46 Tabel 7.
Persentase penduduk kotamadya di DKI Jakarta, tahun 1971-2004
Terhadap Penduduk DKI Jakarta Kotamadya
1971 1980 1990 2000 2004
Jakarta Selatan
23,12 24,38 23,14 21,37 21,61 Jakarta
Timur 17,64 22,48 25,07 28,01 28,34
Jakarta Pusat
27,72 19,08 13,07 10,65 10,31 Jakarta
Barat 18,05 19,00 22,12 22,78 23,15
Jakarta Utara
13,47 15,06 16,39 17,01 16,32 Kepulauan Seribu
- -
- 0,21
0,27
DKI Jakarta 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
Sumber : BPS DKI Jakarta 2005
Dengan melihat distribusi penduduk antar kotamadya di DKI Jakarta pada Tabel 7 terlihat bahwa pada tahun 1971 sebagian besar penduduk DKI Jakarta
tinggal di Jakarta Pusat 27,72 dan Jakarta Selatan 23,12, sementara empat wilayah lainnya relatif seimbang. Sepuluh tahun berikutnya, persentase terbesar
penduduk DKI Jakarta berada di Jakarta Selatan, sementara Jakarta Pusat mulai menunjukkan penurunan dan terjadi peningkatan persentase penduduk di Jakarta
Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tahun 1990, Jakarta Timur memiliki persentase penduduk tertinggi, yaitu sebesar 25,07 persen dan Jakarta Pusat
memiliki persentase terendah, yaitu 13,07 persen.
B. Kepadatan Penduduk
Selain persebaran penduduk yang tidak merata, kepadatan penduduk juga menjadi permasalahan pokok dalam pembangunan di DKI Jakarta. Walaupun
jumlah penduduk DKI Jakarta tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia, namun dengan luas wilayah yang relatif kecil 661,52
km² atau sekitar 0,03 persen dari luas seluruh Indonesia, kepadatan penduduk DKI Jakarta menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan propinsi lain di
Indonesia, yaitu 13.195 jiwa per km². Sebagai ilustrasi, propinsi Jawa Barat yang luas wilayahnya 80 kali lipat lebih dibandingkan luas DKI Jakarta, kepadatan
penduduknya hanya 866 jiwa per km². Dengan mengamati antar kotamadya terlihat bahwa Jakarta Pusat merupakan
wilayah terpadat, dengan tingkat kepadatan sebesar 18.778 orang per Km². Sementara yang terendah terdapat di Kepulauan Seribu dengan tingkat kepadatan
47 1.974 jiwa per Km². Kepadatan penduduk di empat kotamadya lainnya berkisar
antara 10 ribu hingga 16 ribu jiwa per km². Secara umum kepadatan penduduk di DKI Jakarta sepanjang tahun 1961-
2004 meningkat terus. Namun demikian selama sepuluh tahun terakhir peningkatannya relatif kecil dibandingkan yang terjadi pada tiga dasawarsa
sebelumnya. Meski diakui akselerasi penurunan laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta selama dua dekade terakhir relatif cepat, namun karena kepadatan
penduduk yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya permasalahan sosial dan ekonomi yang cukup kompleks. Masalah pemenuhan kebutuhan akan pangan,
permukiman, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, penyediaan lapangan pekerjaan dan lainnya memerlukan penanganan tersendiri
yang lebih bersifat specific locatif. Salah satu dampak negatif dari tingginya kepadatan penduduk di DKI
Jakarta, dapat dilihat dari banyaknya area kumuh slum area di beberapa Wilayah DKI Jakarta. Menurut laporan BPS 2005, sekitar 54 persen penduduk Jakarta
tinggal di rumah yang tidak layak huni. Dari data yang ada diketahui bahwa sekitar 26,47 persen atau sebanyak 687 Rukun Warga RW yang ada di ibukota
dari 2.595 RW dalam kondisi kumuh “berat” dan kumuh “sedang”, dan umumnya lokasinya berada di permukiman padat. Data kepadatan penduduk kotamadya di
DKI Jakarta mulai dari Tahun 1961 dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan peta proyeksi kepadatan penduduk Tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 11.
Tabel 8. Kepadatan penduduk kotamadya di DKI Jakarta, tahun 1961–2004
Kepadatan Penduduk Per km² Kotamadya
1961 1971 1980 1990 2000 2004
Jakarta Selatan 3.201
7.211 10.855 13.128 12.275 12.972 Jakarta
Timur 2.656 4.273 7.777 11.012 12.534
13.174 Jakarta Pusat
20.920 26.311 25.992 22.684 18.647 18.778 Jakarta
Barat 3.722 6.506 9.789 14.449 15.112
16.013 Jakarta
Utara 3.051 3.977 6.371 8.893 10.025
10.006 Kepulauan
Seribu - - - -
1.488 1.974
DKI Jakarta
4.394 6.873 9.831 12.485 12.643
13.195
Sumber : BPS DKI Jakarta 2005
48 Berbagai upaya penanggulangan masalah permukiman kumuh telah
dilakukan di DKI Jakarta, diantaranya perbaikan lingkungan melalui program Muhammad Husni Thamrin MHT, peremajaan dengan pembangunan rumah
susun sederhana, serta membangun sarana dan prasarana lingkungan. Pengembangan pusat-pusat permukiman baru, seperti Wilayah BOTABEK
diharapkan dapat mengurangi keberadaan permukiman kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Namun karena begitu luasnya permukiman kumuh yang perlu
ditanggulangi dan disisi lain kemampuan pemerintah terbatas, maka usaha-usaha tersebut perlu melibatkan peran serta swasta dan masyarakat. Selain itu perspektif
masalah permukiman kumuh, umumnya tidak terlepas dari kemiskinan, karena itu upaya-upaya penanggulangan wilayah kumuh hendaknya harus dibarengi dengan
upaya pengentasan kemiskinan, sehingga selain dapat dilakukan penataan lingkungan, penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut dapat diberdayakan.
2.200.000
143 15.401
3.000.000
12.608 238
1.300.000
270 4.820
2.800.000
18.124 155
3.200.000
14.357 220
Luas Daerah
Jumlah Penduduk Kepadatan
Penduduk
Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 2005 Gambar 11. Peta distribusi dan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2010
49
4.3. Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak pada 06°0040 LS dan 05°5440 serta 106°4045 BT dan 107°0119 BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat
dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 35 km dan luas kira-kira 514 km
2
. Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis yang menghubungkan
kedua ujung teluk. Sebanyak 13 aliran sungai yang melintas di wilayah DKI Jakarta, 9 aliran sungai dan 2 kanal di antaranya bermuara di Teluk Jakarta, serta
10 diantaranya yang dipantau oleh BPLHD DKI Jakarta antara lain Sungai Kamal titik pengamatan 42,--Muara Kamal, Sungai Cengkareng Drain titik
pengamatan 22--Jl. Kapuk Muara, Sungai Ciliwung titik pengamatan 6--Jemb. PIK-Muara Angke, Sungai Grogol titik pengamatan 27--PLTU Pluit, Sungai
Ciliwung titik pengamatan 32--Jl. Pompa Pluit, Sungai Ciliwung titik pengamatan 30--Jl. Ancol Marina, Sungai Kalibaru Timurtitik pengamatan 34--
Jl. Ancol, Kali Sunter titik pengamatan 13--Bogasari, Sungai Cakung Drain titik pengamatan 38--cilincing, Kali Blencong titik pengamatan 38A--Pantai
Marunda. Alur-alur sungai tersebut panjangnya 461 kilometer dengan luas bantaran 1.985,65 hektar. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah
banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri. Sesempit apa pun bantaran sungai, perannya sangat penting dalam siklus hidup berbagai jenis
kehidupan air, dan secara ekologis menjadi penyeimbang laju pertumbuhan wilayah. Karena itulah, lahan bantaran sungai perlu dikonservasi sebagai
sempadan sungai untuk memulihkan komunitas bantaran secara alami, melalui rehabilitasi habitat, pengayaan jenis, serta sosialisasi untuk menumbuhkan
kearifan masyarakat sekitarnya. Topografi Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir, dan
kerikil. Di bagian pinggir dan tengah teluk banyak terdapat lumpur, sedangkan di bagian laut lepas, keberadaan pasir semakin menonjol. Teluk Jakarta termasuk
pada perairan yang dangkal, karena perairan ini umumnya hanya mempunyai kedalaman kurang dari 30 m ke utara. Pada separuh teluk bagian barat, terdapat
beberapa pulau kecil antara lain Pulau Nyamuk Besar, Pulau Nyamuk Kecil,
50 Pulau Damar Besar, Pulau Damar Kecil, Pulau Ayer Besar, Pulau Kelor, Pulau
Untung Jawa, Pulau Rambut dan Pulau Ubi Besar. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1951 dalam Handoko 1995
iklim Teluk Jakarta tergolong klasifikasi iklim tipe D, dengan rata-rata jumlah