Permasalahan Pengelolaan Pengelolaan Kawasan Konservasi

16 4. Inventarisasi potensi kawasan secara keseluruhan belum diketahui sehingga menghambat penetapan kebijaksanaan pola dan rencana kegiatan pengelolaan taman nasional secara terpadu; 5. Pengukuhan dan penataan batas kawasan masih banyak yang belum dilaksanakan, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya perambahan kawasan dengan berbagai dampak negatifnya; 6. Sebagian besar lokasi taman nasional terisolir, jauh dari jangkauan transportasi, sehingga menyulitkan pelaksanaan pembangunannya; 7. Kemampuan personil untuk mengelola taman nasional belum mantap, selain itu juga keterbatasan prasarana dan sarana fisik serta pembiayaan yang tersedia; dan 8. Organisasi pemangkuan dan pengelolaan beberapa taman nasional belum seragam di tingkat Eselon III, bahkan masih ada yang dalam status proyek pembangunan. Sedangkan untuk masalah pengelolaan kawasan konservasi laut dimana sumberdayanya merupakan milik umum yang bersifat open access, maka yang penting adalah bagaimana mengendalikan pengrusakan dan menjaga keberadaan sumberdaya hayati laut yang beranekaragam beserta lingkungannya melalui upaya perlindungan proses ekologi yang mendukung kehidupan dan pelestarian biota laut agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

2.2.3. Perubahan Paradigma Pengelolaan

Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi Tabel 2 terjadi setelah implementasi UU no.22 tahun 1998 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai pada awal tahun 1990-an ketika Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development Program ICDP. Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa LSM internasional yang mengkaitkan program konservasi dengan pengembangan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan cara merangkul seluruh stakeholders dan mengakomodasi seluruh dimensi pembangunan yang menjadi tujuan bersama Well et al, 1999. Konsep ICDP merupakan pendekatan pengelolaan secara multidisiplin yang mengaitkan pelestarian keanekaragaman 17 hayati di kawasan lindung dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat Wiratno et al, 2004. Sebelum konsep ini dijalankan, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan saling bertentangan, atau konservasi sering dianggap sebagai musuh pembangunan. Konsep ICDP diterima dengan baik karena menawarkan pendekatan alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang layak secara politis, dan memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama agenda pembangunan berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang efektif, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan pembangunan serta pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan Well et al, 1999 dan Wiratno et al, 2004. Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan sumberdaya alam ke pemerintah daerah dan masyarakat. Implementasi dari UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membuat adanya misinterpretasi atas kewenangan yang diberikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Desentralisasi kewenangan kepada daerah bukan merupakan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan daerah, namun harus dipandang sebagai pemberian hak dan kewajiban untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab dan demi kepentingan masyarakat. Tuntutan desentralisasi sejalan dengan praktek pengelolaan co- management, sehingga co-management dan desentralisasi dapat berjalan seiring karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu penguatan peran serta masyarakat dan pendistribusian kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih adil. Walaupun demikian, kebijakan desentralisasi masih belum dapat menjamin adanya pembagian kekuasaan dan wewenang yang nyata dalam pengelolaan sumberdaya alam