pendidikan yang belum merata antara kota dan desa bahkan perbedaan yang sangat mencolok. e peningkatan kualitas dan profesionalisme guru belum difasilitasi secara optimal oleh daerah
dengan regulasi yang pasti. f adanya regulasi yang tidak jelas dalam pemungutan sumbangan maupun bantuan. Hal ini sering terjadi pada waktu pendaftaran. Sehingga diperlukan regulasi
yang jelas dan transparan.g desentralisasi kurang pemberdayaan satuan pendidikan dalam otda. Keempat, banyaknya kendala implementasi otonomi daerah yang berimbas pada
pelaksanaaan Peraturan Daerah termasuk Perda Pendidikan. Imbas itu dapat dipaparkan sebagai berikut: a Kapasitas administrasi Pemerintah Daerah b Kesenjangan antardaerah, akibat dari
kebijaksanaan yang seragam itu maka kesenjangan antardaerah yang alami itu, tidak pernah berkurang. c Kesenjangan politik, otonomi daerah yang luas tidak saja memberikan wewenang
yang lebih besar kepada daerah, tetapi juga kekuasaan yang jauh lebih besar kepada politisi lokal. d Perilaku birokrasi, yang sebagian besar belum memiliki perilaku administrasi negara
yang benar.
B. Pemasalahan
Bagaimana model pembentukan Perda pendidikan yang berbasis karakter kearifan nilai lokal mampu mampu mencerdaskan masyarakat yang berkeadilan dan menyejahterakan
secara substantif?
C. Pembahasan
1. Fakta Desentralisasi Pendidikan yang Mendorong Perlunya Pembentukan Perda
Pendidikan Berbasis Pada Karakteristik Kearifan Nilai Lokal.
Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang diperbaharui melalui UU NO. 32 Tahun 2004 tentang otonomi pemerintahan daerah,
memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi
berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan berpengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan.
Setidaknya ada 4 dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu : 1 Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih
leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki; 2 Efisiensi
Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional; 3 Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai
birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat; 4 Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga
terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan. Pemberlakuan desentralisasi pendidikan mengharuskan diperkuatnya landasan dasar
pendidikan yang demokratis, transparan, efisien dan melibatkan partisipasi masyarakat daerah. Desentralisasi pendidikan dapat terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu Dekonstrasi, Delegasi dan
Devolusi. Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi dan pusat. Sementara Delegasi mengandung
makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat. Pada Tingkat Devolusi di bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi 4
ciri, yaitu 1 terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di daerah dan di pusat; 2 kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan; 3 lepas dari supervisi
hirarkhis dan pusat dan 4 kewenangan lembaga daerah diatur dengan peraturan perundangan. Namun sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum
berjalan sebagaimana diharapkan, justru pemberlakuan otonomi membuat banyak masalah yaitu mahalnya biaya pendidikan dan kualitas pendidikan ayng terus dipertanyakan. Permasalahan
yang muncul antara lain disebabkan oleh karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi dan hukum. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi
administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1 Belum jelas aturan
permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2 Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom
karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3 Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4 Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5 Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-
sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. 6 kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan
pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini
mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi
perkembangan kemandirian masing-masing daerah. Sekaligus perlunya Perda yang mampu mengadopsi dan melaksanakan secara tepat efektif efisien perintah perundang-undangan
diatasnya. Ironisnya Kebijakan Otonomi Daerah yang lahir pada masa reformasi melalui UU nomor
32 tahun 2004 menjadikan dunia pendidikan tidak makin cerah. Otonomi Daerah hanya memindahkan permasalahan pendidikan dari pusat ke daerah. Kualitas pendidikan semakin sulit
berkembang, karena pendidikan ikut dijadikan objek politik para elit daerah. “Faktanya kita masih melihat masih tingginya disparitas pendidikan antar kelompok masyarakat, baik antara
perkotaan dan pedesaan, kaya dan miskin, serta antar daerah,”
5
Seringkali penetapan Kepala Dinas Pendidikan oleh Kepala Daerah yang seringkali tanpa didasarkan pada kapabilitas
seseorang, melainkan hanya karena kedekatan secara politik. Akibatnya pendidikan dikelola secara serampangan karena orang yang berada di pucuk pimpinan pendidikan di daerah bukan
orang yang memahami tugasnya. Kualitas guru di daerah rata-rata juga kurang baik, karena rekrutmen dilakukan secara tidak profesional. Penerimaan calon guru dengan kolusi sudah
dianggap umum dan belum jelas akreditasinya. Fakta inilah yang mendorong perlu pembentukan Peraturan Daerah Bidang pendidikan
yang berbasis pada karakteristik keaifan nilai lokal.
6
. Sehingga penyelenggaraan pendidikan bukan beban lokal tetapi menjadi kenyamanan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang
sesungguhnya karena sangat akrab dengan semangat daerah yang menjadi pondasi bersama untuk mencerdaskan bangsa.
5
kata Ketua DPR RI Marzuki Alie saat bicara dalam Seminar Nasional dengan tema ‘Mampukah Otonomi Pendidikan Mendorong Peningkatan Daya Saing Bangsa Pada Era Globalisasi’ di Auditorium Gedung Pusat IKIP PGRI Semarang di
Semarang, Selasa 1272011.
6
Kearifan lokal yaitu spirit local genius yang disepadankan maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan,kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan dan berkenaan dengan penyelesaian masalah yang relatif pelik
dan rumit dalam suatu lokal daerah untuk menjadikan kehidupanyang yang selaras, serasi dan seimbang harmonis. Kehidupan yang penuh kedamaian dan suka cita. Kehidupan yang dipimpin oleh pimpinan yang dihormati bawahannya.
Kehidupan yang teratur dan terarah yang dipimpin oleh pimpinan yang mampu menciptakan suasana kondusif.
2. Model IRR Pembentukan Perda Pendidikan Yang Berbasis Karakter Kearifan Nilai