Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa Di Kabupaten Pacitan

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI

LOKAL BERBASIS KOMODITAS KELAPA

DI KABUPATEN PACITAN

N AN A M I N T ART I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA TUGAS AKHIR “STRATEGI

PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BERBASIS KOMODITAS KELAPA

DI KABUPATEN PACITAN” ADALAH KARYA SAYA SENDIRI DAN

BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN

TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU

DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK

DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM

TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN

AKHIR TUGAS AKHIR INI.

Bogor, September 2007

Nana Mintarti

A 153044155


(3)

ABSTRACT

NANA MINTARTI, Strategy of Local Economy Development with Coconut

Commodity Basis in Pacitan Regency. Under the supervision of YUSMAN

SYAUKAT as chairman, FREDIAN TONNY as member of supervisor

committee.

Pacitan Regency is one of undeveloped region in East Java Province. Undeveloped region has to undertake fundamental change and develop its local economy potential in order to relieve the un-development and to reduce dependency. One effective way in increasing local economy is through cluster approach by optimizing community economy activity which is already existed for generations. The Pacitan Regency is potential with coconut as main commodity, but it has not been developed optimally so that it is not able to become prime mover of local economy.

The general objective of this study is to formulate local economy development strategy based on coconut commodity in Pacitan Regency, while the specific objectives are: (1) evaluating comparative advantages of coconut in order to be able to as region economic basis; (2) evaluating the transition of coconut commodity in Pacitan Regency to find out its competitive advantages; and (3) analyzing the opportunity of coconut industry cluster development as focus of local economy development. Analysis methods for this study consisted of Location Quotient, Shift Share, Financial Fittingness (NPV, IRR, BC Ratio), Added Value, and Marketing Margin analysis. SWOT analysis method has been applied to formulate strategy alternatives, while QSPM analysis to determine strategy priority, and interview-discussion to design program.

Result of this study shows that coconut commodity has been proven have comparative advantages and is potential as economic basis in Pacitan Regency. The locations of districts with coconut basis sectors in Pacitan Regency, in fact, geographically are in close proximity, so that it is possible to develop a coconut-based industrial area which covering all activity from pre to post-production by involving all players from upper to down course.

Coconut commodity in Pacitan Regency has comparative advantage which is showed by positive transition value of production quantity compared with other regencies in East Java Province level during 2003-2006 period. Financial fittingness analysis of integrated coconut processing on 1 hectare area has resulted positive NPV value, B/C > 1, and IRR value > assumed interest rate, so that financially coconut processing industry worth to be developed. Integrated coconut processing industry, which results various coconut derivation products, is able to give economic value that increase the final value of each coconut. Moreover, the activity of coconut derivation products processing also has been able to create added value, produce profit margin for labor as well as for operator, and provide contribution on other inputs of each kilogram product. If marketing system is getting efficient, coconut manufactured products are potential to create high price margin for farmer and producer. Based on the analysis, coconut industry cluster is advisable to be developed in Pacitan Regency.


(4)

RINGKASAN

NANA MINTARTI, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis

Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan. Dibimbing oleh YUSMAN

SYAUKAT sebagai ketua, FREDIAN TONNY sebagai anggota komisi

pembimbing.

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah tertinggal di Propinsi Jawa Timur. Daerah tertinggal harus melakukan perubahan yang mendasar dan membangun perekonomian lokal untuk menghilangkan keterbelakangan dan mengurangi ketergantungan. Salah satu cara yang efektif dalam membangun ekonomi lokal adalah melalui pendekatan klaster dengan mengoptimalkan kegiatan ekonomi komunitas yang selama ini telah terbentuk secara turun temurun. Kabupaten Pacitan mempunyai komoditas utama kelapa yang belum dimanfaatkan secara optimal dan belum mampu menjadi penggerak utama perekonomian lokal.

Tujuan umum dari kajian adalah untuk merumuskan strategi pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Tujuan spesifiknya adalah: (1) mengevaluasi keunggulan komparatif komoditas kelapa sehingga dapat berfungsi sebagai basis ekonomi wilayah, (2) mengevaluasi pergeseran komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan untuk mengetahui keunggulan kompetitifnya, (3) menganalisis peluang pengembangan klaster industri kelapa sebagai fokus strategi pengembangan ekonomi lokal. Metode analisis yang digunakan dalam kajian adalah Analisis Location Quotient, Analisis Shift Share, Analisis Kelayakan Finansial (NPV, IRR, BC Rasio), Analisis Nilai Tambah, dan Analisis Marjin Pemasaran. Untuk merumuskan alternatif strategi digunakan metode Analisis SWOT, untuk menentukan prioritas strategi digunakan Analisis QSPM dan untuk merumuskan program dilakukan melalui diskusi wawancara.

Hasil kajian menunjukkan bahwa komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan komparatif dan potensial menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pacitan dengan sektor basis kelapa ternyata memiliki kedekatan geografis wilayah sehingga dimungkinkan pembangunan suatu kawasan industri berbasis produk kelapa yang mencakup semua kegiatan dari pra produksi sampai pasca produksi, dengan melibatkan pelaku dari hulu ke hilir. Komoditas kelapa memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai pergeseran yang positif untuk jumlah produksi dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur selama kurun waktu Tahun 2003 dan Tahun 2006. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pengolahan kelapa secara terpadu pada 1 hektar lahan, menghasilkan nilai NPV positif, B/C > 1 dan nilai IRR > suku bunga yang diasumsikan, sehingga secara finansial industri pengolahan kelapa layak untuk dikembangkan. Industri pengolahan kelapa terpadu yang menghasilkan keanekaragaman produk olahan kelapa dapat memberikan nilai ekonomis yang meningkatkan nilai akhir tiap satu butir kelapa. Selain itu aktivitas pengolahan produk turunan kelapa juga mampu menghasilkan nilai tambah, memberikan marjin keuntungan terhadap tenaga kerja dan pengusaha, serta sumbangan terhadap input lain pada setiap kilogram produk yang dihasilkan. Produk-produk olahan kelapa potensial memberikan marjin harga yang tinggi kepada petani dan produsen, bila sistem pemasaran semakin efisien. Berdasarkan analis-analisis tersebut maka klaster


(5)

STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI

LOKAL BERBASIS KOMODITAS KELAPA

DI KABUPATEN PACITAN

NANA MINTARTI

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut

Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun baik


(7)

Judul Tugas Akhir : Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis

Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan Nama : Nana Mintarti

NIM : A 153044155

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ir. Fredian Tonny, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjana

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan April 2007 ini adalah pengembangan ekonomi lokal, dengan judul Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Yusman Syaukat, MEc dan Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku penguji luar komisi, yang telah banyak memberi saran.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro selaku Direktur Program Studi Pascasarjana dan seluruh staf pengajar Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah IPB, yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan.

2. Direksi dan jajaran manajemen Dompet Dhuafa Republika, yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di PS-MPD IPB.

3. Rekan-rekan pengelola Lembaga “Masyarakat Mandiri”, khususnya Ir. Tektano GDS dan Ponco Nugroho, S.Hut, staf pendamping di Kabupaten Pacitan (Gito Haryanto, S.Pt) yang membantu penulis dengan pelengkapan data dari area tugasnya.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan, khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Biro Pusat Statistik, serta Badan Penelitian dan Pengembangan, atas kerjasama dan dukungan data selama penelitian. 5. Para mitra dampingan program “Masyarakat Mandiri” di Kecamatan Kebon

Agung, Kabupaten Pacitan.

6. Bapak dan Ibu Moekaral, atas do’a dan semangat yang selalu diberikan. 7. Suami dan anak tercinta, atas do’a dan semangat yang selalu diberikan.

Semoga kajian ini bermanfaat.

Bogor, September 2007


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ...

4 1.3 Tujuan dan Manfaat ...

6 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal ... 8 2.2 Pengembangan Kawasan ...

10 2.3 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster ...

11 2.4 Agribisnis Kelapa ...

12 2.5 Pemberdayaan Petani Kelapa ...

14 2.6 Pendampingan dan Pengembangan Kelembagaan ...

16 2.7 Teori Basis Ekonomi ...

17 2.8 Teori Shift-Share ...

19 2.9 Kelayakan Finansial ...

20 2.10 Marjin Pemasaran ...

21 2.11 Nilai Tambah ...

22 2.12 Perencanaan Strategik ...

23

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran ... 27 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ...

31


(11)

STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI

LOKAL BERBASIS KOMODITAS KELAPA

DI KABUPATEN PACITAN

N AN A M I N T ART I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA TUGAS AKHIR “STRATEGI

PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BERBASIS KOMODITAS KELAPA

DI KABUPATEN PACITAN” ADALAH KARYA SAYA SENDIRI DAN

BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN

TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU

DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK

DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM

TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN

AKHIR TUGAS AKHIR INI.

Bogor, September 2007

Nana Mintarti

A 153044155


(13)

ABSTRACT

NANA MINTARTI, Strategy of Local Economy Development with Coconut

Commodity Basis in Pacitan Regency. Under the supervision of YUSMAN

SYAUKAT as chairman, FREDIAN TONNY as member of supervisor

committee.

Pacitan Regency is one of undeveloped region in East Java Province. Undeveloped region has to undertake fundamental change and develop its local economy potential in order to relieve the un-development and to reduce dependency. One effective way in increasing local economy is through cluster approach by optimizing community economy activity which is already existed for generations. The Pacitan Regency is potential with coconut as main commodity, but it has not been developed optimally so that it is not able to become prime mover of local economy.

The general objective of this study is to formulate local economy development strategy based on coconut commodity in Pacitan Regency, while the specific objectives are: (1) evaluating comparative advantages of coconut in order to be able to as region economic basis; (2) evaluating the transition of coconut commodity in Pacitan Regency to find out its competitive advantages; and (3) analyzing the opportunity of coconut industry cluster development as focus of local economy development. Analysis methods for this study consisted of Location Quotient, Shift Share, Financial Fittingness (NPV, IRR, BC Ratio), Added Value, and Marketing Margin analysis. SWOT analysis method has been applied to formulate strategy alternatives, while QSPM analysis to determine strategy priority, and interview-discussion to design program.

Result of this study shows that coconut commodity has been proven have comparative advantages and is potential as economic basis in Pacitan Regency. The locations of districts with coconut basis sectors in Pacitan Regency, in fact, geographically are in close proximity, so that it is possible to develop a coconut-based industrial area which covering all activity from pre to post-production by involving all players from upper to down course.

Coconut commodity in Pacitan Regency has comparative advantage which is showed by positive transition value of production quantity compared with other regencies in East Java Province level during 2003-2006 period. Financial fittingness analysis of integrated coconut processing on 1 hectare area has resulted positive NPV value, B/C > 1, and IRR value > assumed interest rate, so that financially coconut processing industry worth to be developed. Integrated coconut processing industry, which results various coconut derivation products, is able to give economic value that increase the final value of each coconut. Moreover, the activity of coconut derivation products processing also has been able to create added value, produce profit margin for labor as well as for operator, and provide contribution on other inputs of each kilogram product. If marketing system is getting efficient, coconut manufactured products are potential to create high price margin for farmer and producer. Based on the analysis, coconut industry cluster is advisable to be developed in Pacitan Regency.


(14)

RINGKASAN

NANA MINTARTI, Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis

Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan. Dibimbing oleh YUSMAN

SYAUKAT sebagai ketua, FREDIAN TONNY sebagai anggota komisi

pembimbing.

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah tertinggal di Propinsi Jawa Timur. Daerah tertinggal harus melakukan perubahan yang mendasar dan membangun perekonomian lokal untuk menghilangkan keterbelakangan dan mengurangi ketergantungan. Salah satu cara yang efektif dalam membangun ekonomi lokal adalah melalui pendekatan klaster dengan mengoptimalkan kegiatan ekonomi komunitas yang selama ini telah terbentuk secara turun temurun. Kabupaten Pacitan mempunyai komoditas utama kelapa yang belum dimanfaatkan secara optimal dan belum mampu menjadi penggerak utama perekonomian lokal.

Tujuan umum dari kajian adalah untuk merumuskan strategi pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Tujuan spesifiknya adalah: (1) mengevaluasi keunggulan komparatif komoditas kelapa sehingga dapat berfungsi sebagai basis ekonomi wilayah, (2) mengevaluasi pergeseran komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan untuk mengetahui keunggulan kompetitifnya, (3) menganalisis peluang pengembangan klaster industri kelapa sebagai fokus strategi pengembangan ekonomi lokal. Metode analisis yang digunakan dalam kajian adalah Analisis Location Quotient, Analisis Shift Share, Analisis Kelayakan Finansial (NPV, IRR, BC Rasio), Analisis Nilai Tambah, dan Analisis Marjin Pemasaran. Untuk merumuskan alternatif strategi digunakan metode Analisis SWOT, untuk menentukan prioritas strategi digunakan Analisis QSPM dan untuk merumuskan program dilakukan melalui diskusi wawancara.

Hasil kajian menunjukkan bahwa komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan komparatif dan potensial menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pacitan dengan sektor basis kelapa ternyata memiliki kedekatan geografis wilayah sehingga dimungkinkan pembangunan suatu kawasan industri berbasis produk kelapa yang mencakup semua kegiatan dari pra produksi sampai pasca produksi, dengan melibatkan pelaku dari hulu ke hilir. Komoditas kelapa memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai pergeseran yang positif untuk jumlah produksi dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur selama kurun waktu Tahun 2003 dan Tahun 2006. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pengolahan kelapa secara terpadu pada 1 hektar lahan, menghasilkan nilai NPV positif, B/C > 1 dan nilai IRR > suku bunga yang diasumsikan, sehingga secara finansial industri pengolahan kelapa layak untuk dikembangkan. Industri pengolahan kelapa terpadu yang menghasilkan keanekaragaman produk olahan kelapa dapat memberikan nilai ekonomis yang meningkatkan nilai akhir tiap satu butir kelapa. Selain itu aktivitas pengolahan produk turunan kelapa juga mampu menghasilkan nilai tambah, memberikan marjin keuntungan terhadap tenaga kerja dan pengusaha, serta sumbangan terhadap input lain pada setiap kilogram produk yang dihasilkan. Produk-produk olahan kelapa potensial memberikan marjin harga yang tinggi kepada petani dan produsen, bila sistem pemasaran semakin efisien. Berdasarkan analis-analisis tersebut maka klaster


(15)

STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI

LOKAL BERBASIS KOMODITAS KELAPA

DI KABUPATEN PACITAN

NANA MINTARTI

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(16)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut

Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun baik


(17)

Judul Tugas Akhir : Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis

Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan Nama : Nana Mintarti

NIM : A 153044155

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ir. Fredian Tonny, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjana

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(18)

(19)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan April 2007 ini adalah pengembangan ekonomi lokal, dengan judul Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Yusman Syaukat, MEc dan Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku penguji luar komisi, yang telah banyak memberi saran.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro selaku Direktur Program Studi Pascasarjana dan seluruh staf pengajar Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah IPB, yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan.

2. Direksi dan jajaran manajemen Dompet Dhuafa Republika, yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di PS-MPD IPB.

3. Rekan-rekan pengelola Lembaga “Masyarakat Mandiri”, khususnya Ir. Tektano GDS dan Ponco Nugroho, S.Hut, staf pendamping di Kabupaten Pacitan (Gito Haryanto, S.Pt) yang membantu penulis dengan pelengkapan data dari area tugasnya.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan, khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Biro Pusat Statistik, serta Badan Penelitian dan Pengembangan, atas kerjasama dan dukungan data selama penelitian. 5. Para mitra dampingan program “Masyarakat Mandiri” di Kecamatan Kebon

Agung, Kabupaten Pacitan.

6. Bapak dan Ibu Moekaral, atas do’a dan semangat yang selalu diberikan. 7. Suami dan anak tercinta, atas do’a dan semangat yang selalu diberikan.

Semoga kajian ini bermanfaat.

Bogor, September 2007


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ...

4 1.3 Tujuan dan Manfaat ...

6 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal ... 8 2.2 Pengembangan Kawasan ...

10 2.3 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster ...

11 2.4 Agribisnis Kelapa ...

12 2.5 Pemberdayaan Petani Kelapa ...

14 2.6 Pendampingan dan Pengembangan Kelembagaan ...

16 2.7 Teori Basis Ekonomi ...

17 2.8 Teori Shift-Share ...

19 2.9 Kelayakan Finansial ...

20 2.10 Marjin Pemasaran ...

21 2.11 Nilai Tambah ...

22 2.12 Perencanaan Strategik ...

23

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran ... 27 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ...

31


(21)

3.3.1 Sasaran Kajian dan Teknik Sampling ... 31 3.3.2 Metode Pengumpulan Data ...

32 3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisa Data ...

32 3.3.3.1 Analisis Location Quotient (LQ) ...

33 3.3.3.2 Analisis Shift-Share ...

33 3.3.3.3 Analisis Kelayakan Finansial ...

35 3.3.3.4 Analisis Marjin Tataniaga ...

36 3.3.3.5 Analisis Nilai Tambah ...

37 3.4 Metode Perumusan Strategi dan Perancangan Program ...

39 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

4.1 Kondisi Geografis dan Administratif ... 46 4.2 Kependudukan dan Sumberdaya Manusia ...

47 4.3 Prasarana dan Sarana Daerah ...

49 4.4 Perekonomian ...

50 4.5 Potensi Sektor Pertanian dan Sub Sektor Perkebunan ...

51

4.6 Potensi Tanaman Kelapa di Kabupaten Pacitan ... 53

4.7 Keragaan Sentra Industri Produk Kelapa ... 56

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah (LQ) ... 58 5.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Wilayah (Shift-Share) ...

62 5.3 Analisis Kelayakan Finansial ...

67 5.4 Analisis Nilai Tambah ...

73 5.5 Analisis Marjin Pemasaran ...

78 5.5.1 Gula Merah ...

78 5.5.2 Arang Tempurung ...

80 5.5.3 Nata de Coco ...

82 5.5.4 Virgin Coconut Oil (VCO) ...


(22)

5.5.5 Serat Sabut Kelapa ... 85 5.6 Karakteristik Petani dan Produsen Industri Rumah Tangga

Produk Kelapa ... 86 5.7 Penumbuhan Klaster Kelapa Berbasis Komunitas ...

89 5.8 Sektor Basis dan Pengembangan Klaster ...

91 5.9 Pengembangan Klaster Kelapa Dalam Kebijakan Pemerintah Daerah

93 VI. PERUMUSAN STRATEGI

6.1 Analisis Faktor Internal dan Eksternal ... 96 6.1.1 Faktor Internal ...

96 6.1.2 Faktor Eksternal ...

102 6.2 Tahap Masukan (Input Stage)...

108 6.2.1 Matriks Evaluasi Faktor Internal ...

108 6.2.2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal ...

111 6.3 Tahap Penggabungan (Matching Stage) ...

113 6.3.1 Strategi S – O ...

114 6.3.2 Strategi S – T ... 115

6.3.3 Strategi W – T ... 117 6.3.4 Strategi W – O ...

118 6.4 Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Stage) ... 118

VII. PERANCANGAN PROGRAM

7.1 Visi, Misi, Tujuan dan Kebijakan Pemerintah Daerah

Kabupaten Pacitan ... 120 7.2 Program Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa

121 7.3 Prioritas Strategi Pembentukan Klaster ...

126 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

8.1 Kesimpulan ... 128 8.2 Implikasi Kebijakan ...


(23)

8.3 Rekomendasi ... 131 DAFTAR PUSTAKA ...

134 LAMPIRAN ...

138

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Distribusi Responden Kajian ... 32 2. Model Perhitungan Nilai Tambah dengan Metode Hayami ...

37 3. Perincian Tujuan, Analisis, Notasi, Parameter dan Sumber Data ...

38 4. Matriks Evaluasi Faktor Internal ...

40 5. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal ...

42 6. Matriks SWOT ...

43 7. Matriks Analisis QSPM ...

43 8. Perkembangan Ketenagakerjaan Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2005 ...

48 9. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Tahun 2001-2005 di Kabupaten Pacitan

Menurut Sektor Atas Dasar Harga Konstan 1993 ... 50 10. Luas Areal Tanaman Perkebunan Kelapa dan Non Kelapa di Kabupaten

Pacitan Tahun 2002- 2006 ... 52 11. Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Pacitan Tahun


(24)

12. Luas Areal dan Produksi Tanaman Kelapa Tiap Kecamatan di

Kabupaten Pacitan Tahun 2006 ... 53 13. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Perkebunan di

Kabupaten Pacitan Tahun 2006 ... 54 14. Pendapatan Petani Perkebunan Menurut Jenis Komoditi

Tahun 2002-2006 ... 55

15. Hasil Analisis LQ Berdasarkan Produksi yang Dihitung Terhadap Propinsi Jawa Timur Sebagai Wilayah Induk dari Tahun 2003-2006 ...

58 16. Hasil Analisis LQ Berdasarkan Luas Areal yang Dihitung Terhadap Propinsi Jawa Timur Sebagai Wilayah Induk dari Tahun 2003-2006 ...

59 17. Hasil Analisis LQ Beberapa Komoditi Perkebunan Berdasarkan Produksi

di Seluruh Kecamatan Kabupaten Pacitan Tahun 2006 ... 60 18. Nilai LQ Komoditas Kelapa Pada Setiap Kecamatan di Kabupaten

Pacitan dari Tahun 2003-2006 ... 61

Halaman

19. Hasil Analisis Shift-Share Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan

Terhadap Propinsi Jawa Timur Pada Dua Titik Tahun (2003 dan 2006) ... 63 20. Nilai Proporsional Shift-Share Komoditas Perkebunan di Kabupaten

Pacitan (Tahun 2003 dan 2006)... 63 21. Nilai Differensial Shift Komoditas Perkebunan per Kecamatan di

Kabupaten Pacitan (Tahun 2003 dan 2006) ... 64 22. Pergeseran Komoditas Pada Masing-masing Kecamatan di Kabupaten

Pacitan dari Tahun 2003-2006 ... 65 23. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Perkebunan

di Kabupaten Pacitan (Tahun 2003-2006) ... 66


(25)

Kabupaten Pacitan ... 71 25. Hasil Analisis Nilai Tambah Beberapa Produk Turunan Kelapa

per Ha/ Bulan di Kabupaten Pacitan Pada Tahun 2007 ... 74 26. Nilai per Butir Kelapa dari Berbagai Produk yang Dihasilkan ...

77 27. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Gula Kelapa Pada Alur Pertama ...

79 28. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Gula Kelapa Pada Alur Kedua ...

80 29. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Arang Tempurung ...

81 30. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Nata de Coco Lembaran ...

83 31. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Virgin Coconut Oil (VCO) ...

84 32. Distribusi Karakteristik Responden Petani dan Produsen Gula Merah di

Kecamatan Kebonagung pada Tahun 2007 ... 87

33. Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan

... 109

34. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan ...

111 35. Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif Strategi

Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di

Kabupaten Pacitan ... 113 36. Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan ... 119

DAFTAR GAMBAR


(26)

1. Bagan Peranan Pendampingan Dalam Pengembangan Ekonomi

Lokal ... 17

2. Tahapan Manajemen Strategik ... 24

3. Kerangka Analisa Penyusunan Strategi ... 24

4. Tahap Masukan Proses Penyusunan Strategi ... 25 5. Tahap Penggabungan Proses Penyusunan Strategi ... 26 6. Tahap Pengambilan Keputusan dalam Proses Penyusunan

Strategi ... 26 7. Kerangka Pemikiran Kajian ... 30 8. Kerangka Formulasi Strategi ...

39

9. Output Derivasi Produk Olahan Kelapa ... 68

10. Peta Kabupaten Pacitan ... 92

11. Bagan Pengembangan Klaster Kelapa Dengan Pendekatan Top Down

dan Bottom Up ... 94

12. Peran Pendampingan dalam Menciptakan Keseimbangan Dinamis antara Pembangunan Berbasis Komunitas dengan Kebijakan Pemerintah Daerah

pada Pengembangan Ekonomi Lokal ... 95


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis Finansial Usaha Pengolahan Kelapa Terpadu per Hektar

Skenario 1 (berbasis buah saja) ... 138 2. Analisis Finansial Usaha Pengolahan Kelapa Terpadu per Hektar

Skenario 2 (berbasis bunga saja) ... 139

3. Analisis Finansial Usaha Pengolahan Kelapa Terpadu per Hektar

Skenario 3 (berbasis buah 70% dan bunga 30%) ... 140 4. Analisis Finansial Usaha Pengolahan Kelapa Terpadu per Hektar

Skenario 4 (berbasis buah 50% dan bunga 50%) ... 141 5. Hasil Wawancara Evaluasi Faktor Internal ...

142 6. Hasil Wawancara Evaluasi Faktor Eksternal ...

144 7. Hasil Rekapitulasi IFE-EFE ...

146 8. Hasil Peringkat Faktor Internal – Eksternal ...

147 9. Hasil Analisis Quantitative Strategic Planning Method (QSPM) ...


(28)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas adalah kebijakan pengembangan ekonomi lokal. Kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi masyarakat lokal (Wiranto, 2004).

Kebijakan pengembangan ekonomi lokal dalam kaitannya dengan era perdagangan bebas ini dinyatakan secara jelas dalam GBHN TAP MPR No. IV/MPR/1999, yang menjelaskan bahwa salah satu arah kebijakan di bidang ekonomi adalah untuk mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif dan produk unggulan di setiap daerah (Wiranto, 2004).

Pelaksanaan otonomi daerah pada awal tahun 2001 merupakan momentum bagi dimulainya proses implementasi kebijakan pengembangan ekonomi lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) untuk mengeluarkan dan mengembangkan kemampuannya dalam memobilisasi serta mengelola produksi, alokasi dan distribusi berbagai sumberdaya yang dimilikinya menjadi produk unggulan yang memiliki keunggulan daya saing komparatif maupun kompetitif, baik untuk pasaran lokal, regional, nasional bahkan internasional (Wiranto, 2004).

Dengan otonomi daerah, sebagian besar kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai tanggung jawab yang besar berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Dengan demikian untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat. Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk


(29)

memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin (Wiranto, 2004).

Konsep pengembangan ekonomi lokal yang dikembangkan oleh Edward J. Blakely pada tahun 1938, merupakan sebuah kritik terhadap konsep-konsep pembangunan ekonomi yang bersifat sektoral yang sempat digunakan sebagai strategi pembangunan di sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Blakely, konsep pembangunan ekonomi tersebut mengabaikan konteks kewilayahan dan partisipasi masyarakat lokal. Blakely mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan lebih berhasil dan efektif jika disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing wilayah atau komunitas. Solusi-solusi yang bersifat umum dan global terhadap semua komunitas tidak akan berhasil karena mengabaikan konteks kewilayahan dan partisipasi masyarakat pada masing-masing komunitas atau wilayah (Boulle et al, 2002).

Pengembangan ekonomi lokal pada hakikatnya adalah merupakan pembangunan ekonomi di suatu wilayah kabupaten atau kota, yang merupakan kerjasama antara seluruh pelaku ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Pembangunan ekonomi lokal merupakan bagian integral dari pembangunan daerah. Pendekatan konsep pembangunan ekonomi lokal ini memberikan peluang kepada suatu komunitas untuk berperan dan berinisiatif menggerakkan sumberdaya-sumberdaya lokal yang ada untuk membangun komunitas tersebut. Dengan adanya pembangunan ekonomi lokal ini memungkinkan kelompok masyarakat miskin produktif seperti petani dapat masuk dalam mata rantai perekonomian yang lebih besar (Dendi et al, 2004).

Kabupaten Pacitan yang terletak di ujung barat daya Propinsi Jawa Timur, merupakan salah satu daerah tertinggal dari delapan kabupaten di Jawa Timur. Kabupaten Pacitan pada tahun 1996/1997 memiliki 46 desa tertinggal. Kondisi geografis Kabupaten Pacitan tidak menguntungkan untuk pertanian karena hampir 85 persen dari luas wilayahnya merupakan batuan gamping yang bergunung-gunung dan lahan kering. Dengan kondisi tanah yang gersang tersebut, maka hanya komoditas tertentu saja yang dapat tumbuh subur di Kabupaten Pacitan (Rini et al., 2001)

Walaupun kondisi alam Kabupaten Pacitan tidak bersahabat dengan pertanian, namun sebagian besar penduduknya tetap menggantungkan hidup


(30)

dari sektor ini. Kegiatan ekonomi terbesar tahun 2000 kabupaten ini terletak pada sektor pertanian yang nilainya Rp 366 milyar (Rini et al., 2001).

Tanaman bahan pangan, perkebunan dan peternakan masih menjadi andalan bagi masyarakat Pacitan. Salah satu andalan tersebut yaitu subsektor perkebunan diharapkan dapat memperkuat perekonomian masyarakat. Subsektor ini berperan sebagai penyedia lapangan kerja, pemasok bahan baku industri dan penghasil devisa. Diharapkan, produk perkebunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Komoditas perkebunan unggulan yang dikembangkan di kabupaten Pacitan antara lain kelapa, cengkeh, kakao dan kopi (Rini et al., 2001).

Lapangan usaha atau sektor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Pacitan pada tahun 2005 atas harga berlaku adalah : 1) sektor pertanian sekitar 40 – 42 persen; 2) sektor jasa-jasa sekitar 16 – 19 persen; 3) sektor perdagangan sekitar 10 – 11 persen. Sedangkan sektor-sektor lain hanya berperan antara 0 – 9 persen terhadap PDRB Kabupaten Pacitan. Sektor pertanian terdiri atas sub sektor tanaman bahan makanan dengan kontribusi PDRB 27.76 persen, sub sektor tanaman perkebunan rakyat dengan kontribusi PDRB 7.20 persen, sub sektor peternakan dengan kontribusi PDRB 5.47 persen, sub sektor kehutanan dengan kontribusi PDRB 0.04 persen, dan sub sektor perikanan dengan kontribusi PDRB 1.47 persen (Bappeda Kab Pacitan, 2006).

Kondisi iklim Kabupaten Pacitan ternyata mendukung tumbuhnya komoditas kelapa. Kelapa dapat tumbuh di pantai sampai pegunungan yang berkapur. Tanaman ini tidak membutuhkan kondisi tanah yang spesifik. Pada tahun 2006, luas areal tanaman kelapa di Kabupaten Pacitan mencapai 24,027 hektar dengan total produksi dalam bentuk kelapa butiran sebanyak 18,708 ton dan dalam bentuk gula kelapa sebanyak 10,850 ton. Komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan menyerap tenaga kerja yang paling besar diantara komoditas lainnya pada sub sektor perkebunan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 12,014 orang. Perkebunan kelapa di Kabupaten Pacitan banyak dijumpai di Kecamatan Tulakan, Pacitan dan Kebonagung. Daerah-daerah tersebut merupakan sentra produksi kelapa (Dishutbun Kab. Pacitan, 2007).

Industri rumah tangga pengolahan gula kelapa di Kabupaten Pacian ada sekitar 10 ribu unit yang tersebar di Kecamatan Donorejo, Pringkuku, Tulakan, Kebonagung, Ngadirojo, Pacitan dan Sudimoro. Tenaga kerja yang diserap


(31)

jumlah penduduk Pacitan. Tenaga kerja yang terserap pada industri rumah tangga pembuatan gula merah atau gula kelapa di Kabupaten Pacitan mencapai sekitar 70 persen dari total tenaga kerja industri kecil.

Pengusahaan kelapa membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam. Kelapa dapat menjadi ajang bisnis mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dll); proses produksi, pengolahan produk kelapa (turunan dari daging, tempurung, sabut, kayu lidi, dan nira), serta aktivitas penunjangnya (keuangan, irigasi, transportasi, perdagangan, dll).

Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, dimana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha kecil, menengah maupun besar. Pada gilirannya industri hilir menjadi lokomotif industri hulu (Allorerung et al., 2005).

Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleochemical (OC), desicated coconut (DC),

coconut milk/ cream (CM/ CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC),

brown sugar (BS), coconut fiber (CF) dan coconut wood (CW), yang diusahakan secara parsial maupun terpadu. Berangkat dari kenyataan luasnya potensi pengembangan produk, kemajuan ekonomi perkelapaan di tingkat makro (daya saing di pasar global) maupun mikro (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi impor) tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa secara kluster sebagai prasyarat (Allorerung et al., 2005).

Dengan melihat potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya kelembagaan berbasis masyarakat yang ada di Kabupaten Pacitan, maka pendekatan pengembangan ekonomi lokal dengan basis komoditas kelapa diharapkan bisa menjadi konsep yang dikembangkan dalam pembangunan daerah di Kabupaten Pacitan. Untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian,

“Bagaimana strategi pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan?”.


(32)

Setiap wilayah perlu melihat sektor atau komoditas apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat. Sektor atau komoditas yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar dengan kebutuhan modal yang sama, dan juga dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat seta volume sumbangan untuk perekonomian yang besar. Perkembangan sektor atau komoditas tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian daerah secara keseluruhan akan tumbuh.

Kelapa merupakan komoditas utama yang tersebar di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan sehingga eksistensinya diharapkan dapat m enj adi kegiatan basis ekonomi wilayah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah “Sampai sejauh mana komoditas kelapa dapat menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan?”.

Kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi masyarakat lokal (local competence). Pengetahuan akan keunggulan komparatif dapat digunakan para penentu kebijakan untuk mendorong perubahan struktur perekonomian daerah ke arah sektor yang mengandung keunggulan komparatif.

Keunggulan komparatif suatu komoditas dapat dijadikan pertanda awal bahwa komoditas itu mempunyai prospek untuk juga memiliki keunggulan kompetitif. Untuk itu perlu diketahui struktur aktifitas dan kemampuan berkompetisi (competitiveness) komoditas atau sektor tertentu secara dinamis dalam hubungannya dengan pertumbuhan wilayah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian yang kedua adalah “Bagaimana kontribusi sub sektor perkebunan pada struktur ekonomi wilayah dan pergeseran komoditas kelapa sehingga dapat diketahui keunggulan kompetitif komoditas kelapa?”.

Dalam kaitannya dengan prinsip pengembangan ekonomi lokal yang pro-poor, disamping kriteria-kriteria kelayakan teknis, permintaan pasar, serta efek multiplier suatu komoditi/ produk sektoral terhadap sektor usaha lainnya, faktor potensi nilai tambah langsung bagi keluarga miskin juga sebagai kriteria penting. Selain itu kelompok produsen yaitu petani merupakan bagian penting yang


(33)

pertumbuhan ekonomi terhadap rumah tangga miskin dan usaha kecil. Kelompok sasaran produsen menjadi jaminan bahwa basis komoditas yang dipilih akan memberikan dampak bagi kehidupan kaum miskin dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidup. Terkait dengan pengembangan klaster potensial yang berpusat pada komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan, maka pertanyaan kajian yang ketiga adalah, “Bagaimana kelayakan finansial komoditas kelapa dan produk turunannya di Kabupaten Pacitan?; Seberapa besar nilai tambah yang diperoleh dari produk turunan tersebut?; Bagaimana sebaran marjin keuntungan diantara masing-masing pelaku usaha? ”.

Salah satu cara yang efektif dalam membangun wilayah adalah melalui pengembangan kawasan, khususnya pendekatan klaster. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan klaster terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Strategi kawasan berbasis klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan industri, membangun ekonomi wilayah secara lebih kuat, dan mempercepat pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Strategi klaster industri membutuhkan komitmen yang berkelanjutan dari pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan dunia pendidikan. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat, dimana masing-masing pihak harus memberikan komitmen penuh terhadap perannya.

Potensi kelapa yang dimiliki Kabupaten Pacitan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai produk unggulan dalam pengembangan kawasan berbasis klaster. Potensi kelapa sebagai produk perkebunan apabila didukung dengan industri pengolahan dan pengembangan industri hilir lainnya, diharapkan dapat menjadi industri pendorong kegiatan ekonomi di kawasan ini. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian yang keempat adalah ”Bagaimana rumusan strategi dan perancangan program pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan?”.

I.3 Tujuan dan Manfaat


(34)

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah :

1. Mengevaluasi keunggulan komparatif komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan sehingga dapatberfungsi sebagai basis ekonomi wilayah.

2. Mengevaluasi kontribusi sub sektor perkebunan pada struktur ekonomi dan pergeseran komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan untuk mengetahui keunggulan kompetitif komoditas kelapa.

3. Menganalisis peluang pengembangan klaster industri berbasis komoditas kelapa sebagai fokus strategi pengembangan ekonomi lokal dengan :

a. menganalisis kelayakan finansial komoditas kelapa dan produk turunannya

b. menganalisis nilai tambah produk turunan kelapa

c. menganalisis sebaran marjin keuntungan diantara masing-masing pelaku usaha.

Manfaat

Laporan kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan dan juga pihak-pihak terkait lainnya dalam pengembangan perekonomian lokal. Selain itu laporan kajian ini memberikan masukan bagi Tim Manajemen Masyarakat Mandiri - Dompet Dhuafa untuk mendesain program pengembangan ekonomi lokal berbasis komunitas di Kabupaten Pacitan maupun di wilayah sasaran lainnya. Diharapkan laporan kajian ini dapat menjadi bahan/ dasar bagi pengembangan kajian lebih lanjut.


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal

Pengembangan ekonomi lokal merupakan proses penjalinan kepentingan antara sektor pemerintah, swasta, produsen dan masyarakat, dengan mengoptimalkan sumber daya lokal (manusia, alam dan sosial), di dalam sebuah komunitas, dengan tujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Perhatian khusus diberikan pada dampak pertumbuhan ekonomi terhadap rumah tangga miskin dan usaha kecil (Boulle et al., 2002).

Pengembangan ekonomi lokal adalah sebuah proses yang membentuk kemitraan pelaku (stakeholders) ekonomi, yakni pemerintah daerah, kelompok-kelompok berbasis masyarakat dan sektor swasta dalam mengelola sumber daya yang tersedia untuk menciptakan lapangan kerja dan menggiatkan ekonomi daerah. Pendekatan tersebut menekankan kewenangan lokal, menggunakan potensi sumber daya manusia, sumber daya fisik dan kelembagaan. Kemitraan pengembangan ekonomi lokal mengintegrasikan upaya mobilisasi para pelaku, organisasi dan sumber daya, serta pengembangan kelembagaan baru melalui dialog dan kegiatan-kegiatan strategik (Dendi et al., 2004)

Pengembangan ekonomi lokal merupakan sebuah pendekatan yang menghubungkan daerah pedesaan atau daerah terbelakang dengan sistem ekonomi pasar guna memacu kegiatan ekonomi daerah tersebut. Pengembangan dan integrasi tersebut dicapai dengan berfokus pada klaster yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk memainkan peranan penting dalam kegiatan ekonomi itu. Pada gilirannya, implementasi pengembangan ekonomi lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan dan kesempatan, serta memunculkan strategi untuk menjaga agar sebagian besar kesempatan memperoleh pendapatan bertahan di daerah yang bersangkutan. Daerah akan menerima manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari peningkatan pendapatan rumah tangga, di samping memperoleh pendapatan langsung (Boulle et al., 2002).

Pengembangan ekonomi lokal dan pengentasan kemiskinan mustahil dilakukan tanpa kemauan politik dan dukungan pemerintah, baik dalam menjamin kebijakan yang akomodatif maupun prioritas sumberdaya yang menyangkut infrastruktur, fasilitas dan dukungan jasa-jasa. Selain pihak pemerintah, ada tiga stakeholder kunci lain yang harus diajak ikut serta dalam


(36)

setiap proses pengembangan ekonomi lokal yakni, sektor swasta, masyarakat dan produsen (Boulle et al., 2004). Pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk mencapai tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu a) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja; b) berkurangnya jumlah penduduk miskin; c) terwujudnya mata rantai kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Dendi et al., 2004).

Pengembangan ekonomi lokal memainkan peranan penting dalam mendorong kapasitas produsen dan membantu mereka dalam memperkuat posisi. Program penguatan yang dikembangkan difokuskan pada : a) pembentukan basis kolektif atau mendorong kemapanan organisasi, b) meningkatkan ketrampilan dan kapasitas produsen, serta c) menyiapkan wahana bagi para produsen untuk terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan. Produsen merupakan kelompok yang paling lemah dan memerlukan dukungan untuk menyuarakan kepentingan mereka maupun untuk meningkatkan ketrampilan mereka. Mengorganisir para produsen ke dalam sebuah kelompok hanyalah merupakan salah satu bagian dari upaya untuk perbaikan. Peningkatan ketrampilan dan kapasitas produsen dalam berproduksi dan menjalankan bisnis serta meningkatkan akses pasar, jauh lebih penting dari itu semua (Boulle et al., 2004).

Kapasitas produsen harus dibangun melalui dua pendekatan. Pertama, kapasitas organisasi agar memiliki suara yang kuat dan jelas dalam kemitraan, dan kedua, pengembangan ketrampilan untuk menjamin peningkatan produksi dalam klaster yang bersangkutan (Boulle et al., 2004).

Konsep pengembangan ekonomi lokal yang pro-masyarakat miskin mementingkan beberapa prinsip pokok, yakni : 1) investasi pada peningkatan sumber daya manusia dan kapital sosial penduduk miskin; 2) kebijakan dan pelayanan yang menghasilkan tersedianya secara luas dan berkelanjutan kebutuhan dasar masyarakat (akses pangan, air bersih, perumahan, kesehatan dan pendidikan); 3) kebijakan dan pelayanan yang mengurangi biaya-biaya transaksi sehingga membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan dan atau nilai tambah dari usaha sendiri; 4) peningkatan akses masyarakat miskin kepada sumber daya ekonomi (modal, lahan, sarana produksi, informasi pasar dan lain-lain); dan 5) pembangunan yang ramah lingkungan (Dendi et al, 2004).


(37)

Dalam kaitannya dengan prinsip pengembangan ekonomi lokal yang pro-poor, dalam penentuan komoditas unggulan daerah, disamping kriteria-kriteria kelayakan teknis, permintaan pasar, serta efek multiplier suatu komoditi/ produk sektoral terhadap sektor usaha lainnya, faktor potensi nilai tambah langsung bagi keluarga miskin juga sebagai kriteria penting (Dendi et al., 2004).

2.2 Pengembangan Kawasan

Pengembangan kawasan adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan kesalingtergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), manusia atau masyarakat (social system), dan lingkungan hidup beserta sumber daya alam (ecosystem) yang ada didalamnya (Bappenas, 2004)

Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun secara bersama membentuk suatu klaster. Klaster dapat berupa klaster pertanian dan klaster industri, tergantung dari kegiatan ekonomi yang dominan dalam kawasan itu. Suatu klaster pertanian diharapkan akan menjadi klaster industri (Bappenas, 2004).

Tujuan pengembangan kawasan adalah: 1) Membangun masyarakat pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya; 2) Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; 3) Mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat; 4) Mendorong pemerataan pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah; 5) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan pembangunan daerah; 6) Mendorong pemanfaatan ruang desa yang efisien dan berkelanjutan (Bappenas, 2004).

Dalam pembangunan kawasan, dukungan kualitas sumber daya manusia yang memadai memegang peranan yang sangat tinggi. Namun dalam kenyataannya, kualitas sumber daya masyarakat di daerah biasanya kurang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, program peningkatan


(38)

kualitas tenaga kerja terampil perlu dipersiapkan secara lebih dini. Pentingnya program ini akan lebih terasa bila dikaitkan dengan teknologi yang dipilih. Pengalaman menunjukkan bahwa pengembangan peralatan atau mesin pertanian atau industri, tanpa disertai dengan peningkatan ketrampilan orang yang menjalankannya, justru telah menimbulkan banyak kesulitan dan hambatan (Bappenas, 2004).

2.3 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster

Salah satu cara yang efektif dalam membangun wilayah adalah melalui pengembangan kawasan, khususnya pendekatan klaster. Secara umum klaster adalah unit-unit usaha kecil yang bergerak dalam sektor industri yang sama atau yang saling terkait dan cenderung berkelompok di suatu kawasan tertentu (Bappenas, 2004). Klaster merupakan sekumpulan kegiatan ekonomi yang ditangani secara tersendiri berdasarkan kedekatan geografis yang mencakup kegiatan lintas komoditas dan lintas sektoral; kesatuan sektor industri, yang meliputi kegiatan lintas daerah dan komoditas; atau kesamaan komoditas yang mencakup kegiatan lintas daerah (Boulle et al., 2002). Klaster juga mencakup semua kegiatan dari praproduksi sampai pasca produksi, semua unit usaha dan stakeholder yang terlibat, berbagai lembaga pendukung, dan juga keterkaitan antar pelaku itu sendiri (Boulle et al., 2002). Klaster yang dikembangkan umumnya berpusat pada komoditas (Boulle et al., 2002).

Dasar pemikiran untuk menerapkan strategi klaster industri adalah untuk menangkap peluang-peluang ekonomi, antara lain: 1) mengatasi kelangkaan SDM saat ini dan masa depan, 2) merencanakan dan membangun infrastruktur yang diperlukan agar kebijakan ekonomi dalam skala yang lebih luas dapat terlaksana, 3) membangun dan memperkuat wilayah perdesaan, 4) menciptakan perusahaan-perusahaan tangguh dan SDM handal, 5) menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien (Bappenas, 2004).

Klaster membangun suatu kawasan ekonomi yang inovatif dan produktif. Suatu klaster lebih dari sekedar industri tunggal yang membuat sebuah produk unggulan. Klaster yang sukses melibatkan berbagai industri terkait, pemasok dan institusi yang semua berlokasi di kawasan yang sama. Strategi kawasan berbasis klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan industri, membangun ekonomi wilayah secara lebih kuat, dan mempercepat pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Klaster industri juga


(39)

klaster tersebut. Strategi ini memungkinkan bagi daerah untuk membangun kekuatan, baik aspek kepakaran maupun infrastruktur yang sesuai, yang akan membawa kemajuan nyata bagi wilayah tersebut (Bappenas, 2004).

Strategi klaster industri membutuhkan komitmen yang berkelanjutan dari pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan dunia pendidikan. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat, dimana masing-masing pihak harus memberikan komitmen penuh terhadap perannya. Suatu klaster tidak boleh menampakkan kolaborasi hanya pada suatu kegiatan tertentu saja. Klaster harus dilihat oleh para pesertanya sebagai cara yang efektif dalam menjalankan bisnis. Klaster mengidentifikasi isu-isu kunci dan mencoba mengatasinya. Klaster juga menyediakan forum diskusi untuk melakukan perencanaan. Melalui forum ini, pemerintah daerah mempelajari kebutuhan infrastruktur industri dan kebutuhan SDM untuk tahun-tahun kedepan. Sedangkan perusahaan akan menggali peluang kerjasama yang saling menguntungkan (Bappenas, 2004).

Strategi pengembangan kawasan berbasis klaster industri memungkinkan pemerintah daerah mengarahkan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien. Pendekatan klaster industri memungkinkan pemerintah daerah untuk bekerja langsung dengan industri-industri dan mengembangkan strategi dalam membangun ekonomi wilayah yang berkelanjutan. Strategi ini menyediakan suatu kerangka bagi pemerintah daerah dalam menyediakan layanan bagi keseluruhan klaster sehingga memberikan dampak yang maksimal (Bappenas, 2004).

Komunitas perdesaan akan memperoleh manfaat dari strategi klaster industri dengan membangun dan memperkuat industri kunci mereka sendiri. Industri-industri ekspor dapat menggerakkan vitalitas kawasan tersebut dan memungkinkan berkembangnya berbagai industri pendukung lainnya (Bappenas, 2004).

Klaster industri juga merupakan pilihan yang baik dalam membangun kapital sosial (hubungan sosial yang dapat meningkatkan produktivitas) di suatu daerah. Klaster yang diwakili oleh industri, pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi lainnya akan bekerja bersama dalam meningkatkan ekonomi. Hubungan sosial yang dibangun ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kesuksesan ekonomi suatu daerah (Bappenas, 2004).


(40)

Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31.2 persen dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (pangsa 25.8 persen), disusul India (pangsa 16.0persen), Sri Langka (pangsa 3.7 persen) dan Thailand (pangsa 3.1 persen). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi ke dua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai 229 juta US$ atau 11 persen dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 (Allorerung et al., 2005).

Produk kelapa nasional sebagian besar merupakan komoditi ekspor, dengan pangsa pasar sekitar 75 persen, sedangkan sisanya dikonsumsi oleh pasar domestik. Pada tahun 2003, total ekspor aneka produk kelapa Indonesia mencapai US$ 396 juta dengan volume ekspor 708 ribu ton yang dikirim ke negara-negara USA, Belanda, Inggeris, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Belgia, Irlandia, Singapura, dan ke negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, China, Bangladesh, Sri Lanka, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand. Belakangan ini mulai dibuka penetrasi pasar aneka produk kelapa ke pasar-pasar baru seperti negara yang termasuk kelompok Asia Pasifik, Eropa Timur dan negara-negara Timur Tengah (Allorerung et al., 2005).

Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, di mana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang tinggi baik untuk usaha kecil, menengah maupun besar. Pada gilirannya industri hilir menjadi lokomotif industri hulu. Permintaan pasar ekspor produk olahan kelapa umumnya menunjukkan trend yang meningkat (Allorerung et al., 2005).

Selama ini produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas baik dalam jumlah maupun jenisnya. Padahal, sebagai the tree of life banyak sekali yang dapat dimanfaatkan dari setiap bagian pohon kelapa. Industri pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya berupa industri tradisional dengan kapasitas industri yang masih sangat kecil dibandingkan potensi yang tersedia. Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15.5 milyar butir per tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3.75 juta ton air, 0.75 juta ton arang tempurung, 1.8 juta ton serat sabut, dan 3. 3 juta ton debu sabut (Allorerung


(41)

Produk-produk yang dapat dihasilkan dari kelapa dan banyak diminati karena nilai ekonominya yang tinggi adalah desicated coconut (DC), coconut milk/cream (CM/CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC), brown sugar (BS), nata de coco (ND) dan coconut fiber (CF). Yang baru mulai berkembang adalah virgin coconut oil (VCO) dan coconut wood (CW). Produk DC, CCL, AC, BS, dan CF sudah masuk pasar ekspor dengan perkembangan yang pesat, kecuali CF yang perkembangan ekspornya kurang karena belum terpenuhinya standar, walaupun permintaan dunia terus meningkat. Demikian pula batang kelapa merupakan bahan baku industri untuk menghasilkan perlengkapan rumah tangga (furniture) yang masih prospektif untuk dikembangkan (Allorerung et al., 2005).

2.5 Pemberdayaan Petani Kelapa

Posisi petani kelapa dalam berbagai pola pengembangan seperti PIR hanya sebagai penyedia bahan baku bagi industri. Pola pengembangan tersebut belum mampu memperkuat posisi petani dalam agribisnis kelapa. Hubungan antara petani sebagai penghasil bahan baku dengan industri pengolahan belum terjalin sebagai kemitraan yang saling menguntungkan, sehingga seluruh nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan hanya dinikmati oleh industri atau pengolah. Tanpa adanya perubahan mendasar dari cara pandang berbagai pelaku agribisnis kelapa termasuk pemerintah maka kondisi petani kelapa akan tetap terpuruk. Selama ini petani hanya diposisikan sebagai produsen atau pemasok bahan baku untuk kebutuhan industri, tetapi pihak industri belum melihat bahwa keberlanjutan industri mereka sangat bergantung pada stabilitas pasokan bahan baku dari petani (Allorerung dan Mahmud, 2003).

Lemahnya keberdayaan petani kelapa ditunjukkan oleh sulitnya mereka mengemukakan pendapat dalam mengambil keputusan yang menguntungkan untuk menghadapi kelompok lain yang ikut memanfaatkan kelapa sebagai sumber aktivitas. Petani selalu diposisikan sebagai objek dan kurang dilibatkan dalam perencanaan sehingga dalam aktivitas pengelolaannya selalu dirugikan (Salam dan Suwandi, 2003 dalam Supadi dan Nurmanaf, 2006).

Pemberdayaan petani kelapa bertujuan untuk: 1) mengembangkan kemampuan petani sehingga dapat mengakses permodalan, teknologi, agroinput dan pemasaran hasil, termasuk membuat rencana, memproduksi, mengelola,


(42)

daya secara efisien melalui pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dengan usaha pokok tanaman perkebunan, 3) meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan sepanjang tahun, 4) menumbuhkembangkan kelembagaan ekonomi petani yang mampu mewakili kepentingan petani sehingga dapat meningkatkan posisi tawar dan daya saing hasil usaha tani, dan 5) meningkatkan daya saing hasil usaha tani dan olahannya (Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003).

Upaya pemberdayaan dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pemulihan (recovery stage) dan tahap pengembangan (development stage). Pada tahap pemulihan, pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepercayaan petani pada kemampuan sendiri, sedangkan pada tahap pengembangan untuk mengembangkan kelembagaan ekonomi petani yang mandiri dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri pedesaan secara berkelanjutan. Pada tahap pemulihan diperlukan suatu program pendampingan untuk mendidik dan memotivasi petani meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Termasuk dalam tahap pemulihan adalah pembinaan kelompok petani sebagai community based organization melalui pengembangan azas kebersamaan serta peningkatan kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Motivasi petani untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani kelapa, kondisi budi daya kelapa serta pemilihan aktivitas ekonomi kelapa merupakan input dan landasan untuk upaya pengembangan lebih lanjut. Sedangkan pada tahap pengembangan, program pendampingan diarahkan untuk mengembangkan agroindustri skala pedesaan (bersifat spesifik untuk tiap daerah sentra kelapa) serta kelembagaan ekonomi petani kelapa yang mandiri. Dengan demikian di masa mendatang petani hendaknya menjadi salah satu komponen utama dalam agribisnis kelapa (Brotosunaryo, 2003).

Tarigans (2003) dalam Supandi dan Nurmanaf (2006) menyatakan bahwa pemberdayaan petani kelapa dan keluarganya merupakan salah satu upaya pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan dan berwawasan pengentasan kemiskinan, yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan dalam teknik budi daya dan pengolahan hasil serta kemandirian petani. Pemberdayaan petani dan kelembagaannya merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan agribisnis kelapa, terutama kaitannya dengan upaya meningkatkan penguasaan teknologi, informasi dan akses terhadap


(43)

sumber-individu dan kelompok melalui kelembagaan ekonomi (koperasi) dan nonekonomi (asosiasi) dengan sasaran: 1) meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam pengembangan dan pengelolaan organisasi dan usaha, 2) meningkatkan kemampuan mengakses sumber teknologi, informasi, pembiayaan dan pasar, serta 3) meningkatkan posisi rebut tawar petani terhadap mitra usaha.

Pemberdayaan petani perlu didukung oleh: 1) bantuan dana sebagai modal usaha, 2) pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat, 3) penyediaan sarana pemasaran, 4) pelatihan bagi petani dan pelaksana, dan 5) penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat. Fasilitas pemberdayaan petani atau kelompok tani diberikan melalui kegiatan penguatan modal usaha tani, pengembangan kelembagaan usaha, serta pembinaan teknis dan manajemen (Supandi dan Nurmanaf, 2006).

2.6 Pendampingan dan Pengembangan Kelembagaan

Pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pendampingan. Arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya. Peran pendamping pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannya secara mandiri (Deliveri, 2001)

Pendampingan adalah bagian integral dari pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Salah satu peran penting pendampingan dalam pengembangan masyarakat adalah memfasilitasi berbagai stakeholders, baik yang dapat dikategorikan ke dalam sektor publik, sektor swasta maupun

collective action sector. Peranan pedampingan adalah menjembatani berbagai stakeholders agar mampu menciptakan “keseimbangan dinamis” antara pengembangan atau pembangunan yang berbasis komunitas dengan kebijakan pemerintah daerah dalam rangka mendukung upaya pengembangan komunitas (Tonny, 2003). Peranan pendampingan yang menciptakan keseimbangan dinamis antara pembangunan berbasis komunitas dengan kebijakan pemerintah daerah dijabarkan dalam Gambar 1.

Pendekatan yang paling tepat dalam pengembangan ekonomi rakyat adalah melalui pendekatan kelompok dalam bentuk usaha bersama. Dalam kelembagaan yang didasarkan pada kebersamaan, kegiatan sosial ekonomi


(44)

yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat diharapkan akan mendorong kemandirian dan berkembang secara berkelanjutan (Sumodiningrat, 1999).

Kelembagaan merupakan komponen yang strategis dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Penggunaan kelembagaan dalam berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan rakyat sangat penting karena: 1) bagi orang miskin, mengatasi kemiskinan secara sendirian hampir tidak mumgkin. Berbagai studi kasus memperlihatkan bahwa pendekatan kelompok lebih berhasil daripada individual; 2) dalam kebersamaan terjadi proses penyatuan potensi dan saling memperkuat. Dalam proses ini berbagai keterbatasan yang dimiliki orang miskin disinergikan untuk mencapai hasil yang lebih besar (Primahendra et al., 2003).

Pembangunan Berbasis Komunitas Kebijakan Pemerintah Daerah

Tingkat Kecamatan

Tingkat Kelompok Tingkat Komunitas/ Desa (Otonom)

Tingkat Propinsi

Tingkat Kecamatan Tingkat Kabupaten (Otonomi)

Peranan Pendamping

Peranan pendampingan adalah menciptakan keseimbangan dinamis antara Pembangunan Berbasis Komunitas dengan Kebijakan Pemerintah Daerah untuk Pengembangan Komunitas

Gambar 1. Bagan Peranan Pendampingan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal

Pemberdayaan petani kelapa perlu didukung oleh penguatan kelembagaan ekonomi lokal dengan memperhatikan biaya transaksi yang rendah dan efektif, semangat kerja sama, kepercayaan, kemanfaatan bagi usaha perorangan, dan transparansi pengelolaan. Pembentukan kelembagaan petani yang mengakar dan tumbuh dari kekuatan petani sendiri dapat menumbuhkan aktivitas dan partisipasi aktif petani sehingga dapat meningkatkan kemampuan


(45)

pembinaan dari berbagai pihak terkait. Koordinasi diperlukan agar masing-masing pihak berperan sesuai dengan tanggung jawab serta tugas dan fungsinya (Supadi dan Nurmanaf, 2006).

2.7 Teori Basis Ekonomi

Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor yakni aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) ke luar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya bersifat lokal, hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang (Adisasmita, 2005).

Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005).

Analisis basis ekonomi berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis. Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah akan menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan, yang selanjutnya menambah permintaan terhadap barang atau jasa di dalam wilayah tersebut, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Sebaliknya, berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah, sehingga akan menyebabkan turunnya permintaan produk dari aktivitas non basis (Adisasmita, 2005).

Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim digunakan adalah kuosien lokasi (location quotient, LQ). LQ digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah, misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan produk domestik regional bruto (PDRB) suatu wilayah (Adisasmita, 2005).

Analisis LQ merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan mudah, cepat dan tepat. LQ merupakan rasio antara jumlah tenaga kerja pada sektor


(46)

tertentu atau PDRB terhadap total jumlah tenaga kerja sektor tertentu, atau total nilai PDRB di suatu daerah (Kabupaten) dibandingkan dengan rasio tenaga kerja dan sektor yang sama di propinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkupnya (Adisasmita, 2005). Dalam mengintepretasikan hasil analisis LQ ini, jika nilai LQ ≥ 1 maka kegiatan ekonomi tersebut merupakan sektor basis, sedangkan bila LQ < 1 maka kegiatan ekonomi tersebut merupakan sektor non basis.

Dasar pemikiran teori economic base adalah penjualan hasil dari industri basis ke luar wilayah tersebut akan mendatangkan arus pendapatan ke dalam daerah tersebut dan menyebabkan kenaikan konsumsi maupun kenaikan investasi yang pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja. Akibat dari kenaikan pendapatan di wilayah itu tidak hanya menaikkan permintaan terhadap hasil industri basis melainkan juga akan menaikkan permintaan hasil non basis. Hal ini berarti kegiatan industri basis mempunyai peranan penggerak pertama (prime mover role), dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah (Kadariah, 1978).

2.8 Teori Shift-Share

Untuk memahami pergeseran struktur suatu aktivitas atau sektor serta menghitung seberapa besar share masing-masing sektor atau aktivitas tersebut di suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan suatu referensi dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam bentuk dua titik waktu, dapat digunakan beberapa alat analisis, diantaranya adalah Shift-Share Analysis.

Analisis Shift-Share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah. Dari hasil analisis ini akan diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat (Budiharsono, 2005).

Hasil analisis shift-share mampu menjelaskan kinerja suatu aktivitas atau sektor di suatu wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Disamping itu hasil analisis dapat juga memberikan gambaran


(47)

sebab-yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a) sebab sebab-yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), b) sebab dari dinamika aktivitas/ sektor dari total wilayah, dan c) sebab dari dinamika wilayah secara umum. Secara umum gambaran kinerja seperti yang disebutkan diatas dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis yaitu: 1) komponen laju pertumbuhan total atau komponen share, yang menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; 2) komponen pergeseran proporsional, yang menjelaskan pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktivitas total dalam wilayah; serta 3) komponen pergeseran diferensial, yang menggambarkan bagaimana tingkat competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah ( Fonna, 2004).

2.9 Kelayakan Finansial

Analisis finansial berkepentingan terhadap penerimaan (revenue) yang akan diperoleh dari proyek. Analisis finansial juga penting bagi pihak luar terutama bagi lembaga-lembaga keuangan yang memberikan pinjaman. Aspek finansial terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan (revenue earnings) dari proyek, serta waktu didapatkannya hasil (returns). Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya suatu aktivitas proyek maka dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh proyek dengan menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur proyek tersebut (Kunarjo, 2002).

Beberapa metode yang populer untuk menganalisis suatu proyek antara lain adalah : Analisis Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Analisis Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Ketiga analisis proyek tersebut menggunakan pendekatan nilai uang pada periode awal, yaitu periode dimulainya proyek. Semua arus uang, baik yang merupakan pengeluaran maupun pendapatan proyek diukur dengan nilai uang pada waktu proyek dimulai. Hal ini disebabkan pengaruh dari tingkat bunga maupun tingkat inflasi (Kunarjo, 2002).


(48)

Net Present Value adalah selisih antara arus pendapatan dari proyek dengan arus biaya yang telah dikeluarkan pada nilai sekarang. Apabila hasil selisih tersebut positif maka proyek bisa dianggap menguntungkan, kebalikannya apabila hasil selisih tersebut negatif maka proyek dapat dianggap rugi (Kunarjo, 2002).

Dalam evaluasi suatu proyek, tanda go dinyatakan oleh nilai NPV yang sama atau lebih besar dari nol. Artinya suatu proyek dapat dinyatakan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV proyek ≥ 0. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost faktor produksi modal. Jika NPV < 0, berarti proyek tersebut tidak dapat menghasilkan senilai biaya yang dipergunakan, oleh sebab itu pelaksanaannya harus ditolak (Gray et al., 2002).

Benefit Cost Ratio (BC Ratio)

Benefit Cost Ratio sama halnya dengan metode Net Present Value yaitu membandingkan antara nilai produksi dan biaya yang telah dikeluarkan, dinilai menurut nilai sekarang. Benefit Cost Ratio memperhitungkan rasio pendapatan dengan pengeluaran biayanya. Apabila rasio tersebut lebih dari 1 maka proyek dianggap menguntungkan, apabila rasio kurang dari satu maka proyek dianggap rugi. BC Ratio dipakai secara eksklusif untuk mengukur manfaat sosial dalam analisis ekonomi dan jarang dipakai untuk analisis investasi private (Kunarjo, 2002).

Internal Rate of Return (IRR)

Analisis lain yang dipergunakan untuk penilaian proyek adalah Internal Rate of Return (IRR). Seringkali diperlukan suatu analisis yang menjelaskan apakah rencana proyek cukup menarik bila dilihat dari arus pengembalian yang telah ditentukan. Arus pengembalian internal (Internal Rate of Return – IRR) adalah arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk = NPV aliran kas keluar (Soeharto, 1997).

Internal Rate of Return adalah mencari tingkat bunga, dalam posisi apabila selisih nilai present value pada pendapatan dan present value pada biaya adalah sama dengan nol. Atau dengan kata lain berapa tingkat bunga apabila proyek tersebut tidak untung dan tidak merugi (Kunarjo, 2002).


(1)

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

8.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan adalah penumbuhan klaster industri kelapa dengan mengoptimalkan kegiatan ekonomi komunitas yang selama ini telah terbentuk secara turun temurun sebagai klaster alamiah.

Penumbuhan klaster industri kelapa yang menjadi perumusan strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan didasarkan pada:

1. Hasil kajian spesifik yang pertama, yaitu bahwa komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan komparatif dan potensial menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan. Wilayah kecamatan di Kabupaten Pacitan dengan sektor basis kelapa yaitu Kecamatan Pacitan, Arjosari, Kebonagung, Punung, Donorojo, Pringkuku, Tulakan, Ngadirojo, serta Sudimoro, ternyata memiliki kedekatan geografis sehingga dimungkinkan pembangunan suatu kawasan industri berbasis produk kelapa yang mencakup semua kegiatan dari pra produksi sampai pasca produksi, dengan melibatkan pelaku dari hulu ke hilir. 2. Hasil kajian spesifik yang kedua, yaitu bahwa sub sektor perkebunan di

Kabupaten Pacitan secara agregat masih memberikan kontribusi pertumbuhan produksi sebesar 14.08 persen pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur. Komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai pergeseran yang positif untuk jumlah produksi dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur selama kurun waktu tahun 2003 dan tahun 2006. Tetapi potensi keunggulan komoditas kelapa ini, masih kurang disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk terus menjaga dan memelihara agar keunggulan ini tetap bertahan. Hal ini disebabkan nilai jual kelapa butiran dan kopra yang cenderung merosot, sehingga gairah petani dalam memelihara kebun dan juga perhatian Pemda Pacitan terhadap komoditas ini, menjadi menurun. 3. Hasil kajian spesifik yang ketiga, yaitu bahwa produk turunan kelapa

mempunyai kelayakan finansial, nilai tambah dan marjin pemasaran yang potensial memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat petani dan produsen kelapa, bila diusahakan dalam bentuk industri pengolahan terpadu.


(2)

Analisis kelayakan finansial pengolahan kelapa secara terpadu pada 1 hektar lahan, menghasilkan nilai NPV positif, B/C > 1 dan nilai IRR > suku bunga yang diasumsikan, sehingga secara finansial industri pengolahan kelapa layak untuk dikembangkan. Industri pengolahan kelapa terpadu yang menghasilkan keanekaragaman produk-produk olahan kelapa dapat memberikan nilai ekonomis dan meningkatkan nilai akhir tiap satu butir kelapa. Selain itu aktivitas pengolahan produk-produk turunan kelapa juga mampu menghasilkan nilai tambah, memberikan marjin keuntungan terhadap tenaga kerja dan pengusaha, serta sumbangan terhadap input lain pada setiap kilogram produk yang dihasilkan. Produk-produk olahan kelapa potensial memberikan marjin harga yang tinggi kepada petani dan produsen, bila sistem pemasaran semakin efisien.

Klaster industri kelapa, diharapkan dapat mempercepat pengembangan unit-unit usaha mikro, kecil dan menengah produk kelapa di Kabupaten Pacitan, karena klaster merupakan aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir, sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku, yang karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan usaha mikro, kecil dan menengah yang selama ini terjadi, terutama di bidang produksi dan pemasaran.

Unit-unit usaha rumah tangga produk turunan kelapa di Kabupaten Pacitan yang telah membentuk klaster alamiah karena kegiatan ekonomi secara turun temurun, tidak dapat memerankan fungsi yang mendukung pengembangan ekonomi di Kabupaten Pacitan jika tidak diperkuat oleh political will Pemerintah Daerah.

8.2 Implikasi Kebijakan

Untuk mengimplementasikan strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan melalui klaster industri kelapa, diperlukan implikasi kebijakan :

• Mempromosikan citra kelapa sebagai produk unggulan daerah dengan terus memacu pertumbuhannya agar bisa menjadi trade mark bagi Kabupaten Pacitan sehingga dapat memberikan nilai tambah (PDRB dan PAD) bagi masyarakat daerah. Komoditas kelapa yang berpotensi memberikan nilai tambah langsung bagi keluarga miskin hendaknya menjadi ciri khas yang bisa dijadikan citra (distinctive competitiveness)


(3)

• Membuat agenda penguatan daya saing ekonomi daerah dalam sebuah kegiatan perencanaan partisipatif serta memobilisasi stakeholder kunci. Kepemimpinan Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan dan perannya sebagai inisiator sangat dibutuhkan.

• Membuat grand strategy (rencana induk) yang melibatkan pelaku hulu-hilir pada pengembangan klaster industri kelapa, meliputi strategi pengembangan kemitraan; strategi pembiayaan, modal usaha dan investasi; strategi penciptaan iklim usaha; strategi pengembangan sumberdaya manusia, strategi pengembangan riset dan teknologi; dan strategi pengembangan infrastruktur serta sarana dan prasarana ekonomi.

• Membentuk semacam forum kemitraan, sebagai forum pertemuan antar stakeholders, terdiri dari unsur pelaku usaha, pemerintah daerah, perbankan, Kadinda, asosiasi profesi, NGO dan CBO, serta perguruan tinggi, yang mampu mendukung dan mengarahkan rencana strategik dalam pengembangan ekonomi lokal dan implementasi kemitraan.

• Mendukung keberlanjutan inovasi produk kelapa melalui dukungan promosi dan/atau integrasi pasar, baik pasar lokal-regional maupun pasar luar negeri, dengan cara pembangunan infrastruktur dan kelembagaan promosi yang berkelanjutan, serta penyediaan dukungan dana operasional

• Memfasilitasi transformasi struktur pemasaran untuk menghapuskan distorsi harga akibat rantai pemasaran yang terlalu panjang dan dominasi para tengkulak, melalui pembentukan dan pemberdayaan lembaga-lembaga ekonomi komunitas (koperasi, asosiasi pemasaran, dan sebagainya).

• Memfasilitasi peningkatan akses masyarakat kepada informasi pasar dan teknologi melalui revitalisasi pelayanan penyuluhan maupun menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga jasa pengembangan bisnis (business development service providers) serta mengembangkan teknologi informasi pemasaran.

• Menyediakan kredit (maupun grant untuk revolving fund) bagi keluarga miskin maupun organisasi mereka (koperasi, asosiasi) untuk menunjang pengolahan dan pemasaran produk-produk turunan kelapa.


(4)

• Memberikan dukungan kepada produsen skala mikro dan kecil-menengah dalam mengidentifikasi potensi dan peluang baru untuk peningkatan produktifitas dengan memfasilitasi untuk mendapatkan sertifikasi produk • Membuat kerangka kerja penyediaan infrastruktur yang lebih terarah dan

sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.

• Membangun aliansi kemitraan dengan Pemda lainnya dan forum kemitraan di tingkat propinsi. Kerja sama dengan Pemerintah Daerah tetangga dan otoritas propinsi terkait perlu dilakukan agar produk kelapa Pacitan mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional, karena pasar dan jejaring pemasok-pembeli tidak mengenal batas administrasi. • Menciptakan iklim investasi yang kondusif yang meliputi: reformasi

peraturan dan administrasi yang menyangkut penyederhanaan prosedur berkaitan dengan kegiatan usaha dan menurunkan biaya perijinan, perbaikan kebijakan/ peraturan fiskal, serta perbaikan prasarana publik dan pelayanan penunjang kegiatan ekonomi.

8.3 Rekomendasi

Pengembangan klaster membutuhkan kerja sama yang komprehensif dan berkelanjutan, sehingga sejak awal penyamaan persepsi dan penggalangan komitmen dari pihak-pihak terkait harus ditumbuhkembangkan. Hal ini perlu menjadi platform atau pijakan bagi upaya bersama (kolaboratif) yang sinergis antar pihak. Pembangunan ekonomi lokal melalui pengembangan klaster kelapa di Kabupaten Pacitan perlu menjadi agenda bersama sebagai gerakan percepatan pembangunan ekonomi. Untuk itu rekomendasi kepada :

1. Petani dan produsenkelapa:

• Meningkatkan semangat dan jiwa kewirausahaan.

• Menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalismenya.

• Membangun sikap proaktif dalam penguasaan teknologi dan informasi pasar, serta memperluas akses jaringan pemasaran.

• Menguatkan kemampuan manajemen usaha dan ketrampilan teknis produksi .


(5)

• Agar berperan sebagai sebagai leading-industries, yaitu: sebagai pemberi order atau pembeli produk dari petani dan produsen mikro-kecil-menengah yang bergerak pada komoditas kelapa dan produk turunannya • Melakukan pembinaan dalam alih pengetahuan dan teknologi, dan pada

saatnya sebagai penjamin kepada bank atau sumber dana lainnya. • Melakukan penguatan merek dagang produk kelapa Pacitan • Membangunan asosiasi perkelapaan

3. Akademisi dan Lembaga Penelitian :

• Mendukung riset pengembangan inkubasi bisnis yang bermanfaat bagi penumbuhkembangan klaster industri kelapa.

• Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pasca panen untuk diversifikasi produk turunan kelapa dan peningkatan mutu produksi

• Memberikan dukungan dalam aspek-aspek teknis proses produksi, yang mencakup perbaikan proses atau teknologi yang sedang digunakan, adaptasi dan pengenalan teknologi, serta pengembangan teknologi.

• Melakukan penelitian yang terkait dengan agroindustri kelapa dari budidaya sampai pasca panen yang bersifat sosial ekonomi, serta riset pasar yang terkait dengan supply and demand.

• Melakukan baseline study sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan strategi ekonomi, pengembangan klaster dan produk kelapa, serta peluang pasar.

4. Kalangan Masyarakat Sipil/ Lembaga Swadaya Masyarakat :

• Melakukan pendampingan terhadap kelompok produsen primer maupun sekunder dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan komunitas dan penguatan kapital sosial.

• Membantu pengembangan kelembagaan petani sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan usaha, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis dalam bekerja sama.

• Membantu pengembangan ketrampilan teknis dan manajerial dengan memberikan pelatihan dan pendampingan teknis dari budidaya sampai pascapanen

• Memainkan peran kunci dalam menjembatani kolaborasi baru kemitraan masyarakat dengan pemerintah, termasuk dalam mempromosikan daerah secara umum dan usaha setempat.


(6)

• Mobilisasi sumber dana alternatif untuk pembiayaan unit-unit usaha mikro yang tidak bankable.

5. Kalangan perbankan :

• Memberikan pola pembiayaan dengan pendekatan kelompok yang difokuskan pada kegiatan bersama, misalnya pembelian bahan baku dan pemasaran. bersama, serta memanfaatkan skala usaha klaster dalam penyediaan agunan.

• Membuka skim pembiayaan yang dapat mengakomodir resiko pada komoditas kelapa dan industri pengolahannya, dengan pemberian skim kredit khusus pada berbagai tingkatan dan skala usaha.