Konflik Institusional dalam Pengelolaan TNKJ
15
optimalisasi pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian yang didukung kelembagaan dan kemitraan yang kuat
”. Sedangkan visi pengembangan Karimunjawa oleh Pemda Jepara dalam Renstra
pengelolaan dan pemanfaatan SDA Kepulauan Karimunjawa tahun 2005 adalah: “terwujudnya keterpaduan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam kepulauan Karimunjawa yang tetap bertumpu pada pembangunan pariwisata dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi sumberdaya
alam bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat ”.
Perbedaan visi tersebut menyebabkan konsentrasi pembangunan kawasan TNKJ juga berbeda sehingga jika tidak dikoordinasikan dengan baik oleh kedua
belah pihak melalui penyatuan program kerja bersama, maka kegiatan pembangunan Karimunjawa akan mengganggu keutuhan fungsi kawasan
sebagai taman nasional. Perbedaan kepentingan konservasi dan kepentingan pembangunan juga dapat menimbulkan konflik, tetapi hubungan interaksi antara
BTNK dan stakeholders dalam kegiatan pemanfaatan SDAHE TNKJ tidak sampai menimbulkan konflik karena tidak ada perseteruan terbuka akibat
kepentingan yang sangat berlawanan. Walaupun status hubungan mereka merupakan lawan karena ada benturan kepentingan, mereka saling tahu
keberadaan masing-masing bahkan kadang ada kerjasama dalam suatu program sehingga status hubungannya menjadi kawan Mitchell et al, 2003. Beberapa hal
yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya konflik antara lain adalah adanya kepastian bahwa tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan dan masing-
masing kepentingan tertampung secara berimbang serta kepastian bahwa masyarakat diikutsertakan dan terangkat kehidupan sosial-ekonominya.
5.3. Persepsi dan Partisipasi 5.3.1. Persepsi Stakeholders terhadap Keadaan Sumberdaya Alam dan
Pengelolaan TNKJ
Informasi persepsi terhadap keadaan sumberdaya hayati laut dan pesisir
meliputi kondisi ekosistem; jenis ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati pesisir dan laut; dampak zonasi terhadap keadaan sumberdaya dan mata
pencaharian masyarakat; permasalahan pengembangan TNKJ, dan pilihan bentuk pengawasan terhadap sumberdaya pesisir dan laut.
Persepsi responden terhadap kondisi ekosistem wilayah pesisir dan laut menunjukkan bahwa masyarakat menganggap pada umumnya kondisi ekosistem
TNKJ dalam keadaan sangat bagus, sementara pemerintah mempunyai anggapan kondisi sumberdaya bagus, kecuali untuk hutan mangrove dalam
16
kondisi cukup Tabel 43. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat lebih rendah lulusan SD dan mereka tidak melihat pembanding untuk kondisi
SDAHE yang sama di tempat lain, sementara pemerintah mempunyai tingkat pengetahuan lebih baik setingkat sarjana dan mempunyai kesempatan lebih
luas untuk melihat dan membandingkan kondisi SDAHE di tempat lainnya. Tetapi ketika diminta membandingkan kondisi terumbu karang saat ini dengan lima
tahun lalu dan lima tahun yang akan datang, sebagian besar responden menganggap bahwa telah terjadinya penurunan yang jika dinilai dengan skala 0
untuk rusak berat dan 0 untuk kondisi sangat bagus, keadaan lima tahun yang lalu nilainya 8 dan sekarang 5 dan yang akan datang 6. Pendapat tersebut
didukung oleh hasil pemantauan WCS yang menunjukkan secara umum kondisi terumbu karang setelah adanya zonasi sedikit membaik, walaupun pada
beberapa titik pengamatan yang dilakukan dalam reefcheck terakhir September 2007 oleh Marine Diving Club dari Undip terlihat kondisinya semakin menurun.
Tabel 43 Persentase persepsi responden terhadap kondisi SDAHE TNKJ Jenis SDAHE
Masyarakat Pemerintah
5 4
3 2
1 5
4 3
2 1
Hutan dataran rendah 47,37 26,32 15,79 5,26
5,26 16,67 50,00 16,67 8,33 8,33
Hutan mangrove 52,94 23,53
5,88 5,88 11,76 16,67 16,67 33,33 25,00 8,33
Pantai berpasir 27,78 33,33 27,78 11,11
0,00 25,00 33,33 16,67 16,67 8,33 Terumbu karang
50,00 31,25 12,50 6,25
0,00 41,67 8,33 33,33
8,33 8,33 Perikanan laut
46,67 26,67 13,33 13,33 0,00 25,00 16,67 41,67
8,33 8,33 lainnya : Kebun
47,37 26,32 15,79 5,26
5,26 16,67 50,00 16,67 8,33 8,33
Keterangan : 5 : sangat bagus 3 : cukup
1 : rusak berat 4 : bagus
2 : rusak Dari persepsi terhadap jenis ancaman kelestarian sumberdaya pesisir dan
laut didapatkan bahwa penggunaan apotas dalam kegiatan penangkapan ikan sebagai ancaman terbesar Tabel 44 karena dapat mematikan karang dan
juvenil ikan. Dalam laporan penanganan kasus TNKJ, kejadian pengambilan satwa yang dilindungi lebih banyak terjadi 36,84 dimana kemungkinan
pengambilannya juga menggunakan apotas karena efek apotas bagi target satwa yang akan diambil hanya memabukkan atau membuat pingsan. Sedangkan
pembangunan wisata tidak dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah karena dapat merupakan sumber penghasilan bagi pendapatan daerah dari PPn yang
dikenakan oleh penjual usaha jasa pariwisata. Akan tetapi melihat trend perkembangan pariwisata saat ini yang tidak teratur dan kurang berkontribusi
terhadap usaha konservasi, kemungkinan keberlanjutan pemanfaatan SDAHE
17
sebagai ODTW akan terganggu karena adanya peningkatan penggunaan air bersih dan buangan sampah organik sebagai konsekuensi dari peningkatan
jumlah wisatawan. Oleh karena itu perlu ada pengaturan lebih lanjut, terutama untuk pemilihan lokasi dan pembatasan jumlah wisatawan sesuai daya dukung
lingkungan agar pengembangan wisata nantinya tidak mengganggu kualitas lingkungan.
Tabel 44 Persentase persepsi responden terhadap jenis ancaman kelestarian SDAHE TNKJ
Jenis ancaman Masyarakat
Pemerintah Penangkapan berlebih
19,40 21,74
Penggunaan apotas 29,85
32,61 Buangan sampah
13,43 26,09
Kerusakan karang 10,45
6,52 Pencemaran air
11,94 8,70
Pembangunan wisata 7,46
0,00 Nelayan Luar Cantrang
7,46 4,35
Jumlah 100,00
100,00 Untuk persepsi pengaruh sistem zonasi terhadap sumberdaya alam dan
mata pencaharian Tabel 45 menunjukkan bahwa hanya nelayan desa Kemujan yang secara signifikan menyatakan sistem zonasi dapat membantu menjaga
kelestarian sumberdaya alam 67 dan memperbaiki mata pencaharian mereka 50, karena pengetahuan tradisional dari sebagian besar nelayan Kemujan
yang berasal dari Bugis dan Madura yang berjiwa bahari lebih memahami arti konservasi sumberdaya ikan dengan pengaturan zona atau larangan mengambil
ikan pada lokasi dan musim tertentu. Sementara nelayan desa Karimunjawa yang menyatakan bahwa sistem
zonasi dapat membantu menjaga kelestarian sumberdaya alam adalah 44 dan memperbaiki sumber mata pencaharian mereka adalah 15 karena tingkat
pendidikan mereka lebih tinggi dan arus informasi di Karimunjawa lebih terbuka sehingga pengetahuan mereka tentang konservasi lebih baik daripada nelayan
dari desa Kemujan dan Parang. Akan tetapi sekitar 44 nelayan Karimunjawa menyatakan bahwa sistem zonasi merusak sumber mata pencaharian mereka
karena akses mereka ke lokasi yang biasanya menjadi fishing ground lebih dibatasi sehingga sumber mata pencaharian mereka terputus. Walaupun
demikian mereka memiliki alternatif sumber pendapatan lain dari penjualan jasa pariwisata di kota Karimunjawa.
Sedangkan nelayan desa Parang lebih banyak menyatakan tidak tahu untuk pertanyaan apakah sistem zonasi berpengaruh dalam memperbaiki kondisi
sumberdaya alam 66 ataupun membantu mata pencaharian mereka 50, karena pada umumnya pendidikan mereka lebih rendah, selain itu karena
lokasinya yang terpencil dan rendahnya intensitas arus informasi dari pihak BTNK mengenai arti sistem zonasi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman
hayati SDAH dan untuk mengatur kegiatan pemanfaatan SDAHE. Secara umum jumlah masyarakat yang mengetahui zonasi masih rendah 3-33, hal ini akan
menambah jumlah kejadian pelanggaran zona. Untuk bisa merubah pandangan nelayan akan arti penting zonasi bagi konservasi SDAHE TNKJ, perlu dilakukan
penyebaran informasi secara lebih intensif melalui media yang bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat nelayan karena umumnya penddikan nelayan rendah.
Tabel 45 Persepsi masyarakat terhadap dampak zonasi bagi sumberdaya alam dan sumber mata pencaharian
Dampak Zonasi Karimunjawa
Kemujan Parang
Tahu Zonasi 26
33 3
Sumberdaya alam
Memperbaiki 44
67 18
Merusak 5
5 Tidak berpengaruh
11 10
Tidak tahu 36
33 66
Sumber mata pencarian
Memperbaiki 15
50 18
merusak 44
11 28
Tidak berpengaruh 34
28 50
Tidak tahu 3
11 5
Sumber : Wibowo 2006 Kenyataan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konservasi juga
menjadi faktor penyebab tidak efektifnya sistem zonasi di kawasan TNKJ. Selain itu tidak terlihatnya adanya bukti manfaat dari sistem zonasi menyebabkan
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap fungsi-fungsi taman nasional bagi kesejahteraan masyarakat. Sesuai pendapat Mitchell et al 2003 bahwa
masyarakat akan ikut mengelola SDA jika pengelolaan itu dapat meningkatkan kehidupan mereka dan degradasi akan mengganggu keberlanjutan pemanfaatan
tersebut. Hal ini ditunjukkan dari adanya pelanggaran memasuki zona yang dilakukan terutama oleh nelayan dari luar daerah yang tidak mengetahui zonasi
dan batas-batas zona tersebut, dan hal ini diperparah dengan hilangnya atau tidak adanya tanda batas pada zona-zona tersebut.
Secara umum terlihat bahwa trip kapal yang memasuki zona inti dan zona perlindungan jumlahnya menurun
2
setelah diberlakukannya zonasi baru pada tahun 2005, walaupun untuk tahun 2004 jumlahnya jauh meningkat Gambar 25.
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
In ti
P e
rl in
d u
n g
a n
P e
m a
n fa
a ta
n d
i l u
a r
p e
m a
n fa
a ta
n In
ti P
e rl
in d
u n
g a
n P
e m
a n
fa a
ta n
d i l
u a
r p
e m
a n
fa a
ta n
In ti
P e
rl in
d u
n g
a n
P e
m a
n fa
a ta
n d
i l u
a r
p e
m a
n fa
a ta
n
2003 2004
2005
jum la
h tr
ip k
a pa
l
Gambar 25 Jumlah trip kapal yang masuk zona di TNKJ. Tabel 46 menyajikan persepsi responden terhadap bentuk pengawasan
untuk kegiatan pemanfaatan SDAHE TNKJ. Masyarakat mengganggap bahwa pengawasan bersama 48,39 dan penegakan hukum 32,26 merupakan
pilihan bentuk pengawasan kegiatan pemanfaatan SDAHE TNKJ. Sedangkan menurut persepsi pemerintah, selain kedua hal tersebut diatas perlu
ditambahkan pembuatan aturan baru. Hal ini menunjukkan bahwa ada prospek co-management sebagai bentuk pengawasan bersama merupakan pilihan bagi
pengawasan kegiatan pemanfaatan SDAHE TNKJ, dimana masing-masing stakeholders dapat saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing
atau saling meningkatkan kapabilitas, sehingga akhirnya dapat saling menguatkan kapasitas masing-masing.
Tabel 46 Persentase persepsi responden terhadap pilihan bentuk pengawasan Bentuk Pengawasan
Masyarakat Pemerintah
Penegakan hukum 32,26
33,33 Pengawasan bersama
48,39 33,33
Pembuatan aturan baru 9,68
33,33 Pengawasan oleh masyarakat
9,68 0,00
Jumlah 100,00
100,00
3
Untuk itu maka pengelolaan dengan pendekatan co-management perlu difasilitasi oleh BTNK sebagai pemegang otoritas pengelolaan TNKJ dan
Pemerintah Daerah sebagai penguasa wilayah adminitratif. Namun demikian peraturan perundangan yang ada masih bersifat sektoral sehingga perlu ada
peraturan daerah yang dapat mengatur kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan SDAHE TNKJ, mengatur mekanisme partisipasi dari pihak yang ingin terlibat
dengan pembagian kewenangan yang jelas, sehingga nantinya tidak menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan co-management.
Seringkali perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengembangan dan pembangunan di TNKJ dari sektor terkait tidak dikoordinasikan dan
dilaporkan kepada BTNK, maupun
kepada pemerintah daerah sehingga memperluas rentang kendali manajemen dan berpotensi menimbulkan ketidak-
efisienan dan ketidak-efektifan pemanfaatan sumberdaya alam TNKJ. Untuk menjaga keutuhan dan kelestarian SDAHE TNKJ dapat dibangun pengelolaan
bersama dimana dengan persamaan persepsi dan visi bersama yang menjadi komitmen bersama untuk mencapai tujuan yang sama.