Makna Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Sebagai Sasaran Penyelenggaraan Satu

8 berubah sampai sekarang. Dengan dianutnya sistem ekonomi pasar bebas, nasib Indonesia sama dengan nasib rakyat marhaen petani kecil, pedagang kecil, pengusaha kecil, dan pekerja karyawan yang berpenghasilan tetap, yaitu tetap sebagai kaum pinggiran yang selalu terkena dampak gejolak ekonomi. Upaya untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan manusia Indonesia dalam proses pembangunan ekonomi modern, seperti kemampuan mengolah dan mengelola sumber daya alam, kemampuan mengembangkan teknologi, kemampuan menghasilkan produk yang bermutu pertanian, manufaktur atau kerajinan, kemampuan mengelola modal secara efisien, dan kemampuan berdagang secara kompetitif sebagai basis bagi pembangunan ekonomi nasional yang kenyal terhadap goncangan dan yang terintegrasi sebagai suatu sistem ekonomi sama sekali tidak dilaksanakan. Salah satu faktor penyebab terpuruknya kehidupan politik dan ekonomi, yang bertolak belakang dengan cita-cita negara yang digariskan Bung Karno adalah diabaikannya upaya menjadikan pendidikan nasional sebagai wahana untuk menunjang terjadinya transformasi budaya menuju tegaknya negara kebangsaan yang berperadaban tinggi.

III. Makna Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Sebagai Sasaran Penyelenggaraan Satu

Sistem Pendidikan Nasional Sering orang memaknai amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa” sama dengan memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apapun mutu pendidikannya. Karena itu kesempatan memperoleh pendidikan diperluas. Tetapi kenyataannya walaupun kesempatan memperoleh pendidikan pada tingkatan SD sudah berada diatas 96 dan SMP di atas 70 , serta Perguruan Tinggi diatas 10 , tetapi kehidupan bangsa yang cerdas belum atau masih jauh dari dari terwujud. Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan kita dari SD sampai Perguruan Tinggi hanyalah berupa gedung sekolah, tanpa peralatan, tanpa buku, tanpa lapangan olah raga dengan guru yang kurang terjamin kesejahteraannya. Penelitian UNESCO pada tahun 1996 menemukan bahwa mutu pendidikan semacam ini, yang pada umumnya terdapat dinegara berkembang bukan hanya tidak bermakna bagi pencerdasan kehidupan bangsa tetapi sebaliknya akan melahirkan masalah baru bagi bangsa tersebut. Penulis berpandangan bahwa tanpa memahami latar belakang sejarah Indonesia dan perkembangan sejarah peradaban dunia yang sejak “Renaisance” melalui industrialisasi terus melaju menjadi peradaban moderen, kita akan sukar memahami pesan yang terkandung 9 dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pada saat dunia Barat sejak abad ke-17 melalui Renaisance dan industrialisasi mendorong lahirnya negara-negara kebangsaan, dan pada pertengahan abad ke-20 setelah melalui dua perang dunia peradaban dunia didominasi oleh nilai-nilai budaya Barat baik politik, ekonomi, dan IPTEK, yang kemudian menjadi nilai-nilai peradaban moderen. Indonesia sebaliknya sejak abad ke-17 mulai secara bertahap berada dibawah kekuasaan penjajah dan mulai permulaan abad ke-20 sepenuhnya dibawah kekuasaan penjajah. Secara kultural penghuni Nusantara tetap berada dalam kehidupan tradisional dan tidak tersentuh oleh peradaban moderen yang rasional, demokratik, dan berorientasi IPTEK. Dalam perspektif ini pada tahun 1945 Indonesia tertinggal sekitar 400 tahun. Karena itu makna mencerdaskan kehidupan bangsa dalam pandangan penulis hakekatnya adalah gerakan mentransformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya moderen, rasional, demokratis, dan berorientasi IPTEK. Semangat “Ada Hari Ada Nasi”, “Kalau takut dilembur pasang jangan berumah ditepi pantai” dan “Ana Bapang den Simpangi kalau ada hambatanmasalah dihindari”, harus berubah menjadi “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” atau dalam bahasa Toynbee “A problem is a challenge, and a challenge is chance for progress”. Mengubah sikap hidup dari tradisional, irrasional, feodalistik, dan menerima nasib, menjadi manusia yang percaya diri dalam menghadapi tantangan memerlukan proses transformasi budaya atau dalam bahasa Bung Karno “our revolution is a summing up of many revolution in one generation”, suatu perubahan yang meliputi berbagai dimensi kehidupan baik politik, ekonomi, social budaya, dan IPTEK. Dalam kaitan ini, semua Negara yang kemudian menjadi Negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, kemudian disusul oleh Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China adalah Negara-negara yang memulai pembangunannya dengan mendudukkan sector pendidikan sebagai prioritas utamanya. Karena itu para pendiri Republik yang adalah cendekiawan terpelajar menetapkan kewajiban Pemerintah untuk “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” atau sistem persekolahan, dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia pasal 31 dan pasal 32 UUD 1945 sebelum diamandemen. Disayangkan bahwa lebih dari enam puluh tahun setelah UUD 1945 disyahkan oleh para pendiri Republik, amanat yang mewajibkan Pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu sistem pengajaran nasional dan memajukan 10 kebudayaan nasional, terutama setelah lengsernya para pendiri Republik dari gelanggang penyelenggaraan pemerintahan Negara, diabaikan. Padahal melalui perubahan keempat UUD 1945 10 Agustus 2002, amanat tersebut dipertegas dan diperluas yaitu dengan menekankan : 1 kewajiban Pemerintah membiayai penyelenggaraan wajib belajar; 2 kewajiban Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 APBN dan APBD; dan 3 kewajiban Pemerintah untuk memajukan IPTEK 3 . Para pendiri Republik yakin bahwa hanya melalui upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui terselenggaranya satu sistem persekolahan nasional yang merata relevan dan bermutu upaya memajukan kesejahteraan umum melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia akan dapat terlaksana. Karena ketiga misi lainnya keterlaksanaannya akan tergantung pada kualitas sumber daya manusia, seperti kesimpulan Harbison dan Myers. “Indeed, if a country is unable to develop it’s human resources, it can not build anything else, whether it be a modern political sistem a sense of national unity or prosperous economy”. 4 Dan juga Bappenas. “Indonesia needs to invest more in human development – not just to fulfil it’s people basic rights but also to lay the foundations for economic growth and to ersure the long term survival of it’s democrazy. This investment is substantional but clearly affordable”. 5 Selanjutnya akan dianalisis pasal 31 UUD 1945 sebagai landasan strategis pengembangan sumber daya manusia.

IV. Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Pendidikan Nasional