
serta 3 meningkatkan posisi rebut tawar petani terhadap mitra usaha. Pemberdayaan petani perlu didukung oleh: 1 bantuan dana sebagai
modal usaha, 2 pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat, 3 penyediaan sarana pemasaran, 4 pelatihan
bagi petani dan pelaksana, dan 5 penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat. Fasilitas pemberdayaan petani atau kelompok tani diberikan melalui
kegiatan penguatan modal usaha tani, pengembangan kelembagaan usaha, serta pembinaan teknis dan manajemen Supandi dan Nurmanaf, 2006.
2.6 Pendampingan dan Pengembangan Kelembagaan