Wujud Negara Pancasila yang Dirancang oleh Pendiri Republik

2 para pendiri republik seperti Thomas Jefferson A.S, Otto Von Bismarck Jerman, dan Meizi Jepang, menganut paradigma “Build Nation Build School”. Pertanyaannya “bagaimana sistem pendidikan nasional yang dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional di manaj dirancang, diorganisasikan, dimonitor, dan dipimpin? Sebelum menjawab pertanyaan utama ini tulisan ini akan mengulas “wujud Negara Pancasila yang dirancang pendiri republik”, selanjutnya makna mencerdaskan kehidupan bangsa, serta landasan konstitusional penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.

II. Wujud Negara Pancasila yang Dirancang oleh Pendiri Republik

Menurut kesaksian Bung Hatta, panitia Sembilan merumuskan Pembukaan UUD 1945 sebagai deklarasi kemerdekaan yang secara garis besar merumuskan wujud Negara Pancasila, acuannya adalah Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Karena itu dalam memberikan makna Pancasila, penulis tidak berangkat dari rumusan P4 tetapi dari pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 yang terkenal dengan “Lahirnya Pancasila”. Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 2 , menurut hemat saya, bukan hanya memuat rumusan Pancasila sebagai dasar negara, melainkan sebagai ideologi negara mengandung konsepsi wujud bangunan negara Indonesia yang hendak dikembangkan di atas landasan Pancasila. Atau dengan kata lain, Pancasila yang digariskan Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945 bukan semata-mata rumusan lima sila yang oleh sementara orang sering dianggap terlatu abstrak, melainkan juga suatu gambaran wujud negara Indonesia merdeka. Atas dasar pemahaman penulis ini, penulis berpendapat bahwa agar kita dapat memahami Pancasila sebagai ideologi negara, kita perlu terlebih dulu memahami wujud bangunan negara yang dicita-citakan Bung Karno tersebut. Dari Pidato Lahirnya Pancasila, struktur wujud bangunan negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno pada hakekatnya bercirikan lima karakteristik sebagai berikut: Pertama, Negara Indonesia yang merdeka adalah negara kebangsaan Nation State – suatu negara yang mengatasi batas-batas ras dan agama yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Wujud negara kebangsaan yang digariskan oleh Bung 2 Bung Karno. Lahirnya Pancasila 1947. Jakarta Departemen Penerangan RI 3 Karno memang pernah ada pada jaman Sriwijaya dan Majapahit, tetapi wujud negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno belum pernah ada sebelum Indonesia merdeka. Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki satu tujuan yang sama, pengalaman kolektif sejarah yang sama dan yang berada dalam satuan gugusan wilayah yang secara geopolitik sangat strategis. Terancamnya integrasi nasional, baik secara sosial, politik dan teritorial yang kita hadapi pada saat ini, tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakekat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang masih periu diwujudkan dan dipertahankan sebagai cita-cita, serta dibangun dan dikembangkan untuk menjadi negara kebangsaan modern yang kokoh, stabil, cerdas, dan bermartabat. Untuk itulah perlu dipertahankan bentuk negara kesatuan, untuk itu pulalah perlu dilaksanakan dan diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional dan perlu terus dimajukannya kebudayaan nasional. Kedua, Negara kebangsaan yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi gaya Yunani Kuno, melainkan demokrasi perwakilan yang mengutamakan permusvawaratan perwakilan untuk mencari konsensus. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan filosofi free-fight liberalism yang semangatnya adalah untuk mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan, dan melainkan semangat menemukan konsensus nasional untuk keutuhan bangsa, dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila Bung Karno menyatakan: ”Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terufama yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusyawaratan perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat- hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah candradimuka, katau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Jelaslah kiranya bahwa Bung Karno mencita-citakan negara kebangsaan yang demokratis. Tetapi, demokrasi yang diusulkan adalah demokrasi perwakilan. Bahkan beliau memandang bahwa sebagai pengejawantahan adanya demokrasi dalam badan perwakilan itu akan selalu terjadi perjuangan yang hebat, tetapi perjuangan itu untuk mencapai yang terbaik 4 untuk kepentingan rakyat seluruhnya, untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Bila kita kaitkan ajaran ini dengan situasi sekarang, tampak jelas betapa perdebatan yang sengit yang terjadi di DPR adalah sesuatu yang wajar sepanjang semangatnya bukan semata-mata untuk mengalahkan dan mengambil alih kekuasaan demi kepentingan golongan. Dan karena kita menganut demokrasi perwakilan seyogyanya rakyat pemilih mempercayakan sepenuhnya kepada para wakil rakyat yang telah terpilih untuk memperjuangkan cita-cita rakyat secara bijaksana, dan tidak perlu memberi tekanan terlalu berat sehingga hasil yang dicapai bukan demi hikmah kebijaksanaan melainkan dapat hanya memenuhi tekanan yang mengancam yang menakutkan, yang belum tentu memiliki arti strategis jangka panjang bagi kepentingan nasional. Ketiga, Negara kebangsaan yang demokratis yang dicita-citakan Bung Karno juga bukan negara yang menganut free-fight liberalism dalam sistem ekonominya, melainkan negara kebangsaan yang demokratis dan bercita-cita terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sosio demokrasi. Karakteristik yang ketiga ini yaitu yang hakekatnya adalah negara kesejahteraan seperti yang dijanjikan dalam kalimat akhir Pembukaan UUD1945, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pasal-pasal 27 dan 33 UUD 1945, nampaknya selama ini tidak sepenuhnya dijadikan landasan untuk membangun satu sistem ekonomi nasional. Disadari sikap anti kapitalisme yang dianut kaum sosialis yang berakar kepada pengalaman praktek kapitalisme abad ke-18 dan 19 yang merupakan induk imperialisme tidak dapat serta merta dipertahankan. Perkembangan kapitalisme global yang telah menguasai sepenuhnya kehidupan dan tata hubungan ekonomi dan politik dunia tidak dapat dilawan dengan sikap anti kapitalisme gaya kaum sosialis dan komunis pada era Pra-Perang Dunia II, melainkan perlu dihadapi dengan mengembangkan sistem ekonomi nasional yang benar-benar kokoh dan kenyal yang dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, dikembangkannya satu sistem ekonomi nasional sebagai jalan ketiga yaitu dengan memajukan semua kegiatan ekonomi, baik ekonomi dengan kapital besar, menengah dan kecil, industri besar dengan teknologi mutakhir dan industri kecil serta industri rumah tangga, secara sinergis saling bergantung satu sama ain. Bukan suatu kondisi ekonomi majemuk, yaitu suatu keadaan dimana kaum kapital besar dan industri besar, menengah, kecil dan kerakyatan masing- masing tidak saling bergantung, dimana yang menjadi korban adalah kegiatan ekonomi 5 rakyat yang selalu menjadi konsumen ekonomi kapital besar tetapi produksinya tidak menyentuh dan tidak tersalur ke dimensi ekonomi berkapital besar. Tanpa menata suatu sistem ekonomi yang demikian sukar diharapkan bahwa cita-cita Bung Karno untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan dapat tercapai. Empat, Sejak dini, bahkan sebelum menyajikan Pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno telah berulangkali mengemukakan pentingnya hubungan internasional yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi. Pandangan ini dipertegas dalam Pidato Lahirnya Pancasila dengan menyatakan Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme, karena karakter keempat dari wujud negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang mencintai perdamaian, yang ikut serta dalam membangun ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi. Bukan suatu tatanan dunia yang aturannva didikte negara-negara maju, seperti yang kita alami sekarang ini. Lima, Bung Karno sadar bahwa keberhasilan kita membangun negara kebangsaan yang demokratis, yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mampu secara aktif ikut serta menciptakan ketertiban dunia akan ditentukan oleh ridho Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ciri khas kelima dari negara kebangsaan Indonesia yang modern adalah bahwa negara Indonesia adaiah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Tentang wujud dari negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno menyatakan: Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita ber-Tuhan, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-Nya dengan cara leiuasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berbudaya, yakni yang tidak ada egoisme agama. Selanjutnya, Bung Karno secara lebih tersurat menyatakan: Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad SAW telah memberikan bukti yang cukup tentang 6 verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa phnsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Saya berpandangan bahwa Pancasila yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila bukan hanya rumusan dasar negara, melainkan sekaligus menggambarkan kerangka dari wujud karakteristik dari kerangka bangunan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Dewasa ini nampaknya ajaran yang telah dituangkan datam Pembukaan UUD 1945 ini kurang dipahami bahkan sering hanya dijadikan bumbu retorika politik atau dalam kalimat Prof Kunto Wibisono 23 Mei 2001, sebagai rangkaian terminologi dan phraseologi yang bobot dan tekanannya lebih diarahkan sebagai media politik, tanpa benar- benar didalami untuk dapat menterjemahkannya dalam hukum dasar, dan berbagai ketentuan penyelenggaraan negara bangsa di segala bidang kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Hal ini benar-benar saya rasakan dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Rl yang membahas Amandemen UUD 1945. Kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan Bung Karno, menururt pandangan saya, hakekatnya adalah negara kebangsaan modern yang demokratis, yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan berkeadilan sosial, yang menjunjung tinggi HAM dan perdamaian dunia serta yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kerangka dasar bangunan negara ini pada tahun 1945 barulah merupakan cita-cita yang harus diisi dengan kelembagaan dan infrastruktur serta manusianya. Untuk itu perlu ditempuh suatu perubahan radikal revolusioner dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia, dari masyarakat yang berbhinneka ketunggal ika, dan masyarakat tradisional dan feodal menuju masyarakat yang modern dan demokratis. Untuk itu Bung Karno secara sadar mengajarkan kepada kita bahwa kita menghadapi a summing-up of many revolutions in one generation. Ini bermakna bahwa perubahan dan pembaharuan yang perlu kita lakukan meliputi hampir semua dimensi kehidupan masyarakat negara bangsa, sosial, budaya, ekonomi, politik dan iptek. Dalam kaitan inilah kita memandang berbagai kelembagaan politik, sosial, budaya, ekonomi dan manusianya perlu secara sinergik dan sistemik ditata dan dikembangkan untuk mengisi kerangka bangunan negara Indonesia merdeka yang dirancang oleh Bung Karno seperti 7 digariskan dalam Pidato 1 Juni 1945 yang hari ini kita peringati. Kalau kita amati perjalanan Indonesia sejak proklamasi sampai sekarang kita menyaksikan betapa kita di bidang politik telah mencoba-coba menganut sistem dan struktur politik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kerangka bangunan negara bangsa yang dicita-citakan Bung Karno. Sejak November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959 kita menganut sistem multi partai dan sistem parlementer yang hakekatnya menjiplak sistem politik negeri BeIanda. Dalam bahasanya Verba Civic culture, suatu sistem politik yang tidak congruent dengan budaya politik masyarakat. Sejak 5 Juli 1959 sampai 1966, kita menganut sistem demokrasi terpimpin, dan dari tahun 1966 sampai tahun 1998 kita menganut sistem politik yang sangat terpimpin dengan pembatasan jumlah organisasi sosial politik. Sejak 1998 semua pemimpin berjanji untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945 yang hakekatnya merupakan intisari ajaran Bung Karno yang tertuang dalam Pidato Lahirnya Pancasila, tentang kerangka wujud negara Indonesia merdeka. Namun, kalau kita ikuti secara cermat para elit dan pemikir politik yang menguasai media massa dan wacana politik nampak tidak memahami hakekat ajaran yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak konsistennva pola pikir sementara pemimpin politik dan pakar Ilmu politik dan hukum dengan cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini, menurut hemat saya, merupakan akar dari kemelut politik dan sukarnya membangun sistem politik yang stabil. Untuk itu, adalah tanggung jawab kita semua, terutama yang bertanggung jawab bagi terselenggaranya pendidikan nasional untuk secara sistematis merancang dan menyelenggarakan pendidikan nasional sebagai wahana proses transformasi budaya menuju berkembangnya budaya poiitik yang berakar kepada cita-cita negara Pancasila yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak diterjemahkannya secara sungguh-sungguh cita-cita negara Pancasila yang diajarkan Bung Karno juga dapat diperhatikan dalam pengembangan sistem ekonomi. Dengan dalih globalisasi, pembangunan sistem ekonomi kita nampak tidak memperhatikan kaidah dasar bagi terwujudnya negara kesejahteraan sebagai yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945. Trilogi Pembangunan yang ditempuh selama Orde Baru, dimensi pemerataannya tidak lebih dari upaya pemberian bagian dari hasil pembangunan, tetapi bukan upaya memberdayakan ekonomi rakyat untuk menjadi bagian dari satu kesatuan sistem ekonomi nasional. Nampaknya semangat ini belum 8 berubah sampai sekarang. Dengan dianutnya sistem ekonomi pasar bebas, nasib Indonesia sama dengan nasib rakyat marhaen petani kecil, pedagang kecil, pengusaha kecil, dan pekerja karyawan yang berpenghasilan tetap, yaitu tetap sebagai kaum pinggiran yang selalu terkena dampak gejolak ekonomi. Upaya untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan manusia Indonesia dalam proses pembangunan ekonomi modern, seperti kemampuan mengolah dan mengelola sumber daya alam, kemampuan mengembangkan teknologi, kemampuan menghasilkan produk yang bermutu pertanian, manufaktur atau kerajinan, kemampuan mengelola modal secara efisien, dan kemampuan berdagang secara kompetitif sebagai basis bagi pembangunan ekonomi nasional yang kenyal terhadap goncangan dan yang terintegrasi sebagai suatu sistem ekonomi sama sekali tidak dilaksanakan. Salah satu faktor penyebab terpuruknya kehidupan politik dan ekonomi, yang bertolak belakang dengan cita-cita negara yang digariskan Bung Karno adalah diabaikannya upaya menjadikan pendidikan nasional sebagai wahana untuk menunjang terjadinya transformasi budaya menuju tegaknya negara kebangsaan yang berperadaban tinggi.

III. Makna Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Sebagai Sasaran Penyelenggaraan Satu