Independent : Linkage : Autonomous : Kimiawi Mikrobiologi Kimiawi

yaitu 1 kekuatan pengikat bond strength di dalam dan atau antar kelompoktingkat, 2 frekuensi relatif dari oskilasi; tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dibandingkan tingkat di atasnya, 3 konteks; tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu lebih lambat dalam ruang yang lebih luas, 4 liputan; tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat di bawahnya, dan 5 hubungan fungsional, tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat di bawahnya. Sebagai bagian kedua adalah membagi substansi yang sedang ditelaah ke dalam elemen-elemen dan sub-subelemen secara mendalam sampai dipandang memadai. Penyusunan subelemen ini menggunakan masukan dari kelompok yang terkait. Selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antar subelemen, yang dinyatakan dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan. Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual, disusun structural self interaction matric SSIM, kemudian dibuat tabel reachability matrix RM dan perhitungan menurut transivity rule dimana dilakukan koreksi terhdap SSIM sampai diperoleh matriks yang tertutup RM yang telah memenuhi transvity rule kemudian diolah untuk menetapkan pilihan jenjang level pertition. Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema setiap elemen menurut jenjang vertikal dan horisontal. Berdasarkan RM, subelemen di dalam satu elemen dapat disusun menurut Driver Power Dependence DP-D menjadi 4 klasifikasi atau sektor seperti terlihat pada Gambar 3.

IV. Independent :

Strong driver weak dependent variables

III. Linkage :

Strong driver – strongly dependent variables

I. Autonomous :

Weak driver – weak dependent variables

II. Dependent :

Weak driver – strongly dependent variables Gambar 3. Matriks driver power dependence DP-D untuk elemen

2.5. Sistem dan Model

Terminalogi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” wholeness Eriyatno, 2003. Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forester 1971 mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Manetsch and Park 1979 dalam Eriyatno 2003 mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan. O’ Connor and McDermott 1997 mendefinisikan sistem sebagai suatu identitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya. Dari beragam definisi sistem yang ada, terlihat bahwa sistem memiliki karaktersitik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut Sushil, 1993 : 1 Dibangun oleh kelompok komponen yang saling berinteraksi. 2 Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” Wholeness. 3 Memiliki satu atau segugus tujuan. 4 Terdapat proses transformasi input menjadi output. 5 Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. Fenomena dunia nyata seperti kawasan perkotaan, menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk memahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh Eriyatno, 2003. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh Forrester, 1971, dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif Eriyatno, 2003. Dengan demikian kajian mengenai wilayah pesisir kota Bandar Lampung, dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, untuk membangun model penataan ruang. Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem yang dapat memliki beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan Forrester, 1971. Dalam pengertian yang relatif sama, Eriyatno 2003 menyatakan bahwa model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan asumptions mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang bersifat aneka ragam Meadows et al., 1972 dalam Damai, 2003. Dalam mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah variable penting dan tepat, serta hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya; namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga Eriyatno, 2003 yaitu: 1 Model ikonik model fisik, merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategori model simbolik. 2 Model analog model diagramatik, menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses. 3 Model simbolik model matematik, menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis equation. Contoh dari model matematis adalah persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran transformasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi. Dalam pendekatan sistem, pengembangan model modelling atau permodelan merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitifitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan dengan lokasi meliputi kawasan DKI Jakarta dan Perairan Teluk Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2005-April 2006. Teluk Jakarta, terletak disebelah utara kota Jakarta, adalah perairan dangkal kedalaman rata-rata 15 m, dengan luas sekitar 514 km 2 . Di teluk ini bermuara 10 sungai dan kanal yang dipantau oleh BPLHD Jakarta yang melintasi kawasan Metropolitan Jakarta Jabotabek yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa.

3.2. Rancangan Penelitian

3.2.1. Pendekatan Sistem

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan sistem karena permasalahan dalam pengendalian pencemaran laut melibatkan banyak pihak stakeholders dan komponen-komponen dalam sistem tersebut sangat kompleks meliputi aspek lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Analisis sistem dapat didefinisikan sebagai penerapan dari metode ilmiah terhadap masalah-masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem dan pemodelan merupakan alat yang sangat efektif didalam proses perencanaan. Pendekatan sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem secara operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut Eriyatno 2003, permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan conflict interest atau keterbatasan sumberdaya limited of resource. Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 26 Pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan beberapa tahapan secara sistematis dan terintegrasi, secara diagramatik disajikan pada Gambar 4. Lebih lanjut Eriyanto 2003 menjelaskan, prosedur analisis sistem meliputi beberapa tahapan diantaranya analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi. Mulai Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem A A Pemodelan Sistem Implementasi Selesai Memuaskan Memuaskan B Gambar 4. Tahapan dalam pendekatan sistem

3.2.1.1. Analisis Kebutuhan

Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, meliputi stakeholders yang terdiri dari masyarakat di sekitar Teluk Jakarta, pemerintah, lembaga penelitian, lingkungan, tumbuhan dan hewan. Kemudian dideskripsikan daftar kebutuhannya. Analisis kebutuhan dilakukan terhadap semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap perilaku sistem yang akan terjadi. 27

3.2.1.2. Formulasi Masalah

Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dari masing-masing stakeholder dengan adanya pengaruh dari stakeholder yang lain.

3.2.1.3. Identifikasi Sistem

Identifikasi permasalahan yang ada merupakan tahapan awal dalam melakukan pendekatan sistem sehingga dengan mengidentifikasi masalah-masalah awal dan mendasar maka diharapkan diperoleh alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat. Parameter rancang sistem adalah parameter-parameter yang mempengaruhi input sampai menjadi transformasi output. Tiap-tiap sistem memiliki parameter rancangan tersendiri, yang dapat berupa lokasi fisik, ukuran dari sistem dan komponennya, ukuran fisik dari sistem, serta jumlah dan tipe komponen dari sistem. Parameter rancang sistem cenderung konstan karena hal ini tidak dapat diubah tanpa penggantian sumberdaya. Dalam beberapa hal mungkin diharapkan untuk mengubahnya selama sistem berjalan untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik apabila ada perubahan kondisi lingkungan.

3.2.1.4. Simulasi Model

Simulasi dari hasil pemodelan sistemik digunakan untuk melihat pola kecenderungamnya perilaku model. Hasil simulasi model dianalisis pola dan kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, serta dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan program Visual Basic. 28

3.2.2. Metode Pengambilan Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapang, wawancara danatau focus group discusion FGD, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran beberapa dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer kualitas perairan Teluk Jakarta dan wawancara terstruktur pada beberapa InstansiLembagaDinas dan unsur masyarakat yang terkait dengan perairan Teluk Jakarta. DinasInstansiLembaga terkait itu meliputi: BPLHD Jakarta, Dinas Permukiman, Dinas Perindustrian, LON-LIPI, Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, Dinas Pekerjaan Umum, Balai Penelitian Perikanan Laut Balitkanlut, Industri, pengusaha yang bergerak di bidang perikanan, tokoh adat dan masyarakat, LSM, dan perguruan tinggi serta beberapa dinas dan masyarakat yang terkait di bagian hulu sungai sebagai tambahan informasi untuk pertimbangan kebijakan. Untuk data sekunder yang dipergunakan meliputi konsentrasi beberapa parameter limbah kualitas air di 10 muara sungai yang menuju Teluk Jakarta, serta di perairan teluk Jakarta. Parameter yang diamati adalah TDS, TSS, Mn, PO 4 , Zn, SO 4 , MBAS, KMnO 4 , BOD, dan COD. Data diamati beberapa tahun dari mulai tahun 2000 sampai tahun 2004, data sekunder yang akan digunakan berasal dari berbagai dokumen yang berhubungan dengan daerah penelitian, meliputi data Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, data hasil penelitian, peta dasar Teluk Jakarta dan dokumen lainnya dari instansi terkait yang relevan dengan penelitian ini.

3.2.3. Metode Pengumpulan Sampel

Pengambilan contoh air untuk penentuan sifat fisika-kimia dan biologi perairan laut ditentukan sebagai berikut : 1. Dapat mewakili luasan wilayah perairan Teluk Jakarta sebanyak 6 lokasi pengamatan yaitu Sunda Kelapa, Marina, Tanjung Priok, Muara Baru, Cilincing dan Muara Angke pada jarak 50 m, 500 m, dan 1000 m sehingga total 18 titik pengamatan. 29 2. Penetapan parameter-parameter yang akan diukur didasarkan terutama pada: • Keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia serta kelangsungan hidup organisme di dalam perairan dan dengan memperhatikan kemampuan teknis analisis. • Jenis limbah yang terbawa oleh aliran buangan effluent yang menjadi sumber pencemar. • Ketentuan jenis-jenis parameter yang ditetapkan dalam Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, kemudian disusun jenis- jenis parameter yang akan dianalisis. Selanjutnya cara pengukuran tiap-tiap jenis parameter, baik parameter fisik, kimia maupun parameter biologi didasarkan pada cara-cara yang ditetapkan dalam Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water . Metode pengambilan sampel untuk responden dalam rangka menggali dan mendapatkan informasi dari para stakeholder dan pakar akuisisi pendapat pakar menggunakan metode expert survey dengan sampel yang telah ditentukandipilih secara sengaja berdasarkan keperluan purposive sampling. Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden menggunakan kriteria sebagai berikut : a. Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidangnya. b. Mempunyai reputasi, kedudukanjabatan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai stakeholder yang konsisten atau pakar atau ahli pada bidang yang akan diteliti. c. Kesediaan dan keberadaan responden untuk dijadikan responden. Pemilihan instansi di ambil berdasarkan keterkaitan dengan pengelolaan pencemaran Teluk Jakarta dan instansi yang ikut mengelola wilayah administrasi yang dilalui DAS bagian hulu Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup-DTRLH Bogor; sedangkan LSM, tokoh adat dan masyarakat diambil untuk dapat mewakili masyarakat baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung sekaligus sebagai penyebab terjadinya pencemaran, responden masyarakat juga diambil pada daerah di sekitar hulu dan tengah sungai sebagai bahan pertimbangan terhadap pengelolaan pencemaran dan penyebab pencemaran; 30 sedangkan Perguruan Tinggi diambil dengan pertimbangan sebagai pihak yang sering meneliti dan mengembangkan berbagai permasalahan lingkungan hidup sehingga dapat memberikan masukan untuk diaplikasikan oleh pihak pemerintah dalam pengendalian pencemaran laut. Untuk lebih jelasnya pengumpulan sampel responden dan jumlah yang diambil dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Responden penelitian Responden Jumlah • Kantor BPLHDKLH • Dinas Permukiman • Dinas Perindustrian • LON-LIPI • Dinas Kelautan dan Perikanan • Pekerjaan Umum • Balitkanlut • Industri • Pengusaha bidang perikanan • LSM • Perguruan Tinggi • Tokoh adat • Dinas daerah di administratif sungai bagian hulu Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup-DTRLH Bogor dan • Masyarakat administratif sungai bagian hulu, tengah dan hilir 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 2 30 Total 60 3.2.4. Jenis Data Data primer umumnya untuk mengetahui kualitas perairan Teluk Jakarta dan tingkat keterkaitan faktor-faktor pencemaran serta usaha pengendalian pencemaran Teluk Jakarta berdasarkan hasil hasil wawancara, sedangkan data sekunder untuk mengetahui kondisi umum DKI Jakarta dan Teluk Jakarta, rencana strategi daerah, perkembangan sumber pencemar dan kualitas muara sungai secara time series. Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui sumber data, cara pengumpulan data, serta bentuk data yang diambil dapat dilihat pada Tabel 3. 31 Tabel 3. Matriks data Jenis Data Sumber Data Cara Pengumpulan Bentuk Data Primer Sekunder InstansiLembaga Dinas, unsur masyarakat, Perguruan Tinggi serta pelaku yang terkait dengan pencemaran perairan Teluk Jakarta DinasInstansi Lembaga yang terkait dengan pengelolaan dan penelitian sungai dan perairan teluk Jakarta Wawancara Semi Terstruktur dengan kuisioner Dan Wawancara bebas Pencatatan • Data umum responden pelaku interaksi stakeholder • Analisis kebutuhan pelaku interaksi stakeholder • Penilaian responden terhadap Kualitas Lingkungan • Data persepsi terhadap pencemaran Teluk Jakarta • Penilaian responden terhadap penyebab pencemaran Teluk Jakarta • Pola interaksi berdasarkan kelompok terhadap Teluk Jakarta • Pola pengelolaan pengendalian pencemaran menurut responden • Rencana strategi DKI Jakarta • Keadaan umum lokasi penelitian dan tata ruang Jakarta • Data profil dan perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta • Data kualitas air muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta 5 tahun terakhir • Data sumber-sumber pencemar di sekitar Teluk Jakarta • Data perkembangan industri-industri di sekitar jakarta. • Kegiatan pembinaan masyarakat • Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, surat keputusan yang berhubungan dengan Teluk Jakarta.

3.3. Analisis Data

3.3.1. Sumber-sumber Pencemaran Teluk Jakarta

Analisis sumber-sumber pencemaran di Teluk Jakarta dilakukan secara deskriptif. Untuk sumber pencemaran yang berasal dari landbased sources baik rumah tangga limbah domestik, industri limbah industri, dan pasar limbah pasar yang memanfaatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah di DKI Jakarta di lihat peningkatan jumlahnya selama 4 tahun terakhir. 32

3.3.2. Model Kualitatif dan Kuantitatif Pencemaran Teluk Jakarta A. Beban Pencemaran

Analisis beban pencemaran dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju Teluk Jakarta. Cara penghitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai-sungai yang menuju teluk Jakarta berdasarkan model berikut : 3600 24 30 10 6 × × × × × = − K D BP ……………………………….. ... 1 Keterangan : BP = Beban pencemar yang berasal dari satu sungai tonbulan D = Debit sungai m 3 detik K = Konsentrasi pencemar mgl Total beban pencemar dari seluruh sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, sebagai berikut : ∑ = = n i BPi TBP 1 ............................................................................................ 2 Keterangan : TBP = Total Beban Pencemar n = Jumlah sungai i = Beban pencemar sungai ke-i

B. Kapasitas Asimilasi

Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan pesisir dengan total beban limbah pencemaran parameter tersebut di muara sungai dan selanjutnya dianalisa dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota dan budidaya. Pola hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban pencemaran direferensikan terhadap standard baku mutu, maka akan dapat diketahui kapasitas asimilasi wilayah terhadap suatu parameter limbah tertentu. Untuk lebih mudah dalam melihat hubungan keterkaitan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. 33 Kon sen trasi Polu tan Tel u k mg l Beban Pencemaran tonbulan y = a + bx Kapasitas asimilasi Baku Mutu Gambar 5. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan Nilai kapasitas asimilasi didapat dari titik perpotongan dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter. Selanjutnya dianalisis seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya. Dengan asumsi dasar adalah: 1. Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah pesisir pada batas yang telah ditetapkan dalam penelitian 2. Nilai hasil pengamatan baik di perairan pesisir maupun di muara sungai diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada di perairan tersebut. 3. Perhitungan beban pencemaran hanya yang berasal dari landbased sources, pencemaran dari kegiatan diperairan pesisir dan lautnya sendiri tidak dihitung. Data yang diambil merupakan data pencemaran yang mempengaruhi kualitas air muara sungai dan teluk. Hubungan yang ingin dilihat adalah pengaruh nilai parameter tersebut yang ada di teluk dan analisis yang digunakan adalah regresi linear. Analisis regresi menggunakan parameter di muara sungai sebagai peubah bebas independent dan parameter di teluk sebagai peubah tak bebas dependent. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peubah pencemaran di muara sungai secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : x f Y = ................................................................................................. 3 34 Secara matematis persamaan regresi linear dapat dituliskan : bx a Y + = ............................................................................................... 4 Keterangan : x = Nilai parameter suatu bahan pencemar di muara sungai y = Nilai parameter suatu bahan pencemar di teluk a = Intersepperpotongan dengan sumbu tegak nilai tengahrataan umum b = Kemiringangradien Koefisien regresi untuk parameter di muara sungai x dan y merupakan jenis parameter yang sama untuk di muara sungai dan di teluk. Peubah x merupakan jumlah nilai dari seluruh muara yang diamati untuk parameter tertentu dan y merupakan nilai parameter teluk dianggap tepat untuk mewakili seluruh nilai parameter yang ada di Teluk Jakarta.

3.3.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Laut

Teknik Permodelan Interpretasi Struktural Interpretatif Structural Modelling digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Menurut Marimin 2004, ISM adalah proses pengkajian kelompok group learning process di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. Tahapan dalam melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu Penyusunan Hirarki dan Klasifikasi subelemen Eriyatno, 2003. a. Penyusunan Hierarki • Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen. • Menentapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan direction dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan oleh pakar. Jika jumlah pakar 35 lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol: ¾ V jika e ij = 1 dan e ji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j ¾ A jika e ij = 0 dan e ji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i ¾ X jika e ij = 1 dan e ji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama ¾ O jika e ij = 0 dan e ji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai e ij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai e ji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. • Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix SSIM. SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix RM dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Untuk tahapan dan proses dalam melakukan teknik ISM dapat dilihat pada Gambar 6. 36 Mulai Tentukan elemen kunci yang berperan dalam pencemaran Teluk Jakarta Uraikan setiap elemen menjadi subelemen Tentukan hubungan kontekstual antara subelemen pada setiap elemen Susun SSIM untuk setiap elemen Bentuk reachibility matriks untuk setiap elemen Revisi dengan aturan transivity rule Ok? Tentukan level melalui penilaian Ubah RM menjadi format lower triangular RM Ya Modifikasi ISM Tidak Susun digraph dari lower triangular RM Susun ISM dari setiap elemen Klasifikasi subelemen pada empat peubah kategori Plot subelemen pada empat sektor Tetapkan Driver Power Dependence Matriks setiap elemen Tentukan Rank Hirarki dari subelemen Tetapkan Dependence Power setiap subelemen Gambar 6. Diagram alir deskriptif teknik ISM pada analisis sistem pencemaran Teluk Jakarata 37 Untuk tahapan agregasi pendapat penilai pada teknik ISM dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Agregasi pendapat penilai pada teknik ISM Bentuk pengisian perbandingan antar subelemen dapat dilihat pada Structural self interaction matrix SSIM yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Structural self interaction matrix SSIM awal elemen 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Diskusi kelompok, revisi Agregasi Tidak Cek konsistensi Penilaian individu Penyusunan kuisioner Eksplorasi elemen Ya 38 Setelah Structural self interaction matrix SSIM terisi sesuai pendapat responden, maka simbol V, A, X, O dapat digantikan dengan simbol 1 dan 0 dengan ketentuan yang ada sehingga dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix RM final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix RM final elemen disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil reachability matrix RM final elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DP R 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 D L Keterangan : DP = driver power R = rangking D = dependence L = levelhierarki Berdasarkan Tabel 5 diatas dapat diketahui nilai driver power, dengan menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. b. Klasifikasi subelemen Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor yaitu: • Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels Autonomous. Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan 39 mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. • Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels Dependent. Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. • Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels Lingkage. Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. • Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels Independent. Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. Analisa matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 8. Daya Dorong Drive Power Ketergantungan Dependence Lingkage Variablel Sektor III Autonomous Variable Sektor I Dependent Variable Sektor II Independent Variable Sektor IV Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Setelah dibuat pengklasifikasian dari subelemen maka dapat dilanjutkan dengan deskripsi analisis kebijakan yang sesuai keadaan lapangan dan hasil analisis ISM, dengan memperhatikan beberapa hal dibawah ini: 40 1. Menentukan keadaan state suatu faktor • Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi bukan khayalan dalam suatu waktu di masa datang. • Keadaan bukan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor seperti besarsedangkecil atau baikburuk tetapi deskripsi situasi sebuah faktor. • Setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas. • Bila keadaan dari suatu faktor lebih dari satu makna keadaan maka keadaan-keadaan tersebut harus dibuat secara kontras. • Selanjutnya mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk terjadi atau berjalan bersamaan mutual incompatible. 2. Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor- faktor yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : • Skenario yang mempunyai peluang besar untuk terjadi di masa datang disusun terlebih dahulu. • Skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor. Oleh sebab itu, sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible saling bertolak belakang. • Setiap skenario mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis diberi nama. • Langkah selanjutnya memilih skenario yang paling mungkin terjadi. 3. Implikasi Skenario Merupakan kegiatan terakhir yang meliputi : • Skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas konstribusinya terhadap tujuan studi. • Skenario tersebut didiskusikan implikasinya. • Tahap selanjutnya menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang sudah disusun. 41

3.4. Definisi Operasional

Beberapa definisi operasional yang akan digunakan pada penelitian ini diantaranya: 1 Pencemaran laut menurut PP No. 19 tahun 1999 didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kuantitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu danatau fungsinya. 2 Baku mutu air adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai peruntukkannya. 3 Beban pencemaran adalah jumlah konsentrasi limbah yang masuk ke suatu perairan berdasarkan banyaknya limbah per satuan waktu tonbulan. 4 Daya dukung adalah kemampuan suatu tempat atau wilayah dalam menerima sesuatu hal beban yang dapat mengurangi kualitas dari tempat tersebut. 5 Kapasitas asimilasi adalah kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya. 6 Sistem adalah suatu gugus atau elemen-elemen yang terorganisir dan memiliki ketergantungan yang tinggi dalam mencapai suatu tujuan. 7 Model adalah suatu abstraksi yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran laut Teluk Jakarta yang sesungguhnya. 8 Analisis sistem adalah suatu pernyataan tentang proses bekerjanya suatu sistem untuk memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan berdasarkan output yang spesifik dan kinerja sistem dalam mencapai tujuan. 9 Simulasi model adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk merumuskan kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem berdasarkan skenario, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, yang merupakan representatif dari hubungan sebab akibat yang ada pada sistem yang sebenarnya. 10 Pemodelan dinamika sistem adalah suatu rancangan model sistem untuk menjelaskan suatu keadaan yang heterogen yang mengandung faktor waktu pada peubah-peubahnya sehingga bersifat dinamis. 42 Pengumpulan data Pengumpulan data primer Pengumpulan data sekunder Pengambilan sampel air laut Pengambilan responden Kualitas sungai DKI Jakarta 2000-2005 ƒ Profil dan kependudukan ƒ Renstra DKI Jakarta ƒ Keadaan perkembangan sumber Analisis data dan hasil FGD Wawancara Kualitas air laut Kualitas muara sungai Baku Mutu air laut KepMen LH No. 512004 Baku Mutu air laut KepMen LH No. 512004 ƒ Persepsi ƒ Analisis kebutuhan ƒ Tingkat kepentingan Analisis deskripsi Formulasi masalah dan tingkat kepentingan Status kualitas air laut Status kualitas muara sungai Beban pencemara Kapasitas asimilasi Skenario model Beban pencemaran simulasi Simulasi sumber pencemaran Strategi dan arahan kebijakan Beban pencemaran hasil simulasi tahun ke-i ∩ Modelling Persentase kontribusi bahan pencemar ƒ Hasil analisis data ƒ Hasil berbagai literatur Analisis regresi BP = K x D BPKA Analisis skenario Interpretative structural modelling ISM ƒ Kondisi wilayah ƒ Perkembangan sumber pencemar ƒ Kepedulian lingkungan sumber pencemar Gambar 9. Ruang lingkup dan alur sistematika penelitian

IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

4.1. Kondisi Geografis

Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12 Lintang Selatan dan 106°48 Bujur Timur, Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661,52 km² dan berupa lautan seluas 6.977,5 km², terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, terdapat pula sekitar 27 buah sungaisalurankanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Oleh : IRMAN FIRMANSYAH NRP P052040261 PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta 44 Di sebelah utara membentang pantai dari Barat ke Timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah propinsi Jawa Barat, sebelah Barat dengan Propinsi Banten, sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Wilayah administrasi propinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif yaitu kotamadya Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara serta kabupaten Kepulauan Seribu. Kota Jakarta terdiri dari 6 kotamadya dan kabupaten administratif, yang terdiri dari Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Dari jumlah tersebut terdapat 44 Kecamatan, 267 Kelurahan, 2.595 Rukun Warga, dan 29.111 Rukun Tetangga. Keadaan iklim kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu maksimum 30,8 °C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 26,1 °C pada malam hari.

4.2. Keadaan Penduduk

4.2.1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk

Hasil pencacahan sensus penduduk 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta pada bulan Desember 2005 adalah sebanyak 8.699.600 jiwa. Jumlah ini sudah termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap tuna wisma dan awak kapal yang jumlahnya sebanyak 28.364 jiwa. Pertambahan penduduk mengalami pertumbuhan pesat mulai dari Tahun 1961. Data pertumbuhan penduduk tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta Tahun Jumlah Penduduk ribu orang 1961 2.906,5 1971 4.576,0 1980 6.480,6 1990 8.227,7 2000 8.385,6 2005 8.699,6 Sumber : BPS DKI Jakarta 2005 45 Dari Tabel 6 terlihat bahwa perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1961-1990 tumbuh dengan pesat dari 2,9 juta jiwa pada tahun 1961 bertambah menjadi 4,6 juta jiwa pada tahun 1971. Kemudian sepuluh tahun berikutnya, jumlah penduduk bertambah lagi menjadi 6,5 juta jiwa. Tahun 1990, penduduk DKI Jakarta naik sekitar 1,7 juta jiwa menjadi 8,2 juta jiwa. Pada kurun waktu 1990-2000, pertambahan penduduk DKI Jakarta sudah dapat dikendalikan sehingga kenaikannya hanya sekitar 1,52 persen. Berdasarkan arah perkembangan penduduk dikaitkan dengan dinamika mobilitas penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2025 penduduk DKI Jakarta mencapai 9.259,900 juta jiwa. Jika dilihat pertumbuhannya, laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta selama empat dekade terakhir terus mengecil. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun sampai akhir 2004 diperkirakan sebesar 1,26 persen. Walaupun laju pertumbuhan meningkat, namun laju pertumbuhan penduduk di Jakarta masih terbilang kecil ini disebabkan rendahnya tingkat kelahiran juga disebabkan peningkatan migrasi keluar Wilayah DKI Jakarta yang cukup besar.

4.2.2. Sebaran dan Kepadatan Penduduk A. Sebaran Penduduk

Salah satu dimensi permasalahan kependudukan yang ada di DKI Jakarta adalah tidak meratanya distribusi penduduk antar kotamadya. Dengan kondisi ini, di satu pihak ada kotamadya yang sangat padat penduduknya, sementara di kotamadya lain kepadatan penduduknya relatif rendah. Namun patut diingat bahwa kepadatan penduduk yang paling rendah sekalipun di kotamadya yang ada di DKI Jakarta, masih merupakan yang tertinggi dibandingkan kepadatan penduduk di kota lain di Indonesia. Persentase penduduk menurut kotamadya di DKI Jakarta mulai dari Tahun 1971 dapat dilihat pada Tabel 7. 46 Tabel 7. Persentase penduduk kotamadya di DKI Jakarta, tahun 1971-2004 Terhadap Penduduk DKI Jakarta Kotamadya 1971 1980 1990 2000 2004 Jakarta Selatan 23,12 24,38 23,14 21,37 21,61 Jakarta Timur 17,64 22,48 25,07 28,01 28,34 Jakarta Pusat 27,72 19,08 13,07 10,65 10,31 Jakarta Barat 18,05 19,00 22,12 22,78 23,15 Jakarta Utara 13,47 15,06 16,39 17,01 16,32 Kepulauan Seribu - - - 0,21 0,27 DKI Jakarta 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS DKI Jakarta 2005 Dengan melihat distribusi penduduk antar kotamadya di DKI Jakarta pada Tabel 7 terlihat bahwa pada tahun 1971 sebagian besar penduduk DKI Jakarta tinggal di Jakarta Pusat 27,72 dan Jakarta Selatan 23,12, sementara empat wilayah lainnya relatif seimbang. Sepuluh tahun berikutnya, persentase terbesar penduduk DKI Jakarta berada di Jakarta Selatan, sementara Jakarta Pusat mulai menunjukkan penurunan dan terjadi peningkatan persentase penduduk di Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tahun 1990, Jakarta Timur memiliki persentase penduduk tertinggi, yaitu sebesar 25,07 persen dan Jakarta Pusat memiliki persentase terendah, yaitu 13,07 persen.

B. Kepadatan Penduduk

Selain persebaran penduduk yang tidak merata, kepadatan penduduk juga menjadi permasalahan pokok dalam pembangunan di DKI Jakarta. Walaupun jumlah penduduk DKI Jakarta tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia, namun dengan luas wilayah yang relatif kecil 661,52 km² atau sekitar 0,03 persen dari luas seluruh Indonesia, kepadatan penduduk DKI Jakarta menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia, yaitu 13.195 jiwa per km². Sebagai ilustrasi, propinsi Jawa Barat yang luas wilayahnya 80 kali lipat lebih dibandingkan luas DKI Jakarta, kepadatan penduduknya hanya 866 jiwa per km². Dengan mengamati antar kotamadya terlihat bahwa Jakarta Pusat merupakan wilayah terpadat, dengan tingkat kepadatan sebesar 18.778 orang per Km². Sementara yang terendah terdapat di Kepulauan Seribu dengan tingkat kepadatan 47 1.974 jiwa per Km². Kepadatan penduduk di empat kotamadya lainnya berkisar antara 10 ribu hingga 16 ribu jiwa per km². Secara umum kepadatan penduduk di DKI Jakarta sepanjang tahun 1961- 2004 meningkat terus. Namun demikian selama sepuluh tahun terakhir peningkatannya relatif kecil dibandingkan yang terjadi pada tiga dasawarsa sebelumnya. Meski diakui akselerasi penurunan laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta selama dua dekade terakhir relatif cepat, namun karena kepadatan penduduk yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya permasalahan sosial dan ekonomi yang cukup kompleks. Masalah pemenuhan kebutuhan akan pangan, permukiman, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, penyediaan lapangan pekerjaan dan lainnya memerlukan penanganan tersendiri yang lebih bersifat specific locatif. Salah satu dampak negatif dari tingginya kepadatan penduduk di DKI Jakarta, dapat dilihat dari banyaknya area kumuh slum area di beberapa Wilayah DKI Jakarta. Menurut laporan BPS 2005, sekitar 54 persen penduduk Jakarta tinggal di rumah yang tidak layak huni. Dari data yang ada diketahui bahwa sekitar 26,47 persen atau sebanyak 687 Rukun Warga RW yang ada di ibukota dari 2.595 RW dalam kondisi kumuh “berat” dan kumuh “sedang”, dan umumnya lokasinya berada di permukiman padat. Data kepadatan penduduk kotamadya di DKI Jakarta mulai dari Tahun 1961 dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan peta proyeksi kepadatan penduduk Tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 11. Tabel 8. Kepadatan penduduk kotamadya di DKI Jakarta, tahun 1961–2004 Kepadatan Penduduk Per km² Kotamadya 1961 1971 1980 1990 2000 2004 Jakarta Selatan 3.201 7.211 10.855 13.128 12.275 12.972 Jakarta Timur 2.656 4.273 7.777 11.012 12.534 13.174 Jakarta Pusat 20.920 26.311 25.992 22.684 18.647 18.778 Jakarta Barat 3.722 6.506 9.789 14.449 15.112 16.013 Jakarta Utara 3.051 3.977 6.371 8.893 10.025 10.006 Kepulauan Seribu - - - - 1.488 1.974 DKI Jakarta 4.394 6.873 9.831 12.485 12.643 13.195 Sumber : BPS DKI Jakarta 2005 48 Berbagai upaya penanggulangan masalah permukiman kumuh telah dilakukan di DKI Jakarta, diantaranya perbaikan lingkungan melalui program Muhammad Husni Thamrin MHT, peremajaan dengan pembangunan rumah susun sederhana, serta membangun sarana dan prasarana lingkungan. Pengembangan pusat-pusat permukiman baru, seperti Wilayah BOTABEK diharapkan dapat mengurangi keberadaan permukiman kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Namun karena begitu luasnya permukiman kumuh yang perlu ditanggulangi dan disisi lain kemampuan pemerintah terbatas, maka usaha-usaha tersebut perlu melibatkan peran serta swasta dan masyarakat. Selain itu perspektif masalah permukiman kumuh, umumnya tidak terlepas dari kemiskinan, karena itu upaya-upaya penanggulangan wilayah kumuh hendaknya harus dibarengi dengan upaya pengentasan kemiskinan, sehingga selain dapat dilakukan penataan lingkungan, penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut dapat diberdayakan. 2.200.000 143 15.401 3.000.000 12.608 238 1.300.000 270 4.820 2.800.000 18.124 155 3.200.000 14.357 220 Luas Daerah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 2005 Gambar 11. Peta distribusi dan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2010 49

4.3. Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 06°0040 LS dan 05°5440 serta 106°4045 BT dan 107°0119 BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 35 km dan luas kira-kira 514 km 2 . Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis yang menghubungkan kedua ujung teluk. Sebanyak 13 aliran sungai yang melintas di wilayah DKI Jakarta, 9 aliran sungai dan 2 kanal di antaranya bermuara di Teluk Jakarta, serta 10 diantaranya yang dipantau oleh BPLHD DKI Jakarta antara lain Sungai Kamal titik pengamatan 42,--Muara Kamal, Sungai Cengkareng Drain titik pengamatan 22--Jl. Kapuk Muara, Sungai Ciliwung titik pengamatan 6--Jemb. PIK-Muara Angke, Sungai Grogol titik pengamatan 27--PLTU Pluit, Sungai Ciliwung titik pengamatan 32--Jl. Pompa Pluit, Sungai Ciliwung titik pengamatan 30--Jl. Ancol Marina, Sungai Kalibaru Timurtitik pengamatan 34-- Jl. Ancol, Kali Sunter titik pengamatan 13--Bogasari, Sungai Cakung Drain titik pengamatan 38--cilincing, Kali Blencong titik pengamatan 38A--Pantai Marunda. Alur-alur sungai tersebut panjangnya 461 kilometer dengan luas bantaran 1.985,65 hektar. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri. Sesempit apa pun bantaran sungai, perannya sangat penting dalam siklus hidup berbagai jenis kehidupan air, dan secara ekologis menjadi penyeimbang laju pertumbuhan wilayah. Karena itulah, lahan bantaran sungai perlu dikonservasi sebagai sempadan sungai untuk memulihkan komunitas bantaran secara alami, melalui rehabilitasi habitat, pengayaan jenis, serta sosialisasi untuk menumbuhkan kearifan masyarakat sekitarnya. Topografi Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir, dan kerikil. Di bagian pinggir dan tengah teluk banyak terdapat lumpur, sedangkan di bagian laut lepas, keberadaan pasir semakin menonjol. Teluk Jakarta termasuk pada perairan yang dangkal, karena perairan ini umumnya hanya mempunyai kedalaman kurang dari 30 m ke utara. Pada separuh teluk bagian barat, terdapat beberapa pulau kecil antara lain Pulau Nyamuk Besar, Pulau Nyamuk Kecil, 50 Pulau Damar Besar, Pulau Damar Kecil, Pulau Ayer Besar, Pulau Kelor, Pulau Untung Jawa, Pulau Rambut dan Pulau Ubi Besar. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1951 dalam Handoko 1995 iklim Teluk Jakarta tergolong klasifikasi iklim tipe D, dengan rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar 60-100. Sedangkan suhu rata-rata berkisar antara 26°C - 32°C pada saat bulan Oktober.

4.4. Kondisi Penelitian Teluk Jakarta Sampai Saat Ini

Pemantauan Kualitas Air Teluk Jakarta Berdasarkan hasil pengamatan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta 2004 menunjukkan bahwa kualitas perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran yang cukup kronis, sehingga saat ini perairannya telah menjadi tercemar yang diakibatkan oleh bahan pencemar baik dari daratan maupun aktivitas pantai dan laut. Kualitas terburuk di perairan yang dekat dengan pantai zona D, 5 km dari pantai dan makin ke tengah mengalami perbaikan zona A, 15-20 km, tetapi karena zona A dekat dengan pantai di barat dan timur maka kualitas perairannya juga mengalami penurunan.

A. Kualitas Fisik Air Teluk Jakarta

Untuk perairan Teluk Jakarta, dan Muara Teluk Jakarta pada Tahun 2004 untuk parameter suhu, salinitas, pH, arah dan kecepatan angin, masih memenuhi baku mutu dan tidak terdapat perbedaan konsentrasi yang besar antara kedua periode tersebut. Sedangkan untuk parameter DO dan kecerahan telah melebihi baku mutu BPLHD DKI Jakarta, 2004.

B. Kualitas Kimia Air Teluk Jakarta

Pada perairan Teluk Jakarta konsentrasi detergen dan BOD di semua zona masih memenuhi baku mutu, namun terjadi peningkatan konsentrasi detergen di semua zona selama periode Mei dan Oktober. Sedangkan pada parameter seng secara umum masih memenuhi baku mutu yang ada, hanya di zona–zona tertentu saja. Untuk parameter nitrat di semua zona telah melebihi baku mutu. Untuk Muara Teluk Jakarta, pada saat kondisi surut, parameter BOD dan detergen 51 secara umum di semua zona masih berada di bawah baku mutu, hanya di zona– zona tertentu saja. Sedangkan untuk parameter nitrat di semua zona telah melampui baku mutu. Pada saat pasang, parameter BOD, detergen, dan seng tidak berbeda dengan saat surut yaitu di semua zona telah melebihi baku mutu BPLHD DKI Jakarta, 2004.

C. Kualitas Biologi Air Teluk Jakarta

Berdasarkan indeks keanekaragaman maka perairan Teluk Jakarta untuk zona D mengalami pencemaran berat, zona C mengalami pencemaran sedang dan zona B dan A mengalami pencemaran ringan. Sedangkan untuk Muara Teluk Jakarta, Muara Angke, Cengkareng, dan Muara Sunter telah mengalami pencemaran berat, sedangkan Muara Kamal, Muara Karang, Muara Ancol, Muara Cakung, Muara Marunda mengalami pencemaran sedang, dan Muara Gembong mengalami pencemaran ringan BPLHD DKI Jakarta, 2004. Data indeks diversitas di Teluk Jakarta berdasarkan lokasi titik pengamatan pada bulan Mei dan Oktober 2004 dapat dilihat pada Gambar 12. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6 Mei Okt Indeks Diversitas Phytoplankton Tercemar Sangat Ringan Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat Gambar 12. Indeks diversitas di Teluk Jakarta berdasarkan lokasi titik pengamatan pada bulan Mei dan Oktober 2004 52 Sedangkan data indeks diversitas di Muara Teluk Jakarta pada kondisi pasang dan surut bulan Mei dan Oktober 2004 dapat dilihat pada Gambar 13. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut Pa s a ng Su rut M.Kamal Cengkareng Angke M. Karang Marina Sunter Cilincing Marunda M. Gembong Mei Okt Indeks Diversitas Phytoplankton Tercemar Sangat Ringan Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat Gambar 13. Indeks diversitas di Muara Teluk Jakarta pada kondisi pasang dan surut bulan Mei dan Oktober 2004

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Sumber-sumber Pencemaran di Teluk Jakarta

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah penduduk, sistem pertanian, kemiskinan, dan kondisi lingkungan hidup saling berkaitan. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan untuk perumahan dan pertanian, yang seringkali berkaitan pada pengurangan lahan hutan dan perambahan hutan. Pertambahan penduduk juga akan menstimulasi aktivitas industri yang mempunyai korelasi kuat dengan terjadinya pencemaran perairan. Dalam penelitian ini sumber pencemaran air di DKI Jakarta yang berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung secara baik dan berkesinambungan, serta kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Penumpukan limbah padat sampah merupakan akibat pencemaran dari darat, seperti terlihat pada Gambar 14. Gambar 14. Sampah-sampah di sekitar muara sungai Adapun kontribusi dari masing-masing sumber pencemar berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada skema kontribusi sumber pencemar terhadap Teluk Jakarta pada Gambar 15. 54 Gambar 15. Skema kontribusi sumber pencemar terhadap Teluk Jakarta

5.1.1. Sumber Pencemar dari Landbased

5.1.1.1. Limbah Rumah Tangga Domestik A. Jumlah Limbah Rumah Tangga

Laporan timbulan sampah di DKI Jakarta didapatkan berdasarkan laporan Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 yang merupakan hasil survei Produksi dan komposisi Sampah yang dilaksanakan oleh WJEMP 3-11 pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005. Timbulan sampah pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005 adalah sebesar 2,97 ltkapitahari atau 0,64 kgkapitahari. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survei tahun 2005 Sumber Sampah Timbulan Sampah Sumber Satuan Jumlah Sumber Satuan Total Produksi Sampah m 3 hari Pemukiman 1,36 Literoranghari 7.456.931 Jiwa 10.141 Pasar 9,82 Literpedaganghari 76.350 Pedagang 750 Sekolah 0,40 Litermuridhari 2.386.687 Murid 955 Perkantoran Fasum 3,36 Literpekerjahari 2.535.680 Pegawai 8.520 Industri 2,76 Literburuhhari 688.098 buruh 1.899 Total 22.265 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 55 Untuk lebih mudah dalam melihat perbandingan jumlah total produksi sampah dari berbagai sumber data disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 16. 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Sumber Sampah 10141 750 955 8520 1899 Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran Industri Gambar 16. Produksi sampah dari berbagai sumber sampah Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa timbulan sampah di wilayah DKI Jakarta didominasi oleh sampah domestik. Dalam kategori sampah domestik antara lain sampah yang berasal dari pemukiman, sekolah dan perkantoran. Sampah domestik merupakan limbah padat yang merupakan sisa dari aktivitas domestik seperti rumah tangga, perkantoran dan sekolah yang tidak terpakai baik bersifat organik maupun non-organik yang apabila tidak dikelola akan mengganggu kesehatan manusia dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan serta kerawanan sosial BPLHD, 2004. Berdasarkan data di atas sampah domestik sangat besar dan mendominasi timbulan sampah di DKI Jakarta. Timbulan dari pemukiman total produksinya mencapai 10.141 m 3 hari, sekolah 955 m 3 hari, dan perkantoran 8.520 m 3 hari. Jika dihitung dari ketiga limbah padat tersebut berjumlah 19.616 m 3 hari atau mendominasi sekitar 88 dari limbah domestik yang ada. Hal tersebut sangat sesuai apabila melihat tingkat kepadatan penduduk dan jumlah sekolah serta perkantoran yang ada di Jakarta. Dari hasil laporan Dinas Kebersihan DKI Jakarta tercatat penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun 56 2003, terdiri dari 67 perumahan, 6 industri, 6,4 perkantoran dan 16 taman. Keadaan tersebut diperkuat juga dengan jumlah dan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2004 berjumlah total 8.725.600 jiwa dengan tingkat kepadatan 13.195 jiwakm 2 . Kepadatan pemukiman di DKI Jakarta dapat terlihat dari foto udara yang disajikan pada Gambar 17. Jarak ± 100 meter Gambar 17. Kepadatan pemukiman di DKI Jakarta Umumnya sekitar ±100 meter kanan kiri sungai yang membuang limbah rumah tangga domestik ke sungai, seperti yang terlihat pada gambar dengan garis berwarna kuning. Kondisi data di atas baru didasarkan atas kondisi jumlah penduduk yang berada di seluruh wilayah DKI Jakarta yang meliputi Jakarta pusat, utara, selatan, barat dan timur. Padahal sebetulnya sampah yang masuk ke Teluk Jakarta tidak hanya berasal dari aktivitas penduduka Jakarta namun juga disebabkan oleh penduduk dari luar Jakarta. Untuk memudahkan perhitungan perkiraan jumlah timbulan sampah ke depan, maka jumlah timbulan sampah diwakilkan dalam nilai besaran per-jiwa penduduk DKI Jakarta literjiwahari atau kgjiwahari seperti tercantum dalam Tabel 10 di bawah ini. 57 Tabel 10. Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 Sumber Sampah Literjiwahari Kgjiwahari Pemukiman 1,36 0,34 Pasar 0,10 0,03 Sekolah 0,13 0,03 PerkantoranFasum 1,14 0,18 Industri 0,25 0,06 Total 2,97 0,64 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Tabel 10 di atas semakin memperjelas bahwa diperkirakan setiap jiwa di Jakarta mengeluarkan sampah sebesar 1,36 literjiwahari atau setara dengan 0,34 kgjiwahari untuk pemukiman, 0,03 kgjiwahari untuk sekolah dan 0,18 kgjiwahari untuk perkantoran. Dari ketiga golongan tersebut timbulan sampah domestik lebih banyak dihasilkan dari pemukiman. Kondisi tersebut membutuhkan penanganan yang serius dari pemerintah untuk menata kembali jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta. Aktivitas urbanisasi dan banyaknya komuterian komunitas yang berprofesi di Jakarta tetapi tinggalnya tidak di Jakarta harus dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan bagi pembangunan di Jakarta sendiri. Sedangkan berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah juga menunjukkan nilai yang berbeda-beda seperti tertera dalam Tabel 11. Tabel 11. Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah Sumber Sampah Berat Jenis Sampah Kgliter Pemukiman 0,25 Pasar 0,30 Sekolah 0,27 Perkantoran Fasum 0,15 Industri 0,23 Total Sampah 0,21 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005

B. Komposisi Sampah Domestik

Komposisi terhadap sampah berubah sepanjang waktu, sampah domestik dimana komposisinya lebih banyak plastik, kertas, logam dan beling, dan sedikit kayudaun, garbage dan batu. Kandungan air diproyeksikan menurun dari 54 pada tahun 1986 menjadi 48 pada tahun 2005 Tabel 12. 58 Tabel 12. Proyeksi komposisi sampah domestik kondisi kering Persentase JenisKomponen Sampah 1986 1995 2005 Pertumbuhan Tahun Plastik Kertas Tekstil Kayudaun Garbage Lain-lain 10 17 5 12 23 15 10 19 5 11 21 14 14 21 5 10 19 12 2 1 -1 -1 - Sub Total 82 82 81 - Logam Beling Batu 4 4 10 5 5 8 7 6 6 5 3 3 Sub Total 18 18 19 - Total 100 100 100 - Kandungan air Volatile Kandungan abu CN ratio Nilai kalori rendah 54 28 18 32 1,100 51 30 19 33 1,300 48 32 20 35 1,500 -3 - - - Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Dari hasil data di atas terlihat bahwa komponen sampah domestik dalam kondisi kering lebih banyak berasal dari jenis kertas, garbage dan plastik. Hal itu disebabkan karena banyaknya pemukiman dan perkantoran di Jakarta dan sekitarnya. Sampah-sampah di atas merupakan jenis sampah non-biodegredable tidak dapat diurai sehingga pengelolaannya harus dilakukan dengan teknologi tertentu. Produksi kertas, plastik dan garbage dalam jangka panjang jika tidak dikelola dengan baik akan lebih berbahaya dengan jenis sampah lainnya. Hal tersebut membutuhkan kejelian dan keseriusan pemerintah setempat DKI Jakarta dalam pengelolaannya. Sedangkan mengenai komposisi sampah berdasarkan persentase pemukiman, komersial, dan pasar data disajikan pada Tabel 13. 59 Tabel 13. Komposisi sampah dari beberapa sumber pencemar di DKI Jakarta Persentase No Komponen Pemukiman Komersial Pasar 1 Organik sisa makanan, daun,dll 62,27 9,84 83,69 2 Anorganik 37,73 90,16 16,31 2.1. Kertas 13,43 58,42 5,15 2.2. Plastik 13.50 14,69 9,66 2.3. Kayu 0,07 0,12 2.4. Kaintekstil 0,85 2.5. Karetkulit tiruan 0,19 0,28 0,14 2.6. Logammetal 0,95 2,02 0,29 2.7. Gelaskaca 1,26 5,68 2.8. Sampah bongkahan 1,00 0,63 2.9. Sampah B3 1,21 3,65 0,12 2.10. Lain-lain batu,pasir,dll 5,27 4,79 0,82 Total 100 100 100 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Berdasarkan data di atas dilihat dari komponen organik dan anorganik dari jenis sampah yang ada terlihat bahwa untuk sampah organik, pemukiman 62,27, komersial 9,84 dan pasar 83,69. Hasil ini menunjukkan bahwa sampah organik didominasi oleh pasar karena di dalamnya berasal dari daun, sisa makanan dan bahan-bahan yang dapat diurai lainnya. Berbeda dengan jenis sampah anorganik, terlihat komposisinya antara lain pemukiman 37,73, komersial 90,16 dan pasar 16,31. Sampah anorganik lebih banyak dihasilkan dari kegiatan komersial termasuk di dalamnya kegiatan perkantoran, industri dan sekolah. Sedangkan untuk pemukiman sendiri lebih kecil karena memang dari pemukiman jarang dihasilkan limbah padat anorganik, begitu halnya dengan pasar. Kondisi tersebut didukung dengan fakta bahwa di Jakarta jumlah perkantoran sangat padat dan banyak dengan berbagai aktivitas yang hampir kesemuanya menghasilkan sampah berupa plastik, kertas dan lainnya. Dari total sampah yang ada organik dan anorganik dilakukan dua mekanisme pengolahan yaitu didaur ulang dan dibuang. Untuk sampah organik dari total sampah 55,37 pemukiman, komersial dan pasar tidak ada yang didaur ulang dan semuanya dibuang 55,37. Hal ini berarti belum tercipta kesadaran di masyarakat bahwa sampah organik dapat didaur ulang sehingga mempunyai nilai lebih yang bermanfaat dan mengurangi degradasi lingkungan dan kesehatan. Disinilah pentingnya penyadaran melalui proses sosialisasi dan 60 pendampingan oleh pihak terkait seperti pemerintah daerah, LSM maupun swasta untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya proses daur ulang sampah. Namun fakta tak terbantahkan bahwa saat ini proses penyadaran tersebut sangat kurang sehingga masyarakat juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Data mengenai persentase komposisi sampah baik yang di daur ulang maupun dibuang langsung ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Komposisi sampah dari beberapa sumber pencemar di DKI Jakarta Persentase No Komponen Dibuang Daur ulang Total 1 Organik sisa makanan, daun,dll 55,37 55,37 2 Anorganik 24,68 19,95 44,63 2.1. Kertas 13,15 7,32 20,57 2.2. Plastik 6,40 6,85 13,25 2.3. Kayu 0,07 0,07 2.4. Kaintekstil 0,61 0,61 2.5. Karetkulit tiruan 0,19 0,19 2.6. Logammetal 1,06 1,06 2.7. Gelaskaca 1,91 1,91 2.8. Sampah bongkahan 0,81 0,81 2.9. Sampah B3 1,52 1,52 2.10. Lain-lain batu, pasir,dll 4,65 4,65 Total 80,05 19,95 100 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Berbeda dengan sampah anorganik, terlihat bahwa dari total jumlah 44,63 dari berbagai sumber, 19,95 di daur ulang dan 24,68 dibuang. Dalam kasus ini, masyarakat menyadari pentingnya proses daur ulang bagi sampah anorganik mengingat keberadaannya lebih berbahaya dibandingkan dengan sampah organik. Namun itupun terhitung sangat rendah karena masih banyak yang dibuang dibandingkan yang didaur ulang. Lagi-lagi proses penyadaran dan kebijakan yang tegas akan pentingnya pengelolaan limbah anorganik dilakukan oleh pihak-pihak yang berkewajiban seperti Dinas Kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup dan pemangku kepentingan lainnya. Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kesadaran belum tercipta sepenuhnya di masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah. Kesadaran tersebut dapat bersumber dari dalam masyarakat sediri melalui peningkatan pengetahuan dan membangun budaya bersih atau tercipta dari luar melalui kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah daerah maupun pihak terkait 61 lainnya. Peluang inilah yang harusnya diambil oleh pemerintah daerah di tengah- tengah semakin semrawutnya Jakarta dan semakin tercemarnya Teluk Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota ”zero waste”. Semboyan tersebut sering kali menjadi slogan dibanding kenyataan.

C. Karakter Sampah Domestik

Karakteristik sampah sangat penting untuk menentukan teknologi pengurangan dan pemusnahan sampah yang harus digunakan seperti misalnya insinerator maupun proses komposting. Sampah yang terlalu basah dengan nilai kalor yang rendah sangat mustahil untuk direduksi melalui sistem pembakaran insenerator sedangkan sampah yang terlalu kering memerlukan perlakuan khusus dalam proses pengkomposan. Pada tabel di bawah ini dapat kita lihat hasil analisis laboratorium terhadap besarnya nilai kalor, kadar air dan kadar abu sampel berbagai jenis sampah DKI Jakarta pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber Perhitungan Karakteristik Sumber Sampah Nilai Kalor KkalKg Kadar Air Kadar Abu Industri 3.553 23,73 11,93 Pasar Modern 2.102 36,59 17,13 Perkantoran 2.434 23,17 17,60 Pasar 1.778 56,58 10,26 Sekolah 3.248 31,31 13,92 Pemukiman Pendapatan Tinggi 2.332 47,40 16,43 Pemukiman Pendapatan Menengah 2.795 44,81 16,03 Pemukiman Pendapatan Rendah 2.149 45,85 16,27 Rata-rata 2.531 36,22 14,51 Sumber: Hasil Analisa Laboratorium Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia 2005 Dari data di atas terlihat bahwa nilai kalor terendah adalah pasar 1778 KkalKg, pemukiman rata-rata 2425 KkalKg, perkantoran 2434 KkalKg, sekolah 3248 KkalKg, dan industri 3553 KkalKg. Nilai kalor terendah sulit direduksi dengan sistem pembakaran insenerator. Begitu juga sebaliknya sampah dengan nilai kalor tertinggi sulit direduksi dengan sistem komposting. Dari data di atas terlihat bahwa sampah pasar dan pemukiman lebih mudah 62 dikelola dengan sistem komposting. Sedangkan sampah sekolah dan industri lebih tepat dikelola dengan sistem pembakaran. Sebagian dari sampah pemukiman dan perkantoran sebetulnya juga lebih mudah dikelola dengan sistem pembakaran tergantung dari komposisi sampah yang ada. Jika melihat pada data komposisi sampah sebelumnya, pemukiman lebih banyak didominasi oleh sampah organik. Artinya pengelolaan dapat dilakukan dengan sistem komposting. Meski jika terdapat jenis sampah anorganik disarankan untuk mereduksinya dengan pembakaran. Di bawah ini Tabel 16 ditunjukkan masing-masing nilai kalor, kadar abu dan kadar air bagi masing-masing sumber sampah. Tabel 16. Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di DKI Jakarta Karakteristik Sampah Industri Pasar Modern Perkantoran Pasar Nilai Kalor 3.804 1.646 1.786 1.184 Kadar Air 27,13 39,91 27,85 59,88 Kadar Abu 5,03 7,22 5,53 9,27 Kemungkinan Insenerasi Pemukiman Karakteristik Sampah Sekolah Tinggi Sedang Rendah Nilai Kalor 2.090 2.795 2.332 2.149 Kadar Air 39,72 49,55 51,71 48,61 Kadar Abu 6,38 8,55 8,49 8,35 Kemungkinan Insenerasi Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Keterangan : = sangat baik = baik = kurang baik Dari hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta. Seperti Tabel 16 di atas, maka nilai kalor sampah Jakarta dari segala sumber memenuhi persyaratan untuk pengolahan dengan dibakar pada instalasi pembakaran sampah. Maka bahan yang paling baik untuk dibakar adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial seperti perkantoran, sekolah, pasar modern dan lain-lain serta sampah yang berasal dari industri barang dari kain konveksi. Sampah dari pasar merupakan sampah yang kurang baik untuk direduksi dengan teknologi pembakaran karena kadar air yang tinggi dan nilai kalor yang relatif rendah dibandingkan sumber lainnya. 63 Untuk timbulan sampah rumah tangga, berdasarkan dari komposisi maupun karakteristiknya, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakter timbulan sampah 20 tahun lalu. Jika dilihat dari persyaratan dalam penerapan teknologi pembakaran sampah, perubahan tersebut menuju kearah perubahan yang lebih baik yaitu terjadi peningkatan pada nilai kalor dan penurunan air yang cukup signifikan, ini terjadi karena penurunan komposisi organik dan kenaikan pada komponen kertas dan plastik, sehingga pada saat ini karakteristik sampah rumah tangga dapat dikatagorikan dalam kriteria dapat diolah dengan menggunakan insenerasipembakaran. Dari hasil pengamatan dan wawancara diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat disekitar sungai yaitu 100 m kiri kanan sungai membuang limbah domestiknya ke sungai sehingga volume limbah terutama limbah domestik di badan sungai relatif cukup besar.

D. Alasan Masyarakat Membuang Limbahnya ke Sungai

Alasan kecenderungan masyarakat di sekitar sungai untuk membuang limbah langsung ke sungai adalah: • Tidak adanya TPS di beberapa desa yang ada di sekitar DAS. • Lokasi TPS atau bak penampung limbah relatif lebih jauh daripada jarak ke sungai. • Menurut masyarakat bahwa membuang sampah ke sungai lebih cepat, murah dan tidak berdampak langsung bagi pembuang atau masyarakat yang membuang. • Tidak tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap pembuangan sampah di badan sungai. Secara sepintas hal tersebut menandakan bahwa kesadaran dan kepedulian masyarakat disekitar sungai relatif rendah terhadap kondisi sungai. Mungkin saja rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat tersebut disebabkan karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rendah juga. Akibat dari buangan sampah tersebut menyebabkan pencemaran air, pencemaran tanah dan pencemaran udara. Di beberapa daerah yang menjadi tempat menumpuknya sampah, mengeluarkan bau yang tidak sedap karena terjadi 64 pembusukan sampah, warna sungai menjadi hitam berminyak seperti warna kertas film, dan tanah di sekitar buangan atau tempat penumpukan menjadi labil atau rentan terhadap erosi. Secara langsung dan tidak langsung hal tersebut akan menyebabkan gangguan bagi manusia atau masyarakat sendiri. Terbukti dengan tingginya jumlah penderita demam berdarah, muntaber, dan penyakit kulit dan penyakit saluran pernapasan, terutama di daerah-daerah kota di sekitar sungai.

5.1.1.2. Limbah Industri A. Jenis-jenis Limbah Industri di Perairan Teluk Jakarta

Berbeda halnya dengan air buangan rumah tangga, air buangan industri mempunyai karakteristik yang sangat bervariasi antara satu jenis industri dengan jenis industri lainnya. Bahkan untuk industri yang menghasilkan produk yang sama akan tetapi menggunakan bahan baku atau proses yang berbeda dapat menghasilkan air buangan dengan karakteristik yang berbeda, terutama konsentrasi bahan yang terkandung di dalamnya. Bahan polutan yang terkandung di dalam air buangan menurut Prapto 1992, secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu bahan terapung, bahan tersuspensi dan bahan terlarut. Selain dari ketiga kategori tersebut, ada polutan lain yaitu panas, warna, rasa dan bau, serta radioaktif. Menurut sifatnya ketiga kategori bahan polutan tersebut dapat dibedakan sebagai yang biodegradable mudah terurai secara biologi dan yang nonbiodegradable. Berdasarkan studi yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat delapan kelompok besar penghasil limbah B3, tujuh diantaranya kelompok industri skala menengah dan besar, serta satu kelompok rumah sakit yang juga memiliki potensi menghasilkan limbah B3.

1. Industri tekstil dan kulit

Air buangan tekstil pada umumnya mempunyai warna yang pekat, pH, BOD, temperatur dan bahan tersuspensi yang tinggi. Kandngan BOD bervariasi antara 50 sampai 10.000 mgl tergantung pada macam atau jenis tekstil yang dihasilkan. Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil adalah penggunaan zat warna. Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr, seperti 65 senyawa Na 2 Cr 2 O 7 atau senyawa Na 2 Cr 3 O 7 . Industri batik menggunakan senyawa naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah H 2 O 2 yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik. Industri kulit menghasilkan air buangan yang mengandung padatan total, garam, sulfida, ion khrom, BOD dan kesadahan yang tinggi. BOD air buangan ini bervariasi antara 500 sampai 5.000 mgl. Beberapa tahap proses pada industri kulit yang menghasilkan limbah B3 antara lain washing, soaking , dehairing, lisneasplatting, bathing, pickling, dan degreasing. Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving, dan polishing. Proses tersebut menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan H 2 SO 4 . Hal inilah yang menjadi pertimbangan untuk memasukkan industri kulit dalam kategori penghasil limbah B3.

2. Pabrik kertas dan percetakan

Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas berasal dari proses pengambilan kembali recovery bahan kimia yang memerlukan stabilisasi sebelum ditimbun. Sumber limbah lainnya ada pada permesinan kertas, pada pembuangan blow down boiler dan proses pematangan kertas yang menghasilkan residu beracun. Setelah residu tersebut diolah, dihasilkan konsentrat lumpur beracun. Produk samping proses percetakan yang dianggap berbahaya dan beracun adalah dari limbah cair pencucian rol film, pembersihan mesin, dan pemrosesan film. Proses ini menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri persuratkabaran yang memiliki tiras jutaan eksemplar ternyata memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3. Industri kertas dan percetakan mempunyai air buangan dengan kandungan warna, bahan tersuspensi, bahan koloid, padatan terlarut dan bahan pengisi anorganik yang tinggi. Derajat keasaman pH air dapat tinggi dan rendah tergantung proses yang digunakan. BOD air buangan ini dapat mencapai 25.000 mgl, namun tidak mudah terurai dengan proses biologi konvensional karena adanya refractory contaminant yang sangat toksik terhadap mikroorganisme air. 66

3. Industri kimia besar

Industri kimia menghasilkan air buangan dengan karakteristik yang bervariasi menurut bahan kimia yang dihasilkan dan bahan baku yang dipergunakan. Air buangan pabrik asam misalnya, mempunyai pH yang rendah dan kandungan bahan organik yang rendah. Pabrik detergen menghasilkan air buangan dengan BOD dan surfaktan MBAS tinggi. Air buangan pabrik insektisida mengandung bahan organik, benzena struktur cincin dengan konsentrasi yang tinggi, bersifat asam dan sangat toksik terhadap bakteri dan ikan. Sementara, timbulnya limbah beracun dari industri pestisida bergantung pada jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah ia benar-benar membuat bahan atau hanya memformulasikan saja. Limbah cair pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur beracun sebesar 3-5 persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan cat menghasilkan beberapa lumpur cat beracun, baik air baku water-base maupun zat pelarut solvent-base. Sedangkan industri tinta menghasilkan limbah terbesar dari dari pembersihan bejana-bejana produksi, baik cairan maupun lumpur pekat. Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah B3, yang antara lain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan pengawet kayu, pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen, dan sabun.

4. Industri farmasi

Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua subkelompok, yaitu subkelompok pembuat bahan dasar obat dan subkelompok formulasi dan pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah subkelompok kedua yang tidak begitu membahayakan. Tetapi limbah industri farmasi yang memproduksi antibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa. Industri farmasi umumnya menghasilkan air buangan yang mempunyai kandungan bahan organik terlarut dan tersuspensi dengan konsentrasi yang tinggi, termasuk vitamin-vitamin. 67

5. Industri logam dasar

Industri logam dasar non-besi menghasilkan limbah padat dari pengecoran, percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat beracun sebesar 3 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam untuk keperluan rumah tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak dapat diolah di lokasi pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga terdapat cairan pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnya masuk kategori limbah B3.

6. Industri perakitan kendaraan bermotor

Kelompok ini meliputi perakitan kendaraan bermotor seperti mesin, diesel, dan pembuatan badan kendaraan karoseri. Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam bondering dan pengecatan yang mengandung logam berat seperti Zn dan Cr.

7. Industri baterai kering dan aki

Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya berasal dari proses filtrasi. Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses penyegelan. Industri aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena menggunakan H 2 SO 4 sebagai cairan elektrolit.

8. Rumah sakit

Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair, bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat- obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik dapat mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan bersifat radioaktif. Dalam kehidupan yang dinamis ini, saat limbah industri yang semakin bertambah maka perubahan tersebut sangat perlu untuk diperhitungkan. 68 Menurut Shuval 1977, setiap pertambahan limbah industri akan memerlukan penanganan yang lebih karena energi yang dikeluarkan oleh limbah industri terutama yang memberikan dampak negatif maka biaya yang dikeluarkan untuk penanganannya akan semakin besar karena termasuk didalamnya biaya penanganan untuk dampak sosial, karena selama ini banyak dari pihak industri tidak pernah memperhitungkan secara detil kerugian yang ditimbulkan dari dampak sosial tersebut, sehingga dalam hal ini dampak penanganan merupakan salah satu faktor yang harus dievaluasi secara hati-hati. Selama ini sangat sulit mengetahui secara persis, berapa jumlah limbah B3 yang dihasilkan suatu industri, karena pihak industri enggan melaporkan jumlah dan karakter limbahnya. Padahal, kejujuran pihak industri untuk melaporkan secara rutin jumlah dan karakter limbahnya merupakan informasi berharga untuk menjaga keselamatan lingkungan bersama. Keengganan mereka berawal dari biaya pengolahan limbah yang terlampau mahal, sehingga yang terjadi adalah menghindari keharusan melakukan pengolahan. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan yang tidak terlampau menekan industri, agar industri terangsang untuk mengolah limbahnya sendiri.

B. Industri dan Sumber Dampak

Munculnya konsep ekonomi berkelanjutan ataupun pembangunan berkelanjutan tidak lain didasari pada berbagai dampak yang telah dimunculkan terhadap lingkungan akibat berbagai aktivitas manusia. Kenyataan bahwa pembangunan tidak selalu memberikan keuntungan bagi umat manusia dan lingkungan terus dirasakan. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan No Jenis Kegiatan Dampak Pada Air 1. Kimia Penggunaan proses pengolahan air dan colling water . Emisi dari kimia organik, logam berat cadmium, mercury , suspensi-suspensi padat, bahan-bahan organik dan PCBs, dan resiko tumpahan-tumpahan produk kimia tertentu. 2. Pulp dan Kertas Penggunaan air proses. Emisi dari suspensi padat, bahan-bahan organik, chloronated organik substance, toxins dioxins 69 Tabel 17 lanjutan. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan No Jenis Kegiatan Dampak Pada Air 3. Penambangan logam dan mineral Kontaminasi terhadap air permukaan dan tingginya kandungan asam air akibat kontaminasi dari berbagai logam berbahaya arsenic, timah, cadmium. Kontaminasi penggunaan bahan kimia dalam proses ekstraksi logam. 4 Besi dan baja Penggunaan air proses. Emisi dari material organik tars dan minyak, suspensi-suspensi padat, logam, benzena, fenol, asam sulfit, sulfat, trioktan, trisulfat, fluorida, timah seng scruber effluent 5 Logam-logam non-besi Air-air pencucian yang telah terkontaminasi logam, gas-gas efluen, bahan-bahan padat dan hidrokarbon 6 Kulit dan penyamakan Proses yang menggunakan air. Efluen dari berbagai penggunaan bahan-bahan toksik yang mengandung suspesi padat, sulfat dan krom. 7 Industri farmasi Limbah industri farmasi yang memproduksi antibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa. 8 Industri perakitan kendaraan bermotor Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai non-B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam bondering dan pengecatan yang mengandung logam berat seperti Zn dan Cr. 9 Industri baterai kering dan aki Industri aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena menggunakan H 2 SO 4 sebagai cairan elektrolit. 70 Tabel 17 lanjutan. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan No Jenis Kegiatan Dampak Pada Air 10 Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair,bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat- obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik bisa mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan bersifat radioaktif. Sumber : World Healt Organization 1977

5.1.1.3. Limbah Pasar

A. Komposisi dan Karakteristik Sampah Pasar

Karakterisasi sampah pasar pada bagian hilir khususnya di wilayah DKI Jakarta pada umumnya buangan limbah hasil kegiatan pasar tidak ada perlakuan lagi. Pembuangan limbah ke sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta akan berpengaruh pula pada kualitas air Teluk Jakarta Gambar 18. TELUK JAKARTA PASAR SUNGAI Gambar 18. Alur pencemaran Teluk Jakarta Peningkatan komposisi sampah pasar dan komersial lainnya selengkapnya tersaji pada Tabel 18. 71 Tabel 18. Proyeksi komposisi sampah pasar dan komersial tahun 2005 Persentase Jenis Sampah 1986 1995 2005 Pertumbuhan10 Tahun Plastik Kertas Tekstil Kayudaun Garbage Lain-lain 13 25 3 7 28 14 15 27 3 6 25 12 17 30 3 5 21 9 2 1 -1 -1 - Subtotal 90 88 85 - Logam Beling Batu 4 5 1 5 6 1 7 7 1 5 3 - Subtotal 10 12 15 - Total 100 100 100 Kandungan air Volatine Kandungan abu CN ratio Nilai kalori rendah kcalkg 48 36 16 35 1,600 46 37 17 36 1,700 43 39 18 37 1,800 -3 - - - - Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Peningkatan komposisi sampah pasar dan komersial lainnya berupa bahan plastik mengalami peningkatan sekitar 2 dalam kurun waktu 10 tahun, dimana pada tahun 1986 berkisar 13, 15 pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 17 pada tahun 2005, yang berarti bahwa volume bahan pencemar plastik mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin banyaknya bahan makanan kemasan instan yang menggunakan plastik sebagai pembungkus makanan dan bahan komersial lainnya. Hal tersebut juga seiring dengan peningkatan kuantitas dan kualitas hidup masyarakat kota yang lebih praktis, simpel dan cepat. Kondisi yang demikian secara langsung memberikan kontribusi terhadap peningkatan volume bahan pencemaran. Bahan lainnya yang juga mengalami peningkatan yakni berupa kertas sebanyak 1 dalam kurun waktu 10 tahun, dimana pada tahun 1986 volume bahan pencemar dari kertas sekitar 25 bertambah menjadi 27 pada tahun 1995 dan sekitar 30 pada tahun 2005. hal tersebut dapat terjadi seiring peningkatan kebutuhan masyarakat kota besar yang berbanding lurus dengan jumlah sampahsisa bahan tersebut. Sedangkan untuk bahan seperti tekstil, kayu, garbage dan bahan lainnya tidak mengalami peningkatan dan bahkan ada beberapa bahan yang mengalami penurunan volume. Hal ini, dapat disebabkan semakin praktisnya 72 kehidupan masyarakat kota, sehingga penggunaan bahan-bahan seperti tekstil, kayu dan bahan lainnya tidak lagi memberikan sisagarbage, dengan demikian mengurangi beban pencemaran dari bahan-bahan tersebut. Untuk bahan pencemar seperti logam dan beling juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya volume bahan pencemar, yakni pada tahun 1986 berkisar 4, dan 5 pada tahun 1995, serta pada tahun 2005 meningkat menjadi 7, dan untuk bahan beling pada tahun 1986 sekitar 5, pada tahun 1995 sekitar 6 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 7. Hal tersebut, disebabkan oleh banyaknya penggunaan kedua bahan tersebut, sehingga sisa bahan yang digunakan akan memberikan kontribusi terhadap pencemaran. Namun bila melihat komposisi sampah yang terjadi di DKI Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan komposisi untuk bahan-bahan seperti plastik, kertas, kayu dan garbage yakni pada tahun 1986 nilai komposisinya sekitar 90, pada tahun 1995 sekitar 88, dan menurun hingga menjadi 85 pada tahun 2005. Hal sebaliknya justru terjadi peningkatan pada komposisi bahan pencemaran seperti logam, beling dan batu yang mengalami peningkatan komposisi yakni pada tahun 1986 hanya berkisar 10, pada tahun 1995 menjadi 12, dan meningkat secara tajam pada tahun 2005 yakni berkisar 15. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa terjadi pergeseran pemanfaatan dan penggunaan bahan-bahan kebutuhan masyarakat, yang semula banyak mengkonsumsi bahan- bahan seperti kayu berganti ke arah bahan-bahan logam dan beling. Namun khusus untuk kertas dan plastik tidak mengalami penurunan, tapi bahkan mengalami peningkatan yang cukup berarti. Penggunaan bahan-bahan seperti plastik, kertas, logam dan beling merupakan karakteristik masyarakat kota yang cenderung praktis, simpel dan instan. Perbandingan persentase proyeksi dan komposisi sampah pasar di DKI Jakarta dari tahun 1986, 1995 dan 2005 dapat dilihat pada Gambar 19. 73 Persentase Proyeksi Komposisi Sampah Pasar DKI Jakarta 2005 34.11 31.01 34.88 Tahun 1995 Tahun 2005 Tahun 1986 Persentase Proyeksi Komposisi Sampah Pasar Logam, Beling, Batu di DKI Jakarta 32.43 40.54 27.03 Tahun 2005 Tahun 1986 Tahun 1995 Gambar 19. Perbandingan persentase proyeksi dan komposisi sampah pasar di DKI Jakarta dari tahun 1986, 1995 dan 2005 Komposisi rata-rata sampah yang bersumber dari pasar yang didasarkan pada 2 dua penggolongan seperti terlihat pada Tabel 19 yakni bahan organik seperti; sisa makanan, daun dll sekitar 83,69 dan bahan anorganik seperti; kertas, kayu, plastik, kain, karet, logam, beling, sampah bongkahan dan sampah B3 sekitar 16,31. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa bahan-bahan pencemaran sangat didominasi oleh bahan organik seperti sisa makanan dan daun- daunan yang jatuh. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi masyarakat perkotaan sangat tinggi, terutama konsumsi bahan makanan. Kondisi yang demikian didorong oleh pilihan hidup yang lebih praktis dengan banyaknya restoran, hotel dan rumah makan yang dibuka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, sehingga secara langsung akan memberikan beban pencemar berupa sisa-sisa makanan. 74 Tabel 19. Komposisi sampah rata-rata dari sumber pasar di DKI Jakarta tahun 2005 No. Komponen Pasar 1 Organik sisa makanan, daun, dll 83,69 2 Anorganik 16,31 2.1. Kertas 5,15 2.2. Plastik 9,66 2.3. Kayu 0,12 2.4. Kaintekstil - 2.5. Karetkulit tiruan 0,14 2.6. Logammetal 0,29 2.7. Gelaskaca - 2.8. Sampah bongkahan - 2.9. Sampah B3 0,12 2.10. Lain-lain batu, pasir dll 0,82 Total 100 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Gambar 20 memperlihatkan bahwa komposisi rata-rata sampah pasar di DKI Jakarta tahun 2005 tersebut lebih banyak berasal dari bahan organik yaitu sebesar 86,69, sedangkan sampah yang bersumber dari bahan anorganik sebesar 16,31. Sampah organik ini paling banyak merupakan sampah yang berasal dari kegiatan rumah tanggadomestik berupa sisa makanandedaunan yang diangkut dan dibuang ke pasar maupun sisa hasil pertanian yang tidak terjual Tabel 20. Komposisi Sampah Rata-Rata dari Sumber Pasar di DKI Jakarta 2005 86.69 16.31 Bahan Organik Bahan Anorganik Gambar 20. Komposisi rata-rata sampah pasar di DKI Jakarta tahun 2005 75 Tabel 20. Komposisi sampah rata-rata di DKI Jakarta Persentase No. Komponen Total Daur Ulang Dibuang 1 Organik sisa makanan, daun, dll 55,37 - 55,37 2 Anorganik 44,63 19,95 24,68 2.1. Kertas 20,57 7,32 13,15 2.2. Plastik 13,25 6,85 6,40 2.3. Kayu 0,07 0,07 - 2.4. Kaintekstil 0,61 0,61 - 2.5. Karetkulit tiruan 0,19 0,19 - 2.6. Logammetal 1,06 1,06 - 2.7. Gelaskaca 1,91 1,91 - 2.8. Sampah bongkahan 0,81 0,81 - 2.9. Sampah B3 1,52 - 1,52 2.10. Lain-lain batu, pasir dll 4,65 - 4,65 Total 100 19,95 80,05 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Komposisi sampah pasar dari bahan-bahan anorganik rata-rata yang mengalami proses daur ulang recycle hanya berkisar 19,95, sedangkan sampah yang berasal dari bahan-bahan organik seperti makanan dan dedaunan tidak ada yang mengalami proses daur ulang, tetapi semuanya langsung dibuang yakni sekitar 55,37, dan untuk bahan anorganik yang dibuang sekitar 24,68. Namun bila dihitung secara keseluruhan, sesungguhnya sampah-sampah yang mengalami proses daur ulang sangat sedikit yakni hanya sekitar 19,95, bila dibandingkan dengan sampah-sampah yang langsung dibuang dan menjadi pencemar mencapai 80,05. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pencemaran baik berupa bau, sanitasi maupun gangguan kesehatan lainya. Untuk lebih mudah melihat gambaran komposisi jumlah sampah total di DKI Jakarta tahun 2005 data disajikan pada Gambar 21. 76 Komposisi Sampah Total Sumber di DKI Jakarta 2005 55.37 24.68 Bahan Organik Bahan Anorganik Gambar 21. Komposisi jumlah sampah total di DKI Jakarta Tahun 2005 Gambar 21 di atas memperlihatkan bahwa jumlah jenis sampah organik tetap paling besar yaitu sebesar 55,37 bila dibandingkan dengan sampah anorganik yang sebesar 24,68 dari seluruh sampah yang dibuang di wilayah DKI Jakarta. Sampah organik ini paling banyak merupakan sampah yang berasal dari kegiatan rumah tanggadomestik dan pasar berupa sisa makanandedaunan maupun hasil pertanian tanaman pangan yang tidak dikonsumsi Tabel 21. Tabel 21. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber pencemar Hasil Analisa Sumber Sampah Kadar Air Kadar Abu Nilai Kalor kkalkg Pasar Modern 36,59 17,13 2102 Pasar Tradisional 56,58 10,26 17,78 Pemukiman 45,93 16,24 2072 Perkantoran 23,17 17,60 2434 Industri 23,73 11,93 3553 Sekolahan 31,31 13,92 3248 Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Berdasarkan Tabel 21, untuk sumber pencemar yang berasal dari pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern seperti pertokoan dan mall, diperoleh hasil analisa laboratorium dan lapangan bahwa nilai kalor dan kadar air sampah mengalami perbedaan. Nilai kadar air dan kadar abu diamati dalam pencemaran dikarenakan kedua kadar tersebut dapat larut di dalam air. Untuk pasar modern kadar airnya sekitar 36,59 lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar air sampah yang berasal dari pasar tradisional. Hal ini dapat dimaklumi dan 77 dipahami bahwa pada umumnya sampah-sampah yang berasal dari pasar-pasar tradisional lebih didominasi oleh bahan-bahan makanan pokok yang tidak mengalami perlakuan teknologi yang baik, sehingga kandungan airnya akan melimpah menjadi sampah. Pada tabel tersebut terlihat tidak seluruh persentase mencapai 100 karena sisa dari persentase yang tidak termasuk dapat berupa plastik, besi dan lain-lain. Seperti pada pasar modern mall umumnya wadah makanan berupa plastik atau sejenisnya. Sedangkan untuk pasar tradisional jarang sekali penggunaan bahan-bahan tersebut sehingga kadar airnya lebih banyak. Kegiatan aktivitas di pasar tradisional dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Aktivitas kegiatan di pasar tradisional Hal ini berbeda dengan pasar-pasar modern seperti mall atau swalayan, dimana bahan makanan tersebut mengalami perlakuan teknologi yang baik seperti freezer , kulkas maupun pemanas. Sedangkan untuk nilai kalor sampah yang berasal dari pasar modern lebih tinggi yakni berkisar 2102 kkalkg, bila dibandingkan dengan nilai kalor sampah yang bersumber dari pasar tradisional yakni hanya berkisar 17,78 kkalkg. Hal ini disebabkan oleh mutu atau kualitas bahan-bahan makanan yang bersumber dari pasar-pasar modern lebih baik, dibandingkan dengan mutu bahan makanan yang bersumber dari pasar tradisional, sehingga sisa-sisa bahan makanan tersebut yang menjadi sampah juga mengalami 78 perbedaan kualitas terutama dari segi kalori. Data komposisi sampah pada pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Komposisi sampah pasar tradisional Persentase No. Komponen Total Daur Ulang Dibuang 1 Organik sisa makanan, daun, dll 83,69 - 83,69 2 Anorganik 16,31 8,67 7,63 2.1. Kertas 5,15 3,06 2,09 2.2. Plastik 9,66 5,06 4,60 2.3. Kayu 0,12 0,12 0,00 2.4. Kaintekstil - - - 2.5. Karetkulit tiruan 0,14 0,14 - 2.6. Logammetal 0,29 0,29 - 2.7. Gelaskaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 0,12 - 0,12 2.10. Lain-lain batu, pasir dll 0,82 - 0,82 Total 100 8,67 91,32 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Komposisi timbulan sampah pasar tradisional yang berasal dari bahan organik seperti; sisa makanan, dedaunan dan lain-lain berkisar 83,69, dan sekitar 16,31 yang merupakan timbulan sampah anorganik berupa kertas, plastik, kayu, kaintekstil, karet, logam, kaca, sampah bongkahan dan sampah B3 bahan berbahaya dan beracun. Berdasarkan komposisi sampah yang telah mengalami proses atau daur ulang, baru sekitar 8,67 dan masih terdapat sekitar 91,32 sampah baik bahan organik maupun anorganik belum mengalami proses daur ulang. Kondisi ini memberikan dampak yang buruk terutama bagi kesehatan lingkungan dan manusia. Apabila kapasitas asimilasi assimilation capacities lingkungan telah mencapai batas toleransi, maka timbulan-timbulan sampah tersebut akan menjadi pencemar. Untuk melihat perbandingan antara sampah yang di daur ulang dan yang dibuang pada pasar tradisional dapat dilihat pada Gambar 23. 79 Pengelolaan Sampah Pasar Tradisional di DKI Jakarta 8.67 91.32 di daur ulang di buang Gambar 23. Pengelolaan sampah pasar modern di DKI Jakarta Komposisi sampah yang berasal dari pertokoan modern seperti mall, plaza, restauran dan rumah makan, terdiri dari bahan organik sisa makanan, dedaunan dan lain-lain sekitar 45,5 dan bahan anorganik sekitar 54,5. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi sampah yang bersumber dari pertokoan modern lebih didominasi oleh bahan anorganik seperti kertas 26,06, plastik 12,10, gelas 7,24, kayu 4,03, batu, kerikil dan pasir 2,61, kaintekstil 1,49, logammetal 0,82 dan B3 sekitar 0,15. Komposisi tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Komposisi sampah pertokoan modern Persentase No. Komponen Total Daur ulang Dibuang 1 Organik sisa makanan, daun, dll 45,5 0,00 45,5 2 Anorganik 54,5 39,04 15,46 2.1. Kertas 26,06 16,72 9,34 2.2. Plastik 12,10 8,74 3,36 2.3. Kayu 4,03 4,03 0,00 2.4. Kaintekstil 1,49 1,49 - 2.5. Karetkulit tiruan - - - 2.6. Logammetal 0,82 0,82 - 2.7. Gelaskaca 7,24 7,24 - 2.8. Sampah bongkahan - - - 2.9. Sampah B3 0,15 0,00 0,15 2.10. Lain-lain batu, pasir dll 2,61 0,00 2,61 Total 100 39,04 60,96 Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 80 Sedangkan komposisi sampah pertokoan yang telah mengalami prosessing atau pendaurulangan sekitar 39,04 dan masih ada sekitar 60,69 yang belum di daur ulang. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka tidak mungkin kesehatan lingkungan dan manusia akan terganggu dengan semakin bertambahnya volume sampah setiap harinya. Untuk melihat perbandingan antara sampah yang di daur ulang dan yang dibuang pada pasar modern dapat dilihat pada Gambar 24. Pengelolaan Sampah Pasar Modern di DKI Jakarta 39.04 60.96 di daur ulang di buang Gambar 24. Pengelolaan sampah pasar modern di DKI Jakarta

5.1.2. Sumber di Sepanjang Pantai Pantura Jakarta

Kualitas perairan Teluk Jakarta selain dipengaruhi oleh kualitas air sungai yang bermuara di Teluk Jakarta juga dipengaruhi oleh kegiatan di sepanjang pantai utara Jakarta. Aktivitas kegiatan di pantai utara Jakarta seperti banyaknya pelabuhan-pelabuhan di DKI Jakarta memberikan kontribusi juga terhadap pencemaran Teluk Jakarta. Kegiatan aktivitas pelabuhan di pantai utara Jakarta dapat dilihat pada Gambar 25, dan kegiatan aktivitas nelayan di pantai utara Jakarta dapat dilihat pada Gambar 26. 81 Gambar 25. Kegiatan aktivitas pelabuhan di pantai utara Jakarta Gambar 26. Kegiatan aktivitas nelayan di pantai utara Jakarta Berikut ini Tabel 24 adalah kegiatan, kondisi lingkungan dan sumber pencemaran yang terjadi di kawasan Pantura Jakarta yang dimulai dari Pantai Indah Kapuk sampai Kawasan Marunda yang merupakan salah satu kegiatan dari Bapedalda DKI Jakarta 1999. Tabel 24. Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta LokasiKegiatan Kondisi Sumber Pencemaran Pantai Wisata Marunda Rumah Si Pitung dan Mesjid Si Pitung - terjadi abrasi pantai - pemukiman kumuh - sanitasi buruk - perubahan lingkungan di sekitar muara sungai perumahan, tambak - limbah MCK dan limbah padat dari pemukiman plastik, perahu rusak dan kayu - Kali Blencong 82 Tabel 24 lanjutan. Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran LokasiKegiatan Kondisi Sumber Pencemaran di Teluk Jakarta Pelabuhan Marunda - kegiatan b uat kayu, - san - lim - ngkar muat dan oli ongkar m minyak goreng dan pasir laut kelembagaan berada di bawah adpel Sunda Kelapa, pengelolaannya Kawa Berikat Nusantara cabang Marunda bah MCK sekitar pelabuhan kegiatan bo kapal serta kayu-kayu Kawasan Berikat diperuntukkan sebagai - dari - h baik - limbah MCK dari perkantoran - dari Kawasan sekitar sebagai Muara Cakung Drain - hu - oli bekas dari kapal perahu - an - Kawasan Pantai - lokasi pemukiman nelayan - ncaharian sebagai KK limbah MCK dari pemukiman Pelabuhan ok sebagian pelabuhan untuk lau - u - dal, - perairan man - kegiatan bongkar muat, - estik - Pelabuhan Sunda pelabuhan untuk kapal motor, - n terdapat - sisa-sisa oli dan minyak dari - padat dari - yang Nusantara - kawasan pergudangan kegiatan yang dominan adalah angkutan barang dan ke kawasan penghijauan suda dan pergudangan pencemaran udara kegiatan transportasi Muara Cakung Drain - yang mengatasi hempasan air di kawasan Jakarta Timur merupakan pelabuhan pera layar motor dari nelayan, hal ini menyebabkan aliran air sungai terhambat nelayan yang dibuang ke sungaiperairan laut sampah dari pemukim dibuang langsung ke laut penimbunan pasir laut di sepanjang Kanal Cakung Drain Cilincing yang cukup padat dan tidak teratur mata pe peternak kerang hijau 200 - - limbah industri yang berlokasi di hulu Kalibaru Tanjung Pri - bongkar muat barang dan sebagai pelabuhan transportasi antar pu pengelola pelabuhan yait adpel Tanjung Priok pelabuhan II sudah mempunyai dokumen am RKL, RPL kondisi fisik berwarna kehitam-hita dan masih terlihat sampah pencucian tangki kapal limbah dari kegiatan dom industri di sekitar pelabuhan limbah yang terbawa sungai yang masuk ke pelabuhan Kelapa - kapal layar bermotor dan kapal penumpang di sekitar pelabuha pemukiman kumuh dan padat kegiatan kapal limbah cair dan kegiatan pemukiman limbah padat dan cair terbawa oleh aliran Kali Opak 83 Tabel 24 lanjutan. Jenis kegiatan yang meny LokasiKegiatan Kondisi Sumber Pencemaran ebabkan pencemaran di Teluk Jakarta Pelabuhan perikanan Samudera M Baru uara - pelabuhan pal motor, i - sis ri - padat dari untuk ka kapal layar bermotor dan kapal perikanan samudra d sekitar pelabuhan terdapat pengolahan hasil tangkapan perikanan samudra a-sisa oli dan minyak da kegiatan kapal limbah cair dan kegiatan pelabuhan Pelelangan Ikan tempat kegiatan pelelangan - ayan - limbah MCK penduduk - ian - n Cagar Alam - lokasinya berada di sebelah - tumbuhi hnya - atwa - limbah MCK dari yan di - i uk gke - at dan limbah cair - Pantai Indah - kawasan seluas 800 ha, sudah - Jl. - n untuk h dan air - elaksanakan amdal, limbah padat dan cair yang ang - tanggul utan Pelabuhan merupakan pelabuhan kapal - ah i - sampah dari kegiatan bongkar - ah dan limbah MCK dari - Muara Angke - ikan dan pasar pemukiman nel sekitar pelanggan limbah cair pencuc kegiatan pelelangan limbah dari pasar ika Muara Angke timur PIK dan sebelah barat Kali Angke umumnya di mangrove yang tumbu tidak terlalu baik masih ditemukan s seperti ular, biawak dll secara visual kondisi lingkungan tercemar - perkampungan nela sepanjang Kali Angke berkurangnya lebar Kal Angke karena dipakai unt sandar perahu nelayan sehingga aliran Kali An terganggu limbah pad yang terbawa Kali Angke rusaknya hutan mangrove disebabkan banyak limbah plastik tertahan di mangrove Kapuk PIK terbangun seluas 400 ha lokasinya di sebelah utara Tol Bandara dan sebelah barat Cengkareng Drain lahan yang terbangu lapangan golf, perumahan, rumah sakit, sarana pengolahan air limba bersih sudah m RKL, RPL - terbawa oleh aliran Cengkareng Drain y berasal dari luar kawasan bermuara di PIK adanya pembuatan dan pengurugan tambak menyebabkan rusaknya h mangrove Kalibaru - motor dan kapal layar motor yang memuat kayu dan barang-barang lainnya kondisi fisik lautnya sud berwarna hitam dan dipenuh sampah muat belum ditangani dengan baik samp pemukiman sekitar pelabuhan tumpahan minyak dan oli dari kapal dan kegiatan perbaikan kapal di pelabuhan Sumber : Aboejowono 2000 84 Selain itu pantai utara Jakarta sebagian besar dimanfaatkan oleh aktivitas pelab uhan, yang kemudian diikuti pemanfaatan lahan oleh perumahan nelayan. Sedangkan untuk aktivitas lainnya seperti hutan lindungmangrove, PLTGU, perumahan, industri dan rekreasi. Untuk lebih jelasnya pemanfaatan pantai utara Jakarta oleh berbagai aktivitas dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27. Pemanfaatan p Oleh : IRMAN FIRMANSYAH P0 52040261 Sumber Peta : BPLHD DKI Jakarta antai utara Jakarta 85 5.2. Status Kualitas Perairan, Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi 5.2.1. Status Kualitas Muara Sungai dan Perairan Teluk Jakarta Penentuan status kualitas muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta dan perairan Teluk Jakarta dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi berbagai parameter kualitas air muara sungai dan juga kualitas perairan Teluk Jakarta dengan baku mutu yang berlaku di Indonesia, untuk kualitas muara sungai baku mutu yang digunakan adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air SungaiBadan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta sedangkan untuk kualitas perairan Teluk Jakarta baku mutu yang digunakan adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Data beberapa parameter kualitas muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Status kualitas muara sungai di Teluk Jakarta Lokasi Titik Pengamatan Parameter Satuan Baku Mutu 42 22 6 27 32 Fisik DHL µhoscm 1.000 696,10 940,98 295,67 6856,27 26730,39 TDS mgL 1.000 701,22 2405,34 173,63 4422,51 18087,91 TSS mgL 200 45,00 38,49 19,33 33,02 16,34 DO mgL 3 - - 0,95 - - Suhu 0C 29,28 29,85 28,37 31,75 31,25 Kekeruhan NTU 41,04 59,61 19,67 30,24 75,18 Kimiawi Hg mgL 0,0005 0,0009 0,0008 Besi Total mgL 2 0,34 0,67 0,72 0,29 0,15 Mn mgL 1 0,30 0,86 0,26 1,73 0,48 pH 6,0-8,5 8,02 6,82 6,43 6,77 7,14 PO4 mgL 0.5 1,79 1,12 1,21 2,21 1,47 Zn mgL 1 0,115 0,02 0,035 0,02 0,02 SO4 mgL 100 128,72 74,86 20,88 172,14 718,89 Cu mgL 0,1 MBAS mgL 0,5 1,93 1,12 0,13 2,20 0,92 KMnO4 mgL 25 92,73 28,53 22,25 91,86 62,25 BOD mgL 20 63,01 29,36 13,42 69,41 52,24 COD mgL 30 134,46 78,59 34,84 267,58 193,46 Natrium mgL 50 253,30 223,14 35,66 948,79 1105,65 Mikrobiologi Coliform Jmlh100ml 2,00E+04 3,03E+07 8,98E+07 1,10E+07 2,99E+09 3,29E+08 Fecal Coli Jmlh100ml 4,00E+04 1,83E+07 1,58E+07 2,48E+06 8,43E+08 1,50E+08 86 Tabel 25 lanjutan. Status kualitas muara sungai di Teluk Jakarta Lokasi Titik Pengamatan Parameter Satuan Baku Mutu 30 34 13 38 38 A Fisik DHL µhoscm 1.000 2757,50 2717,25 1888,31 3575,20 29450,00 TDS mgL 1.000 1889,33 2118,26 1052,25 1832,13 20800,00 TSS mgL 200 12,33 161,56 123,35 40,83 10,00 DO mgL 3 0,29 0,23 33,00 0,04 - Suhu 0C 31,82 30,60 29,20 32,65 30,80 Kekeruhan NTU 48,33 106,94 27,39 24,02 20,25 Kimiawi Hg mgL 0,0005 0,0006 0,00085 0,0010 0,001 Besi Total mgL 2 0,265 0,185 0,45 0,485 0,120 Mn mgL 1 0,30 1,46 2,40 1,77 0,22 pH 6,0-8,5 7,27 7,27 6,71 7,20 7,50 PO4 mgL 0,5 1,84 2,47 1,67 1,76 0,50 Zn mgL 1 0,06 0,03 0,02 0,03 0,03 SO4 mgL 100 137,62 72,19 102,48 74,20 1457,04 Cu mgL 0,1 0,01 MBAS mgL 0,5 1,74 2,04 1,39 1,32 0,81 KMnO4 mgL 25 31,30 82,04 66,75 84,63 89,23 BOD mgL 20 21,00 80,02 49,52 67,85 33,00 COD mgL 30 73,72 135,12 96,86 124,10 263,58 Natrium mgL 50 654,55 230,05 363,35 1044,55 - Mikrobiologi Coliform Jmlh100ml 2,00E+04 1,56E+07 5,14E+08 9,36E+10 3,02E+09 6,75E+05 Fecal Coli Jmlh100ml 4,00E+04 7,23E+06 2,31E+08 4,72E+09 1,75E+09 4,25E+05 Sumber : BPLHD, 2005 Berdasarkan data pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa pada umumnya 65,48 parameter kualitas air pada seluruh lokasi pengamatan sudah melampaui baku mutu air sungaibadan air serta baku mutu limbah cair di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Data Kualitas air muara sungai seluruh lokasi pengamatan dari tahun 2000-2005 dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 10. Untuk parameter-parameter yang digunakan dalam penghitungan kapasitas asimilasi antara lain TDS, TSS, Mn, PO 4 , Zn, SO 4 , MBAS, KMnO 4 , BOD, dan COD ditentukan karena kelengkapan data yang ada secara time series mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Dari data di atas dapat dilihat pada parameter COD semua lokasi titik pengamatan sudah melampaui baku mutu; untuk parameter PO 4 , MBAS, KmnO 4 , dan BOD yang sudah melebihi baku mutu yang ditentukan yaitu sebanyak sembilan titik lokasi pengamatan dari sepuluh titik 87 lokasi yang diamati; untuk parameter TDS yang melebihi baku mutu sebanyak delapan dari sepuluh titik lokasi pengamatan; untuk parameter SO 4 yang melebihi baku mutu sebanyak enam dari sepuluh titik lokasi pengamatan; sedangkan untuk Mn hanya empat dari sepuluh titik lokasi pengamatan; dan untuk TSS belum ada yang melebihi baku mutu yang ditentukan. Untuk kualitas perairan Teluk Jakarta sendiri dibagi menjadi tiga stasiun pengamatan antara lain stasiun 1, diambil dengan jarak dari pantai sekitar 50 m, hal ini dianggap dapat mewakili kualitas perairan yang masih sangat tinggi dipengaruhi oleh aktivitas dari darat, baik dari kualitas perairan sungai maupun kegiatan yang ada di sekitar pantai utara Jakarta; stasiun 2, diambil dengan jarak 500 m dari pantai, kualitas perairan yang ada di posisi ini dianggap dapat mewakili atau perpaduan kualitas perairan yang dipengaruhi oleh perairan pinggir pantai dan perairan laut sendiri; sedangkan stasiun 3, diambil pada jarak 1 km dari pantai, hal ini diharapkan kualitas perairan yang ada tidak begitu terpengaruh dari aktivitas darat dan kegiatan sekitar pantai tetapi hanya dipengaruhi oleh aktivitas di laut sendiri. Berdasarkan data pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa pada umumnya setiap parameter yang diamati di setiap stasiun menunjukkan nilai konsentrasi yang sudah melampaui ambang batas baku mutu yang diperbolehkan untuk perairan pelabuhan berdasarkan Kep-Men LH 512004, kecuali suhu air, salinitas, TSS, pH, BOD dan NH 3 yang masih di bawah baku mutu stasiun 1; suhu air, salinitas, pH, BOD, COD, NH 3 dan TSS stasiun 2, sedangkan di stasiun 3 yang masih di bawah baku mutu yaitu suhu air, salinitas, pH, BOD, COD, NH 3 , TSS dan kekeruhan. Melihat dari keadaan tersebut dapat dinyatakan pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta disebabkan oleh berbagai sumber baik dari limbah domestik limbah organik, dari limbah industri limbah anorganik, maupun dari erosi tanah. Pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah domestik dicerminkan berupa tingginya nilai Nitrat dan Fosfat, pencemaran akibat limbah industri dicerminkan oleh tingginya konsentrasi Timbal, dan pencemaran akibat erosi tanah ditunjukkan oleh tingginya konsentrasi TSS. TSS pada stasiun 2 dan 3 masih dibawah baku mutu karena pencemaran akibat erosi di landbase tidak begitu tinggi sehingga 88 dampak dari erosi tersebut terhadap kualitas air laut tidak sampai pada stasiun 2 dan 3. Status kualitas perairan pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Status kualitas perairan Teluk Jakarta Parameter Baku Mutu Stasiun 1 Baku Mutu Stasiun 2 Stasiun 3 Kedalaman m 4,044444 5,361111 6,666667 Suhu Air °C 28-32 30,80556 28-32 30,80556 30,72222 Kecerahan m 3 1,314167 6 1,629444 2,006944 Kekeruhan NTU 5 11,75035 5 6,361303 4,444792 Salinitas ‰ 33-34 30,03704 33-34 30,10185 30,21296 TSS mgL 80 24,56294 20 17,41783 13,50478 pH 6,5-8,5 7,528056 7-8,5 7,739444 7,898333 DO mgL 5 5,113926 5 5,369222 5,44487 BOD mgL 10 4,38 10 5,177778 5,105556 TOM mgL 30 179,734 30 190,6883 180,8366 NO 3 mgL 0,008 0,156494 0,008 0,198197 0,192375 NH 3 mgL 0,3 0,201642 0,3 0,205575 0,206833 PO 4 mgL 0,015 0,133344 0,015 0,109511 0,102997 Total Pospat mgL 0,015 0,1131 0,015 0,078372 0,0735 H 2 S mgL 0,03 7,020333 0,03 10,30017 21,1 Pb air 0,05 0,093708 0,005 0,101142 0,093258 Cd air 0,01 0,031267 0,002 0,032831 0,030876 Pb sedimen 0,05 12,24156 0,005 17,00417 21,79538 Cd sedimen 0,01 0,286333 0,002 0,309667 0,360833 COD 200 220,1044 200 193,408 198,12

5.2.2. Analisis Beban Pencemaran Teluk Jakarta

Beban pencemaran dihitung untuk mengetahui dan mengidentifikasi sumber pencemaran, jenis pencemar dan besarnya beban pencemaran yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta. Secara umum sumber pencemaran yang masuk ke dalam perairan laut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : limbah rumah tangga domestik, limbah industri dan limbah pasar. Beban pencemaran dihitung berdasarkan perkalian antara debit air sungai dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti. Sedangkan yang dimaksud dengan beban pencemaran total yang berasal dari darat landbased sources yang berasal dari 10 muara sungai yang berada di DKI Jakarta yang mengalir ke Teluk Jakarta. Beban pencemaran yang diamati adalah beban pencemaran mulai dari tahun 2000-2005 pada masing-masing sungai Lampiran 89 11-Lampiran 21, sedangkan untuk total beban pencemaran disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Beban pencemaran di Teluk Jakarta tahun 2000-2005 Total BP tonbulan Parameter Satuan 2000 2001 2002 I. Fisik 1. Zat Padat Terlarut TDS mgL 1780848,066 1640655,214 1977111,582 2. Zat Padat Tersuspensi TSS mgL 24399,02477 15046,63776 20208,82608 II. Kimiawi 3. Mangan Mn mgL 139,7629728 149,4562752 116,6651424 4. Phosphat PO4 mgL 369,417024 422,5561344 499,995504 5. Seng Zn mgL 6,2021376 5,5017792 8,8073568 6. Sulfat SO4 mgL 293790,5075 54859,02656 165607,5907 7. Surfaktan MBAS mgL 337,2757056 505,6375104 1470,160627 8. KMnO4 mgL 17343,43644 12084,95817 21532,34949 9. BOD 20 o C, 5 hari mgL 13614,75553 7979,674954 14604,92208 10. COD Dichromat mgL 21090,70276 21272,5878 25183,20067 Tabel 27 lanjutan. Beban pencemaran di Teluk Jakarta tahun 2000-2005 Total BP tonbulan Parameter Satuan 2003 2004 2005 I. Fisik 1. Zat Padat Terlarut TDS mgL 2258902,158 1958781,261 2313609,072 2. Zat Padat Tersuspensi TSS mgL 18676,00152 13534,33147 17016,78469 II. Kimiawi 3. Mangan Mn mgL 168,9923088 143,080964 418,3038806 4. Phosphat PO4 mgL 1214,309362 378,5184225 518,8544294 5. Seng Zn mgL 7,9571808 6,678334656 10,6195536 6. Sulfat SO4 mgL 168755,7927 117076,4673 141610,1083 7. Surfaktan MBAS mgL 1385,284032 608,4695713 441,8716432 8. KMnO4 mgL 20194,90782 14380,28588 23785,43305 9. BOD 20 o C, 5 hari mgL 16090,71124 8887,965641 16369,05335 10. COD Dichromat mgL 27892,28766 32179,16332 52983,15476 Beban pencemaran di 10 muara sungai pada tahun 2005 yang paling tinggi setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu Zat Padat Terlarut Total Dissolved SolidTDS, dimana muara yang paling banyak memberikan kontribusi beban pencemaran terbesar sebesar 1.540.311,55 tonbulan adalah Kali Blencong dengan titik pengamatan 38 A, berada di Pantai Maruda. Perubahan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta dapat dilihat pada Gambar 27. 90 Zat Padat Terlarut TDS 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Zat Padat Terlarut TDS Gambar 27. Perubahan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta tahun 2000-2005 Dari Gambar 27 di atas dapat dilihat terjadi peningkatan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta dimana pada tahun 2000 sebesar 1.780.848,066 tonbulan menjadi 2.313.609,072 tonbulan pada tahun 2005. TDS merupakan bahan-bahan terlarut diameter 10 -6 mm dan koloid diameter 10 -6 – 10 -3 berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm. Penyebab TDS biasanya bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan seperti disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Bahan anorganik ion-ion di perairan Major Ion 1,0 – 1000 mgl Secondary Ion 0,01 – 10,0 mgl 1. Sodium Na 2. Kalsium Ca 3. Magnesium Mg 4. Bikarbonat HCO 3 5. Sulfat SO 4 6. Klorida Cl - 1. Besi Fe 2. Strontium St 3. Potassium K 4. Karbonat CO 3 5. Nitrat NO 3 6. Fluorida F 7. Boron B 8. Silika SiO 2 Sumber : Todd 1970 dalam Effendi 2000 Tingginya nilai TDS menggambarkan perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik berupa limbah domestik dan industri. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada 91 perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan, terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan. Air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia yang juga akan mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Sedangkan yang paling rendah setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu Seng Zn sebesar 10,62 tonbulan dimana muara yang paling sedikit memberikan kontribusi beban pencemaran sebesar 0.2 tonbulan adalah Sungai Kamal dengan titik pengamatan 42, berada di muara Sungai Kamal. Sumber alami utama zinc adalah calamine ZnCO 3 , sphalerite ZnS, smithsonite ZnCO 3 , dan wilemite Zn 2 SiO 4 McNelly et al., 1979 dalam Effendi, 2000. Zinc digunakan pada industri baja, cat, karet, tekstil, kertas, dan bubur kertas. Zinc termasuk unsur esensial bagi mahluk hidup, berperan dalam membantu kerja enzim. Zinc diperlukan dalam fotosintesis sebagai agen bagi transfer hidrogen dan berperan dalam pembentukan protein. Zinc tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi, zinc dapat menimbulkan rasa pada air. Berdasarkan data dari hasil pengamatan parameter kualitas air sungai yang memberikan sumbangan terbesar terhadap beban pencemaran adalah muara Kali Blencong dan yang memberikan sumbangan terkecil adalah muara Sungai Kamal. Beban pencemaran total dihitung dari penjumlahan beban pencemaran dari sepuluh muara sungai yang diamati Gambar 28, yaitu: • Sungai Kamal titik pengamatan 42,--Muara Kamal • Sungai Cengkareng Drain titik pengamatan 22--Jl. Kapuk Muara • Sungai Ciliwung titik pengamatan 6--Jemb. PIK-Muara Angke • Sungai Grogol titik pengamatan 27--PLTU Pluit • Sungai Ciliwung titik pengamatan 32--Jl. Pompa Pluit • Sungai Ciliwung titik pengamatan 30--Jl. Ancol Marina • Sungai Kalibaru Timurtitik pengamatan 34--Jl. Ancol • Kali Sunter titik pengamatan 13--Bogasari • Sungai Cakung Drain titik pengamatan 38--Cilincing • Kali Blencong titik pengamatan 38A--Pantai Marunda 92 SEDANG 51-70 BURUK 26-50 Lokasi Pemantauan Muara Sungai Oleh : IRMAN FIRMANSYAH P052040261 Sumber Peta : BPLHD DKI Jakarta Gambar 28. Lokasi Pemantauan muara sungai di DKI Jakarta Semakin tinggi nilai beban pencemaran untuk parameter yang tergolong limbah domestik, industri, pelapukan batuanlimpasan dari tanah, maka beban yang harus diterima oleh teluk semakin besar sehingga pada batas toleransi tertentu akan terjadi akumulasi polutan dan sebaliknya nilai beban pencemaran yang rendah dapat membuat teluk membersihkan sendiri setiap polutan yang masuk. Kemampuan untuk membersihkan sendiri suatu perairan terhadap setiap polutan yang masuk di sebut kapasitas asimilasi suatu perairan.

5.2.3. Analisis Kapasitas Asimilasi Perairan Teluk Jakarta

Kapasitas asimilasi suatu perairan ditentukan oleh morfologi dan dinamika perairan tersebut serta jenis dan jumlah limbah total pollutant load yang masuk ke dalam perairan tersebut. Dalam hal ini, perhitungan kapasitas asimilasi dilakukan secara tidak langsung inderect approach yaitu dengan metode hubungan antara kualitas air dan beban limbahnya. Nilai kapasitas asimilasi diperoleh dari grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter bahan pencemar di perairan pesisir dengan total beban bahan pencemar tersebut di 93 muara sungai, untuk kemudian dianalisis dan membandingkannya dengan baku mutu air laut yang diperuntukkan untuk biota dan budidaya laut berdasarkan Kep- Men KLH No. 51Men LH2004. Belum terlampaui kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa beban pencemaran yang masuk masih rendah, kemudian nilai ambang batas baku mutunya pun lebih tinggi dari kondisi konsentrasi saat ini. Berarti bahan-bahan yang masuk dapat mengalami proses-proses difusi dan lain-lain di dalam lingkungan perairan yang lebih baik dari pada parameter lain yang sudah melampaui kapasitas asimilasinya. Beberapa parameter yang diuji untuk mengetahui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta adalah TDS, TSS, Mn, PO 4 , Zn, SO 4 , MBAS, KMnO 4 , BOD, dan COD. Dimana sampel kualitas perairan yang ada dimulai dari tahun 2000 hingga 2005, sehingga regresi yang terbentuk merupakan hubungan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta terhadap bahan pencemar dalam jangka 6 tahun. Data perhitungan regresi fungsi y, beban pencemaran, dan kapasitas asimilasi tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta No Parameter Fungsi y R 2 Beban Pencemaran Tahun 2005 tonbulan Kapasitas Asimilasi tonbulan 1 TDS 0,00173x+811 0,62 2.313.609,07 109.249 2 TSS 0.00281x-1,81 0,912 17.016,78 71.819 3 Mn 0,00216x+0,0782 0,99 418,3 426,8 4 PO 4 0,00296x+0,0264 0,995 518,85 160 5 Zn 0,0024x+0,03 0,093 10,62 404,2 6 SO 4 0,00173x+45,7 0,994 141.610,11 31.387 7 MBAS 0,00283x+0,184 0,988 441,87 112 8 KMnO 4 0,00239x+9,72 0,974 23.785,43 6.393 9 BOD 0,00252x+6,64 0,972 16.369,05 5.602 10 COD 0,00234x+13,7 0,971 52.983,15 6.966 Untuk mempermudah dalam melihat kapasitas asimilasi yang terbentuk dari regresi hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi bahan pencemar, maka akan ditampilkan dalam bentuk gambar Gambar 29 – Gambar 38, dan analisis perhitungan regresi dapat dilihat pada Lampiran 22. 94 Load TDS t on mont h T D S C o n c e n tr a ti o n m g l 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 109249 1000 y = 0,00173x + 811 R 2 = 0,62 Gambar 29. Analisis regresi antara beban pencemar TDS di muara dengan konsentrasi TDS di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk TDS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00173x + 811 dengan R 2 = 0,62. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 109.249 tonbulan. Dari Gambar 29 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar TDS. Load TSS t on mont h T S S C o n c e n tr a ti o n m g l 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 200 175 150 125 100 75 50 71819 200 y = 0,00281x - 1,81 R 2 = 0,912 Gambar 30. Analisis regresi antara beban pencemar TSS di muara dengan konsentrasi TSS di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005 95 Penentuan kapasitas asimilasi untuk TSS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00281x - 1.81 dengan R 2 = 0,912. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 71.819 tonbulan. Dari Gambar 30 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter TSS karena masih di bawah nilai kapasitas asimilasinya. Load Mn t on mont h M n C o n c e n tr a ti o n m g l 450 400 350 300 250 200 150 100 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 426.8 1 y = 0,00216x + 0,0782 R 2 = 0,99 Gambar 31. Analisis regresi antara beban pencemar Mn di muara dengan konsentrasi Mn di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk Mn dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00216x + 0,0782 dengan R 2 = 0,99. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 426,8 tonbulan. Dari Gambar 31 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter Mn karena masih di bawah nilai kapasitas asimilasinya. 96 Load PO4 t on mont h P O 4 C o n c e n tr a ti o n m g l 1200 1000 800 600 400 200 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 160 0.5 y = 0,00296x + 0,0264 R 2 = 0,995 Gambar 32. Analisis regresi antara beban pencemar PO 4 di muara dengan konsentrasi PO 4 di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk PO 4 dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00296x + 0,0264 dengan R 2 = 0,995. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 160 tonbulan. Dari Gambar 32 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar PO 4 . Load Zn t on mont h Z n C o n c e n tr a ti o n m g l 400 300 200 100 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 404.2 1 y = 0,00240x + 0,0300 R 2 = 0,093 Gambar 33. Analisis regresi antara beban pencemar Zn di muara dengan konsentrasi Zn di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005 97 Penentuan kapasitas asimilasi untuk Zn dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00240x + 0,0300 dengan R 2 = 0,093. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 404,2 tonbulan. Dari Gambar 33 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter Zn karena masih di bawah nilai kapasitas asimilasinya. Load SO4 t on mont h S O 4 C o n c e n tr a ti o n m g l 300000 250000 200000 150000 100000 50000 600 500 400 300 200 100 31387 100 y = 0,00173x + 45,7 R 2 = 0,994 Gambar 34. Analisis regresi antara beban pencemar SO 4 di muara dengan konsentrasi SO 4 di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk SO 4 dilakukan dengan persamaan regresi y = 0.00173x + 45.7 dengan R 2 = 0,994. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 31.387 tonbulan. Dari Gambar 34 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar SO 4 . 98 Load MBAS t on mont h M B A S C o n c e n tr a ti o n m g l 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 5 4 3 2 1 112 0.5 y = 0,00283x + 0,184 R 2 = 0,988 Gambar 35. Analisis regresi antara beban pencemar MBAS di muara dengan konsentrasi MBAS di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk MBAS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00283x + 0,184 dengan R 2 = 0,988. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 112 tonbulan. Dari Gambar 35 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar MBAS. Load KMnO4 t on mont h K M n O 4 C o n c e n tr a ti o n m g l 25000 20000 15000 10000 5000 70 60 50 40 30 20 6393 25 y = 0,00239x + 9,72 R 2 = 0,974 Gambar 36. Analisis regresi antara beban pencemar KMnO 4 di muara dengan konsentrasi KMnO 4 di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 99 Penentuan kapasitas asimilasi untuk KMnO 4 dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00239x + 9,72 dengan R 2 = 0,974. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 6.393 tonbulan. Dari Gambar 36 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar KMnO 4 . Load BOD t on mont h B O D C o n c e n tr a ti o n m g l 17500 15000 12500 10000 7500 5000 50 45 40 35 30 25 20 5302 20 y = 0,00252x + 6,64 R 2 = 0,972 Gambar 37. Analisis regresi antara beban pencemar BOD di muara dengan konsentrasi PO 4 di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk BOD dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00252x + 6,64 dengan R 2 = 0,972. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 5.302 tonbulan. Dari Gambar 37 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar BOD. 100 Load COD t on mont h C O D C o n c e n tr a ti o n m g l 50000 40000 30000 20000 10000 140 120 100 80 60 40 20 6966 30 y = 0,00234x + 13,7 R 2 =0,971 Gambar 38. Analisis regresi antara beban pencemar COD di muara dengan konsentrasi COD di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk COD dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00234x + 13,7 dengan R 2 = 0,971. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 6.966 tonbulan. Dari Gambar 38 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar COD.

5.3. Struktur Elemen Kunci dalam Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta

Metode ISM digunakan untuk menganalisa keterkaitan dan ketergantungan antar elemen yang membentuk struktur model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Dari Hasil diskusi ahli teridentifikasi empat faktor penting yang perlu dikaji, yaitu peran pemerintah, tujuan pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, Kendala dalam pengelolaan, dan tolok ukur daya dukung lingkungan Teluk Jakarta.

5.3.1. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Model Pengendalian

Pencemaran Teluk Jakarta Ada 4 elemen peran pemerintah yang terlibat dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta baik langsung maupun tidak langsung, yang dijabarkan lagi menjadi 11 subelemen seperti terlihat pada Tabel 30. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 39 dan pada Gambar 40 subelemen dikelompokkan kedalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 23. Tabel 30. Elemen peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen Subelemen I. Tata ruang 1. Tata ruang DKI Jakarta 2. Pemetaan tata ruang 3. Evaluasi kesesuaian lahan 4. Reklamasi Teluk Jakarta II. Kebijakan 5. Penerapan Kebijakan antar stakeholder pencemaran, tata ruang dan yang terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta 6. Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran 7. Kajian kebijakan III. Renstra 8. Prioritas rencana strategis 9. Realisasi penerapan renstra IV. Koordinasi daerah 10. Koordinasi antar wilayah administrasi 11. Prinsip integrasi lintas sektoral Dari Tabel 30 terlihat bahwa peran pemerintah yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah penerapan kebijakan antar stakeholder, ketegasan penegakan hukum, koordinasi antar wilayah, dan prinsip integrasi lintas sektoral. Keempat peran pemerintah ini berada di dalam sektor independent Gambar 39, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem. 5. Penerapan kebijakan antar stakeholder 6. Ketegasan penegakan hukum 10. Koordinasi antar wilayah administrasi 11. Prinsip integrasi lintas sektoral 8. Prioritas rencana strategis 9. Realisasi penerapan renstra 1. Tata ruang DKI Jakarta 2. Pemetaan tata ruang 3. Evaluasi kesesuaian lahan 7. Kajian kebijakan 4. Reklamasi Teluk Jakarta Gambar 39. Diagram hierarki dari subelemen peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh penerapan kebijakan antar stakeholder, ketegasan penegakan hukum, koordinasi antar wilayah, dan prinsip integrasi lintas sektoral, berarti diawali oleh perlunya strategi kebijakan dan hukum serta prinsip kerjasama yang harmonis. Peran pemerintah lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah prioritas rencana strategi dan realisasi penerapan renstra. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, kedua peran pemerintah mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas kedua peran pemerintah ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Prioritas rencana strategi dan realisasi penerapan renstra menyambungkan empat peran pemerintah di sektor independent dengan lima peran pemerintah yang berada di sektor dependent yaitu tata ruang DKI Jakarta, pemetaan tata ruang, reklamasi Teluk Jakarta, evaluasi kesesuaian lahan, dan kajian kebijakan. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kelima peran pemerintah yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti peran pemerintah lainnya yang berada di sektor linkage dan independent. 8,9 Catatan 1. Tata ruang DKI Jakarta 2. Pemetaan tata ruang 3. Evaluasi kesesuaian lahan 4. Reklamasi Teluk Jakarta 5. Penerapan Kebijakan antar stakeholder pencemaran, tata ruang dan yang terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta 6. Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran 7. Kajian kebijakan 8. Prioritas rencana strategis 9. Realisasi penerapan Renstra 10. Koordinasi antar wilayah administrasi 11. Prinsip integrasi lintas sektoral 3,7 4 1,2 5,6,10,11 10 11 D r i v e r P o w e r 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Gambar 40. Matriks DP-D untuk elemen peran pemerintah dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Perlu dicermati bahwa posisi peran pemerintah tata ruang DKI Jakarta hampir berada pada garis batas antara sektor dependent dengan linkage, yang berarti bahwa kekuatan penggeraknya dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta relatif tinggi dibandingkan reklamasi Teluk Jakarta. Evaluasi kesesuaian lahan dan kajian kebijakan berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan peran pemerintah yang lainnya selama kegiatan dari peran pemerintah tersebut dapat dilakukan dengan baik.

5.3.2. Tujuan dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran

Teluk Jakarta Teridentifikasi ada 4 tujuan pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang terdiri dari 13 subelemen, seperti terlihat dalam Tabel 31. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 41 dan pada Gambar 42 subelemen dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 24. Tabel 31. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen Subelemen I. Perbaikan Teluk Jakarta 1. Mengamankan bahan pencemar 2. Memperpendek jalur bahan pencemar 3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar II. Meningkatkan daya dukung lingkungan 4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial 5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi III. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran 7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan 8. Mempermudah akses pada sumber pencemar 9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah IV. Menambah kekuatan stakeholder 10. Sosialisasi pengetahuan 11. Berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah 12. Informasi bersama 13. Menggabungkan research and development Dari Tabel 31 terlihat bahwa tujuan-tujuan yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah sosialisasi pengetahuan, berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah, informasi bersama, serta menggabungkan research and development. Keempat tujuan ini berada di dalam sektor independent Gambar 42, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem. 10. Sosialisasi pengetahuan 11. Berbagi Keahlian dan Pengalaman penanganan limbah 12. Informasi bersama 13. Menggabungkan Research Development 7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan 8. Mempermudah akses pada sumber pencemar 9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah 1. Mengamankan bahan pencemar 2. Memperpendek jalur bahan pencemar 3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar 4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial 5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi Gambar 41. Diagram hierarki dari subelemen tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh sosialisasi pengetahuan, berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah, informasi bersama, serta menggabungkan research and development, berarti diawali oleh perlunya strategi untuk melakukan kebersamaan dalam membuka wawasan baik pengetahuan, penelitian, serta keahlian dalam menangani pencemaran Teluk Jakarta. Tujuan-tujuan lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah mempermudah akses pada pengawas lingkungan, mempermudah akses pada sumber pencemar, dan mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, ketiga tujuan tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas ketiga tujuan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan, mempermudah akses pada sumber pencemar, dan mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah menyambungkan empat tujuan di sektor independent dengan enam tujuan yang berada di sektor dependent yaitu mengamankan bahan pencemar, memperpendek jalur bahan pencemar, meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar, meningkatkan sarana dan prasarana sosial, memperluas wilayah perbaikan lingkungan, serta menurunkan resiko ekologi. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa keenam tujuan yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti tujuan-tujuan lainnya yang berada di sektor linkage dan independent . Perlu dicermati bahwa posisi tujuan mengamankan bahan pencemar, memperpendek jalur bahan pencemar, meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar hampir berada pada garis batas antara sektor dependent dengan linkage, yang berarti bahwa kekuatan penggeraknya dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta relatif tinggi dibandingkan meningkatkan sarana dan prasarana sosial, memperluas wilayah perbaikan lingkungan, serta menurunkan resiko ekologi yang berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan tujuan-tujuan yang lainnya selama tujuan-tujuan tersebut dapat direalisasikan. 7,8,9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 10,11,12,13 11 D 10 Catatan 1. Mengamankan bahan pencemar 2. Memperpendek jalur bahan pencemar 3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar 4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial 5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi 7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan 8. Mempermudah akses pada sumber pencemar 9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah 10. Sosialisasi pengetahuan 11. Berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah 12. Informasi bersama 13. Menggabungkan research and development 4,5,6 1,2,3 9 8 7 6 5 4 3 2 1 r i v e r P o w e r 13 12 Gambar 42. Matriks DP-D untuk elemen tujuan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta

5.3.3. Kendala dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran

Teluk Jakarta Kendala dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dibagi kedalam kendala yang bersifat konsepsional, behavioral, manajerial dan lingkungan, dengan subelemen sebanyak 10 yang terlihat pada Tabel 32. Hierarki kendala terlihat pada Gambar 43 dan pada Gambar 44 subelemen kendala dikelompokkan kedalam sektor-sektor autonomous, dependent, linkage dan independent . Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 25. Tabel 32. Elemen kendala dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen Subelemen I. Konsepsional 1. Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan stakeholder 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder 3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi II. Behavioral 4. Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder 5. Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi 6. Karakter dan etika dalam kerjasama III. Manajerial 7. Kekuatan manajemen perencanaan, pengawasan, hubungan antar stakeholder dan antar wilayah serta arahan strategis 8. Dukungan peraturan IV. Lingkungan 9. Persaingan kebutuhan 10. Peraturan Kendala yang paling mendasar yang harus terlebih dahulu ditangani dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta menurut penelitian ini adalah kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan stakeholder, perbedaan tujuan antar stakeholder, perbedaan tujuan antar wilayah administrasi, dukungan peraturan, persaingan kebutuhan dan peraturan. Kendala tersebut harus dikaji secara hati-hati karena berada dalam sektor linkage. Apabila kendala- kendala tersebut telah teratasi maka kendala lainnya yaitu karakter dan etika dalam kerjasama serta konsistensi arah kerjasama antar stakeholder, konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi dan kekuatan manajemen perencanaan, pengawasan, hubungan antar stakeholder dan antar wilayah serta arahan strategis yang berada pada sektor independent akan lebih mudah teratasi. 9. Persaingan kebutuhan 10. Peraturan 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder 3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi 1. Kurangnya visi dan misi 8. Dukungan peraturan 7. Kekuatan manajemen 5. Konsistensi arah kerjasama 4. Konsistensi arah kerjasama 6. Karakter dan etika dalam kerjasama Gambar 43. Diagram hierarki dari subelemen kendala dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta 10 1,2,3,8,9,10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Catatan 1. Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan stakeholder 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder 3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi 4. Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder 5. Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi 6. Karakter dan etika dalam kerjasama 7. Kekuatan manajemen 8. Dukungan peraturan 9. Persaingan kebutuhan 10. Peraturan 5 7 4 6 D r i v e r P o w e r Gambar 44. Matriks DP-D untuk elemen kendala dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta

5.3.4. Tolok Ukur Keberhasilan dalam Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta

Didalam analisis ini elemen tolok ukur keberhasilan dijabarkan dalam subelemen seperti pada Tabel 33 Interpretasinya tolok ukur keberhasilan dalam bentuk hierarki pada Gambar 45 dan pada Gambar 46 elemen keberhasilan dikelompokkan ke dalam sektor-sektor autonomous, dependent, linkage dan independent . Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 26. Tabel 33. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen Subelemen I. Kualitas perairan Teluk Jakarta 1. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu 2. Menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta 3. Keragaman biota dan tumbuhan laut II. Penduduk 4. Perubahan pola pikir masyarakat pendidikan 5. Peningkatan pendapatan 6. Fasilitas TPA yang memadai 7. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk III. Industri 8. Manajemen industri 9. Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan 10. Teknik pengolahan limbah IPAL industri 11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan PROPER IV. Pasar 12. Manajemen pengolahan limbah pasar 13. Teridentifikasinya pasar terutama pasar tumpah, dan juga pasar tradisional serta pasar modern 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan AMDAL atau UKL-UPL V. Pelabuhan 15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar internasional pelabuhan 16. Keteraturan transportasi laut 17. Pengolahan limbah pelabuhan Dari Tabel 33 terlihat bahwa tolok ukur keberhasilan yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah perubahan pola pikir masyarakat, manajemen industri, meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper, manajemen pengolahan limbah pasar, jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan, jumlah pelabuhan yang memiliki standar internasional, dan keteraturan transportasi laut. Ketujuh tolok ukur keberhasilan ini ini berada di dalam sektor independent Gambar 46, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem. 13. Teridentifikasinya pasar 17. Pengolahan limbah pelabuhan 6. Fasilitas TPA yang memadai 9. Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan 7. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk 5. Peningkatan pendapatan 10. Teknik pengolahan limbah IPAL industri 2. Menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta 1.Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu 3. Keragaman biota dan tumbuhan laut 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan 8. Manajemen industri 15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar 16. Keteraturan transportasi laut 4. Perubahan pola pikir masyarakat pendidikan 11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper 12. Manajemen pengolahan limbah pasar Gambar 45. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh perubahan pola pikir masyarakat, manajemen industri, meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper, manajemen pengolahan limbah pasar, jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan, jumlah pelabuhan yang memiliki standar internasional, dan keteraturan transportasi laut, berarti diawali oleh perlunya strategi untuk meningkatkan kepedulian lingkungan dari stakeholder yang terlibat dalam pencemaran Teluk Jakarta. Tolok ukur keberhasilan lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu, menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta, dan keragaman biota dan tumbuhan laut. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, ketiga tujuan tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas ketiga tujuan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu, menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta, serta keragaman biota dan tumbuhan laut menyambungkan tujuh tolok ukur keberhasilan di sektor independent dengan tujuh tolok ukur keberhasilan yang berada di sektor dependent yaitu penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, teknik pengolahan limbah IPAL industri, teridentifikasinya pasar, pengolahan limbah pelabuhan, meningkatkan pendapatan, fasilitas TPA yang memadai, serta pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa ketujuh tolok ukur keberhasilan yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti tolok ukur keberhasilan lainnya yang berada di sektor linkage dan independent. 10 4, 8, 11,12, 14,15,16 3 4 5 6 7 8 9 1,2,3 5,6,7 9,10,13,17 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 15 16 15 14 13 D r i v e r P o w e r 12 11 Gambar 46. Matriks DP-D untuk elemen tolok ukur dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Catatan 1. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu 2. Menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta 3. Keragaman biota dan tumbuhan laut 4. Perubahan pola pikir masyarakat pendidikan 5. Peningkatan pendapatan 6. Fasilitas TPA yang memadai 7. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk 8. Manajemen industri 9. Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan 10. Teknik pengolahan limbah IPAL industri 11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper 12. Manajemen pengolahan limbah pasar 13. Teridentifikasinya pasar terutama pasar tumpah, dan juga pasar tradisional serta pasar modern 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan AMDAL atau UKL-UPL 15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar internasional pelabuhan 16. Keteraturan transportasi laut 17. Pengolahan limbah pelabuhan Perlu dicermati bahwa posisi tolok ukur keberhasilan penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, teknik pengolahan limbah IPAL industri, teridentifikasinya pasar, serta pengolahan limbah pelabuhan berada di atas tolok ukur keberhasilan meningkatkan pendapatan, fasilitas TPA yang memadai, serta pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk. Hal ini menggambarkan empat tolok ukur keberhasilan tersebut relatif lebih penting dibandingkan tiga tolok ukur yang berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan tolok ukur keberhasilan yang lainnya.

5.3.5. Struktur Tingkat Kepentingan antara Subelemen pada Empat Faktor

Penting dalam Sistem Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Berdasarkan pendapat responden yang memahami wilayah penelitian expert, dapat diinventarisasikan faktor penting yang dianggap menentukan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Menurut responden, terdapat 14 faktor penting yang harus diprioritaskan karena akan menentukan efektivitas sistem pengendalian pencemaran tersebut, yaitu: 1 Tata ruang, 2 Penegakan hukum, 3 Prioritas rencana strategi daerah, 4 Koordinasi daerah, 5 Peningkatan fasilitas sosial, 6 Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, 7 Memperkuat hubungan antar stakeholder, 8 Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan, 9 Kompromi tingkat kebutuhan, 10 peningkatan pola pikir masyarakat, 11 Pengaturan penduduk transmigrasi, 12 Penerapan IPAL industri dan pasar, 13 Peningkatan program penilaian peringkat kinerja perusahaan PROPER, 14 Kewajiban dokumen lingkungan untuk industri dan pasar. Berdasarkan analisis dapat dipilih faktor penentu sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Faktor yang dipilih adalah faktor yang memiliki tingkat kepentingan paling utama dari faktor yang lainnya, sedangkan faktor yang lain sangat tergantung faktor terpilih tersebut. Hasil analisis pemilahan faktor penentu disajikan pada Gambar 47 dan 48. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 27. Dari Gambar 48, terlihat bahwa faktor-faktor penentu dapat dikelompokkan dalam tiga sektor, yaitu sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels Dependent, dengan subelemen peningkatan fasilitas umum dan sosial, umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas; sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels Lingkage. Dengan subelemen Tata ruang, prioritas rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar, subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak; dan sektor 4; strong driver-weak dependent variabels Independent. Dengan subelemen penegakan hukum, memperkuat hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan tujuan, subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Hasil analisis menggambarkan pendapat para ahli bahwa pembentukan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh kebutuhan adanya kepastian hukum yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan stakeholder hal ini diantisipasi oleh penegakan hukum, memperkuat hubungan antar stakeholder hal berikutnya yang berperan dalam pengendalian pencemaran, dan diikuti oleh faktor koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan tujuan. Faktor lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah tata ruang, prioritas rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar. Selain mempunyai kekuatan besar, faktor-faktor tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem karena masuk ke dalam sektor linkage. Faktor-faktor pada sektor linkage menyambungkan lima faktor di sektor independent dengan faktor yang berada di sektor dependent yakni peningkatan fasilitas umum dan sosial. 12. Penerapan IPAL industri 13. Peningkatan program proper 11. Pengaturan jumlah penduduk 14. Kewajiban dokumen lingkungan 1. Tata ruang 10. Pola pikir masyarakat 3. Prioritas renstra 6. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran 5. Peningkatan Fasilitas Sosial 8. Persamaan Visi, Misi dan Tujuan 2. Penegakan hukum 9. Kompromi tingkat kebutuhan 4. Koordinasi daerah 7. Memperkuat hubungan antar stakeholder Gambar 47. Diagram hierarki dari tingkat kepentingan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 10 1,3,6,10,11,12,13,14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 8 9 7 14 12 13 11 5 4 2 D r i v e r P o w e r Gambar 48. Matriks DP-D untuk tingkat kepentingan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Keterangan : 1. Tata ruang 2. Penegakan hukum 3. Prioritas rencana strategi daerah 4. Koordinasi daerah 5. Peningkatan fasilitas sosial 6. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran 7. Memperkuat hubungan antar stakeholder 8. Persamaan visi, misi dan tujuan 9. Kompromi tingkat kebutuhan 10. Peningkatan pola pikir masyarakat 11. Pengaturan jumlah penduduk 12. Penerapan IPAL Industri 13. Meningkatkan program proper 14. Mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar

5.4. Pendekatan Sistem

5.4.1. Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelayakan sistem yang dibangun. Dalam tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan segenap pelaku stakeholder yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan terhadap peningkatan kualitas lingkungan khususnya perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta, dan dapat saling bertentangan. Pelaku yang terlibat adalah meliputi masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta, pengusaha yang terlibat dalam aktivitas perekonomian, dan pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 1 Masyarakat di sekitar Teluk Jakarta • Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat • Kondisi hutan mangrove tidak tercemari sehingga ikan dan mahluk hidup lainnya dapat hidup dan berkembang biak bertelur sehingga nelayan bisa memperoleh ikan di laut tanpa tercemari. • Ketersediaan lahan yang tidak tercemar. • Perluasan kesempatan kerja 2 Aktivitas ekonomi industri dan pasar • Peningkatan investasi • Pertumbuhan industri pangsa pasar • Profit yang maksimal 3 Pemerintah • Pengendalian pencemaran laut akibat pemukiman, industri, transportasi dan pelabuhan laut, rumah sakit, industri perikanan serta perdagangan dan jasa melalui regulasi • Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan. • Peningkatan devisa negara. • Pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara optimal. • Tidak terjadi pencemaran lingkungan khususnya laut. • Kesejahteraan masyarakat • Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi mahluk hidup lainnya. • Kondisi lahan dan air yang tidak tercemari sehingga mampu mempertahankan keseimbangan ekologisnya. • Adanya upaya kelestarian. • Adanya upaya perbaikan habitat. Kebutuhan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dilakukan dengan metode interpretatif structural modelling ISM berdasarkan tingkat kepentingan faktor-faktor yang ada yang dipilah dari struktur elemen kunci berdasarkan pendapat pakar. Dari metode tersebut didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis yang berperan dalam pengendalian pencemaran Teluk Jakarta sebagai kebutuhan para pelaku stakeholder yang terlibat didalam pemanfaatan Teluk Jakarta tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Penentu faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli expert mengenai pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Berdasarkan hasil responden seperti yang telah di bahas sebelumnya faktor- faktor penting dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yaitu 1 Tata ruang, dalam tata ruang sangatlah penting untuk mengetahui penggunaan lahan yang tepat dan ideal dalam pemanfaatannya pada sebuah perkotaan 2 Penegakan hukum, menjadi dasar dalam kelancaran suatu kegiatan agar dapat mengikuti aturan yang sesuai dan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap kerusakan lingkungan 3 Prioritas rencana strategi daerah, merupakan acuan dalam mengembangkan prioritas pembangunan suatu wilayah dengan memperhatikan berbagai aspek-aspek terkait 4 Koordinasi daerah, sangatlah penting untuk dapat bersama-sama mengatasi permasalahan- permasalahan yang terjadi khususnya permasalahan pencemaran sungai karena terkait pada beberapa wilayah, dampak dari kegiatan di bagian hulu sungai dapat dirasakan juga pada bagian hilir sungai 5 Peningkatan fasilitas sosial, sangat menjamin kelancaran pengelolaan sampah khususnya limbah domestik dan pemukiman-pemukiman yang jauh dari TPS 6 Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, dapat menjadi faktor pendukung yang dapat meningkatkan kualitas air apabila kegiatan-kegiatan yang membuang limbahnya ke daerah pengaliran sungai DPS dapat teridentifikasi 7 Memperkuat hubungan antar stakeholder , dapat menjaga keharmonisan dan keseimbangan lingkungan dalam mengelola lingkungan 8 Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan, merupakan suatu pandangan yang dapat memahami arti pentingnya lingkungan yang tidak tercemar sehingga dapat merasakan manfaatnya secara bersama-sama 9 Kompromi tingkat kebutuhan, merupakan suatu ikatan yang dapat membentuk kepedulian terhadap stakeholder lain dari dampak yang dikeluarkan 10 peningkatan pola pikir masyarakat, merupakan suatu usaha yang dapat memberi pengertian pada masyarakat akan pentingnya lingkungan di sekitar kita, yang harus dijaga secara bersama-sama untuk kepentingan generasi yang akan datang 11 Pengaturan penduduk, merupakan usaha untuk dapat mengelola keberlanjutan suatu daya dukung kawasan terhadap banyaknya penduduk, hal ini dapat dilakukan dengan cara transmigrasi 12 Penerapan IPAL industri dan pasar, dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah industri dan pasar 13 Peningkatan program proper, sebagai pemacu untuk dapat bersaing secara positif khususnya industri-industri, sehingga dapat mengurangi dampak kegiatan industri tersebut terhadap lingkungan 14 Kewajiban dokumen lingkungan untuk industri dan pasar, merupakan kepatuhan pihak industri dan pasar untuk dapat menjalankan kegiatannya sesuai dengan prosedur yang ramah terhadap lingkungan sehingga dampak terhadap lingkungan dapat diminimalisasikan. Dari hasil ISM di dapat lima faktor utama pada sektor independent antara lain penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan serta persamaan visi, misi dan tujuan. Namun terdapat delapan faktor lainnya yang termasuk penting dan tidak boleh diabaikan karena setiap tindakan pada peubah yang masuk dalam sektor linkage ini akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain tata ruang, prioritas rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar. Dalam sistem ini akan dibahas lima faktor yang dianggap sebagai faktor utama dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta.

5.4.2. Formulasi Masalah

Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, formulasi permasalahan sistem merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku sebagaimana yang dirumuskan dari teknik ISM, dan pada kondisi nyata terjadi di wilayah DKI Jakarta. Kebutuhan pelaku terhadap peningkatan daya dukung lingkungan khususnya perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta adalah bersifat pemuasan terhadap masing-masing stakeholder. Sedangkan kondisi daya dukung lingkungan dan kualitas perairan Teluk Jakarta saat ini tidak memenuhi kebutuhan para pelaku tersebut. Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan. Adapun permasalahan dasar tersebut, secara sistematis diuraikan sebagai berikut : 1. Penegakan hukum, yang ditunjukkan oleh perangkat perencanaan terhadap pengendalian pencemaran Teluk Jakarta tidak operasional dan dilanggar stakeholder . 2. Hubungan antar stakeholder yang kurang harmonis karena masih mengutamakan kepentingan masing-masing sehingga belum terjalin hubungan yang dapat menyeimbangkan antara ekonomi, sosial dan lingkungan. 3. Koordinasi daerah, yang ditunjukkan masih sendiri-sendirinya program pengelolaan suatu DAS sehingga tidak mengetahui kebutuhan pada masing- masing wilayah khususnya wilayah DAS antara hulu, tengah dan hilir 4. Kompromi tingkat kebutuhan masih rendah sehingga masing-masing stakeholder tidak mengetahui permasalahan dan kebutuhan dari stakeholder lainnya. Seperti meningkatnya jumlah pemukiman yang tidak tertata, industri, transportasi dan pelabuhan laut, rumah sakit, industri perikanan serta perdagangan dan jasa akan menyebabkan meningkatnya jumlah bahan pencemar yang diakibatkan pembangunan dan teknologi. 5. Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan belum ada.

5.4.3. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram sebab-akibat causal-loop, yang selanjutnya diinterpretasikan ke dalam konsep kotak gelap black box sebagai diagram input- output IO. Variabel yang terlibat dalam membangun causal loop adalah meliputi variabel state dan non-state. Variabel state merupakan penentu jalannya sistem, yang menunjukkan akumulasi energi, materi dan informasi dari sistem, serta proses transformasi input menjadi output. Dalam membangun sistem pengendalian pencemaran laut khususnya Teluk Jakarta, komponen utama perkotaan, yaitu populasi, aktivitas ekonomi termasuk didalamnya industri dan pasar, dan penggunaan ruang. Hasil inventarisasi dan identifikasi variabel lainnya adalah meliputi : pertambahan penduduk, imigrasi, kelahiran, pengurangan penduduk, emigrasi, kematian, angkatan kerja, jumlah industri, jumlah limbah industri, jumlah pasar, jumlah limbah pasar, teknologi penanganan limbah dan dokumen lingkungan, pendidikan, dan kerusakan lingkungan laut. Setelah diidentifikasi berbagai variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis diantara variabel tersebut. Dari hubungan tersebut diketahui apakah hubungan tersebut bersifat positif atau negatif. Dengan demikian, dapat di bangun loop umpan balik causal loop antar dua atau lebih variabel yang membentuk rantai tertutup. Secara ringkas diagram lingkar causal loop sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 49. Menurut Eriyatno 2003 secara garis besar ada 3 kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, antara lain : 1 Peubah input, 2 peubah output dan 3 parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Jumlah Pasar Kerusakan Lingkungan Laut Teknologi penanganan limbah dan dokumen lingkungan Limbah Pasar Jumlah Industri Limbah Industri Limbah Domestik Lapangan Kerja Imigrasi Pertambahan Penduduk Kelahiran Populasi Pengurangan Penduduk Pend Angkatan Kerja Kematian Emigrasi Gambar 49. Diagram sebab akibat causal loop model pengendalian pencemaran laut Teluk Jakarta Berdasarkan interpretasi diagram sebab akibat causal loop yang dikaitkan dengan hasil analisis kebutuhan, kemudian dibangun konsep kotak gelap black box diagram input-output IO. Diagram IO memberikan gambaran mengenai input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tidak dikehendaki, dan manajemen pengendalian. Adapun parameter rancang bangun sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap black box yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Input terdiri dari dua golongan yaitu yang berasal dari luar sistem eksogen atau input lingkungan dan ‘overt input’ yang berasal dari dalam sistem. ‘overt input ’ adalah peubah endogen yang ditentukan oleh fungsi dari sistem. Input yang terkontrol dapat divariasikan selama operasi untuk menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang diharapkan. Input terkendali merupakan faktor yang didapatkan dari analisis kebutuhan. Faktor yang berpengaruh kebutuhan pelaku merupakan input terkendali pada diagram IO, yang meliputi penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan idikan + + + + + + + - + + + + - + + + - - - + + + + + tujuan. Input tidak terkendali merupakan faktor di dalam sistem, tetapi tidak dapat dikendalikan secara langsung. Output terdiri dari dua golongan yaitu variabel output yang dikehendaki desirable output, yang ditentukan berdasarkan hasil dari adanya pemenuhan kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan, dan variabel output yang tidak dikehendaki, merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang diharapkan, misalnya berupa bahan-bahan buangan waste yang tinggi sehingga menyebabkan pencemaran laut yang mungkin membahayakan kesehatan dan menyebabkan polusi. Output yang dikehendaki antara lain dapat mengurangi dampak negatif pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya, meningkatkan daya dukung lingkungan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta dan minimisasi biaya penanganan pencemaran. Adapun output tak dikehendaki merupakan negasi dari output yang dikehendaki, yang berfungsi sebagai umpan balik bagi evaluasi dan manajemen pengendalian pencemaran laut. Parameter rancang bangun sistem menentukan proses transformasi input menjadi output, secara ringkas diagram input-output IO sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 50. Input tak terkontrol • Jumlah Penduduk • Permukiman Penduduk • Jaringan dan Debit Air • Jenis dan konsentrasi Limbah Input terkontrol • Penegakan hukum • Hubungan antar stakeholder • Koordinasi daerah • Kompromi tingkat kebutuhan • Persamaan visi, misi dan tujuan Output yang tidak diinginkan Tingkat Pencemaran Laut Sangat Tinggi Output yang diinginkan • Mengurangi dampak negatif dari pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya • Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Jakarta • Minimisasi biaya penanganan pencemaran Peningkatan Kemampuan Asimilasi dengan Model Pengendalian Pencemaran Laut Evaluasi dan Manajemen Pengendalian Pencemaran Laut Input Lingkungan • Kebijakan Pemerintah • Kapasitas HukumPP Gambar 50. Diagram black box input-output sistem pengendalian pencemaran pencemaran laut

5.4.4. Simulasi Model

Sebuah model merupakan suatu abstraksi dari realitas. Ini merupakan deskripsi formal dari elemen-elemen penting pada suatu masalah. Suatu perencanaan merupakan sebuah realita permasalahan dan oleh karena itu dapat dimodelkan. Karena elemen-elemen penting dari suatu masalah tersebut merupakan hal yang kita definisikan di dalam sistem yang sedang kita pelajari, kita dapat menganggap suatu model sebagai deskripsi formal dari sistem yang dipelajari. Melalui model maka sistem dapat dipelajari atau diperkirakan dari waktu ke waktu dalam suatu proses yang disebut simulasi. Simulasi adalah suatu proses yang menggunakan suatu model untuk menirukan, atau menelusuri tahap demi tahap, perilaku dari suatu sistem yang kita pelajari. Model simulasi disusun dari suatu perhitungan dan operasi logis yang secara bersama-sama menyajikan struktur keadaan dan perilaku perubahan keadaan dari sistem yang kita pelajari. Model yang dibangun untuk kajian sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dilakukan dengan perangkat lunak software komputer Visual Basic. Model secara umum menggambarkan interaksi antara komponen populasi, industri, dan pasar yang merupakan sumber pencemaran yang berasal dari darat landbased sources. Masing-masing komponen saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu. Oleh karena itu, model disusun secara kompleks yang tergambar pada diagram forester dari sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang disajikan pada Gambar 51. PD PTJ LD LD A KL P LP LI A KL I P P P LD LP A KL D LI Pop [L] [M] [E] [I] [P] [DL P ] [DL I ] Ppsr [Psr] Pind [Ind] [L LD ] [L P ] Gambar 51. Diagram forester model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Keterangan diagram forester: Pop = Populasi LD = Limbah domestik L = Tingkat kelahiran M = Tingkat kematian E = Emigrasi I = Imigrasi LD A = Limbah domestik akhir KL D = Kepedulian lingkungan domestik P = Pendidikan Pind = Pertambahan industri Ind = Jumlah industri LI = Limbah industri LI A = Limbah industri akhir KL I = Kepedulian lingkungan industri DL I = Jumlah industri yang memiliki dokumen lingkungan dan IPAL Ppsr = Pertambahan pasar Psr = Jumlah pasar LP = Limbah pasar LP A = Limbah pasar akhir KL P = Kepedulian lingkungan pasar DL P = Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan dan IPAL P LD = Pencemaran luar daerah L LD = Limbah luar daerah PD = Pencemaran Teluk Jakarta yang bersumber dari darat landbased sources P P = Pencemaran pelabuhan L P = Limbah pelabuhan PTJ = Pencemaran Teluk Jakarta

5.4.5. Validasi Model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui validitas model yang telah dibangun, sehingga model dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses validasi yang dilakukan berdasarkan validasi struktur model. Menurut Sushil 1993, validasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi di dalam sistem nyata. Oleh karena itu, validasi struktur berhubungan dengan informasi dari literatur mengenai mekanisme sistem nyata. Proses validasi struktur dilakukan dengan uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi.

A. Kesesuaian Struktur Model

Model yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi, pertambahan industri, pertambahan pasar, dan tingkat pencemaran di Teluk Jakarta, haruslah sesuai dengan kondisi sistem nyata. Dalam sistem yang demikian, hubungan antar peubah populasi dan beban pencemaran, jumlah industri dan beban pencemaran, serta limbah pasar dan beban pencemaran harus lah bersifat positif, dan sebaliknya beban pencemaran dan kapasitas asimilasi haruslah bersifat negatif. Dalam model yang dibangun, sifat hubungan antar peubah tersebut harus dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Perubahan jumlah beban pencemaran dari parameter contoh dapat dilihat pada Gambar 52. 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 2001 2002 2003 2004 Tahun B e b a n P e n c e m a ra n ton bu la n KMNO4 BOD COD Gambar 52. Perubahan jumlah beban pencemaran KMNO 4 , BOD dan COD Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata, seperti terlihat pada Gambar 52 secara umum terjadi peningkatan beban pencemaran dari masing-masing parameter khususnya yang terkait dengan limbah domestik, industri dan pasar. Adapun terjadi penurunan jumlah beban pencemaran hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah industri dan pasar yang mulai memberikan hasil limbahnya untuk dipantau oleh BPLHD DKI Jakarta, serta mulai terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Tetapi secara keseluruhan tetap terjadi peningkatan jumlah beban pencemaran dari sumber pencemar tersebut. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili kerja sistem nyata. Peningkatan jumlah populasi disajikan pada Gambar 53, sedangkan industri maupun pasar disajikan pada Gambar 54. Untuk data perkembangan penduduk, industri, pasar, dan kepedulian lingkungan masing-masing sumber pencemar data disajikan pada Lampiran 28 – Lampiran 31. 8200000 8300000 8400000 8500000 8600000 8700000 8800000 2001 2002 2003 2004 Tahun Ju m lah P en d u d u k j iw a Populasi Gambar 53. Peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta 100 200 300 400 500 600 2001 2002 2003 2004 Tahun Ju m lah u n it Industri Pasar Gambar 54. Peningkatan jumlah industri dan pasar di DKI Jakarta Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili sistem nyata.

B. Konsistensi Dimensi

Uji konsistensi dimensi merupakan pemeriksaan atas semua persamaan matematis yang dibuat di dalam model, agar tidak terdapat kesalahan antara kedua sisi persamaan tersebut. Uji konsistensi dilakukan berulang-ulang, dan telah dilaksanakan secara simultan dalam proses pengembangan model.

5.4.6. Analisis Kecenderungan Sistem

Analisis kecenderungan sistem ditunjukkan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model yang telah dibangun. Periode simulasi ditetapkan selama 25 tahun, dimulai tahun 2005 sampai dengan 2030. Perkembangan jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah pasar, serta kepeduliannya terhadap lingkungan data disajikan pada Lampiran 28. Pemilihan kurun waktu tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kurun waktu 25-30 tahun merupakan jangka waktu panjang untuk pelaksanaan perbaikan dan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang signifikan, dan beberapa asumsi: 1 Kecenderungan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta apabila didasarkan pada tingkat pertumbuhan penduduk dengan kesadaran masyarakat dimana kepedulian masyarakat terhadap perbaikan lingkungan akan meningkat sesuai dengan persamaan regresi yang ada dimana kontribusi terhadap pencemaran Teluk Jakarta sebesar 27,09 maka pada tahun 2013 jumlah limbah domestik dapat teratasi, tetapi hal ini tidak terlepas dari dukungan kebijakan dan penataan ruang wilayah yang ada. Grafik perkembangan populasi dan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 55. 2 Untuk kecenderungan pada industri di Kota Jakarta dengan kontribusi pencemaran terhadap Teluk Jakarta sebesar 14,01 pada tahun 2001 akan dapat teratasi pada tahun 2014, karena kepedulian lingkungan industri seperti penerapan dokumen lingkungan baik amdal maupun UKL-UPL semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas pula dengan penerapan dari industri sendiri terhadap dokumen lingkungan tersebut serta pengawasan dari pihak pengawas lingkungan. Grafik perkembangan jumlah industri dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 56. 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 2001 2004 2007 2010 2013 2016 2019 2022 2025 2028 Tahun J u m la h Po p u la s i J iw a Jumlah Populasi Kesadaran Masyarakat Gambar 55. Perkembangan populasi dan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran Teluk Jakarta 2001-2030 100 200 300 400 500 600 2001 2004 2007 2010 2013 2016 2019 2022 2025 2028 Tahun Ju m lah I n d u str i u n it Jumlah Industri Kepedulian Lingkungan Pertambahan Populasi Æ y = -1310x + 233729x – 901129 Kesadaran Masyarakat Æ y = -20076x + 970346x - 1931516 2 2 Pertambahan Industri Æ y = - 1,500x + 17,10x + 445,5 Kepedulian Lingkungan Æ y = 1,500x + 2,100x + 175,5 2 2 Gambar 56. Perkembangan jumlah industri dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta 2001-2030 3 Pada limbah pasar di Kota Jakarta kecenderungan kontribusi terhadap pencemaran akan semakin menurun dari 4,67 pada tahun 2001 akan dapat teratasi pada tahun 2016, karena kepedulian lingkungan pasar seperti penerapan dokumen lingkungan baik amdal maupun UKL-UPL semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas pula dengan penerapan dari pasar sendiri terhadap dokumen lingkungan tersebut serta pengawasan dari pihak pengawas lingkungan. Grafik perkembangan jumlah pasar dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 57. 50 100 150 200 250 300 350 2001 2004 2007 2010 2013 2016 2019 2022 2025 2028 Tahun Ju m lah P a s a r u n it Jumlah Pasar Kepedulian Lingkungan Pertambahan Industri Æ y = -1,250x + 21,95x + 223,2 Kepedulian Lingkungan Æ y = 1,000x + 2,000x + 54,00 2 2 Gambar 57. Perkembangan jumlah pasar dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta 2001-2030

5.5. Analisis Kebijakan

5.5.1. Penyusunan Skenario

Analisis kebijakan dilakukan melalui kajian empat skenario yang disusun berdasarkan hasil ISM. Dari analisis tersebut diketahui bahwa terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap pencemaran Teluk Jakarta, yang juga merupakan kebutuhan para pelaku stakeholder dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, antara lain : 1 Penegakan hukum, 2 Hubungan antar stakeholder , 3 Koordinasi daerah, 4 Kompromi tingkat kebutuhan, 5 Persamaan visi, misi dan tujuan. Dari perkiraan mengenai kondisi state faktor- faktor tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun skenario yang mungkin terjadi di wilayah Teluk Jakarta. Perkiraan responden mengenai kondisi faktor di masa datang dan kombinasi faktor untuk skenario disajikan pada Tabel 34. Dari perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa yang akan datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin antar kondisi faktor, dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai incompatible. Dari kombinasi antara kondisi faktor, didapatkan empat skenario, yang dinamai: 1 Skenario Optimis, 2 Skenario Moderat, 3 Skenario Pesimis, dan 4 Skenario Sangat Pesimis. Secara ringkas, penamaan dan susunan skenario disajikan pada Tabel 35. Untuk mengaitkan skenario yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga skenario yang bersangkutan dapat disimulasikan. Tabel 34. Perkiraan responden mengenai kondisi masa yang akan datang Faktor Kondisi state di masa yang akan datang 1A 1B Penegakan hukum Tetap buruk seperti saat ini, karena penegakan hukum memerlukan biaya besar Meningkat, karena semakin kuatnya kontrol masyarakat. LSM, dan lembaga legislatif 2A 2B Hubungan antar stakeholder Semakin buruk, karena lebih mengutamakan kepentingan masing- masing Lebih baik, karena semakin meningkatnya kesadaran menjalin hubungan stakeholder 3A 3B Koordinasi daerah Buruk, karena lebih mementingkan pengelolaan daerahnya Baik, karena perlunya pengelolaan bersama terutama DAS. 4A 4B 4C Kompromi tingkat kebutuhan Menurun, karena lebih mengutamakan kebutuhannya Tetap seperti sekarang, karena kondisi saat ini merasa sudah mencukupi kebutuhannya Meningkat, karena menyadari kebutuhan masing- masing dan stakeholder lainnya. 5A 5B Persamaan visi, misi dan tujuan Tidak ada, karena merasa lingkungan cukup dikelola pemerintah Ada, karena memiliki kesadaran bahwa lingkungan perlu dikelola bersama sehingga perlu menyamakan persepsi Tabel 35. Skenario dan kombinasi kondisi faktor No. Skenario Kombinasi Kondisi Faktor 1. 2. 3. 4. Optimis Moderat Pesimis Sangat Pesimis 1B2B3B4C5B 1B2B3B4B5B 1A2A3A4B5A 1A2A3A4A5A Tabel 36. Interpretasi kondisi masa yang akan datang Faktor Kondisi state di masa yang akan datang 1A 1B Penegakan hukum Laju peningkatan limbah dari masing- masing sumber pencemar meningkat sampai 1 Limbah dari masing- masing sumber pencemar dapat ditekan hingga 1 2A 2B Hubungan antar stakeholder Laju peningkatan limbah dari masing- masing sumber pencemar meningkat sampai 0,5 Limbah dari masing- masing sumber pencemar dapat ditekan hingga 0,5 3A 3B Koordinasi daerah Laju peningkatan limbah dari luar daerah meningkat sampai 1 Limbah dari luar daerah dapat ditekan hingga 1 4A 4B 4C Kompromi tingkat kebutuhan Laju peningkatan limbah dari masing- masing sumber pencemar meningkat sampai 0,5 Limbah dari masing- masing sumber pencemar tidak mengalami perubahan yang signifikan dari keadaan sekarang Limbah dari masing- masing sumber pencemar dapat ditekan hingga 0,5 5A 5B Persamaan visi, misi dan tujuan Laju peningkatan limbah dari masing- masing sumber pencemar meningkat sampai 0,5 Limbah dari masing- masing sumber pencemar dapat ditekan hingga 0,5

5.5.2. Simulasi Skenario

Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas, untuk mengetahui perilaku masing-masing. Kajian dilakukan terhadap sumber-sumber pencemar. Perilaku antar skenario ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai peubah yang dikaji, akibat adanya perbedaan kombinasi faktor. Hasil simulasi disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 58. 50 100 150 200 250 2004 2007 2010 2013 2016 2019 2022 2025 2028 Tahun P en cemar an T el u k Jakar ta Optimis Moderat Pesimis Sangat Pesimis Gambar 58. Skenario-skenario persentase pencemaran Teluk Jakarta Berdasarkan Gambar 58 menunjukkan bahwa keempat skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah pencemaran yang ada di Teluk Jakarta, sehingga apabila dilihat dari skenario tersebut maka dapat dijelaskan bahwa pencemaran Teluk Jakarta dapat dipurifikasi atau tidak melampaui kemampuan asimilasinya dapat diketahui. Pada grafik yang terbentuk terlihat cenderung linear, namun sebenarnya grafik yang terbentuk adalah kuadratik tetapi regresi tersebut sangat kecil. Hal ini disebabkan regresi yang dibuat berdasarkan hubungan skenario dengan regresi perkembangan serta kepedulian lingkungan dari masing-masing sumber pencemar sangat kecil. Regresi pada pertumbuhan penduduk mulai dari tahun 2004 semakin kecil tingkat pertumbuhan yang ada, untuk pertumbuhan industri pada tahun 2009 hampir stagnan karena tidak tersedianya lahan untuk industri kecuali adanya perubahan penggunaan lahan, sedangkan pasar hampir sama dengan perkembangan industri. Untuk hasil skenario masing-masing sumber pencemar data dapat dilihat pada Lampiran 32 – Lampiran 41. Berdasarkan dari keempat skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah pencemaran di Teluk Jakarta antara lain: ƒ TDS masih melebihi kapasitas asimilasi sampai tahun 2030 baik pada skenario moderat maupun optimis. ƒ PO 4 pada skenario moderat tahun 2021 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 157,65 tonbulan, sedangkan pada skenario optimis tahun 2019 dengan beban pencemaran 152,83 tonbulan. ƒ SO 4 pada skenario moderat tahun 2027 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 30.849,65 tonbulan, sedangkan skenario optimis tahun 2024 dengan beban pencemaran 29.854,50 tonbulan. ƒ MBAS pada skenario moderat masih melampaui kemampuan asimilasi sampai tahun 2030, sedangkan untuk skenario optimis baru tahun 2027 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 100,85 tonbulan. ƒ KMnO 4 pada skenario moderat tahun 2020 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 6.356,08 tonbulan, sedangkan untuk skenario optimis tahun 2018 dengan beban pencemaran 6.233,85 tonbulan. ƒ BOD pada skenario moderat sudah tidak melampaui kemampuan asimilasinya pada tahun 2014 dengan beban pencemaran 5.288,34 tonbulan, untuk skenario optimis pada tahun 2013 dengan beban pencemaran sebesar 5.175,02 tonbulan. ƒ COD pada skenario moderat sudah tidak melampaui kemampuan asimilasinya pada tahun 2029 dengan beban pencemaran 6.838,07 tonbulan, sedangkan untuk skenario optimis baru tahun 2026 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 6.291,03 tonbulan. ƒ Sedangkan untuk bahan pencemar TSS, Mn, dan Zn pada kondisi pesimis maupun sangat pesimis masing-masing bahan pencemar tersebut belum melampaui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta sampai tahun 2030. 5.6. Penggunaan Perangkat Lunak yang Dikembangkan 5.6.1. Perangkat Lunak Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL A. Konfigurasi Program Program didesain menggunakan bahasa pemrograman visual basic 6.0, dalam bentuk Sistem Pengendalian Pencemaran. Secara garis besar program terdiri dari empat subsistem, yaitu subsistem-subsistem basis data, input data, kondisi skenario. Model-model yang dibangun dalam program ini adalah model pengendalian pencemaran. Sedangkan input data didesain untuk mensimulasikan berbagai kondisi sumber-sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari DKI Jakarta domestik, industri, dan pasar, sumber pencemaran dari lintas wilayahsektoral, pelabuhan dan udara.

B. Keperluan Hardware

Program Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL memerlukan perangkat keras komputer minimal pentium 100 Mhz dan memori minimal 16 MB, dengan space di hard disk diperkirakan 1 MB dan resolusi monitor 32 MB.

C. Keperluan Software

Program Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL dapat dijalankan dalam sistem operasi Windows 98 atau versi yang lebih tinggi. Meskipun program ini didesain dengan bahasa pemrograman visual basic 6.0, tetapi program dapat langsung dijalankan tanpa memerlukan adanya software tersebut karena sudah didesain dalam suatu file executetable.

D. Instalasi

Untuk menjalankan program ini, pengguna dapat melakukan langkah- langkah sebagai berikut : 1 Pindahkan terlebih dahulu folder MoPPeL ke direktori “C:\MoPPeL”. 2 Membuat shortcut program MoPPeL untuk mengeksekusi program “C:\MoPPeL\MODELLINGKUNGAN.exe”. Adapun tahapan untuk membuat shortcut tersebut antara lain : ¾ Klik kiri mouse pada folder MoPPel tersebut, kemudian terdapat berbagai macam file seperti terlihat pada Gambar 59, dan klik kanan pada file “MODELLINGKUNGAN.exe.”, kemudian copy file tersebut ke layar monitor atau tampilan windows komputer. Gambar 59. Tampilan pembuatan shortcut ¾ Jika pekerjaan di atas dilakukan dengan benar, maka di layar monitor akan muncul shortcut MODELLINGKUNGAN.exe.

E. Pengoperasian

Untuk menjalankan program Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL tersebut pengguna tinggal mengklik ganda shortcut tersebut. Tampilan awal pada saat program dijalankan dapat dilihat pada Gambar 60. Model Pengendalian Pencemaran Laut dalam Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan Teluk Jakarta Gambar 60. Tampilan awal program MoPPeL Selanjutnya setelah masuk ke tampilan awal dari program, maka tinggal meng-klik “MASUK”, sehingga akan muncul tampilan “HALAMAN UTAMA” yang berisikan kondisi umum Jakarta dan Teluk Jakarta, seperti terlihat pada Gambar 61. Dalam mensimulasikan sumber-sumber pencemaran untuk mengetahui keadaan beban pencemaran masing-masing parameter yang diamati sampai tahun 2030 maka pengguna terlebih dahulu masuk ke menu ”INPUT DATA”. Menu ”SKENARIO MODEL” belum dapat di klik atau dijalankan apabila data simulasi yang akan dilakukan belum di input. HALAMAN UTAMA Gambar 61. Tampilan menu untuk halaman utama Dalam mensimulasikan sumber-sumber pencemaran untuk mengetahui keadaan beban pencemaran masing-masing parameter yang diamati sampai tahun 2030 maka pengguna terlebih dahulu masuk ke menu ”INPUT DATA”, yang kemudian akan muncul tampilan awal ”INPUT DATA” seperti terlihat pada Gambar 62, dimana pada tampilan tersebut akan terlihat data awal sumber pencemar dengan kondisi tahun 2004 dan kapasitas asimilasi dari Teluk Jakarta serta kapasitas asimilasi yang diperbolehkan dari sumber pencemar landbased. Menu ”SKENARIO MODEL” belum dapat diklik atau dijalankan apabila data simulasi yang akan dilakukan belum diinput. Gambar 62. Tampilan menu untuk input data Setelah data diinput maka perlu meng-klik ”RUN” agar dapat diketahui besarnya beban pencemaran dari masing-masing parameter dan selisihnya terhadap kapasitas asimilasi sehingga pengguna akan mengetahui masing-masing parameter yang belum melampaui dan yang sudah melampaui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta dengan munculnya tulisan berwarna hitam ”Belum Melampaui K. Asimilasi” dan tulisan berwarna merah ”Sudah Melampaui K. Asimilasi”. Tampilan dari hasil simulasi pada halaman input data dapat dilihat pada Gambar 63. Gambar 63. Tampilan menu untuk hasil simulasi input data Selanjutnya kita dapat mengetahui beban pencemaran masing-masing parameter sampai tahun 2030 dengan meng-klik menu ”SKENARIO MODEL”, sehingga akan muncul tampilan menu skenario model seperti terlihat pada Gambar 64. Pada tampilan tersebut akan terlihat grafik kapasitas asimilasi dan skenario-skenario yang ada optimis, moderat, pesimis, dan sangat pesimis, sehingga dapat diketahui pada kondisi yang mana dan pada tahun berapa parameter pencemar tersebut berada di atas kapasitas asimilasi atau di bawah kapasitas asimilasi. Selain grafik pada halaman tersebut juga dapat diketahui keterangan mengenai bahan pencemar, dampak bahan pencemar dan sumber dari bahan pencemar tersebut. Untuk mengetahui parameter yang diinginkan maka pilihlah parameter yang diinginkan dengan meng-klik box parameter pada kolom bawah, serta untuk memilih tahun yang diinginkan tentukan simulasi tahun dan pilihlah tahun pada kolom yang ada. Untuk hasil pemilihan tersebut dapat dilihat pada Gambar 65. Gambar 64. Tampilan menu skenario model Gambar 65. Tampilan menu skenario model hasil simulasi Pada menu desain sistem berisikan informasi tambahan dari Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL, yang menampilkan tentang informasi causal loop , diagram forester, black box, dan skenario model dari Sistem Pengendalian Pencemaran Laut. Tampilan masing-masing informasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 66 - Gambar 69. Pada submenu causal loop memberikan informasi mengenai hubungan sebab akibat dari elemen-elemen yang ada pada sistem tersebut, pada submenu diagram forester memberikan informasi mengenai aliran dalam sistem pencemaran Teluk Jakarta, pada submenu black box memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang ada dalam input terkontrol dan input tak terkontrol, serta tujuan yang diinginkan dalam model pengendalian pencemaran laut, sedangkan pada submenu skenario memberikan informasi tentang proses simulasi sampai tahun 2030, dimana telah ditentukan berdasarkan kesepakatan pendapat para pakar expert dalam pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Gambar 66. Tampilan submenu causal loop Gambar 67. Tampilan submenu diagram forester Gambar 68. Tampilan submenu black box Gambar 69. Tampilan submenu skenario

5.7. Strategi dan Arahan Kebijakan

Elemen-elemen negara yang meliputi pemerintah government, Dewan Perwakilan Rakyat people’s representative, maupun lembaga peradilan judiciary harus berfungsi dan menciptakan proses check and balances yang mampu mengawasi satu sama lainnya. Masyarakat sipil civil society juga harus mampu menjalankan peranannya sebagai penyalur aspirasi rakyat dan menjalankan fungsi public control. Sedangkan sektor swasta dalam menjalankan kegiatan ekonominya harus diberikan jaminan bahwa kegiatannya dapat berjalan dengan baik dan lancar serta menyadari terdapat rambu-rambu sosial dan hukum untuk ditaati. Dengan demikian, good governance yang diupayakan dalam era reformasi saat ini dapat berjalan. Pembaruan kebijaksanaan di bidang sumberdaya alam harus sejalan dengan pembaruan dalam sistem politik dan hukum kita yang mengarah kepada good governance. Untuk dapat mewujudkan good governance menurut Santosa 2001, maka dalam melaksanakan pembangunan dan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam maka perlu diterapkan dua puluh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkugan Lampiran 42. Seperti pada bagian sebelumnya bahwa pengendalian pencemaran Teluk Jakarta haruslah mengindahkan kepentingan dan tingkat kebutuhan dari para pelaku stakeholder. Dengan terakomodasinya kepentingan tersebut, maka beban pencemaran dapat dijadikan instrumen yang perlu ditaati oleh para pelaku karena menyangkut kepentingannya. Dari analisis ISM telah diketahui kebutuhan para pelaku terdiri dari penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, dan persamaan visi, misi dan tujuan. Jika kebutuhan tersebut terakomodasi maka dengan sendirinya sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta akan memberikan output berupa mengurangi dampak negatif dari pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya, meningkatkan daya dukung lingkungan perairan Teluk Jakarta, dan minimisasi biaya penanganan pencemaran. Arahan kebijakan berdasarkan permasalahan-permasalahan pada faktor utama dari sistem yang ada yaitu : penegakan hukum, memperbaiki hubungan yang harmonis antar stakeholder, meningkatkan hubungan antar daerah khususnya dalam pengelolaan DAS, kompromi tingkat kebutuhan, menyamakan visi, misi dan tujuan dalam pengelolaan lingkungan. Agar semua permasalahan yang ada dapat teratasi berdasarkan arahan kebijakan maka perlu juga penerapan kaidah FASE yaitu : • Focus fokus yaitu melihat urgensi permasalahan disesuaikan dengan kemampuan diri. • Accountability tanggung jawab yaitu pertanggung jawaban yang jelas bagi semua pelaksana. • Simplification simplifikasi yaitu penyederhanaan sumber permasalahan agar memudahkan untuk mengatasinya. • Enforcement penegakan yaitu penyelesaian permasalahan secara tuntas.

5.7.1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam penerapan Undang-undang harus benar-benar ditegakkan karena merupakan prinsip utama dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut secara tegas dan konsisten. Hal ini dapat dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi objek hukum terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan masyarakat. Adanya penegakan hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum. Selain itu perlunya pengawasan, pemantauan untuk memaksimalkan penegakan hukum. Pemantauan ditujukan untuk memantau aktivitas-aktivitas di perairan Teluk Jakarta sehingga diperoleh informasi yang jelas baik mengenai penyebab dari pencemaran maupun kualitas perairan. Pemantauan tersebut dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidangnya. Upaya pengawasan difokuskan pada pengendalian sumber pencemar baik yang berada di sepanjang pesisir maupun lautan. Sedangkan untuk upaya penegakan hukum yaitu dengan memberikan sanksi yang berat kepada para pelaku pencemaran atau industri-industri agar para pelaku tersebut menjadi jera dan mengindahkan kaidah yang berlaku dan telah ditetapkan oleh pemerintah. Di samping itu, upaya lain yang dilakukan yaitu dengan memberikan insentif kepada pihak-pihak yang melakukan usaha penanggulangan pencemaran.

5.7.2. Memperbaiki Hubungan yang Harmonis antar Stakeholder

Dalam penerapan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta perlunya hubungan yang harmonis antar stakeholder, sehingga dalam hal ini masing- masing stakeholder perlu memperhatikan dampak dari kegiatan yang dilakukannya terhadap stakeholder lainnya, Jika dampak negatif terjadi akibat kepentingan masing-masing maka sudah mempunyai antisipasi terhadap dampak tersebut agar hubungan tetap terjalin dengan baik.

5.7.3. Meningkatkan Hubungan antar Daerah Khususnya dalam

Pengelolaan DAS Dalam meningkatkan hubungan antar daerah khususnya dalam pengelolaan DAS sangatlah penting dalam terwujudnya sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang efektif dan efisien. Peningkatan hubungan tersebut dapat dilakukan dengan prinsip keterpaduan, dimana keterpaduan yang dimaksud antara lain keterpaduan antara ekosistem darat dan laut, keterpaduan antar wilayah administrasi, keterpaduan antar sektor, serta keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen.

A. Keterpaduan antara ekosistem darat dan laut

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dengan memperhatikan kemampuan dari ekosistem darat untuk dieksploitasi dan memperhatikan kemampuan pesisir untuk menerima dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut. Misalnya pembukaan lahan pertanian atau pemukiman akan menimbulkan sedimentasi baik pada badan sungai maupun di perairan pantai, sehingga dalam suatu perencanaan diperlukan keterpaduan antar ekosistem.

B. Keterpaduan antar wilayah Administrasi

Sungai merupakan suatu sistem terbuka dan mengalir dari daerah hulu ke hilir sehingga dampak aktivitas dari wilayah administrasi di bagian hulu akan berdampak pada masyarakat di wilayah hilir, sehingga dalam pengelolaan limbah terutama domestik perlu adanya keterpaduan wilayah baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten ataupun pusat. Sebagai contoh DAS Ciliwung yang melalui Kota Bogor, Depok, Jakarta dan lain-lain Gambar 70.

C. Keterpaduan antar sektor

Besarnya dampak dan banyaknya aspek kehidupan yang ditimbulkan oleh limbah maka dalam pengelolaannya perlu adanya keterpaduan antar sektor- sektor yang terkait dengan hal tersebut, misalnya Departemen Pertanian. Departemen Kehutanan, Departemen Perkerjaan Umum, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan.

D. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan manajemen

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosial-ekonomi, budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya. BOGOR TANGERANG JAKARTA SELATAN DEPOK JAKARTA BARAT KODYA TANGERANG JAKARTA TIMUR JAKARTA PUSAT KODYA BOGOR JAKARTA UTARA CIANJUR CIANJUR SUKABUMI BOGOR TANGERANG BOGOR BOGOR KODYA TANGERANG Gambar 70. Sungai Ciliwung yang melalui beberapa wilayah administrasi

E. Kompromi tingkat kebutuhan

Perlu dibentuk wadah diskusi yang dapat mempertemukan masing-masing stakeholder dalam merencanakan pengelolaan Teluk Jakarta, khususnya dalam pengendalian pencemaran yang terjadi sehingga mengetahui tingkat permasalahan yang dirasakan akibat dampak dari masing-masing kepentingan serta untuk mengetahui tingkat kebutuhan dari masing-masing stakeholder. Termasuk didalamnya partisipasi masyarakat untuk turut aktif dalam suatu proses kegiatan bagi siapapun yang terlibat dan berkepentingan atau berkaitan dengan proses yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan partisipasi masyarakat sebagai salah satu upaya dalam pengelolaan dan penanggulangan pencemaran di Teluk Jakarta. Adanya kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dan masyarakat masyarakat lokal, LSM, dunia usaha dan akademis melalui pengamatan dan evaluasi serta pencarian solusi dalam rangka peningkatan kualitas perairan Teluk Jakarta. keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan kepentingannya untuk dapat dibuat dalam naskah RUU, serta ikut berperan dalam melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan perundang- undangan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari pihak yang memprakarsai, dalam hal ini pemerintah. Keterbukaan pemerintah menginformasikan draft rumusan aturan-aturan, kebijakan dan rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan, serta usul perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan persepsi masyarakat. Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah, sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang diakibatkan oleh kesalahan prosedur penetapan kebijakan.

5.7.4. Menyamakan Visi, Misi dan Tujuan dalam Pengelolaan Lingkungan

Perlunya membangun visi dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan ekologi dan lingkungan dengan menjadikan permasalahan pencemaran limbah sebagai masalah penting yang harus ditanggapi secara serius. Persamaan dalam pandangan perbaikan kualitas lingkungan khususnya Teluk Jakarta seperti pemulihan secara bertahap dimana kegiatannya difokuskan pada upaya rehabilitasi, konservasi dan pengendalian sumber-sumber pencemar dari daratan landbased sources yang masuk melalui sungai. Kewajiban dalam pengelolaan lingkungan khususnya yang berdampak pada pencemaran Teluk Jakarta perlu dilakukan bagi masing-masing stakeholder sehingga dalam hal ini setiap stakeholder terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta wajib memasukkan salah satu visi, misi dan tujuan pengelolaan lingkungan khususnya pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dalam rencana pengembangan pada kegiatan masing-masing. Tidak terlepas juga pada wilayah administrasi yang lintas sektoral, perlunya penerapan dalam menyamakan visi, misi dan tujuan khususnya yang dilalui oleh aliran DAS sehingga dapat mewujudkan perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta seperti yang diharapkan dalam sistem pengendalian pencemaran laut ini.

5.8. Rencana Pengelolaan terhadap Sumber Pencemaran Teluk Jakarta

5.8.1. Rencana Pengelolaan terhadap Sumber Pencemar A.

Untuk Limbah Domestik ƒ Inventarisasi sumber-sumber pencemaran limbah domestik terutama yang memberikan kontribusi terhadap pencemaran sungai yaitu sekitar 100 meter kanan dan kiri sungai. ƒ Peningkatan pelayanan pengangkutan sampah dimulai dari unit lingkungan terkecil sampai ke kawasan perkotaan melalui pola pengelolaan sampah terpadu ƒ Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang pencemaran limbah logam berat, B3, red tide serta peran serta masyarakat ƒ Peningkatan kesadaran publik public awareness dan mobilisasi partisipasi masyarakat dalam usaha penanggulangan pencemaran. Hal tersebut dimaksudkan agar mengingatkan kepada masyarakat terhadap perilaku mereka yang tidak ramah lingkungan. Perilaku masyarakat demikian itu telah menyebabkan tingginya tingkat pencemaran dan gagalnya berbagai program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pencemaran di Teluk Jakarta. ƒ Pengadaan atau pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan limbah waste water treatment sebagai salah satu syarat agar proses atau berbagai aktivitas industri ataupun rumah tangga dapat berjalan dengan tidak semakin menambah beban pencemaran pada Teluk Jakarta dan sekitarnya. ƒ Perlu perbaikan dalam sistem manajemen pengelolaan sampah secara keseluruhan; Untuk mencapai keberhasilan, maka perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan lainnya. ƒ Pemanfaatan bahan kompos untuk taman kota dalam bentuk kampanye penghijauan dengan contoh-contoh hasil nyata sebagai upaya promosi pada masyarakat luas;

B. Untuk Limbah Industri

ƒ Inventarisasi industri di sekitar DAS yang bermuara di Teluk Jakarta terutama yang diindikasikan berpotensi penghasil limbah di kawasan Teluk Jakarta ƒ Setiap industri harus mempunyai dokumen amdal yang dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah secara internal. ƒ Pengkajian UKL dan UPL pada industri-industri yang telah terbangun dengan pelengkapan sarana pengelolaan sampah internal. ƒ Penerapan teknologi proses zero waste discharge atau teknologi yang berupaya meminimalkan limbah atau bahkan meniadakan limbah dari setiap proses industri. Upaya tersebut dimaksudkan guna mengurangi beban limbah yang masuk ke Teluk Jakarta. ƒ Penerapan metode reuse, recycle, dan reduce pada berbagai aktivitas industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta atau yang berada di sekitar DAS, dengan demikian maka jumlah dari limbah atau bahan pencemar yang masuk dapat dikurangi. ƒ Pengelolaan masalah pencemaran limbah industri menurut Soemantojo dan Endrawanto 1992, sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknologi, lingkungan, dan administratif. Bagan pengelolaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 43.

C. Untuk Limbah Pasar

ƒ Inventarisasi pasar-pasar yang ada terutama yang dekat ke sungai baik pasar modern, pasar tradisional maupun pasar yang muncul saat-saat tertentu atau sering disebut pasar tumpah. ƒ Untuk bangunan dengan tujuan komersial harus mempunyai dokumen amdal yang dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah secara internal. ƒ Pengkajian UKL dan UPL pada bangunan komersial yang telah terbangun dengan pelengkapan sarana pengelolaan sampah internal. ƒ Pembangunan pasar induk dibuat sesuai dengan RTRW, dengan syarat lahan yang digunakan antara lain adalah tidak pada kawasan resapan air catchment area, tidak dekat dengan jalan besar dan pusat keramaian, lokasi di perbatasan kota yang dilengkapi dengan sarana infrastruktur yang memadai dan memiliki teknologi pengelolaan limbah internal, dibangun pada lahan tidur atau lahan yang tidak termanfaatkan yang bukan merupakan lahan sengketa. ƒ Setiap pasar induk dilengkapi dengan peralatan pengolahan limbah selain untuk menampung dan mengolah sampah dari hasil kegiatan pasarnya juga menampung limbah dari pasar-pasar tradisionalpasar tumpahpasar kaget di sekitarnya.

5.8.2. Rencana Pengelolaan Limbah secara Umum

o RTRW kota untuk bangunan dibuat berdasarkan kesesuaian lahan. o Pendidikan dan penyuluhan lingkungan hidup sejak usia dini. o Pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup pada semua aparat pemerintahan sejak mulai bekerja yang dibekali dengan buku saku panduan pengelolaan lingkungan hidup. o Meningkatkan pengawasan DAS oleh tim pengawas independen DAS yang dibentuk dari berbagai elemen masyarakat. o Zonasi terpadu dari hulu ke hilir selain memperhatikan aspek komersial juga dengan memperhatikan aspek lingkungan. o Penanganan pengelolaan sampah tidak hanya dibebankan pada layanan Dinas Kebersihan tetapi juga dikelola mulai dari wilayah administratif terkecil dengan pembuatan sub-sub tempat pembuangan akhir TPA. o Penanganan pembuangan air limbah dilakukan secara terpadu dan perlu dipisahkan dengan pengeluaran air hujan pada masing-masing sumber pencemar. o Sampah yang telah ditimbun pada TPA mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah : 1 Teknologi pembakaran incenarator. Dengan cara ini dihasilkan produk samping berupa logam bekas skrap dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya dari penggunaan alat ini adalah : a Dapat mengurangi volume sampah ± 75 - 80 dari sumber sampah tanpa proses pemilahan, b Abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan dapat langsung dibawa ke tempat penimbunan pada lahan kosong, rawa ataupun daerah rendah sebagai bahan pengurug, dan c Pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas ± 300 tonhari dapat dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik ± 96.000 MWHtahun yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya proses. 2 Teknologi komposting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah. 3 Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti: kertas, plastik logam dan kacagelas.

5.8.3. Rencana Pengelolaan Pencemaran Sungai

o Pembuatan penyaringan sampah padat waste trap pada titik pengamatan outlet sungai sesuai wilayah administratif, bahkan wilayah administratif terkecil yang dikelola oleh masyarakat juga difasilitasi oleh pemerintah. o Pengadaan dan penguatan kelembagaan untuk pengelolaan sampah yang melewati sungai. o Inventarisasi sumber-sumber pencemaran di sekitar sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta, terutama sumber-sumber pencemaran yang berasal dari limbah domestik, limbah industri, dan limbah pasar. o Menghidupkan wisata air. o Peningkatan kegiatan PROKASIH.

5.8.4. Rencana Pengelolaan Teluk Jakarta

Kondisi lingkungan pesisir dan Perairan Teluk Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas. Hal ini terlihat dari timbulnya pencemaran lingkungan perairan, berkurangnya hutan mangrove serta rusaknya terumbu karang. Penurunan kualitas lingkungan ini akan mengurangi fungsi yang menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk yang mendapatkan manfaat darinya. Keadaan ini disebabkan oleh sering terjadinya pencemaran baik yang berasal dari kegiatan di daratan maupun kegiatan di perairan itu sendiri, sehingga dalam hal ini perlunya melakukan penyusunan informasi lingkungan yang dilakukan melalui kegiatan : 1. Pemantauan kualitas air sungai di DKI Jakarta 2. Pemantauan kualitas muara, perairan Teluk Jakarta dan Kep. Seribu 3. Inventarisasi kegiatan sepanjang kawasan pantura Jakarta 4. Inventarisasi kondisi hutan mangrove dan terumbu Jepang Agar fungsi lingkungan pesisir dan perairan Teluk Jakarta dapat ditingkatkan kembali maka dilakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran dengan melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, swasta maupun masyarakat. Adapun kegiatan rencana kelola yang dilakukan untuk pengendalian pencemaran di Teluk Jakarta ini antara lain adalah: o Peningkatan kegiatan Program Laut Lestari Program laut lestari yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan pesisir dalam hal ini lingkungan pantai dan lingkungan daratan pantai. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan air laut dengan cara mengurangi beban pencemaran yang masuk, mengendalikan pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan hutan bakau khususnya di daerah dengan resiko tinggi, meningkatkan sumberdaya kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan perairan pesisir dan laut. o Peningkatan kegiatan Pantai Wisata Pantai wisata yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan di wilayah pantai yang merupakan tujuan wisata. Sasaran dari kegiatan ini adalah terwujudnya kondisi dan pelayanan pariwisata yang andal dalam keseluruhan sistem dan tercapainya serta terjaganya perairan pantai sesuai dengan baku mutunya. Sumber pencemar dan perusakan untuk kegiatan pantai wisata yang akan ditangani adalah limbah-limbah dari kegiatan-kegiatan di sepanjang pantai yang diduga dapat merusak lingkungan seperti hotel, restoran, pemukiman, industri, dan rumah sakit. o Peningkatan kegiatan Bandar Indah Bandar indah yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan di wilayah pelabuhan. Sasarannya adalah terwujudnya pelabuhan berwawasan lingkungan yang selain sesuai dengan fungsinya juga memenuhi : 1 baku mutu untuk air kolam pelabuhan; 2 baku mutu industri di dalam pelabuhan; dan 3 keindahan untuk estetika kawasan darat pelabuhan. Sumber pencemar dan perusakan yang akan ditangani untuk kegiatan ini adalah limbah padat dan cair dari kegiatan-kegiatan di dalam area pelabuhan baik di wilayah daratan maupun perairan. o Peningkatan kegiatan Taman Lestari Taman lestari yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan hutan bakau mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir. Sasarannya adalah terkendalinya pencemaran dan kerusakan terumbu karang serta mangrove berdasarkan kriteria pencemaran dan kerusakannya melalui pola kemitraan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat pantai. Sumber pencemaran yang akan ditangani adalah pencemaran dan perusakan terumbu karang dengan menggunakan bom penangkapan ikan yang menggunakan bahan kimia, minimisasi penggunaan jangkar serta penambangan hutan bakau secara liar. o Peningkatan sistem P3LE pemantauan, pengecekan, pengamatan lapangan dan evaluasi. Sistem P3LE yaitu program kerja pengawasan secara rutin yang tidak hanya sekedar dalam bentuk laporan namun harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pembinaan atau penegakan hukum bagi pelanggaran- pelanggaran yang ditemukan. Adapun tujuan dari program P3LE antara lain : 1 menurunkan beban pencemaran yang masuk ke kawasan pesisir dan laut terutama dari sumber pencemar yang membuang limbah langsung ke laut seperti kegiatan industri, perhotelan, pertambangan, PLTUPLTAPLTG dan kegiatan kapal di pelabuhan; 2 meningkatkan kapasitas sistem informasi dan basis data data base mengenai kegiatan yang membuang limbahnya ke laut; 3 meningkatkan kapasitas kelembagaan, tatalaksana pengawasan, kemampuan personil dan dukungan pemerintah daerah dalam kegiatan yang dilaksanakan. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas untuk pengembangan pantai, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, maka perlu beberapa kebijakan pokok antara lain: a. Konservasi. Mempertahankan daerah penghijauan yang masih mungkin dipertahankan, sekaligus mengurangi tingkat pencemaran khususnya di daerah pesisir pantai, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. b. Preservasi Meningkatkan lingkungan-lingkungan yang memiliki nilai-nilai historis untuk kepentingan peningkatan aspek-aspek edukatif dan rekreasi. c. Pembangunan Memberikan ruang gerak terhadap pembangunan yang memiliki nilai khusus dalam konteks kepentingan nasional Pelabuhan Tanjung Priok atau proyek- proyek khusus lainnya, tanpa menambah beban pencemaran baru pada lingkungan sekitarnya serta mengembangkan sarana-sarana rekreasi bagi kepentingan umum Pluit, Ancol, Kapuk dan sebagainya. d. Peningkatan kegiatan pariwisata dan kegiatan perikanan Konservasi atau pelestarian alam dan biota laut dalam konteks Taman Laut Nasional serta meningkatkan pariwisata dan kegiatan kenelayanan. Dari permasalahan pencemaran Teluk Jakarta yang paling dominan dari limbah domestik terutama sampah padat, maka strategi yang perlu dilakukan antara lain : Program Jangka Pendek tahunan, meliputi : ƒ Optimalisasi pengoperasian TPA dan pembangunan TPA baru bila dibutuhkan; ƒ Pembangunan prasarana guna mengamankan lokasi calon TPA baru; ƒ Pembangunan incenarator skala kecil di kelurahan-kelurahan; ƒ Pengembangan program 3R reuse, recycle, reduce; ƒ Pengolahan sampah terpadu dengan pendekatan zero waste; ƒ Penyusunan studi paradigma baru pengelolaan sampah dari cost center menjadi profit center; dan ƒ Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta, meliputi : 1. Pembangunan TPA dengan sistem sanitary landfill; 2. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem biomass product; 3. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem pirolisis; dan 4. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem ATAD. Program Jangka Menengah 3 tahunan, meliputi : ƒ Pelaksanaan program sinergis sampah dan pasir; ƒ Pembangunan calon TPA sebagai lokasi pengolahan sampah dengan teknologi tinggi yang dilengkapi dengan sistem sanitary lanfill; ƒ Pelaksanaan pemilahan sampah di dalam kawasan atau tempat penampungan sementara TPS; ƒ Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta lainnya dengan penekanan kepada teknologi yang mengolah sampah organik dan pembangunan unit- unit daur ulang; ƒ Pengembangan korporasi pengolahan sampah dan kerjasama antar daerah yang lebih luas; ƒ Pelaksanaan evaluasi masterplan sampah pada daerah yang lebih luas misalnya : se-Jabodetabek; ƒ Pelaksanaan kampanye massal mengenai 3R reuse, recycle dan reduce kepada masyarakat; ƒ Pelaksanaan evaluasi pada kelembagaan instansi teknis pengelola sampah; ƒ Pelaksanaan evaluasi total terhadap sistem pengelolaan retribusi sampah dalam rangka meningkatkan perolehan retribusi; dan ƒ Penyusunan dan sosialisasi perangkat-perangkat hukum yang berkaitan dengan tata cara pengelolaan kebersihan. Program Jangka Panjang 5 tahunan, meliputi : ƒ Pendirian korporasi pengelola sampah antar daerah; ƒ Pelaksanaan pemilahan sampah sejak di sumber sampah; ƒ Pengembangan home composting di masyarakat; ƒ Pengembangan incenerator skala besar; ƒ Pengembangan kampanye massal mengenai 3R reuse, recycle dan reduce kepada masyarakat; ƒ Pelaksanaan restrukturisasi instansi teknis pengelola sampah; ƒ Pelaksanaan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggaran- pelanggaran kebersihan; dan ƒ Pencanangan “Kota Bebas Masalah Sampah”.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini untuk pengembangan sistem pengendalian pencemaran laut, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1 Sumber-sumber pencemaran yang berada di Teluk Jakarta yang terbesar berasal dari landbased sources yakni dari limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. 2 Sebagian besar yakni 65,48 parameter kualitas air pada seluruh lokasi pengamatan sudah melampaui baku mutu air sungaibadan air serta baku mutu limbah cair di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air SungaiBadan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 3 Beban pencemaran di 10 muara sungai pada tahun 2005 yang paling tinggi setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu zat padat terlarut total dissolved solidTDS, dimana muara yang paling banyak memberikan kontribusi beban pencemaran terbesar sebesar 1.540.311,55 tonbulan adalah Kali Blencong dengan titik pengamatan 38 A yang berada di Pantai Maruda. 4 Kapasitas asimilasi untuk parameter TDS sebesar 109.249 tonbulan, TSS sebesar 71.819 tonbulan, Mn sebesar 426,8 tonbulan, PO 4 sebesar 160 tonbulan, Zn sebesar 404,2 tonbulan, SO 4 sebesar 31.387 tonbulan, MBAS sebesar 112 tonbulan, KMnO 4 sebesar 6.393 tonbulan, BOD sebesar 5.602 tonbulan, dan COD sebesar 6.966 tonbulan. 5 Sebanyak tujuh dari sepuluh parameter yang diamati pada penelitian ini telah melebihi kapasitas asimilasi asimilative capacity. Parameter- parameter tersebut antara lain TDS, PO 4 , SO 4 , MBAS, KMnO 4 , BOD, dan COD. 6 Teknik permodelan yang dibuat bertujuan untuk mengetahui beban pencemaran di masa yang akan datang dengan mensimulasikan berbagai sumber-sumber pencemaran penyebab terjadinya pencemaran di Teluk Jakarta. 7 Penegakan hukum dalam penerapan Undang-undang harus benar-benar ditegakkan, adanya penegakan hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum; masing-masing stakeholder perlu memperhatikan dampak dari kegiatan yang dilakukannya terhadap stakeholder lainnya agar terciptanya hubungan yang harmonis; dalam meningkatkan hubungan antar daerah khususnya pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan prinsip keterpaduan; perlunya wadah diskusi yang dapat mempertemukan masing-masing stakeholder dalam merencanakan pengelolaan Teluk Jakarta khususnya dalam pengendalian pencemaran yang terjadi sehingga mengetahui permasalahan dan kebutuhan dari masing-masing stakeholder; perlunya membangun visi dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan ekologi dan lingkungan dengan menjadikan permasalahan pencemaran limbah sebagai masalah penting yang harus ditanggapi secara serius.

6.2. Saran

Adapun saran untuk pengembangan sistem pengendalian pencemaran laut, adalah sebagai berikut : 1 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta perlu meningkatkan program pengendalian pencemaran khususnya yang menyangkut pengendalian limbah, baik domestik, industri maupun pasar. 2 Pola kerjasama dan koordinasi berbagai instansi pemerintah dan masyarakat yang lebih terstruktur. 3 Pengumpulan pendapat pakar yang memahami kajian penelitian, untuk membangun arahan kebijakan dan prospek pengembangan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, akan lebih baik bila dilakukan dalam suatu forum pertemuan expert meeting, tidak hanya dikumpulkan melalui kuisioner secara terpisah. Dengan demikian dapat terjadi suatu diskusi dan pertukaran informasi yang dinamis antar para pakar yang memahami kajian penelitian. 4 Perlu kajian lebih lanjut mengenai kerugian ekonomi pencemaran Teluk Jakarta dengan metode pendekatan sistem sebagai landasan penentuan kebijakan lebih lanjut, khususnya mengenai besarnya investasi perbaikan lingkungan agar setiap stakeholder yang terkait mengetahui pentingnya menjaga kerusakan lingkungan dari pada memperbaikinya. DAFTAR PUSTAKA Aboejowono, H. 2000. Pengendalian Pencemaran Pantai dan Sungai. Jurnal himpunan karangan ilmiah di bidang perkotaan dan lingkungan. Bapedalda DKI Jakarta. Vol 2: 56-66. Andajani, S. 1997. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar Hutan dalam Pemanfaatan Hasil Hutan dan Penyusunan Alternatif Pengembangannya di Daerah Penyangga Taman Nasional Siberut. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Yayasan Mutiara. Jakarta. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD DKI Jakarta. 2004. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah SLHD DKI Jakarta tahun 2004. BPLHD Jakarta. Jakarta. _________. 2005. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah SLHD DKI Jakarta tahun 2005. BPLHD Jakarta. Jakarta. Bank Dunia. 2003. Fokus Utama Mengurangi Polusi. Pemantauan Lingkungan Indonesia 2003. Hal 20-32. Badan Pusat Statistik BPS DKI Jakarta. 2005. DKI Jakarta Dalam Angka 2005. Jakarta. Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu : Menata Kembali Pembangunan Teluk Jakarta. Makalah pada Pertemuan Para Ahli dalam Pengelolaan Dampak Kota Besar Terhadap Perairan di Depannya. P3O LIPI, 7-8 April, 1999. Jakarta. Damai, A.A. 2003. Pendekatan Sistem Untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Damar, A. 2004. Teluk Jakarta, Tercemar Sekaligus Subur. Career Development Center. Faculty of Engeneering University Of Indonesia. Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan Timbulan Sampah DKI Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Jakarta. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Forrester, J.W. 1971. World Dynamics. Wright-Allen Press. Cambridge. Massachusetts. Gunnerson, C. 1987. Waste Water Treatment for Coastal Cities. World Bank. Washington, DC. Hadiwijoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta Hartono, W. 2004. Pencemaran Laut dalam Perubahan Iklim Global. Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Integrated Task Team of The Xiamen Demonstration Project. 1996. Strategic Management Plan for Marine Pollution Prevention abd Management in Xiamen. GEFUNDPIMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas Quezon City, Philippines. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Grasindo. Jakarta. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003, Japan International Cooperation Agency JICA: Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren Islam Al Azhar, Jakarta. O’Connor, J. and I. McDermott. 1997. The Art of System Thinking. Thorson. San Fransisco. Prapto, W., dan A. Djayaningrat. 1992. Teknik Pengolahan Air Buangan Industri. Jurnal himpunan karangan ilmiah di bidang perkotaan dan lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. Vol 3: 38-48. Quano. 1993. Training Manual on Assessment of The Quantity and Type of Land Based Pollutan Discharge Into The Marine and Coastal Environment. UNEP. Bangkok. Santosa, M.A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta. Soedharma, D., S. Adiwibowo, M. Kawaroe, S. Saputra. 2005. Prosiding Diskusi Panel Penanganan dan Pengelolaan Pencemaran Wilayah Pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. PPLH-IPB, PKSPL-IPB, Bina Bahari Mandiri. Bogor. Soemantojo, R.M., dan H. Endrawanto. 1992. Metode Dasar Pengelolaan Masalah Pencemaran. Jurnal Widyapura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan P4L, DKI Jakarta. Jakarta.. Vol 3: 70-90. Shuval, H.I. 1977. Water Renovation and Reuse. Academic Press. New York. Sushil. 1993. System Dinamics. A Practical Approach for Managerial Problems. Wiley Eastern Limited. New Delhi. World Healt Organization WHO. 1977. Health and Enviroment in Sustainable Development : Five Years After the Earth Summit. WHO. Genewa. Lampiran 1. Kualitas air Sungai Kamal Titik 42—Jl. Muara Kamal--Golongan D 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Parameter Satuan Baku Mutu Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata I. Fisik 1 Daya Hantar Listrik DHL µhoscm 1000 2038,33 7725,00 1585,00 2200,00 1266,50 696,10 2 Zat Padat Terlarut TDS mgL 200 1021,67 3870,00 795,00 1090,00 766,67 701,22 3 Zat Padat Tersuspensi TSS mgL 200 109,11 40,00 60,00 59,50 58,00 45,00 4 Oksigen Terlarut DO mgL 3 0,75 - - 1,12 0,95 - 5 Debit m 3 dt 0,68 - - - - - 6 Suhu C - - - 28,88 28,73 29,28 7 Kekeruhan NTU - - - - 22,50 41,04

II. Kimiawi

1 Air Raksa Hg mgL 0,0005 0,0016 - 0,0001 0,0009 2 Ammonia NH 3 mgL 1 - - - - - - 3 Besi Total mgL 2 - - - - - 0,34 4 Flourida F mgL 1,50 - - - - - - 5 Kadmium Cd mgL 0,01 0,00 6 Chlorida Cl mgL 250 - - - - - 7 Chromium Heksavalen Cr 6+ mgL 0,05 0,00 8 Mangan Mn mgL 1 0,73 0,78 0,73 1,20 0,68 0,30 9 Nikel Ni mgL 0,1 0,00 0,02 10 Nitrat NO mgL 10 - - - - - - 11 Nitrit NO 2 mgL 1 - - - - - - 12 pH 6,0-8,5 7,11 7,25 7,55 7,45 7,17 8,02 13 Phosphat PO 4 mgL 0,5 1,93 1,08 1,00 5,01 1,04 1,79 14 Seng Zn mgL 1 0,25 0,16 0,48 0,50 0,39 0,115 15 Sulfat SO 4 mgL 100 77,63 98,35 130,07 290,39 105,53 128,72 16 Sulfida H 2 S mgL 0,1 - - - - - - 17 Tembaga Cu mgL 0,1 0,01 0,07 0,05 - 18 Timah Hitam Pb mgL 0,1 0,00 19 Minyak dan Lemak mgL 1,15 0,31 0,30 0,57 0,52 - 20 Surfaktan MBAS mgL 0,5 1,77 3,13 4,75 2,68 2,57 1,93 21 KMnO 4 mgL 25 51,69 51,46 62,42 72,20 57,53 92,73 22 BOD 20 o C, 5 hari mgL 20 42,21 40,45 49,70 57,80 50,93 63,01 23 COD Dichromat mgL 30 67,38 79,71 73,31 116,61 80,51 134,46 24 Kalium mgL -- - - 15,05 - - - 25 Natrium mgL 50 159,96 810,50 207,20 - - 253,30

III. Mikrobiologi

1 Coliform Jmlh100ml 2,00E+04 1,36E+08 9,00E+07 1,60E+13 5,00E+07 5,00E+06 3,03E+07 2 Fecal Coli Jmlh100ml 4,00E+04 1,31E+08 1,40E+07 1,60E+13 3,30E+07 1,50E+06 1,83E+07 169 Lampiran 2. Kualitas air Sungai Cengkareng Drain Titik 22—Jl. Kapuk Muara--Golongan D 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Parameter Satuan Baku Mutu Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata I. Fisik 1 Daya Hantar Listrik DHL µhoscm 1000 1683,78 1270,00 4470,00 6245,00 1687,50 940,98 2 Zat Padat Terlarut TDS mgL 200 794,41 638,50 2230,00 3122,50 878,30 2405,34 3 Zat Padat Tersuspensi TSS mgL 200 59,33 44,00 40,00 49,00 47,00 38,49 4 Oksigen Terlarut DO mgL 3 1,80 - - 0,28 1,57 - 5 Debit m 3 dt 33,83 - - - - - 6 Suhu C - - - 29,58 30,95 29,85 7 Kekeruhan NTU - - - - 48,75 59,61

II. Kimiawi

1 Air Raksa Hg mgL 0,0005 0,0009 - 0,0005 2 Ammonia NH 3 mgL 1 - - - - - - 3 Besi Total mgL 2 - - - - - 0,67 4 Flourida F mgL 1,50 - - - - - - 5 Kadmium Cd mgL 0,01 0,00 6 Chlorida Cl mgL 250 - - - - - - 7 Chromium Heksavalen Cr 6+ mgL 0,05 0,00 8 Mangan Mn mgL 1 0,44 0,44 0,27 0,52 0,34 0,86 9 Nikel Ni mgL 0,1 0,00 10 Nitrat NO mgL 10 - - - - - - 11 Nitrit NO 2 mgL 1 - - - - - - 12 pH 6,0-8,5 7,17 7,15 7,25 7,30 7,10 6,82 13 Phosphat PO 4 mgL 0,5 0,81 0,22 0,30 2,06 0,74 1,12 14 Seng Zn mgL 1 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 15 Sulfat SO 4 mgL 100 54,15 38,39 199,30 291,93 50,51 74,86 16 Sulfida H 2 S mgL 0,1 - - - - - - 17 Tembaga Cu mgL 0,1 0,00 18 Timah Hitam Pb mgL 0,1 0,00 19 Minyak dan Lemak mgL 0,58 0,25 0,19 0,25 0,21 - 20 Surfaktan MBAS mgL 0,5 0,69 1,49 2,29 2,57 1,01 1,12 21 KMnO 4 mgL 25 34,88 21,02 27,70 45,52 26,42 28,53 22 BOD 20 o C, 5 hari mgL 20 25,41 12,65 20,20 37,95 16,12 29,36 23 COD Dichromat mgL 30 42,18 32,66 30,09 51,63 80,95 78,59 24 Kalium mgL -- - - 50,84 - - - 25 Natrium mgL 50 249,20 81,20 748,45 - 223,14

III. Mikrobiologi

1 Coliform Jmlh100ml 2,00E+04 6,68E+06 3,00E+06 9,00E+06 5,00E+06 5,34E+09 8,98E+07 2 Fecal Coli Jmlh100ml 4,00E+04 3,65E+06 1,70E+06 1,60E+06 2,30E+06 5,36E+08 1,58E+07 170 Lampiran 3. Kualitas air Sungai Ciliwung Titik 6--Jembatan Pantai Indak Kapuk--Golongan D 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Parameter Satuan Baku Mutu Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata I. Fisik 1 Daya Hantar Listrik DHL µhoscm 1000 428,99 299,50 507,50 1082,50 948,83 295,67 2 Zat Padat Terlarut TDS mgL 200 215,83 151,45 256,00 542,50 493,67 173,63 3 Zat Padat Tersuspensi TSS mgL 200 68,11 30,00 35,50 39,50 41,33 19,33 4 Oksigen Terlarut DO mgL 3 1,00 - - 0,12 2,19 0,95 5 Debit m 3 dt 15,35 - - - - - 6 Suhu C - - - 27,90 27,55 28,37 7 Kekeruhan NTU - - - - 38,50 19,67

II. Kimiawi

1 Air Raksa Hg mgL 0,0005 0,0003 - 0,0008 2 Ammonia NH 3 mgL 1 - - - - - - 3 Besi Total mgL 2 - - - - - 0,72 4 Flourida F mgL 1,50 - - - - - - 5 Kadmium Cd mgL 0,01 0,00 - 6 Chlorida Cl mgL 250 - - - - - - 7 Chromium Heksavalen Cr 6+ mgL 0,05 0,00 - 8 Mangan Mn mgL 1 0,29 0,30 0,25 0,22 0,48 0,26 9 Nikel Ni mgL 0,1 0,00 10 Nitrat NO mgL 10 - - - - - - 11 Nitrit NO 2 mgL 1 - - - - - - 12 pH 6,0-8,5 7,12 7,20 7,05 7,15 6,30 6,43 13 Phosphat PO 4 mgL 0,5 0,55 0,33 1,67 1,85 0,67 1,21 14 Seng Zn mgL 1 0,014 0,003 0,023 0,01 0,01 0,035 15 Sulfat SO 4 mgL 100 27,69 19,44 14,75 51,50 32,94 20,88 16 Sulfida H 2 S mgL 0,1 - - - - - - 17 Tembaga Cu mgL 0,1 0,00 18 Timah Hitam Pb mgL 0,1 0,00 19 Minyak dan Lemak mgL 0,65 0,60 0,31 0,32 0,31 - 20 Surfaktan MBAS mgL 0,5 0,77 1,34 3,07 3,75 1,27 0,13 21 KMnO 4 mgL 25 25,40 22,46 24,27 39,02 23,02 22,25 22 BOD 20 o C, 5 hari mgL 20 18,89 13,60 21,25 39,95 16,80 13,42 23 COD Dichromat mgL 30 33,49 33,26 26,57 52,04 39,25 34,84 24 Kalium mgL -- - - 11,03 - - - 25 Natrium mgL 50 34,72 61,25 45,93 - - 35,66

III. Mikrobiologi