Diskriminasi Standar Kompetensi Lulusan dan Tenaga Kependidikan
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
13
Di negara manapun perbedaan mutu tiap sekolah pasti terjadi, tetapi terjadi bukan karena adanya diskriminasi pembiayaan, sehingga menjadikan warga negara
miskin tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan bermutu yang menuntut peran orang tua dalam pembiayaan yang sangat besar.
Terkait dengan sempitnya kesempatan belajar warga kurang mampu banyak disebabkan karena sistem seleksi untuk masuk sekolah-sekolah bermutu
didasarkan atas sistem evaluasi yang juga ada diskriminasi. Standar evaluasi pendidikan seharusnya dilandasi oleh standarisasi ketujuh komponen yang lain.
Sehingga terhindar dari parktek diskriminasi evaluasi pendidikan, apabila suatu sekolah mempunyai standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar
pengelolaan dan standar biaya yang berbeda tentu kompetensi lulusan juga akan berbeda, sehingga hasil evaluasi dengan standar nasional yang sama akan
menghasilkan perbedaan yang signifikan. Bila ini dijadipan patokan untuk seleksi di ‘sekolah bermutu’ seperti SBI, SSN dan lain-lain maka masyarakat miskin
tidak akan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan bermutu tersebut. Untuk menghindari diskriminasi pendidikan penulis mencoba
menganalisis kedudukan delapan standar pendidikan tersebut sebagagai berikut.
Gambar 4. Landasan Standar Nasional Pendidikan
13
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1.
Penilaian Pendidikan
Pembiayaan Pengelolaan
Sarana dan Prasarana
Tenaga Kependidikan
Standar Proses
Standar Isi
Standar Kompetensi Lulusan
Standar kompetensi digunakan untuk menentukan standar isi, standar isi dipakai untuk menentukan standar proses pendidikan, standar proses pendidikan
dipakai untuk menentukan standar tenaga kependidikan, keempat standar tersebut dipakai untuk menentukan standar sarana dan prasarana, yang kemudian dipakai
untuk menentukan standar pengelolaan, pembiayaan dan evaluasi pendidikan. Ini berarti sebelum menerapkan standar evaluasi, pemerintah wajib mengevaluasi
ketujuh standar pendidikan yang lain, sehingga tidak terjadi diskriminasi evaluasi pendidikan.
Pada kenyataannya sekarang pemerintah melakukan jalan pintas, memaksakan evaluasi pendidikan dengan standar nilai yang terus ditingkatkan
tanpa melihat apakah ketujuh standar lain sudah memenuhi kriteria atau tidak. Salah satu yang kasat mata terjadinya diskriminasi adalah pada standar sarana dan
prasarana. Banyak sekolah sekolah negeri dengan standar gedung ber AC, jumlah siswa perkelas maksimal 30, sarana olah raga dan laboratorium yang
memadai, seperti SMP Negeri 115 Jakarta, SMA Negeri 8 Jakarta dan banyak sekolah yang lain di kota-kota besar seluruh Indonesia, dilain pihak banyak
sekolah dengan sarana gedung yang tidak memadai seperti di SMP Negeri di Ketapang Kalimantan Barat penulis pernah memeriksa penggunaan dana BOM di
SMP di Ketapang Kalimantan Barat dan menyaksikan gedung sekolah yang tidak layak, jumlah siswa satu kelas melebihi 50 siswa SMA Negeri di Cikarang Pusat
Kabupaten Bekasi. Bila sekolah-sekolah yang kontras tersebut diterapkan standar evaluasi
yang sama, tentu hasilnya akan berbeda secara signifikan. Dilain pihak juga terjadi diskriminasi di Perguruan Tinggi, ITB, UI dan beberapa perguruan tinggi
dengan label BHMN menjadi perguruan tinggi dengan sarana dan prasarana yang lengkap dilain pihak UNJ dengan sarana gedung tua, lahan sempit, buku-buku
perpustakaan yang terbitan lama dan waktu pelayanan perpustakaan yang sempit untuk melayani jumlah mahasiswa yang sangat banyak contoh kasus
perpustakaan pascasarjana UNJ, dan banyak perguruan tinggi dengan gedung serupa ruko rumah toko yang tersebar di kota-kota di Indonesia. Tentu akan
berbeda bila dievaluasi dengan standar akreditasi yang sama.
BSNP sebagai lembaga yang mengurusi satandar nasional pendidikan, seharusnya lebih dulu mengevaluasi ketujuh standar pendidikan sebelum
menerapkan standar evaluasi pendidikan. Lembaga pendidikan baik sekolah maupun perguruan tinggi wajib dievaluasi, apakah sudah memenuhi standar
proses pendidikan, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar tenaga kependidikan, bila standar-standar pendidikan tersebut belum dipenuhi maka
pemerintah punya kewajiban menganggarkan sekurang-kurangnya 20 dari anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah untuk keperluan pendidikan. Bila
tidak maka pemerintah gagal dalam melaksanakan UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi sebagai berikut:
14
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. 3.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang. 4.
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. 5.
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agamadan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta
kesejahtraan umat manusia.
Pada pembahasan sebelumnya sudah penulis paparkan bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu memang membutuhkan standar yang
tinggi dari kedelapan standar tersebut. Dilain pihak standar yang tinggi pastilah membutuhkan dana, daya dan upaya yang besar.
Pemerintah Indonesia memang belum mencapai kesejahteraan sebagaimana negara-negara maju, rakyat Indonesia sebagian besar masih belum
sejahtera, tetapi sebagian kecil keluarga bisa mengecap kesejahteraan layaknya keluarga-keluarga di negara maju bahkan berlebih. Yang sebaian kecil ini
menguasai dana yang mayoritas, dibandingkan sebagian rakyat Indonesia yang hanya memnguasai dana yang minoritas. Bila di dalam negeri tidak diupayakan
dan diselenggarakan pendidikan bermutu, bisa mengakibatkan masyarakat
14
UUD 1945 Amandemen I, II, III dan IV Pasal 31.