Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Pendidikan Nasional

10 kebudayaan nasional, terutama setelah lengsernya para pendiri Republik dari gelanggang penyelenggaraan pemerintahan Negara, diabaikan. Padahal melalui perubahan keempat UUD 1945 10 Agustus 2002, amanat tersebut dipertegas dan diperluas yaitu dengan menekankan : 1 kewajiban Pemerintah membiayai penyelenggaraan wajib belajar; 2 kewajiban Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 APBN dan APBD; dan 3 kewajiban Pemerintah untuk memajukan IPTEK 3 . Para pendiri Republik yakin bahwa hanya melalui upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui terselenggaranya satu sistem persekolahan nasional yang merata relevan dan bermutu upaya memajukan kesejahteraan umum melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia akan dapat terlaksana. Karena ketiga misi lainnya keterlaksanaannya akan tergantung pada kualitas sumber daya manusia, seperti kesimpulan Harbison dan Myers. “Indeed, if a country is unable to develop it’s human resources, it can not build anything else, whether it be a modern political sistem a sense of national unity or prosperous economy”. 4 Dan juga Bappenas. “Indonesia needs to invest more in human development – not just to fulfil it’s people basic rights but also to lay the foundations for economic growth and to ersure the long term survival of it’s democrazy. This investment is substantional but clearly affordable”. 5 Selanjutnya akan dianalisis pasal 31 UUD 1945 sebagai landasan strategis pengembangan sumber daya manusia.

IV. Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Pendidikan Nasional

Berbagai Negara yang kini menjadi Negara maju, terutama yang memiliki filosofi kenegaraan yang tertuang dalam UUD-nya, yang mantap kehidupan politiknya adalah Negara yang sejak kemerdekaannya telah menempatkan pendidikan sebagai landasan bagi 3 Sebagai perbandingan : komitmen pendidikan Malaysia 4 persen dari PDB, Thailand 4 persen dari PDB, Negara- negara Eropa rata-rata 5 persen dari PDB, AS hanya untuk perguruan tinggi saja 2,5 persen dari PDB, sementara anggaran pendidikan Indonesia dari SD sampai perguruan tinggi dan pendidikan luar sekolah hanya 1,3 persen dari PDB. 4 Harbison, F Myers, CA. Manpower and Education : Country Studies EC. Development. 1965. NY. Mcgraw Hiff Book Co. 5 Bappenas, BPS, UNDP. The Economic of Democrazy : Financial Human Development in Indonesia. Indonesia Human Development Report 2004 2004 Jakarta. 11 pembangunan Negara. Karena itu pula para pendiri Republik seperti yang telah disinggung yang menganut paradigm “To build nation build schools” menetapkan kewajiban “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” pasal 31 ayat 2 sebelum amandemen; yang menjadi pasal 31 ayat 3 setelah amandemen. Walaupun UUD 1945 yang dirumuskan oleh para Pendiri Republik telah menetapkan pemerintah bertanggung jawab “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, tetapi pada era Orde Baru pada saat pada Pendiri Republik tidak terlibat lagi dalam penyelenggara pemerintah Negara paradigm baru yang hakekatnya bertentangan dengan ideology Negara Pancasila yang adalah Negara kesejahteraan, yaitu menetapkan bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua. Sejak saat itu mengikuti pendidikan dari SD sampai Pendidikan Tinggi harus membayar SPP. Kenyataan seperti ini yang telah mendorong MPR RI 1999-2004 melakukan amandemen terhadap pasal 31 agar lebih jelas makna yang tersirat, dari dua ayat menjadi lima ayat, seperti tertulis di bawah ini : Sebelum Amandemen Pasal 31 Sesudah Amandemen Pasal 31 1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. 12 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Ketentuan yang tertulis pada ayat 2 yang menegaskan kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar, pada ayat 4 yang mewajibkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan ketentuan ayat 5 yang mewajibkan pemerintah memajukan IPTEK, hakekatnya dirumuskan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan. Karena di Negara kesejahteraan pendapatan Negara hanyalah unyuk membiayai: 1 Pendidikan; 2Kesehatan; 3 Pertahanan Negara; 4 Administerasi Negara; 5 Infrastruktur dasar sektor lainnya adalah sumber berpendapatan Negara. 6 Karena itu di Eropa, terutama jerman, Swedia, dan Finlandia, pendidikan dari SD sampai program Doktor tidak dipungut biaya. Yang memprihatinkan adalah bahwa walaupun ketentuan pasal 31 diperjelas tetapi penyelenggara pemerintah Negara di Era Reformasi telah meneruskan paradigm Orde Baru seperti tertulis dalam pasal : 1 Pasal 46 ayat 1 6 Dari Menteri Pendidikan Belanda pada saat penulis dan Prof. DR. Harsya Bachtiar Alm pada TA 1996 berkunjung ke Negeri Belanda. Pada saat itu anggaran pendidikan Belanda 37 APBN. 13 “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat” 2 Pasal 6 ayat 2 “Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan” 3 Pasal 7 ayat 2 “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya” 4 Pasal 12 ayat 2 “Setiap peserta didik berkewajiban : ikut menanggung biaya biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan 5 Pasal 49 ayat 3 “Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan yang dikutip diatas menunjukkan betapa UU No. 20 Tahun 2003 dalam pembiayaan pendidikan bertentangan dengan ketentuan pasal 31 ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945. Ketentuan yang tertulis dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut yang nampaknya melatarbelakangi betapa penyelenggaraan pendidikan dasar tidak dibiayai sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat 2 UUD 1945, dan hanya diberi bantuan BOS. Dalam pandangan penulis ketentuan-ketentuan tersebut dan praktek tidak dibiayainya penyelenggaraan pendidikan dasar sepenuhnya tidak hanya bertentangan dengan pasal 31 ayat 2 UUD 1945, tetapi bertentangan dengan ideologi Negara Pancasila. Di samping masalah yang terkait dengan wajib belajar penyelenggara pemerintah Negara melalui UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan BHP yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi juga wujud upaya pemerintah untuk secara syah tidak perlu membiayai perguruan tinggi negeri, padahal pasal 31 ayat 3 secara tegas menetapkan kewajiban pemerintah “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, yang dalam priode pra-Orde Baru melalui UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi ditegaskan 14 pemerintah membiayai Perguruan Tinggi Negeri PTN dan memberi subsidi kepada Perguruan Tinggi Swasta PTS 7 . Dari serangkaian ulasan ini jelaslah bahwa sebagai Negara Pancasila, Negara kesejahteraan, dan pasal 31 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 pemerintah berkewajiban membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional. Seperti telah diulas pada bagian terdahulu bahwa Indonesia sebagai Negara Pancasila, di samping Negara kesejahteraan, adalah Negara kebangsaan, karena menganut sistem Negara kebangsaan. Para pendiri republik dalam UUD 1945 menegaskan perlunya “mencerdaskan kehidupan bangsa”, “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Namun disayangkan berbeda dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas, UU No. 20 Tahun 2003 tidak memuat ketentuan tentang upaya membangun bangsa baik pada tujuan maupun isi pada rumusan tujuan pendidikan yang tertuang pada pasal 3, tujuan pendidikan yang lengkapnya tertulis : “Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pertanyaannya bertanggung jawan kepada siapa tidak jelas, sedangkan UU No. 2 Tahun 1989 dalam rumusan tujuan tertulis pada pasal 4 pada ujung kalimat tertulis : “……….Serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Konsekuensi dari rumusan tujuan yang tertulis dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, dalam pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 tentang kurikulum tidak ada kurikulum Bahasa Indonesia, adanya bahasa tidak ada kurikulum sejarah Indonesia. Disamping itu tidak ada kurikulum pendidikan Pancasila jadi berbeda dengan kurikulum yang ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang dalam pasal 34 terdapay kurikulum : 1 Pendidikan Pancasila; 2 Bahasa Indonesia; 3 Sejarah Indonesia dan sejarah umum. Disamping itu dalam UU No. 20 Tahun 2003 ada ketentuan yang mewajibkan Pemerintah danPemerintah Daerah menyelenggarakan satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan sekolah bertaraf nasional pasal 50 ayat 3 suatu ketentuan yang secara 7 Di Negeri Belanda sejak Tahun 1920 PTN dan PTS dibiayai pemerintah. 15 tersirat memandang bahwa yang nasional itu di bawah internasional, suatu sikap “inlander”. Penulis tidak menentang upaya agar mutu pendidikan nasional tidak kalah dengan mutu sekolah dimanapun juga, tidak lain karena kita sedang membangun Negara kebangsaan. Yang lebih memprihatinkan adalah adanya ketentuan yang secara tidak langsung mengijinkan anak Indonesia di tanah airnya sendiri sekolah di sekolah asing, seperti tertulis dalam pasal 65 ayat 2 yang tertulis : “Lembaga pendidikan asing pada tingkat dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga Negara Indonesia”. Perlu diketahui semua Negara kebangsaan, berupaya agar warga negaranya di manapun juga memperoleh pendidikan, terutama pendidikan tingkat wajib belajar, nasional, dalam suasana Negara bangsanya. Karena itu kita mengenal American School, British School, dan Deutche Schule, dan Indonesia sejak era pendiri republik mengenal sekolah Indonesia di Negeri Belanda, di Mesir, di Jeddah, di Jepang, di Thailand, di Singapore, di Malaysia, di Cheko, dan di Rusia. Tidak lain karena setiap Negara kebangsaan menghendaki generasi mudanya menjadi warga bangsa yang patriotik dan berkualitas. Setelah membahas implikasi Pancasila sebagai ideologi Negara terhadap penyelenggaraan pendidikan pada taraf makro, yaitu pembiayaan dan materi pendidikan. Selanjutnya akan dicoba diulas proses pendidikan sebagai upaya membangun bangsa. Penulis berpandangan bahwa pendidikan nasional hakekatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin, baik disiplin sosial maupun disiplin nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual, kemampuan profesionalatau vokasional, dalam rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan, serta dalam moral, karakter dan kepribadian. Manusia berkualitas seperti inilah yang diharapkan dihasilkan oleh proses pendidikan di sekolah. Atas dasar persepsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan manusia yang berkualitas seperti inilah, mengapa Senator John F Kennedy 1957 dan para Gubernur di Amerika Serikat mamandang bahwa keberhasilan Amerika Serikat dalam persaingan global ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran di sekolah. Secara empirik dan teoretik, 16 sejak industrialisasi, sekolah adalah pendidikan nasional 8 difungsikan untuk mendukung dan membangun negara peradaban lewat sekolah. 9 Pertanyaannya adalah “Sistem Pendidikan Nasional seperti apa yang dapat berfungsi menunjang Pembangunan Bangsa ?” Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara lengkap jawaban atas pertanyaan tersebut karena untuk itu ada artikel tersendiri yang telah ditulis 6 . Dalam pandangan penulis, yang menentukan kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara menghasilkan manusia berpendidikan yang mampu mendukung lahirnya negara bangsa yang kuat, disamping mutu proses pembelajarannya yang bermakna sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap, adalah manajemen dan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dari segi pembiayaan inilah saya akan menyoroti dampaknya kepada pembangunan loyalitas dan kebanggaan warga bangsa kepada negara bangsa. Dalam hemat saya,tingginya loyalitas warga bangsa terhadap negara bangsanya antara lain ditentukan oleh kepedulian Pemerintah suatu negara kepada warga negaranya. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional hampir seluruh negara Eropa Jerman, Perancis, Belanda, seluruh negara Skandinavia, pendidikan dari SD sampai Universitas dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat dan Negara Bagian. Karena itu sudah sepatutnya setiap warga negaranya dapat merasakan bahwa mereka dapat menjadi tenaga ahli profesional, teknisi andal dan lainnya karena dibiayai negara. Karena itu kita tidak heran bahwa kaum pekerja Jerman bersedia diperpanjang jam kerja dan dikurangi penghasilannya demi perbaikan ekonomi Jerman 10 . Dan tidak heran pula kalau seorang Presiden Jerman Von Weisaker 1980-an atas himbauannya dalam satu hari dapat menghimpun dana untuk membantu kelaparan di Ethiopia sebanyak 150 juta US dolar. Di Amerika Serikat walaupun mulai pertengahan tahun 1980-an untuk memasuki Universitas Negeri sudah mulai membayar, wajib belajar 12 tahun tetap dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Federal dan Negara Bagian, dan Pemerintah Federal tetap menyediakan dana 100 milyard US dollar untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa dari keluarga 8 John Dewey, “Democracy and Education, 1964 New York, The Mac Millan Co. 9 Yehudi Cohen : “Schools anf Civilitational State” dalam buku J Fischer, “The Social Sciences and The Comparative Study of Educational Sistem” 1969 10 Germany’s Surprising Economy” dalam majalah The Economist, August 20, 2005, page 9. 17 berpenghasilan rendah 11 . Model pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional seperti inilah dalam pemahaman saya, merupakan salah satu faktor yang menentukan rasa kebangsaan, kebanggaan sebagai warga suatu bangsa, dan loyalitas terhadap negara bangsa. Karena itu kita menyaksikan betapa bersatunya rakyat Amerika Serikat pada saat menghadapi krisis, baik Perang Dunia II, September 11, dan Huricane Katrina. Dipandang dari sisi ini UUD 1945 sesungguhnya berkehendak menyelenggarakan pendidikan nasional seperti yang dilaksanakan negara bangsa yang lain. Tetapi akhir-akhir ini walaupun pasal-pasal UUD 1945 telah mempertegas tanggung jawab Pemerintah untuk membiayai pendidikan tetapi praktek penyelenggaraan pendidikan nasional menjadi semakin jauh dari semangat dan aksara yang digariskan dalam UUD 1945. Karena itu kita tidak usah heran kalau para sarjana yang selama sekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi dibiayai oleh orang tua tidak merasakan jasa Pemerintah. Mereka menggunakan paradigma “rate of return”. Jadi investasi yang telah ditanam oleh orang tua selama sekolah harus kembali, akibatnya generasi muda menjadi tipis patriotisme, mudah-mudahan tidak hilang patriotisme. Yang berbahaya adalah kalau selama sekolah ada generasi muda yang dibiayai oleh pihak yang berencana untuk mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Mudah-mudahan pandangan spekulatif ini tidak benar. Disamping dimensi pembiayaan yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen penyelenggaraan, untuk itu bagian berikut akan mengulas “manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional”.

V. Manajemen Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Mampu Menunjang