Diskriminasi Standar Isi dan Proses Pendidikan

Akibat psikologis karena setiap hari mengalami diskriminasi bisa muncul menjadi suatu karakter bangsa. Dengan adanya diskriminasi yang dialami para siswa di sekolah berlabel SBI dan SSN maupun sekolah tidak memenuhi standar internasional dan nasional, bisa berujung pada rasa prustasi para peserta didik dan memunculkan watak ketidak percayaan terhadap penyelenggaraan isntitusi sekolah atau perguruan tinggi, demo-demo anarkis para mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang banyak terjadi saat ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh adanya diskriminasi yang mereka alami sejak di sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi.

D. Diskriminasi Standar Pembiayaan dan Penilaian Pendidikan

Standar ke tujuh dan ke delapan dalam standar pendidikan adalah pembiayaan dan evaluasi pendidikan. Diskriminasi standar pembiayaan jelas terlihat kasat mata baik di tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Tidak heran bila Komisi E DPRD DKI Jakarta menyebutkan bahwa: “Keberadaan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional RSBI di DKI Jakarta terbukti telah mendiskreditkan warga miskin. Untuk satu RSBI, anggaran yang dikucurkan dari APBD mencapai tiga kali lipat dibanding untuk sekolah negeri biasa.“ 12 Dari keterangan Komisi E DPRD DKI Jakarta tersebut, terjadi legalitas diskriminasi pembiayaan oleh pemerintah DKI Jakarta dan disetujui oleh DPRD DKI Jakarta. Lebih lanjut lagi sekolah RSBI lebih banyak disisi oleh masyarakat dari kalangan menengah atas, masyarakat kelas bawah yang harusnya mendapatkan subsidi justru tidak mendapatkan apa-apa. Untuk menjadikan sekolah dengan mutu yang tinggi, memang membutuhkan biaya yang besar, pemerintah perlu merumuskan standar pembiayaan yang jelas agar tidak terjadi diskriminasi pembiayaan dimana sekolah-sekolah bermutu hanya bisa dinikmati oleh masyarakat menengah atas. Hal ini akan bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang mengatakan: 12 http:www.koran ‐jakarta.comberita‐detail.php?id=52962, Senin 24 Mei 2010. “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. 13 Di negara manapun perbedaan mutu tiap sekolah pasti terjadi, tetapi terjadi bukan karena adanya diskriminasi pembiayaan, sehingga menjadikan warga negara miskin tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan bermutu yang menuntut peran orang tua dalam pembiayaan yang sangat besar. Terkait dengan sempitnya kesempatan belajar warga kurang mampu banyak disebabkan karena sistem seleksi untuk masuk sekolah-sekolah bermutu didasarkan atas sistem evaluasi yang juga ada diskriminasi. Standar evaluasi pendidikan seharusnya dilandasi oleh standarisasi ketujuh komponen yang lain. Sehingga terhindar dari parktek diskriminasi evaluasi pendidikan, apabila suatu sekolah mempunyai standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar pengelolaan dan standar biaya yang berbeda tentu kompetensi lulusan juga akan berbeda, sehingga hasil evaluasi dengan standar nasional yang sama akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Bila ini dijadipan patokan untuk seleksi di ‘sekolah bermutu’ seperti SBI, SSN dan lain-lain maka masyarakat miskin tidak akan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan bermutu tersebut. Untuk menghindari diskriminasi pendidikan penulis mencoba menganalisis kedudukan delapan standar pendidikan tersebut sebagagai berikut. Gambar 4. Landasan Standar Nasional Pendidikan 13 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1. Penilaian Pendidikan Pembiayaan Pengelolaan Sarana dan Prasarana Tenaga Kependidikan Standar Proses Standar Isi Standar Kompetensi Lulusan