yaitu 1 kekuatan pengikat bond strength di dalam dan atau antar kelompoktingkat, 2 frekuensi relatif dari oskilasi; tingkat yang lebih rendah
lebih cepat terguncang dibandingkan tingkat di atasnya, 3 konteks; tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu lebih lambat dalam ruang yang lebih
luas, 4 liputan; tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat di bawahnya, dan 5 hubungan fungsional, tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang
mempengaruhi peubah cepat tingkat di bawahnya. Sebagai bagian kedua adalah membagi substansi yang sedang ditelaah ke
dalam elemen-elemen dan sub-subelemen secara mendalam sampai dipandang memadai. Penyusunan subelemen ini menggunakan masukan dari kelompok yang
terkait. Selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antar subelemen, yang dinyatakan dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan
berpasangan. Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual, disusun structural self
interaction matric SSIM, kemudian dibuat tabel reachability matrix RM dan
perhitungan menurut transivity rule dimana dilakukan koreksi terhdap SSIM sampai diperoleh matriks yang tertutup RM yang telah memenuhi transvity rule
kemudian diolah untuk menetapkan pilihan jenjang level pertition. Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema setiap elemen menurut jenjang vertikal
dan horisontal. Berdasarkan RM, subelemen di dalam satu elemen dapat disusun menurut Driver Power Dependence DP-D menjadi 4 klasifikasi atau sektor
seperti terlihat pada Gambar 3.
IV. Independent :
Strong driver
weak dependent variables
III. Linkage :
Strong driver – strongly dependent variables
I. Autonomous :
Weak driver – weak dependent variables
II. Dependent :
Weak driver – strongly dependent variables
Gambar 3. Matriks driver power dependence DP-D untuk elemen
2.5. Sistem dan Model
Terminalogi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan
“keutuhan” wholeness Eriyatno, 2003. Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forester 1971 mendefinisikan sistem sebagai
sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Manetsch and Park 1979 dalam Eriyatno 2003 mendefinisikan
sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan. O’ Connor and
McDermott 1997 mendefinisikan sistem sebagai suatu identitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui
interaksi komponen-komponennya. Dari beragam definisi sistem yang ada, terlihat bahwa sistem memiliki
karaktersitik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan
sebagai berikut Sushil, 1993 : 1 Dibangun oleh kelompok komponen yang saling berinteraksi.
2 Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” Wholeness. 3 Memiliki satu atau segugus tujuan.
4 Terdapat proses transformasi input menjadi output. 5 Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang
terjadi pada lingkungan sistem. Fenomena dunia nyata seperti kawasan perkotaan, menunjukkan
kompleksitas yang tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk memahami fenomena dunia
nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan
penjelasan yang utuh Eriyatno, 2003. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui
pemahaman yang utuh Forrester, 1971, dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara
penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap
sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif Eriyatno, 2003. Dengan demikian kajian mengenai wilayah pesisir kota
Bandar Lampung, dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, untuk membangun model penataan ruang.
Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem yang dapat memliki beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan Forrester, 1971. Dalam
pengertian yang relatif sama, Eriyatno 2003 menyatakan bahwa model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung
maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan asumptions
mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang bersifat aneka ragam Meadows et al., 1972 dalam Damai, 2003. Dalam
mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah variable penting dan tepat, serta hubungan antar peubah di
dalam sistem tersebut. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya; namun pada dasarnya
dikelompokkan menjadi tiga Eriyatno, 2003 yaitu: 1 Model ikonik model fisik, merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal
baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe.
Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategori model simbolik.
2 Model analog model diagramatik, menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang
dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva
distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses. 3 Model simbolik model matematik, menyajikan format dalam bentuk
angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah
persamaan matematis equation. Contoh dari model matematis adalah persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu
aliran transformasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.
Dalam pendekatan sistem, pengembangan model modelling atau permodelan merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam
mempelajari sistem secara keseluruhan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi,
analisis sensitifitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan dengan lokasi meliputi kawasan DKI Jakarta dan Perairan Teluk Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2005-April 2006.
Teluk Jakarta, terletak disebelah utara kota Jakarta, adalah perairan dangkal kedalaman rata-rata 15 m, dengan luas sekitar 514 km
2
. Di teluk ini bermuara 10 sungai dan kanal yang dipantau oleh BPLHD Jakarta yang melintasi kawasan
Metropolitan Jakarta Jabotabek yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa.
3.2. Rancangan Penelitian
3.2.1. Pendekatan Sistem
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan sistem karena permasalahan dalam pengendalian pencemaran laut melibatkan banyak pihak
stakeholders dan komponen-komponen dalam sistem tersebut sangat kompleks meliputi aspek lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan
kelembagaan. Analisis sistem dapat didefinisikan sebagai penerapan dari metode ilmiah
terhadap masalah-masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem dan pemodelan merupakan alat yang sangat efektif didalam proses
perencanaan. Pendekatan sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian
masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem secara operasi yang secara efektif dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut Eriyatno 2003, permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan conflict
interest atau keterbatasan sumberdaya limited of resource. Pendekatan sistem
memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan
komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
26 Pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan beberapa tahapan secara
sistematis dan terintegrasi, secara diagramatik disajikan pada Gambar 4. Lebih lanjut Eriyanto 2003 menjelaskan, prosedur analisis sistem meliputi beberapa
tahapan diantaranya analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi.
Mulai
Analisis Kebutuhan
Formulasi Permasalahan
Identifikasi Sistem
A A
Pemodelan Sistem
Implementasi
Selesai
Memuaskan
Memuaskan
B
Gambar 4. Tahapan dalam pendekatan sistem
3.2.1.1. Analisis Kebutuhan
Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, meliputi stakeholders
yang terdiri dari masyarakat di sekitar Teluk Jakarta, pemerintah, lembaga penelitian, lingkungan, tumbuhan dan hewan. Kemudian dideskripsikan
daftar kebutuhannya. Analisis kebutuhan dilakukan terhadap semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui gambaran
awal terhadap perilaku sistem yang akan terjadi.
27
3.2.1.2. Formulasi Masalah
Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif
dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dari masing-masing stakeholder dengan adanya pengaruh dari
stakeholder yang lain.
3.2.1.3. Identifikasi Sistem
Identifikasi permasalahan yang ada merupakan tahapan awal dalam melakukan pendekatan sistem sehingga dengan mengidentifikasi masalah-masalah
awal dan mendasar maka diharapkan diperoleh alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat.
Parameter rancang sistem adalah parameter-parameter yang mempengaruhi input sampai menjadi transformasi output. Tiap-tiap sistem memiliki parameter
rancangan tersendiri, yang dapat berupa lokasi fisik, ukuran dari sistem dan komponennya, ukuran fisik dari sistem, serta jumlah dan tipe komponen dari
sistem. Parameter rancang sistem cenderung konstan karena hal ini tidak dapat diubah tanpa penggantian sumberdaya. Dalam beberapa hal mungkin diharapkan
untuk mengubahnya selama sistem berjalan untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik apabila ada perubahan kondisi lingkungan.
3.2.1.4. Simulasi Model
Simulasi dari hasil pemodelan sistemik digunakan untuk melihat pola kecenderungamnya perilaku model. Hasil simulasi model dianalisis pola dan
kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, serta dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut
berdasarkan analisis struktur model. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan program Visual Basic.
28
3.2.2. Metode Pengambilan Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapang, wawancara
danatau focus group discusion FGD, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran beberapa dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer kualitas perairan Teluk Jakarta dan wawancara terstruktur pada beberapa
InstansiLembagaDinas dan unsur masyarakat yang terkait dengan perairan Teluk Jakarta. DinasInstansiLembaga terkait itu meliputi: BPLHD Jakarta, Dinas
Permukiman, Dinas Perindustrian, LON-LIPI, Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, Dinas Pekerjaan Umum, Balai Penelitian Perikanan Laut Balitkanlut,
Industri, pengusaha yang bergerak di bidang perikanan, tokoh adat dan masyarakat, LSM, dan perguruan tinggi serta beberapa dinas dan masyarakat yang
terkait di bagian hulu sungai sebagai tambahan informasi untuk pertimbangan kebijakan.
Untuk data sekunder yang dipergunakan meliputi konsentrasi beberapa parameter limbah kualitas air di 10 muara sungai yang menuju Teluk Jakarta,
serta di perairan teluk Jakarta. Parameter yang diamati adalah TDS, TSS, Mn, PO
4
, Zn, SO
4
, MBAS, KMnO
4
, BOD, dan COD. Data diamati beberapa tahun dari mulai tahun 2000 sampai tahun 2004, data sekunder yang akan digunakan
berasal dari berbagai dokumen yang berhubungan dengan daerah penelitian, meliputi data Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, data hasil penelitian, peta
dasar Teluk Jakarta dan dokumen lainnya dari instansi terkait yang relevan dengan penelitian ini.
3.2.3. Metode Pengumpulan Sampel
Pengambilan contoh air untuk penentuan sifat fisika-kimia dan biologi perairan laut ditentukan sebagai berikut :
1. Dapat mewakili luasan wilayah perairan Teluk Jakarta sebanyak 6 lokasi
pengamatan yaitu Sunda Kelapa, Marina, Tanjung Priok, Muara Baru, Cilincing dan Muara Angke pada jarak 50 m, 500 m, dan 1000 m sehingga
total 18 titik pengamatan.
29 2.
Penetapan parameter-parameter yang akan diukur didasarkan terutama pada: • Keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia serta
kelangsungan hidup organisme di dalam perairan dan dengan memperhatikan kemampuan teknis analisis.
• Jenis limbah yang terbawa oleh aliran buangan effluent yang menjadi sumber pencemar.
• Ketentuan jenis-jenis parameter yang ditetapkan dalam Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, kemudian disusun jenis- jenis parameter yang akan dianalisis. Selanjutnya cara pengukuran tiap-tiap jenis
parameter, baik parameter fisik, kimia maupun parameter biologi didasarkan pada cara-cara yang ditetapkan dalam Standard Methods for The Examination of Water
and Waste Water .
Metode pengambilan sampel untuk responden dalam rangka menggali dan mendapatkan informasi dari para stakeholder dan pakar akuisisi pendapat pakar
menggunakan metode expert survey dengan sampel yang telah ditentukandipilih secara sengaja berdasarkan keperluan purposive sampling. Sebagai dasar
pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden menggunakan kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidangnya. b. Mempunyai reputasi, kedudukanjabatan dan telah menunjukkan
kredibilitas sebagai stakeholder yang konsisten atau pakar atau ahli pada bidang yang akan diteliti.
c. Kesediaan dan keberadaan responden untuk dijadikan responden. Pemilihan instansi di ambil berdasarkan keterkaitan dengan pengelolaan
pencemaran Teluk Jakarta dan instansi yang ikut mengelola wilayah administrasi yang dilalui DAS bagian hulu Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup-DTRLH
Bogor; sedangkan LSM, tokoh adat dan masyarakat diambil untuk dapat mewakili masyarakat baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung
sekaligus sebagai penyebab terjadinya pencemaran, responden masyarakat juga diambil pada daerah di sekitar hulu dan tengah sungai sebagai bahan
pertimbangan terhadap pengelolaan pencemaran dan penyebab pencemaran;
30 sedangkan Perguruan Tinggi diambil dengan pertimbangan sebagai pihak yang
sering meneliti dan mengembangkan berbagai permasalahan lingkungan hidup sehingga dapat memberikan masukan untuk diaplikasikan oleh pihak pemerintah
dalam pengendalian pencemaran laut. Untuk lebih jelasnya pengumpulan sampel responden dan jumlah yang diambil dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
2. Tabel 2. Responden penelitian
Responden Jumlah
• Kantor BPLHDKLH • Dinas Permukiman
• Dinas Perindustrian • LON-LIPI
• Dinas Kelautan dan Perikanan • Pekerjaan Umum
• Balitkanlut • Industri
• Pengusaha bidang perikanan • LSM
• Perguruan Tinggi • Tokoh adat
• Dinas daerah di administratif sungai bagian hulu Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup-DTRLH Bogor
dan • Masyarakat administratif sungai bagian hulu, tengah
dan hilir 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 2
2 4
2
30
Total 60 3.2.4. Jenis Data
Data primer umumnya untuk mengetahui kualitas perairan Teluk Jakarta dan tingkat keterkaitan faktor-faktor pencemaran serta usaha pengendalian
pencemaran Teluk Jakarta berdasarkan hasil hasil wawancara, sedangkan data sekunder untuk mengetahui kondisi umum DKI Jakarta dan Teluk Jakarta,
rencana strategi daerah, perkembangan sumber pencemar dan kualitas muara sungai secara time series. Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui sumber data,
cara pengumpulan data, serta bentuk data yang diambil dapat dilihat pada Tabel 3.
31 Tabel 3. Matriks data
Jenis Data
Sumber Data Cara
Pengumpulan Bentuk Data
Primer Sekunder
InstansiLembaga Dinas, unsur
masyarakat, Perguruan Tinggi
serta pelaku yang terkait dengan
pencemaran perairan Teluk
Jakarta DinasInstansi
Lembaga yang terkait dengan
pengelolaan dan penelitian sungai
dan perairan teluk Jakarta
Wawancara Semi
Terstruktur dengan
kuisioner Dan
Wawancara bebas
Pencatatan • Data umum responden pelaku interaksi
stakeholder • Analisis kebutuhan pelaku interaksi
stakeholder • Penilaian responden terhadap Kualitas
Lingkungan • Data persepsi terhadap pencemaran
Teluk Jakarta • Penilaian responden terhadap penyebab
pencemaran Teluk Jakarta • Pola interaksi berdasarkan kelompok
terhadap Teluk Jakarta • Pola pengelolaan pengendalian
pencemaran menurut responden • Rencana strategi DKI Jakarta
• Keadaan umum lokasi penelitian dan tata ruang Jakarta
• Data profil dan perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta
• Data kualitas air muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta 5 tahun
terakhir • Data sumber-sumber pencemar di sekitar
Teluk Jakarta • Data perkembangan industri-industri di
sekitar jakarta. • Kegiatan pembinaan masyarakat
• Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, surat keputusan yang
berhubungan dengan Teluk Jakarta.
3.3. Analisis Data
3.3.1. Sumber-sumber Pencemaran Teluk Jakarta
Analisis sumber-sumber pencemaran di Teluk Jakarta dilakukan secara deskriptif. Untuk sumber pencemaran yang berasal dari landbased sources baik
rumah tangga limbah domestik, industri limbah industri, dan pasar limbah pasar yang memanfaatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah di DKI
Jakarta di lihat peningkatan jumlahnya selama 4 tahun terakhir.
32
3.3.2. Model Kualitatif dan Kuantitatif Pencemaran Teluk Jakarta A. Beban Pencemaran
Analisis beban pencemaran dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju Teluk Jakarta. Cara penghitungan beban
pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai-sungai yang menuju teluk Jakarta berdasarkan model berikut :
3600 24
30 10
6
× ×
× ×
× =
−
K D
BP ……………………………….. ... 1
Keterangan : BP = Beban pencemar yang berasal dari satu sungai tonbulan
D = Debit sungai m
3
detik K
= Konsentrasi pencemar mgl Total beban pencemar dari seluruh sungai yang bermuara di Teluk Jakarta,
sebagai berikut :
∑
=
=
n i
BPi TBP
1
............................................................................................ 2 Keterangan :
TBP = Total Beban Pencemar n
= Jumlah sungai i
= Beban pencemar sungai ke-i
B. Kapasitas Asimilasi
Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan pesisir dengan
total beban limbah pencemaran parameter tersebut di muara sungai dan selanjutnya dianalisa dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu air
yang diperuntukkan bagi biota dan budidaya. Pola hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban pencemaran direferensikan terhadap standard baku mutu,
maka akan dapat diketahui kapasitas asimilasi wilayah terhadap suatu parameter limbah tertentu. Untuk lebih mudah dalam melihat hubungan keterkaitan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 5.
33
Kon sen
trasi Polu
tan Tel
u k mg
l
Beban Pencemaran tonbulan
y = a + bx
Kapasitas asimilasi
Baku Mutu
Gambar 5. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan
Nilai kapasitas asimilasi didapat dari titik perpotongan dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter. Selanjutnya dianalisis seberapa besar
peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya. Dengan asumsi dasar adalah:
1. Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah pesisir pada batas yang
telah ditetapkan dalam penelitian 2.
Nilai hasil pengamatan baik di perairan pesisir maupun di muara sungai diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada di perairan tersebut.
3. Perhitungan beban pencemaran hanya yang berasal dari landbased sources,
pencemaran dari kegiatan diperairan pesisir dan lautnya sendiri tidak dihitung. Data yang diambil merupakan data pencemaran yang mempengaruhi
kualitas air muara sungai dan teluk. Hubungan yang ingin dilihat adalah pengaruh nilai parameter tersebut yang ada di teluk dan analisis yang digunakan adalah
regresi linear. Analisis regresi menggunakan parameter di muara sungai sebagai peubah bebas independent dan parameter di teluk sebagai peubah tak bebas
dependent. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peubah pencemaran di muara sungai secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
x f
Y =
................................................................................................. 3
34 Secara matematis persamaan regresi linear dapat dituliskan :
bx a
Y +
= ............................................................................................... 4
Keterangan : x
= Nilai parameter suatu bahan pencemar di muara sungai y
= Nilai parameter suatu bahan pencemar di teluk a =
Intersepperpotongan dengan sumbu tegak nilai tengahrataan umum
b = Kemiringangradien Koefisien regresi untuk parameter di muara sungai
x dan y merupakan jenis parameter yang sama untuk di muara sungai dan di teluk.
Peubah x merupakan jumlah nilai dari seluruh muara yang diamati untuk parameter tertentu dan y merupakan nilai parameter teluk dianggap tepat untuk
mewakili seluruh nilai parameter yang ada di Teluk Jakarta.
3.3.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Laut
Teknik Permodelan Interpretasi Struktural Interpretatif Structural Modelling
digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Menurut Marimin 2004, ISM adalah proses pengkajian kelompok
group learning process di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang
secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang
sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
Tahapan dalam melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu Penyusunan Hirarki dan Klasifikasi subelemen Eriyatno, 2003.
a. Penyusunan Hierarki
• Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi
sejumlah subelemen. • Menentapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung
adanya suatu pengarahan direction dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan oleh pakar. Jika jumlah pakar
35 lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual
pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol: ¾ V jika e
ij
= 1 dan e
ji
= 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j
¾ A jika e
ij
= 0 dan e
ji
= 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i
¾ X jika e
ij
= 1 dan e
ji
= 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama
¾ O jika e
ij
= 0 dan e
ji
= 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani
Pengertian nilai e
ij
= 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai e
ji
= 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j.
• Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix SSIM. SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix RM
dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Untuk tahapan dan proses dalam melakukan teknik ISM dapat dilihat pada
Gambar 6.
36
Mulai
Tentukan elemen kunci yang berperan dalam pencemaran Teluk Jakarta
Uraikan setiap elemen menjadi subelemen Tentukan hubungan kontekstual antara subelemen pada setiap elemen
Susun SSIM untuk setiap elemen Bentuk reachibility matriks untuk setiap elemen
Revisi dengan aturan transivity rule
Ok?
Tentukan level melalui penilaian
Ubah RM menjadi format lower triangular
RM Ya
Modifikasi ISM Tidak
Susun digraph dari lower triangular
RM
Susun ISM dari setiap elemen
Klasifikasi subelemen pada empat peubah
kategori Plot subelemen pada
empat sektor Tetapkan Driver Power
Dependence Matriks
setiap elemen Tentukan Rank
Hirarki dari subelemen
Tetapkan Dependence Power
setiap subelemen
Gambar 6. Diagram alir deskriptif teknik ISM pada analisis sistem pencemaran Teluk Jakarata
37 Untuk tahapan agregasi pendapat penilai pada teknik ISM dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Agregasi pendapat penilai pada teknik ISM
Bentuk pengisian perbandingan antar subelemen dapat dilihat pada Structural self interaction matrix
SSIM yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Structural self interaction matrix SSIM awal elemen
12 11
10 9
8 7
6 5
4 3
2 1
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
Diskusi kelompok, revisi
Agregasi
Tidak
Cek konsistensi Penilaian individu
Penyusunan kuisioner Eksplorasi elemen
Ya
38 Setelah Structural self interaction matrix SSIM terisi sesuai pendapat
responden, maka simbol V, A, X, O dapat digantikan dengan simbol 1 dan 0 dengan ketentuan yang ada sehingga dapat diketahui nilai dari hasil reachability
matrix RM final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix RM final
elemen disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil reachability matrix RM final elemen
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12 DP R 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 D
L
Keterangan : DP
= driver power R
= rangking D
= dependence L
= levelhierarki Berdasarkan Tabel 5 diatas dapat diketahui nilai driver power, dengan
menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar
sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari
dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.
b. Klasifikasi subelemen Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor yaitu:
• Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels Autonomous. Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan
39 mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja
kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP
≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. • Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels Dependent. Umumnya
subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika:
Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
• Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels Lingkage. Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan
antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat
memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
• Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels Independent. Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut
peubah bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D
≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
Analisa matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 8.
Daya Dorong Drive Power
Ketergantungan Dependence
Lingkage Variablel
Sektor III
Autonomous Variable
Sektor I
Dependent Variable
Sektor II
Independent Variable
Sektor IV
Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Setelah dibuat pengklasifikasian dari subelemen maka dapat dilanjutkan dengan deskripsi analisis kebijakan yang sesuai keadaan lapangan dan hasil
analisis ISM, dengan memperhatikan beberapa hal dibawah ini:
40 1.
Menentukan keadaan state suatu faktor • Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi bukan
khayalan dalam suatu waktu di masa datang. • Keadaan bukan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor seperti
besarsedangkecil atau baikburuk tetapi deskripsi situasi sebuah faktor. • Setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas.
• Bila keadaan dari suatu faktor lebih dari satu makna keadaan maka
keadaan-keadaan tersebut harus dibuat secara kontras. • Selanjutnya mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk
terjadi atau berjalan bersamaan mutual incompatible. 2.
Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor-
faktor yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : • Skenario yang mempunyai peluang besar untuk terjadi di masa datang
disusun terlebih dahulu. • Skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor. Oleh sebab itu, sebuah
skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang
mutual incompatible saling bertolak belakang.
• Setiap skenario mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis diberi nama.
• Langkah selanjutnya memilih skenario yang paling mungkin terjadi. 3.
Implikasi Skenario Merupakan kegiatan terakhir yang meliputi :
• Skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas konstribusinya terhadap tujuan studi.
• Skenario tersebut didiskusikan implikasinya. • Tahap selanjutnya menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang
sudah disusun.
41
3.4. Definisi Operasional
Beberapa definisi operasional yang akan digunakan pada penelitian ini diantaranya:
1 Pencemaran laut menurut PP No. 19 tahun 1999 didefinisikan sebagai
masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kuantitasnya
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu danatau fungsinya.
2 Baku mutu air adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai peruntukkannya.
3 Beban pencemaran adalah jumlah konsentrasi limbah yang masuk ke suatu
perairan berdasarkan banyaknya limbah per satuan waktu tonbulan. 4
Daya dukung adalah kemampuan suatu tempat atau wilayah dalam menerima sesuatu hal beban yang dapat mengurangi kualitas dari tempat tersebut.
5 Kapasitas asimilasi adalah kemampuan air atau sumber air dalam menerima
pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya.
6 Sistem adalah suatu gugus atau elemen-elemen yang terorganisir dan memiliki
ketergantungan yang tinggi dalam mencapai suatu tujuan. 7
Model adalah suatu abstraksi yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran laut Teluk Jakarta yang sesungguhnya.
8 Analisis sistem adalah suatu pernyataan tentang proses bekerjanya suatu
sistem untuk memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan berdasarkan output yang spesifik dan kinerja sistem dalam mencapai tujuan.
9 Simulasi model adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk merumuskan
kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem berdasarkan skenario, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, yang merupakan representatif dari
hubungan sebab akibat yang ada pada sistem yang sebenarnya. 10
Pemodelan dinamika sistem adalah suatu rancangan model sistem untuk menjelaskan suatu keadaan yang heterogen yang mengandung faktor waktu
pada peubah-peubahnya sehingga bersifat dinamis.
42
Pengumpulan data
Pengumpulan data primer
Pengumpulan data sekunder
Pengambilan sampel air laut
Pengambilan responden
Kualitas sungai DKI Jakarta
2000-2005 Profil dan
kependudukan Renstra DKI
Jakarta Keadaan
perkembangan sumber
Analisis data dan hasil
FGD Wawancara
Kualitas air laut
Kualitas muara sungai
Baku Mutu air laut KepMen LH No. 512004
Baku Mutu air laut KepMen LH No. 512004
Persepsi Analisis
kebutuhan Tingkat
kepentingan Analisis deskripsi
Formulasi masalah dan
tingkat kepentingan
Status kualitas air laut
Status kualitas muara sungai
Beban pencemara
Kapasitas asimilasi
Skenario model
Beban pencemaran
simulasi Simulasi
sumber pencemaran
Strategi dan arahan
kebijakan
Beban pencemaran hasil simulasi
tahun ke-i
∩
Modelling
Persentase kontribusi bahan pencemar
Hasil analisis data Hasil berbagai literatur
Analisis regresi BP = K x D
BPKA Analisis
skenario Interpretative
structural modelling
ISM Kondisi wilayah
Perkembangan sumber pencemar
Kepedulian lingkungan sumber
pencemar
Gambar 9. Ruang lingkup dan alur sistematika penelitian
IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI
4.1. Kondisi Geografis
Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12 Lintang Selatan dan
106°48 Bujur Timur, Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas
661,52 km² dan berupa lautan seluas 6.977,5 km², terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, terdapat pula sekitar 27 buah
sungaisalurankanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan.
Oleh : IRMAN FIRMANSYAH
NRP P052040261 PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta
44 Di sebelah utara membentang pantai dari Barat ke Timur sepanjang ± 35 km
yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah propinsi Jawa Barat,
sebelah Barat dengan Propinsi Banten, sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Wilayah administrasi propinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif yaitu kotamadya Jakarta Selatan,
Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara serta kabupaten Kepulauan Seribu. Kota Jakarta terdiri dari 6 kotamadya dan kabupaten
administratif, yang terdiri dari Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Dari jumlah tersebut terdapat 44
Kecamatan, 267 Kelurahan, 2.595 Rukun Warga, dan 29.111 Rukun Tetangga. Keadaan iklim kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu
maksimum 30,8 °C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 26,1 °C pada malam hari.
4.2. Keadaan Penduduk
4.2.1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Hasil pencacahan sensus penduduk 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta pada bulan Desember 2005 adalah sebanyak 8.699.600
jiwa. Jumlah ini sudah termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap tuna wisma dan awak kapal yang jumlahnya sebanyak 28.364 jiwa.
Pertambahan penduduk mengalami pertumbuhan pesat mulai dari Tahun 1961. Data pertumbuhan penduduk tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta
Tahun Jumlah Penduduk ribu orang
1961 2.906,5 1971 4.576,0
1980 6.480,6 1990 8.227,7
2000 8.385,6 2005 8.699,6
Sumber : BPS DKI Jakarta 2005
45 Dari Tabel 6 terlihat bahwa perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta
selama kurun waktu tahun 1961-1990 tumbuh dengan pesat dari 2,9 juta jiwa pada tahun 1961 bertambah menjadi 4,6 juta jiwa pada tahun 1971. Kemudian sepuluh
tahun berikutnya, jumlah penduduk bertambah lagi menjadi 6,5 juta jiwa. Tahun 1990, penduduk DKI Jakarta naik sekitar 1,7 juta jiwa menjadi 8,2 juta jiwa. Pada
kurun waktu 1990-2000, pertambahan penduduk DKI Jakarta sudah dapat dikendalikan sehingga kenaikannya hanya sekitar 1,52 persen. Berdasarkan arah
perkembangan penduduk dikaitkan dengan dinamika mobilitas penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2025 penduduk DKI Jakarta mencapai 9.259,900 juta
jiwa. Jika dilihat pertumbuhannya, laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta
selama empat dekade terakhir terus mengecil. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun sampai akhir 2004 diperkirakan sebesar 1,26
persen. Walaupun laju pertumbuhan meningkat, namun laju pertumbuhan penduduk di Jakarta masih terbilang kecil ini disebabkan rendahnya tingkat
kelahiran juga disebabkan peningkatan migrasi keluar Wilayah DKI Jakarta yang cukup besar.
4.2.2. Sebaran dan Kepadatan Penduduk A. Sebaran Penduduk
Salah satu dimensi permasalahan kependudukan yang ada di DKI Jakarta adalah tidak meratanya distribusi penduduk antar kotamadya. Dengan kondisi ini,
di satu pihak ada kotamadya yang sangat padat penduduknya, sementara di kotamadya lain kepadatan penduduknya relatif rendah. Namun patut diingat
bahwa kepadatan penduduk yang paling rendah sekalipun di kotamadya yang ada di DKI Jakarta, masih merupakan yang tertinggi dibandingkan kepadatan
penduduk di kota lain di Indonesia. Persentase penduduk menurut kotamadya di DKI Jakarta mulai dari Tahun 1971 dapat dilihat pada Tabel 7.
46 Tabel 7.
Persentase penduduk kotamadya di DKI Jakarta, tahun 1971-2004
Terhadap Penduduk DKI Jakarta Kotamadya
1971 1980 1990 2000 2004
Jakarta Selatan
23,12 24,38 23,14 21,37 21,61 Jakarta
Timur 17,64 22,48 25,07 28,01 28,34
Jakarta Pusat
27,72 19,08 13,07 10,65 10,31 Jakarta
Barat 18,05 19,00 22,12 22,78 23,15
Jakarta Utara
13,47 15,06 16,39 17,01 16,32 Kepulauan Seribu
- -
- 0,21
0,27
DKI Jakarta 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
Sumber : BPS DKI Jakarta 2005
Dengan melihat distribusi penduduk antar kotamadya di DKI Jakarta pada Tabel 7 terlihat bahwa pada tahun 1971 sebagian besar penduduk DKI Jakarta
tinggal di Jakarta Pusat 27,72 dan Jakarta Selatan 23,12, sementara empat wilayah lainnya relatif seimbang. Sepuluh tahun berikutnya, persentase terbesar
penduduk DKI Jakarta berada di Jakarta Selatan, sementara Jakarta Pusat mulai menunjukkan penurunan dan terjadi peningkatan persentase penduduk di Jakarta
Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tahun 1990, Jakarta Timur memiliki persentase penduduk tertinggi, yaitu sebesar 25,07 persen dan Jakarta Pusat
memiliki persentase terendah, yaitu 13,07 persen.
B. Kepadatan Penduduk
Selain persebaran penduduk yang tidak merata, kepadatan penduduk juga menjadi permasalahan pokok dalam pembangunan di DKI Jakarta. Walaupun
jumlah penduduk DKI Jakarta tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia, namun dengan luas wilayah yang relatif kecil 661,52
km² atau sekitar 0,03 persen dari luas seluruh Indonesia, kepadatan penduduk DKI Jakarta menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan propinsi lain di
Indonesia, yaitu 13.195 jiwa per km². Sebagai ilustrasi, propinsi Jawa Barat yang luas wilayahnya 80 kali lipat lebih dibandingkan luas DKI Jakarta, kepadatan
penduduknya hanya 866 jiwa per km². Dengan mengamati antar kotamadya terlihat bahwa Jakarta Pusat merupakan
wilayah terpadat, dengan tingkat kepadatan sebesar 18.778 orang per Km². Sementara yang terendah terdapat di Kepulauan Seribu dengan tingkat kepadatan
47 1.974 jiwa per Km². Kepadatan penduduk di empat kotamadya lainnya berkisar
antara 10 ribu hingga 16 ribu jiwa per km². Secara umum kepadatan penduduk di DKI Jakarta sepanjang tahun 1961-
2004 meningkat terus. Namun demikian selama sepuluh tahun terakhir peningkatannya relatif kecil dibandingkan yang terjadi pada tiga dasawarsa
sebelumnya. Meski diakui akselerasi penurunan laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta selama dua dekade terakhir relatif cepat, namun karena kepadatan
penduduk yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya permasalahan sosial dan ekonomi yang cukup kompleks. Masalah pemenuhan kebutuhan akan pangan,
permukiman, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, penyediaan lapangan pekerjaan dan lainnya memerlukan penanganan tersendiri
yang lebih bersifat specific locatif. Salah satu dampak negatif dari tingginya kepadatan penduduk di DKI
Jakarta, dapat dilihat dari banyaknya area kumuh slum area di beberapa Wilayah DKI Jakarta. Menurut laporan BPS 2005, sekitar 54 persen penduduk Jakarta
tinggal di rumah yang tidak layak huni. Dari data yang ada diketahui bahwa sekitar 26,47 persen atau sebanyak 687 Rukun Warga RW yang ada di ibukota
dari 2.595 RW dalam kondisi kumuh “berat” dan kumuh “sedang”, dan umumnya lokasinya berada di permukiman padat. Data kepadatan penduduk kotamadya di
DKI Jakarta mulai dari Tahun 1961 dapat dilihat pada Tabel 8, sedangkan peta proyeksi kepadatan penduduk Tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 11.
Tabel 8. Kepadatan penduduk kotamadya di DKI Jakarta, tahun 1961–2004
Kepadatan Penduduk Per km² Kotamadya
1961 1971 1980 1990 2000 2004
Jakarta Selatan 3.201
7.211 10.855 13.128 12.275 12.972 Jakarta
Timur 2.656 4.273 7.777 11.012 12.534
13.174 Jakarta Pusat
20.920 26.311 25.992 22.684 18.647 18.778 Jakarta
Barat 3.722 6.506 9.789 14.449 15.112
16.013 Jakarta
Utara 3.051 3.977 6.371 8.893 10.025
10.006 Kepulauan
Seribu - - - -
1.488 1.974
DKI Jakarta
4.394 6.873 9.831 12.485 12.643
13.195
Sumber : BPS DKI Jakarta 2005
48 Berbagai upaya penanggulangan masalah permukiman kumuh telah
dilakukan di DKI Jakarta, diantaranya perbaikan lingkungan melalui program Muhammad Husni Thamrin MHT, peremajaan dengan pembangunan rumah
susun sederhana, serta membangun sarana dan prasarana lingkungan. Pengembangan pusat-pusat permukiman baru, seperti Wilayah BOTABEK
diharapkan dapat mengurangi keberadaan permukiman kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Namun karena begitu luasnya permukiman kumuh yang perlu
ditanggulangi dan disisi lain kemampuan pemerintah terbatas, maka usaha-usaha tersebut perlu melibatkan peran serta swasta dan masyarakat. Selain itu perspektif
masalah permukiman kumuh, umumnya tidak terlepas dari kemiskinan, karena itu upaya-upaya penanggulangan wilayah kumuh hendaknya harus dibarengi dengan
upaya pengentasan kemiskinan, sehingga selain dapat dilakukan penataan lingkungan, penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut dapat diberdayakan.
2.200.000
143 15.401
3.000.000
12.608 238
1.300.000
270 4.820
2.800.000
18.124 155
3.200.000
14.357 220
Luas Daerah
Jumlah Penduduk Kepadatan
Penduduk
Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 2005 Gambar 11. Peta distribusi dan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2010
49
4.3. Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak pada 06°0040 LS dan 05°5440 serta 106°4045 BT dan 107°0119 BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat
dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 35 km dan luas kira-kira 514 km
2
. Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis yang menghubungkan
kedua ujung teluk. Sebanyak 13 aliran sungai yang melintas di wilayah DKI Jakarta, 9 aliran sungai dan 2 kanal di antaranya bermuara di Teluk Jakarta, serta
10 diantaranya yang dipantau oleh BPLHD DKI Jakarta antara lain Sungai Kamal titik pengamatan 42,--Muara Kamal, Sungai Cengkareng Drain titik
pengamatan 22--Jl. Kapuk Muara, Sungai Ciliwung titik pengamatan 6--Jemb. PIK-Muara Angke, Sungai Grogol titik pengamatan 27--PLTU Pluit, Sungai
Ciliwung titik pengamatan 32--Jl. Pompa Pluit, Sungai Ciliwung titik pengamatan 30--Jl. Ancol Marina, Sungai Kalibaru Timurtitik pengamatan 34--
Jl. Ancol, Kali Sunter titik pengamatan 13--Bogasari, Sungai Cakung Drain titik pengamatan 38--cilincing, Kali Blencong titik pengamatan 38A--Pantai
Marunda. Alur-alur sungai tersebut panjangnya 461 kilometer dengan luas bantaran 1.985,65 hektar. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah
banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri. Sesempit apa pun bantaran sungai, perannya sangat penting dalam siklus hidup berbagai jenis
kehidupan air, dan secara ekologis menjadi penyeimbang laju pertumbuhan wilayah. Karena itulah, lahan bantaran sungai perlu dikonservasi sebagai
sempadan sungai untuk memulihkan komunitas bantaran secara alami, melalui rehabilitasi habitat, pengayaan jenis, serta sosialisasi untuk menumbuhkan
kearifan masyarakat sekitarnya. Topografi Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir, dan
kerikil. Di bagian pinggir dan tengah teluk banyak terdapat lumpur, sedangkan di bagian laut lepas, keberadaan pasir semakin menonjol. Teluk Jakarta termasuk
pada perairan yang dangkal, karena perairan ini umumnya hanya mempunyai kedalaman kurang dari 30 m ke utara. Pada separuh teluk bagian barat, terdapat
beberapa pulau kecil antara lain Pulau Nyamuk Besar, Pulau Nyamuk Kecil,
50 Pulau Damar Besar, Pulau Damar Kecil, Pulau Ayer Besar, Pulau Kelor, Pulau
Untung Jawa, Pulau Rambut dan Pulau Ubi Besar. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1951 dalam Handoko 1995
iklim Teluk Jakarta tergolong klasifikasi iklim tipe D, dengan rata-rata jumlah
bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar 60-100. Sedangkan suhu rata-rata berkisar antara 26°C - 32°C pada saat bulan Oktober.
4.4. Kondisi Penelitian Teluk Jakarta Sampai Saat Ini
Pemantauan Kualitas Air Teluk Jakarta
Berdasarkan hasil pengamatan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta 2004 menunjukkan bahwa kualitas perairan Teluk
Jakarta telah mengalami pencemaran yang cukup kronis, sehingga saat ini perairannya telah menjadi tercemar yang diakibatkan oleh bahan pencemar baik
dari daratan maupun aktivitas pantai dan laut. Kualitas terburuk di perairan yang dekat dengan pantai zona D, 5 km dari pantai dan makin ke tengah mengalami
perbaikan zona A, 15-20 km, tetapi karena zona A dekat dengan pantai di barat dan timur maka kualitas perairannya juga mengalami penurunan.
A. Kualitas Fisik Air Teluk Jakarta
Untuk perairan Teluk Jakarta, dan Muara Teluk Jakarta pada Tahun 2004 untuk parameter suhu, salinitas, pH, arah dan kecepatan angin, masih memenuhi
baku mutu dan tidak terdapat perbedaan konsentrasi yang besar antara kedua periode tersebut. Sedangkan untuk parameter DO dan kecerahan telah melebihi
baku mutu BPLHD DKI Jakarta, 2004.
B. Kualitas Kimia Air Teluk Jakarta
Pada perairan Teluk Jakarta konsentrasi detergen dan BOD di semua zona masih memenuhi baku mutu, namun terjadi peningkatan konsentrasi detergen di
semua zona selama periode Mei dan Oktober. Sedangkan pada parameter seng secara umum masih memenuhi baku mutu yang ada, hanya di zona–zona tertentu
saja. Untuk parameter nitrat di semua zona telah melebihi baku mutu. Untuk Muara Teluk Jakarta, pada saat kondisi surut, parameter BOD dan detergen
51 secara umum di semua zona masih berada di bawah baku mutu, hanya di zona–
zona tertentu saja. Sedangkan untuk parameter nitrat di semua zona telah melampui baku mutu. Pada saat pasang, parameter BOD, detergen, dan seng
tidak berbeda dengan saat surut yaitu di semua zona telah melebihi baku mutu BPLHD DKI Jakarta, 2004.
C. Kualitas Biologi Air Teluk Jakarta
Berdasarkan indeks keanekaragaman maka perairan Teluk Jakarta untuk zona D mengalami pencemaran berat, zona C mengalami pencemaran sedang dan
zona B dan A mengalami pencemaran ringan. Sedangkan untuk Muara Teluk Jakarta, Muara Angke, Cengkareng, dan Muara Sunter telah mengalami
pencemaran berat, sedangkan Muara Kamal, Muara Karang, Muara Ancol, Muara Cakung, Muara Marunda mengalami pencemaran sedang, dan Muara Gembong
mengalami pencemaran ringan BPLHD DKI Jakarta, 2004. Data indeks diversitas di Teluk Jakarta berdasarkan lokasi titik pengamatan pada bulan Mei
dan Oktober 2004 dapat dilihat pada Gambar 12.
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3
B4 B5 B6 B7 C2
C3 C4 C5 C6
D3 D4 D5 D6
Mei Okt
Indeks Diversitas Phytoplankton Tercemar Sangat Ringan
Tercemar Ringan Tercemar Sedang
Tercemar Berat
Gambar 12. Indeks diversitas di Teluk Jakarta berdasarkan lokasi titik pengamatan pada bulan Mei dan Oktober 2004
52 Sedangkan data indeks diversitas di Muara Teluk Jakarta pada kondisi
pasang dan surut bulan Mei dan Oktober 2004 dapat dilihat pada Gambar 13.
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
Pa s
a ng
Su rut
M.Kamal Cengkareng
Angke M. Karang
Marina Sunter
Cilincing Marunda
M. Gembong Mei
Okt Indeks Diversitas Phytoplankton
Tercemar Sangat Ringan Tercemar Ringan
Tercemar Sedang Tercemar Berat
Gambar 13. Indeks diversitas di Muara Teluk Jakarta pada kondisi pasang dan surut bulan Mei dan Oktober 2004
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Sumber-sumber Pencemaran di Teluk Jakarta
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah penduduk, sistem pertanian, kemiskinan, dan kondisi lingkungan hidup saling berkaitan.
Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan untuk perumahan dan pertanian, yang seringkali berkaitan pada pengurangan lahan hutan dan
perambahan hutan. Pertambahan penduduk juga akan menstimulasi aktivitas industri yang mempunyai korelasi kuat dengan terjadinya pencemaran perairan.
Dalam penelitian ini sumber pencemaran air di DKI Jakarta yang berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik,
limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung secara
baik dan berkesinambungan, serta kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Penumpukan limbah padat sampah merupakan akibat pencemaran dari darat,
seperti terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Sampah-sampah di sekitar muara sungai
Adapun kontribusi dari masing-masing sumber pencemar berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada skema kontribusi sumber pencemar terhadap Teluk
Jakarta pada Gambar 15.
54
Gambar 15. Skema kontribusi sumber pencemar terhadap Teluk Jakarta
5.1.1. Sumber Pencemar dari Landbased
5.1.1.1. Limbah Rumah Tangga Domestik A. Jumlah Limbah Rumah Tangga
Laporan timbulan sampah di DKI Jakarta didapatkan berdasarkan laporan Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 yang merupakan hasil survei Produksi dan
komposisi Sampah yang dilaksanakan oleh WJEMP 3-11 pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005. Timbulan sampah pada bulan Desember 2004 dan Januari
2005 adalah sebesar 2,97 ltkapitahari atau 0,64 kgkapitahari. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survei tahun 2005
Sumber Sampah
Timbulan Sampah
Sumber Satuan
Jumlah Sumber
Satuan Total
Produksi Sampah
m
3
hari
Pemukiman 1,36 Literoranghari 7.456.931 Jiwa 10.141
Pasar 9,82 Literpedaganghari
76.350 Pedagang 750 Sekolah 0,40
Litermuridhari 2.386.687
Murid 955
Perkantoran Fasum
3,36 Literpekerjahari 2.535.680
Pegawai 8.520
Industri 2,76 Literburuhhari
688.098 buruh
1.899
Total 22.265
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
55 Untuk lebih mudah dalam melihat perbandingan jumlah total produksi
sampah dari berbagai sumber data disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 16.
2000 4000
6000 8000
10000 12000
Sumber Sampah 10141
750 955
8520 1899
Pemukiman Pasar
Sekolah Perkantoran
Industri
Gambar 16. Produksi sampah dari berbagai sumber sampah
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa timbulan sampah di wilayah DKI Jakarta didominasi oleh sampah domestik. Dalam kategori sampah domestik
antara lain sampah yang berasal dari pemukiman, sekolah dan perkantoran. Sampah domestik merupakan limbah padat yang merupakan sisa dari aktivitas
domestik seperti rumah tangga, perkantoran dan sekolah yang tidak terpakai baik bersifat organik maupun non-organik yang apabila tidak dikelola akan
mengganggu kesehatan manusia dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan serta kerawanan sosial BPLHD, 2004.
Berdasarkan data di atas sampah domestik sangat besar dan mendominasi timbulan sampah di DKI Jakarta. Timbulan dari pemukiman total produksinya
mencapai 10.141 m
3
hari, sekolah 955 m
3
hari, dan perkantoran 8.520 m
3
hari. Jika dihitung dari ketiga limbah padat tersebut berjumlah 19.616 m
3
hari atau mendominasi sekitar 88 dari limbah domestik yang ada. Hal tersebut sangat sesuai apabila melihat tingkat kepadatan penduduk dan jumlah
sekolah serta perkantoran yang ada di Jakarta. Dari hasil laporan Dinas Kebersihan DKI Jakarta tercatat penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun
56 2003, terdiri dari 67 perumahan, 6 industri, 6,4 perkantoran dan 16
taman. Keadaan tersebut diperkuat juga dengan jumlah dan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2004 berjumlah total 8.725.600 jiwa dengan
tingkat kepadatan 13.195 jiwakm
2
. Kepadatan pemukiman di DKI Jakarta dapat terlihat dari foto udara yang disajikan pada Gambar 17.
Jarak ± 100 meter
Gambar 17. Kepadatan pemukiman di DKI Jakarta
Umumnya sekitar ±100 meter kanan kiri sungai yang membuang limbah rumah tangga domestik ke sungai, seperti yang terlihat pada gambar dengan
garis berwarna kuning. Kondisi data di atas baru didasarkan atas kondisi jumlah penduduk yang
berada di seluruh wilayah DKI Jakarta yang meliputi Jakarta pusat, utara, selatan, barat dan timur. Padahal sebetulnya sampah yang masuk ke Teluk Jakarta tidak
hanya berasal dari aktivitas penduduka Jakarta namun juga disebabkan oleh penduduk dari luar Jakarta.
Untuk memudahkan perhitungan perkiraan jumlah timbulan sampah ke depan, maka jumlah timbulan sampah diwakilkan dalam nilai besaran per-jiwa
penduduk DKI Jakarta literjiwahari atau kgjiwahari seperti tercantum dalam Tabel 10 di bawah ini.
57 Tabel 10. Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005
Sumber Sampah Literjiwahari
Kgjiwahari
Pemukiman 1,36 0,34
Pasar 0,10 0,03
Sekolah 0,13 0,03
PerkantoranFasum 1,14 0,18
Industri 0,25 0,06
Total 2,97 0,64
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Tabel 10 di atas semakin memperjelas bahwa diperkirakan setiap jiwa di Jakarta mengeluarkan sampah sebesar 1,36 literjiwahari atau setara dengan
0,34 kgjiwahari untuk pemukiman, 0,03 kgjiwahari untuk sekolah dan 0,18 kgjiwahari untuk perkantoran. Dari ketiga golongan tersebut timbulan sampah
domestik lebih banyak dihasilkan dari pemukiman. Kondisi tersebut membutuhkan penanganan yang serius dari pemerintah untuk menata kembali
jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta. Aktivitas urbanisasi dan banyaknya komuterian komunitas yang berprofesi di Jakarta tetapi tinggalnya tidak di
Jakarta harus dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan bagi pembangunan di Jakarta sendiri.
Sedangkan berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah juga menunjukkan nilai yang berbeda-beda seperti tertera dalam Tabel 11.
Tabel 11. Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah
Sumber Sampah Berat Jenis Sampah Kgliter
Pemukiman 0,25 Pasar 0,30
Sekolah 0,27 Perkantoran Fasum
0,15 Industri 0,23
Total Sampah 0,21
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
B. Komposisi Sampah Domestik
Komposisi terhadap sampah berubah sepanjang waktu, sampah domestik dimana komposisinya lebih banyak plastik, kertas, logam dan beling, dan sedikit
kayudaun, garbage dan batu. Kandungan air diproyeksikan menurun dari 54 pada tahun 1986 menjadi 48 pada tahun 2005 Tabel 12.
58 Tabel 12. Proyeksi komposisi sampah domestik kondisi kering
Persentase JenisKomponen
Sampah 1986 1995
2005 Pertumbuhan
Tahun
Plastik Kertas
Tekstil Kayudaun
Garbage Lain-lain
10 17
5 12
23 15
10 19
5 11
21 14
14 21
5 10
19 12
2 1
-1 -1
-
Sub Total 82
82 81
-
Logam Beling
Batu 4
4 10
5 5
8 7
6 6
5 3
3
Sub Total 18
18 19
- Total 100
100 100
-
Kandungan air Volatile
Kandungan abu CN ratio
Nilai kalori rendah 54
28 18
32
1,100 51
30 19
33
1,300 48
32 20
35
1,500 -3
- -
-
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Dari hasil data di atas terlihat bahwa komponen sampah domestik dalam kondisi kering lebih banyak berasal dari jenis kertas, garbage dan plastik. Hal itu
disebabkan karena banyaknya pemukiman dan perkantoran di Jakarta dan sekitarnya. Sampah-sampah di atas merupakan jenis sampah non-biodegredable
tidak dapat diurai sehingga pengelolaannya harus dilakukan dengan teknologi tertentu. Produksi kertas, plastik dan garbage dalam jangka panjang jika tidak
dikelola dengan baik akan lebih berbahaya dengan jenis sampah lainnya. Hal tersebut membutuhkan kejelian dan keseriusan pemerintah setempat DKI Jakarta
dalam pengelolaannya. Sedangkan mengenai komposisi sampah berdasarkan persentase pemukiman, komersial, dan pasar data disajikan pada Tabel 13.
59 Tabel 13. Komposisi sampah dari beberapa sumber pencemar di DKI Jakarta
Persentase No Komponen
Pemukiman Komersial Pasar 1
Organik sisa makanan, daun,dll 62,27
9,84 83,69
2 Anorganik 37,73
90,16 16,31
2.1. Kertas
13,43 58,42
5,15 2.2.
Plastik 13.50
14,69 9,66
2.3. Kayu
0,07 0,12
2.4. Kaintekstil
0,85 2.5. Karetkulit tiruan
0,19 0,28
0,14 2.6.
Logammetal 0,95
2,02 0,29
2.7. Gelaskaca
1,26 5,68
2.8. Sampah bongkahan 1,00
0,63 2.9. Sampah B3
1,21 3,65
0,12 2.10. Lain-lain batu,pasir,dll
5,27 4,79
0,82
Total 100
100 100
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Berdasarkan data di atas dilihat dari komponen organik dan anorganik dari jenis sampah yang ada terlihat bahwa untuk sampah organik, pemukiman 62,27,
komersial 9,84 dan pasar 83,69. Hasil ini menunjukkan bahwa sampah organik didominasi oleh pasar karena di dalamnya berasal dari daun, sisa
makanan dan bahan-bahan yang dapat diurai lainnya. Berbeda dengan jenis sampah anorganik, terlihat komposisinya antara lain pemukiman 37,73,
komersial 90,16 dan pasar 16,31. Sampah anorganik lebih banyak dihasilkan dari kegiatan komersial termasuk di dalamnya kegiatan perkantoran,
industri dan sekolah. Sedangkan untuk pemukiman sendiri lebih kecil karena memang dari pemukiman jarang dihasilkan limbah padat anorganik, begitu halnya
dengan pasar. Kondisi tersebut didukung dengan fakta bahwa di Jakarta jumlah perkantoran sangat padat dan banyak dengan berbagai aktivitas yang hampir
kesemuanya menghasilkan sampah berupa plastik, kertas dan lainnya. Dari total sampah yang ada organik dan anorganik dilakukan dua
mekanisme pengolahan yaitu didaur ulang dan dibuang. Untuk sampah organik dari total sampah 55,37 pemukiman, komersial dan pasar tidak ada yang
didaur ulang dan semuanya dibuang 55,37. Hal ini berarti belum tercipta kesadaran di masyarakat bahwa sampah organik dapat didaur ulang sehingga
mempunyai nilai lebih yang bermanfaat dan mengurangi degradasi lingkungan dan kesehatan. Disinilah pentingnya penyadaran melalui proses sosialisasi dan
60 pendampingan oleh pihak terkait seperti pemerintah daerah, LSM maupun swasta
untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya proses daur ulang sampah. Namun fakta tak terbantahkan bahwa saat ini proses penyadaran tersebut sangat
kurang sehingga masyarakat juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Data mengenai persentase komposisi sampah baik yang di daur ulang maupun dibuang
langsung ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Komposisi sampah dari beberapa sumber pencemar di DKI Jakarta
Persentase No Komponen
Dibuang Daur ulang Total
1 Organik sisa makanan, daun,dll
55,37 55,37
2 Anorganik 24,68
19,95 44,63
2.1. Kertas
13,15 7,32
20,57 2.2.
Plastik 6,40
6,85 13,25
2.3. Kayu
0,07 0,07
2.4. Kaintekstil
0,61 0,61
2.5. Karetkulit tiruan 0,19
0,19 2.6.
Logammetal 1,06
1,06 2.7.
Gelaskaca 1,91
1,91 2.8. Sampah bongkahan
0,81 0,81
2.9. Sampah B3 1,52
1,52 2.10. Lain-lain batu, pasir,dll
4,65 4,65
Total 80,05 19,95
100
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Berbeda dengan sampah anorganik, terlihat bahwa dari total jumlah 44,63 dari berbagai sumber, 19,95 di daur ulang dan 24,68 dibuang. Dalam kasus
ini, masyarakat menyadari pentingnya proses daur ulang bagi sampah anorganik mengingat keberadaannya lebih berbahaya dibandingkan dengan sampah organik.
Namun itupun terhitung sangat rendah karena masih banyak yang dibuang dibandingkan yang didaur ulang. Lagi-lagi proses penyadaran dan kebijakan yang
tegas akan pentingnya pengelolaan limbah anorganik dilakukan oleh pihak-pihak yang berkewajiban seperti Dinas Kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup dan
pemangku kepentingan lainnya. Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kesadaran belum tercipta
sepenuhnya di masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah. Kesadaran tersebut dapat bersumber dari dalam masyarakat sediri melalui peningkatan
pengetahuan dan membangun budaya bersih atau tercipta dari luar melalui kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah daerah maupun pihak terkait
61 lainnya. Peluang inilah yang harusnya diambil oleh pemerintah daerah di tengah-
tengah semakin semrawutnya Jakarta dan semakin tercemarnya Teluk Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota ”zero waste”. Semboyan tersebut sering
kali menjadi slogan dibanding kenyataan.
C. Karakter Sampah Domestik
Karakteristik sampah sangat penting untuk menentukan teknologi pengurangan dan pemusnahan sampah yang harus digunakan seperti misalnya
insinerator maupun proses komposting. Sampah yang terlalu basah dengan nilai
kalor yang rendah sangat mustahil untuk direduksi melalui sistem pembakaran insenerator sedangkan sampah yang terlalu kering memerlukan perlakuan
khusus dalam proses pengkomposan. Pada tabel di bawah ini dapat kita lihat hasil analisis laboratorium terhadap besarnya nilai kalor, kadar air dan kadar abu
sampel berbagai jenis sampah DKI Jakarta pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber
Perhitungan Karakteristik Sumber Sampah
Nilai Kalor KkalKg
Kadar Air Kadar Abu
Industri 3.553 23,73
11,93 Pasar Modern
2.102 36,59
17,13 Perkantoran 2.434
23,17 17,60
Pasar 1.778 56,58
10,26 Sekolah 3.248
31,31 13,92
Pemukiman Pendapatan Tinggi 2.332
47,40 16,43
Pemukiman Pendapatan Menengah 2.795 44,81
16,03 Pemukiman Pendapatan Rendah 2.149 45,85 16,27
Rata-rata 2.531 36,22
14,51
Sumber: Hasil Analisa Laboratorium Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia 2005
Dari data di atas terlihat bahwa nilai kalor terendah adalah pasar 1778 KkalKg, pemukiman rata-rata 2425 KkalKg, perkantoran 2434 KkalKg,
sekolah 3248 KkalKg, dan industri 3553 KkalKg. Nilai kalor terendah sulit direduksi dengan sistem pembakaran insenerator. Begitu juga sebaliknya
sampah dengan nilai kalor tertinggi sulit direduksi dengan sistem komposting. Dari data di atas terlihat bahwa sampah pasar dan pemukiman lebih mudah
62 dikelola dengan sistem komposting. Sedangkan sampah sekolah dan industri
lebih tepat dikelola dengan sistem pembakaran. Sebagian dari sampah pemukiman dan perkantoran sebetulnya juga lebih mudah dikelola dengan sistem
pembakaran tergantung dari komposisi sampah yang ada. Jika melihat pada data komposisi sampah sebelumnya, pemukiman lebih banyak didominasi oleh sampah
organik. Artinya pengelolaan dapat dilakukan dengan sistem komposting. Meski jika terdapat jenis sampah anorganik disarankan untuk mereduksinya dengan
pembakaran. Di bawah ini Tabel 16 ditunjukkan masing-masing nilai kalor, kadar abu dan kadar air bagi masing-masing sumber sampah.
Tabel 16. Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di DKI Jakarta
Karakteristik Sampah Industri
Pasar Modern
Perkantoran Pasar
Nilai Kalor 3.804
1.646 1.786
1.184 Kadar Air
27,13 39,91
27,85 59,88
Kadar Abu 5,03
7,22 5,53
9,27 Kemungkinan Insenerasi
Pemukiman Karakteristik Sampah
Sekolah Tinggi Sedang
Rendah
Nilai Kalor 2.090
2.795 2.332
2.149 Kadar Air
39,72 49,55
51,71 48,61
Kadar Abu 6,38
8,55 8,49
8,35 Kemungkinan Insenerasi
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Keterangan :
= sangat baik = baik
= kurang baik
Dari hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta. Seperti Tabel 16 di atas, maka nilai kalor sampah
Jakarta dari segala sumber memenuhi persyaratan untuk pengolahan dengan dibakar pada instalasi pembakaran sampah. Maka bahan yang paling baik untuk
dibakar adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial seperti perkantoran, sekolah, pasar modern dan lain-lain serta sampah yang berasal dari industri barang
dari kain konveksi. Sampah dari pasar merupakan sampah yang kurang baik untuk direduksi dengan teknologi pembakaran karena kadar air yang tinggi dan
nilai kalor yang relatif rendah dibandingkan sumber lainnya.
63 Untuk timbulan sampah rumah tangga, berdasarkan dari komposisi maupun
karakteristiknya, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakter timbulan sampah 20 tahun lalu. Jika dilihat dari
persyaratan dalam penerapan teknologi pembakaran sampah, perubahan tersebut menuju kearah perubahan yang lebih baik yaitu terjadi peningkatan pada nilai
kalor dan penurunan air yang cukup signifikan, ini terjadi karena penurunan komposisi organik dan kenaikan pada komponen kertas dan plastik, sehingga pada
saat ini karakteristik sampah rumah tangga dapat dikatagorikan dalam kriteria dapat diolah dengan menggunakan insenerasipembakaran.
Dari hasil pengamatan dan wawancara diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat disekitar sungai yaitu 100 m kiri kanan sungai membuang limbah
domestiknya ke sungai sehingga volume limbah terutama limbah domestik di badan sungai relatif cukup besar.
D. Alasan Masyarakat Membuang Limbahnya ke Sungai
Alasan kecenderungan masyarakat di sekitar sungai untuk membuang limbah langsung ke sungai adalah:
• Tidak adanya TPS di beberapa desa yang ada di sekitar DAS. • Lokasi TPS atau bak penampung limbah relatif lebih jauh daripada jarak ke
sungai. • Menurut masyarakat bahwa membuang sampah ke sungai lebih cepat, murah
dan tidak berdampak langsung bagi pembuang atau masyarakat yang membuang.
• Tidak tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap pembuangan sampah di badan sungai.
Secara sepintas hal tersebut menandakan bahwa kesadaran dan kepedulian masyarakat disekitar sungai relatif rendah terhadap kondisi sungai. Mungkin saja
rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat tersebut disebabkan karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rendah juga.
Akibat dari buangan sampah tersebut menyebabkan pencemaran air, pencemaran tanah dan pencemaran udara. Di beberapa daerah yang menjadi
tempat menumpuknya sampah, mengeluarkan bau yang tidak sedap karena terjadi
64 pembusukan sampah, warna sungai menjadi hitam berminyak seperti warna kertas
film, dan tanah di sekitar buangan atau tempat penumpukan menjadi labil atau rentan terhadap erosi. Secara langsung dan tidak langsung hal tersebut akan
menyebabkan gangguan bagi manusia atau masyarakat sendiri. Terbukti dengan tingginya jumlah penderita demam berdarah, muntaber, dan penyakit kulit dan
penyakit saluran pernapasan, terutama di daerah-daerah kota di sekitar sungai.
5.1.1.2. Limbah Industri A. Jenis-jenis Limbah Industri di Perairan Teluk Jakarta
Berbeda halnya dengan air buangan rumah tangga, air buangan industri mempunyai karakteristik yang sangat bervariasi antara satu jenis industri dengan
jenis industri lainnya. Bahkan untuk industri yang menghasilkan produk yang sama akan tetapi menggunakan bahan baku atau proses yang berbeda dapat
menghasilkan air buangan dengan karakteristik yang berbeda, terutama konsentrasi bahan yang terkandung di dalamnya. Bahan polutan yang terkandung
di dalam air buangan menurut Prapto 1992, secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu bahan terapung, bahan tersuspensi dan bahan terlarut.
Selain dari ketiga kategori tersebut, ada polutan lain yaitu panas, warna, rasa dan bau, serta radioaktif. Menurut sifatnya ketiga kategori bahan polutan tersebut
dapat dibedakan sebagai yang biodegradable mudah terurai secara biologi dan yang nonbiodegradable.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat delapan kelompok besar penghasil limbah B3, tujuh diantaranya kelompok industri skala
menengah dan besar, serta satu kelompok rumah sakit yang juga memiliki potensi menghasilkan limbah B3.
1. Industri tekstil dan kulit
Air buangan tekstil pada umumnya mempunyai warna yang pekat, pH, BOD, temperatur dan bahan tersuspensi yang tinggi. Kandngan BOD
bervariasi antara 50 sampai 10.000 mgl tergantung pada macam atau jenis tekstil yang dihasilkan. Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil adalah
penggunaan zat warna. Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr, seperti
65 senyawa Na
2
Cr
2
O
7
atau senyawa Na
2
Cr
3
O
7
. Industri batik menggunakan senyawa naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3
adalah H
2
O
2
yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik. Industri kulit menghasilkan air buangan yang mengandung padatan total,
garam, sulfida, ion khrom, BOD dan kesadahan yang tinggi. BOD air buangan ini bervariasi antara 500 sampai 5.000 mgl. Beberapa tahap proses
pada industri kulit yang menghasilkan limbah B3 antara lain washing, soaking
, dehairing, lisneasplatting, bathing, pickling, dan degreasing. Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving, dan polishing. Proses tersebut
menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan H
2
SO
4
. Hal inilah yang menjadi pertimbangan untuk memasukkan industri kulit dalam kategori
penghasil limbah B3.
2. Pabrik kertas dan percetakan
Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas berasal dari proses pengambilan kembali recovery bahan kimia yang memerlukan stabilisasi
sebelum ditimbun. Sumber limbah lainnya ada pada permesinan kertas, pada pembuangan blow down boiler dan proses pematangan kertas yang
menghasilkan residu beracun. Setelah residu tersebut diolah, dihasilkan konsentrat lumpur beracun.
Produk samping proses percetakan yang dianggap berbahaya dan beracun adalah dari limbah cair pencucian rol film,
pembersihan mesin, dan pemrosesan film. Proses ini menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri
persuratkabaran yang memiliki tiras jutaan eksemplar ternyata memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3.
Industri kertas dan percetakan mempunyai air buangan dengan kandungan warna, bahan tersuspensi, bahan koloid, padatan terlarut dan bahan
pengisi anorganik yang tinggi. Derajat keasaman pH air dapat tinggi dan rendah tergantung proses yang digunakan. BOD air buangan ini dapat
mencapai 25.000 mgl, namun tidak mudah terurai dengan proses biologi konvensional karena adanya refractory contaminant yang sangat toksik
terhadap mikroorganisme air.
66
3. Industri kimia besar
Industri kimia menghasilkan air buangan dengan karakteristik yang bervariasi menurut bahan kimia yang dihasilkan dan bahan baku yang
dipergunakan. Air buangan pabrik asam misalnya, mempunyai pH yang rendah dan kandungan bahan organik yang rendah. Pabrik detergen
menghasilkan air buangan dengan BOD dan surfaktan MBAS tinggi. Air buangan pabrik insektisida mengandung bahan organik, benzena struktur
cincin dengan konsentrasi yang tinggi, bersifat asam dan sangat toksik terhadap bakteri dan ikan. Sementara, timbulnya limbah beracun dari industri
pestisida bergantung pada jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah ia benar-benar membuat bahan atau hanya memformulasikan saja. Limbah cair
pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur beracun sebesar 3-5 persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan cat menghasilkan
beberapa lumpur cat beracun, baik air baku water-base maupun zat pelarut solvent-base. Sedangkan industri tinta menghasilkan limbah terbesar dari
dari pembersihan bejana-bejana produksi, baik cairan maupun lumpur pekat. Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah B3, yang
antara lain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan pengawet kayu, pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen, dan
sabun.
4. Industri farmasi
Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua subkelompok, yaitu subkelompok pembuat bahan dasar obat dan subkelompok formulasi dan
pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah subkelompok kedua yang tidak begitu membahayakan. Tetapi limbah industri farmasi yang
memproduksi antibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk
yang tidak terjual dan kadaluarsa. Industri farmasi umumnya menghasilkan air buangan yang mempunyai kandungan bahan organik terlarut dan
tersuspensi dengan konsentrasi yang tinggi, termasuk vitamin-vitamin.
67
5. Industri logam dasar
Industri logam dasar non-besi menghasilkan limbah padat dari pengecoran, percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat
beracun sebesar 3 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam untuk keperluan rumah tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak
dapat diolah di lokasi pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga terdapat cairan pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnya
masuk kategori limbah B3.
6. Industri perakitan kendaraan bermotor
Kelompok ini meliputi perakitan kendaraan bermotor seperti mesin, diesel, dan pembuatan badan kendaraan karoseri. Limbahnya lebih banyak
bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam bondering dan pengecatan yang
mengandung logam berat seperti Zn dan Cr.
7. Industri baterai kering dan aki
Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya berasal dari proses filtrasi. Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses penyegelan. Industri
aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena menggunakan H
2
SO
4
sebagai cairan elektrolit.
8. Rumah sakit
Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair, bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat-
obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia
laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik dapat mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian
juga beracun dan bersifat radioaktif. Dalam kehidupan yang dinamis ini, saat limbah industri yang semakin
bertambah maka perubahan tersebut sangat perlu untuk diperhitungkan.
68 Menurut Shuval 1977, setiap pertambahan limbah industri akan memerlukan
penanganan yang lebih karena energi yang dikeluarkan oleh limbah industri terutama yang memberikan dampak negatif maka biaya yang dikeluarkan
untuk penanganannya akan semakin besar karena termasuk didalamnya biaya penanganan untuk dampak sosial, karena selama ini banyak dari pihak industri
tidak pernah memperhitungkan secara detil kerugian yang ditimbulkan dari dampak sosial tersebut, sehingga dalam hal ini dampak penanganan
merupakan salah satu faktor yang harus dievaluasi secara hati-hati. Selama ini sangat sulit mengetahui secara persis, berapa jumlah limbah
B3 yang dihasilkan suatu industri, karena pihak industri enggan melaporkan jumlah dan karakter limbahnya. Padahal, kejujuran pihak industri untuk
melaporkan secara rutin jumlah dan karakter limbahnya merupakan informasi berharga untuk menjaga keselamatan lingkungan bersama. Keengganan
mereka berawal dari biaya pengolahan limbah yang terlampau mahal, sehingga yang terjadi adalah menghindari keharusan melakukan pengolahan.
Untuk itu diperlukan kebijaksanaan yang tidak terlampau menekan industri, agar industri terangsang untuk mengolah limbahnya sendiri.
B. Industri dan Sumber Dampak
Munculnya konsep ekonomi berkelanjutan ataupun pembangunan berkelanjutan tidak lain didasari pada berbagai dampak yang telah dimunculkan
terhadap lingkungan akibat berbagai aktivitas manusia. Kenyataan bahwa pembangunan tidak selalu memberikan keuntungan bagi umat manusia dan
lingkungan terus dirasakan. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan
No Jenis Kegiatan
Dampak Pada Air
1. Kimia
Penggunaan proses pengolahan air dan colling water
. Emisi dari kimia organik, logam berat cadmium, mercury
, suspensi-suspensi padat, bahan-bahan organik dan PCBs, dan resiko
tumpahan-tumpahan produk kimia tertentu.
2. Pulp dan Kertas
Penggunaan air proses. Emisi dari suspensi padat, bahan-bahan organik, chloronated
organik substance, toxins dioxins
69 Tabel 17 lanjutan. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan
No Jenis Kegiatan
Dampak Pada Air
3. Penambangan logam
dan mineral Kontaminasi terhadap air permukaan dan
tingginya kandungan asam air akibat kontaminasi dari berbagai logam berbahaya
arsenic, timah, cadmium. Kontaminasi penggunaan bahan kimia dalam
proses ekstraksi logam.
4 Besi dan baja
Penggunaan air proses. Emisi dari material organik tars dan minyak, suspensi-suspensi
padat, logam, benzena, fenol, asam sulfit, sulfat, trioktan, trisulfat, fluorida, timah seng scruber
effluent
5 Logam-logam non-besi Air-air pencucian yang telah terkontaminasi
logam, gas-gas efluen, bahan-bahan padat dan hidrokarbon
6 Kulit dan penyamakan Proses yang menggunakan air.
Efluen dari berbagai penggunaan bahan-bahan toksik yang mengandung suspesi padat, sulfat
dan krom.
7 Industri farmasi
Limbah industri farmasi yang memproduksi antibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi.
Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk yang
tidak terjual dan kadaluarsa.
8 Industri perakitan
kendaraan bermotor Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi
dikategorikan sebagai non-B3. Yang termasuk B3 berasal dari
proses penyiapan logam bondering dan pengecatan yang mengandung logam berat
seperti Zn dan Cr.
9 Industri baterai kering
dan aki Industri aki menghasilkan limbah cair yang
beracun, karena menggunakan H
2
SO
4
sebagai cairan elektrolit.
70 Tabel 17 lanjutan. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan
No Jenis Kegiatan
Dampak Pada Air
10 Rumah sakit
menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair,bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun
virus. Limbah padatnya berupa sisa obat- obatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta
bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau
bahan kimia laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai
karateristik bisa mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan
bersifat radioaktif.
Sumber :
World Healt Organization
1977
5.1.1.3. Limbah Pasar
A. Komposisi dan Karakteristik Sampah Pasar
Karakterisasi sampah pasar pada bagian hilir khususnya di wilayah DKI Jakarta pada umumnya buangan limbah hasil kegiatan pasar tidak ada perlakuan
lagi. Pembuangan limbah ke sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta akan berpengaruh pula pada kualitas air Teluk Jakarta Gambar 18.
TELUK JAKARTA
PASAR SUNGAI
Gambar 18. Alur pencemaran Teluk Jakarta
Peningkatan komposisi sampah pasar dan komersial lainnya selengkapnya tersaji pada Tabel 18.
71
Tabel 18. Proyeksi komposisi sampah pasar dan komersial tahun 2005
Persentase Jenis Sampah
1986 1995 2005 Pertumbuhan10 Tahun
Plastik Kertas
Tekstil Kayudaun
Garbage Lain-lain
13 25
3 7
28 14
15 27
3 6
25 12
17 30
3 5
21 9
2 1
-1 -1
-
Subtotal 90 88
85 -
Logam Beling
Batu 4
5 1
5 6
1 7
7 1
5 3
-
Subtotal 10 12
15 -
Total 100 100
100
Kandungan air Volatine
Kandungan abu CN ratio
Nilai kalori rendah kcalkg 48
36 16
35
1,600 46
37 17
36
1,700 43
39 18
37
1,800 -3
- -
- -
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Peningkatan komposisi sampah pasar dan komersial lainnya berupa bahan plastik mengalami peningkatan sekitar 2 dalam kurun waktu 10 tahun, dimana
pada tahun 1986 berkisar 13, 15 pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 17 pada tahun 2005, yang berarti bahwa volume bahan pencemar plastik mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin banyaknya bahan makanan kemasan instan yang menggunakan plastik sebagai
pembungkus makanan dan bahan komersial lainnya. Hal tersebut juga seiring dengan peningkatan kuantitas dan kualitas hidup masyarakat kota yang lebih
praktis, simpel dan cepat. Kondisi yang demikian secara langsung memberikan kontribusi terhadap peningkatan volume bahan pencemaran.
Bahan lainnya yang juga mengalami peningkatan yakni berupa kertas sebanyak 1 dalam kurun waktu 10 tahun, dimana pada tahun 1986 volume
bahan pencemar dari kertas sekitar 25 bertambah menjadi 27 pada tahun 1995 dan sekitar 30 pada tahun 2005. hal tersebut dapat terjadi seiring peningkatan
kebutuhan masyarakat kota besar yang berbanding lurus dengan jumlah sampahsisa bahan tersebut. Sedangkan untuk bahan seperti tekstil, kayu, garbage
dan bahan lainnya tidak mengalami peningkatan dan bahkan ada beberapa bahan yang mengalami penurunan volume. Hal ini, dapat disebabkan semakin praktisnya
72 kehidupan masyarakat kota, sehingga penggunaan bahan-bahan seperti tekstil,
kayu dan bahan lainnya tidak lagi memberikan sisagarbage, dengan demikian mengurangi beban pencemaran dari bahan-bahan tersebut.
Untuk bahan pencemar seperti logam dan beling juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya
volume bahan pencemar, yakni pada tahun 1986 berkisar 4, dan 5 pada tahun 1995, serta pada tahun 2005 meningkat menjadi 7, dan untuk bahan beling pada
tahun 1986 sekitar 5, pada tahun 1995 sekitar 6 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 7. Hal tersebut, disebabkan oleh banyaknya penggunaan
kedua bahan tersebut, sehingga sisa bahan yang digunakan akan memberikan kontribusi terhadap pencemaran.
Namun bila melihat komposisi sampah yang terjadi di DKI Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan komposisi untuk bahan-bahan seperti
plastik, kertas, kayu dan garbage yakni pada tahun 1986 nilai komposisinya sekitar 90, pada tahun 1995 sekitar 88, dan menurun hingga menjadi 85
pada tahun 2005. Hal sebaliknya justru terjadi peningkatan pada komposisi bahan pencemaran seperti logam, beling dan batu yang mengalami peningkatan
komposisi yakni pada tahun 1986 hanya berkisar 10, pada tahun 1995 menjadi 12, dan meningkat secara tajam pada tahun 2005 yakni berkisar 15. Hal ini
memberikan kesimpulan bahwa terjadi pergeseran pemanfaatan dan penggunaan bahan-bahan kebutuhan masyarakat, yang semula banyak mengkonsumsi bahan-
bahan seperti kayu berganti ke arah bahan-bahan logam dan beling. Namun khusus untuk kertas dan plastik tidak mengalami penurunan, tapi bahkan
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Penggunaan bahan-bahan seperti plastik, kertas, logam dan beling merupakan karakteristik masyarakat kota yang
cenderung praktis, simpel dan instan. Perbandingan persentase proyeksi dan komposisi sampah pasar di DKI Jakarta dari tahun 1986, 1995 dan 2005 dapat
dilihat pada Gambar 19.
73
Persentase Proyeksi Komposisi Sampah Pasar DKI Jakarta 2005
34.11 31.01
34.88
Tahun 1995 Tahun 2005
Tahun 1986
Persentase Proyeksi Komposisi Sampah Pasar Logam, Beling, Batu
di DKI Jakarta
32.43 40.54
27.03 Tahun 2005
Tahun 1986
Tahun 1995
Gambar 19. Perbandingan persentase proyeksi dan komposisi sampah pasar di DKI Jakarta dari tahun 1986, 1995 dan 2005
Komposisi rata-rata sampah yang bersumber dari pasar yang didasarkan pada 2 dua penggolongan seperti terlihat pada Tabel 19 yakni bahan organik
seperti; sisa makanan, daun dll sekitar 83,69 dan bahan anorganik seperti; kertas, kayu, plastik, kain, karet, logam, beling, sampah bongkahan dan sampah
B3 sekitar 16,31. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa bahan-bahan pencemaran sangat didominasi oleh bahan organik seperti sisa makanan dan daun-
daunan yang jatuh. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi masyarakat perkotaan sangat tinggi, terutama konsumsi bahan makanan. Kondisi yang
demikian didorong oleh pilihan hidup yang lebih praktis dengan banyaknya restoran, hotel dan rumah makan yang dibuka untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat tersebut, sehingga secara langsung akan memberikan beban pencemar berupa sisa-sisa makanan.
74 Tabel 19. Komposisi sampah rata-rata dari sumber pasar di DKI
Jakarta tahun 2005
No. Komponen Pasar
1 Organik sisa makanan, daun, dll
83,69 2 Anorganik
16,31 2.1.
Kertas 5,15
2.2. Plastik
9,66 2.3.
Kayu 0,12
2.4. Kaintekstil
- 2.5.
Karetkulit tiruan
0,14 2.6.
Logammetal 0,29
2.7. Gelaskaca
- 2.8. Sampah bongkahan
- 2.9. Sampah B3
0,12 2.10. Lain-lain batu, pasir dll
0,82
Total 100
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Gambar 20 memperlihatkan bahwa komposisi rata-rata sampah pasar di DKI Jakarta tahun 2005 tersebut lebih banyak berasal dari bahan organik yaitu
sebesar 86,69, sedangkan sampah yang bersumber dari bahan anorganik sebesar 16,31. Sampah organik ini paling banyak merupakan sampah yang berasal dari
kegiatan rumah tanggadomestik berupa sisa makanandedaunan yang diangkut dan dibuang ke pasar maupun sisa hasil pertanian yang tidak terjual Tabel 20.
Komposisi Sampah Rata-Rata dari Sumber Pasar di DKI Jakarta 2005
86.69 16.31
Bahan Organik Bahan Anorganik
Gambar 20. Komposisi rata-rata sampah pasar di DKI Jakarta tahun 2005
75 Tabel 20. Komposisi sampah rata-rata di DKI Jakarta
Persentase No. Komponen
Total Daur Ulang Dibuang
1 Organik sisa makanan, daun, dll
55,37 -
55,37 2 Anorganik
44,63 19,95 24,68
2.1. Kertas
20,57 7,32 13,15
2.2. Plastik
13,25 6,85 6,40
2.3. Kayu
0,07 0,07 -
2.4. Kaintekstil
0,61 0,61 -
2.5. Karetkulit
tiruan 0,19 0,19
- 2.6.
Logammetal 1,06 1,06
- 2.7.
Gelaskaca 1,91 1,91
- 2.8. Sampah bongkahan
0,81 0,81
- 2.9. Sampah B3
1,52 -
1,52 2.10. Lain-lain batu, pasir dll
4,65 -
4,65
Total 100 19,95
80,05
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Komposisi sampah pasar dari bahan-bahan anorganik rata-rata yang mengalami proses daur ulang recycle hanya berkisar 19,95, sedangkan sampah
yang berasal dari bahan-bahan organik seperti makanan dan dedaunan tidak ada yang mengalami proses daur ulang, tetapi semuanya langsung dibuang yakni
sekitar 55,37, dan untuk bahan anorganik yang dibuang sekitar 24,68. Namun bila dihitung secara keseluruhan, sesungguhnya sampah-sampah yang mengalami
proses daur ulang sangat sedikit yakni hanya sekitar 19,95, bila dibandingkan dengan sampah-sampah yang langsung dibuang dan menjadi pencemar mencapai
80,05. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pencemaran baik berupa bau, sanitasi maupun gangguan kesehatan lainya. Untuk lebih mudah melihat
gambaran komposisi jumlah sampah total di DKI Jakarta tahun 2005 data disajikan pada Gambar 21.
76
Komposisi Sampah Total Sumber di DKI Jakarta 2005
55.37 24.68
Bahan Organik Bahan Anorganik
Gambar 21. Komposisi jumlah sampah total di DKI Jakarta Tahun 2005 Gambar 21 di atas memperlihatkan bahwa jumlah jenis sampah organik
tetap paling besar yaitu sebesar 55,37 bila dibandingkan dengan sampah anorganik yang sebesar 24,68 dari seluruh sampah yang dibuang di wilayah
DKI Jakarta. Sampah organik ini paling banyak merupakan sampah yang berasal dari kegiatan rumah tanggadomestik dan pasar berupa sisa makanandedaunan
maupun hasil pertanian tanaman pangan yang tidak dikonsumsi Tabel 21. Tabel 21. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber pencemar
Hasil Analisa Sumber Sampah
Kadar Air Kadar Abu
Nilai Kalor kkalkg
Pasar Modern 36,59
17,13 2102
Pasar Tradisional 56,58
10,26 17,78
Pemukiman 45,93
16,24 2072
Perkantoran 23,17 17,60
2434 Industri 23,73
11,93 3553
Sekolahan 31,31 13,92
3248 Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Berdasarkan Tabel 21, untuk sumber pencemar yang berasal dari pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern seperti pertokoan dan mall, diperoleh hasil
analisa laboratorium dan lapangan bahwa nilai kalor dan kadar air sampah mengalami perbedaan. Nilai kadar air dan kadar abu diamati dalam pencemaran
dikarenakan kedua kadar tersebut dapat larut di dalam air. Untuk pasar modern kadar airnya sekitar 36,59 lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar air
sampah yang berasal dari pasar tradisional. Hal ini dapat dimaklumi dan
77 dipahami bahwa pada umumnya sampah-sampah yang berasal dari pasar-pasar
tradisional lebih didominasi oleh bahan-bahan makanan pokok yang tidak mengalami perlakuan teknologi yang baik, sehingga kandungan airnya akan
melimpah menjadi sampah. Pada tabel tersebut terlihat tidak seluruh persentase mencapai 100 karena sisa dari persentase yang tidak termasuk dapat berupa
plastik, besi dan lain-lain. Seperti pada pasar modern mall umumnya wadah makanan berupa plastik atau sejenisnya. Sedangkan untuk pasar tradisional jarang
sekali penggunaan bahan-bahan tersebut sehingga kadar airnya lebih banyak. Kegiatan aktivitas di pasar tradisional dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Aktivitas kegiatan di pasar tradisional
Hal ini berbeda dengan pasar-pasar modern seperti mall atau swalayan, dimana bahan makanan tersebut mengalami perlakuan teknologi yang baik seperti
freezer , kulkas maupun pemanas. Sedangkan untuk nilai kalor sampah yang
berasal dari pasar modern lebih tinggi yakni berkisar 2102 kkalkg, bila dibandingkan dengan nilai kalor sampah yang bersumber dari pasar tradisional
yakni hanya berkisar 17,78 kkalkg. Hal ini disebabkan oleh mutu atau kualitas bahan-bahan makanan yang bersumber dari pasar-pasar modern lebih baik,
dibandingkan dengan mutu bahan makanan yang bersumber dari pasar tradisional, sehingga sisa-sisa bahan makanan tersebut yang menjadi sampah juga mengalami
78 perbedaan kualitas terutama dari segi kalori. Data komposisi sampah pada pasar
tradisional dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Komposisi sampah pasar tradisional
Persentase No. Komponen
Total Daur Ulang Dibuang
1 Organik sisa makanan, daun, dll
83,69 -
83,69 2 Anorganik
16,31 8,67
7,63 2.1.
Kertas 5,15
3,06 2,09
2.2. Plastik
9,66 5,06
4,60 2.3.
Kayu 0,12
0,12 0,00
2.4. Kaintekstil
- -
- 2.5. Karetkulit tiruan
0,14 0,14
- 2.6.
Logammetal 0,29
0,29 -
2.7. Gelaskaca
2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3
0,12 -
0,12 2.10.
Lain-lain batu, pasir dll
0,82 - 0,82
Total 100 8,67
91,32
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
Komposisi timbulan sampah pasar tradisional yang berasal dari bahan organik seperti; sisa makanan, dedaunan dan lain-lain berkisar 83,69, dan
sekitar 16,31 yang merupakan timbulan sampah anorganik berupa kertas, plastik, kayu, kaintekstil, karet, logam, kaca, sampah bongkahan dan sampah B3
bahan berbahaya dan beracun. Berdasarkan komposisi sampah yang telah mengalami proses atau daur
ulang, baru sekitar 8,67 dan masih terdapat sekitar 91,32 sampah baik bahan organik maupun anorganik belum mengalami proses daur ulang. Kondisi ini
memberikan dampak yang buruk terutama bagi kesehatan lingkungan dan manusia. Apabila kapasitas asimilasi assimilation capacities lingkungan telah
mencapai batas toleransi, maka timbulan-timbulan sampah tersebut akan menjadi pencemar. Untuk melihat perbandingan antara sampah yang di daur ulang dan
yang dibuang pada pasar tradisional dapat dilihat pada Gambar 23.
79
Pengelolaan Sampah Pasar Tradisional di DKI Jakarta
8.67
91.32 di daur ulang
di buang
Gambar 23. Pengelolaan sampah pasar modern di DKI Jakarta Komposisi sampah yang berasal dari pertokoan modern seperti mall, plaza,
restauran dan rumah makan, terdiri dari bahan organik sisa makanan, dedaunan dan lain-lain sekitar 45,5 dan bahan anorganik sekitar 54,5. Hal ini
menunjukkan bahwa komposisi sampah yang bersumber dari pertokoan modern lebih didominasi oleh bahan anorganik seperti kertas 26,06, plastik 12,10,
gelas 7,24, kayu 4,03, batu, kerikil dan pasir 2,61, kaintekstil 1,49, logammetal 0,82 dan B3 sekitar 0,15. Komposisi tersebut selengkapnya
disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Komposisi sampah pertokoan modern
Persentase No. Komponen
Total Daur ulang
Dibuang 1
Organik sisa makanan, daun, dll 45,5
0,00 45,5
2 Anorganik 54,5
39,04 15,46
2.1. Kertas
26,06 16,72
9,34 2.2.
Plastik 12,10
8,74 3,36
2.3. Kayu
4,03 4,03
0,00 2.4.
Kaintekstil 1,49
1,49 -
2.5. Karetkulit tiruan -
- -
2.6. Logammetal
0,82 0,82
- 2.7.
Gelaskaca 7,24
7,24 -
2.8. Sampah bongkahan -
- -
2.9. Sampah B3 0,15
0,00 0,15
2.10. Lain-lain batu, pasir dll 2,61
0,00 2,61
Total 100 39,04
60,96
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005
80 Sedangkan komposisi sampah pertokoan yang telah mengalami prosessing
atau pendaurulangan sekitar 39,04 dan masih ada sekitar 60,69 yang belum di daur ulang. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka tidak mungkin kesehatan
lingkungan dan manusia akan terganggu dengan semakin bertambahnya volume sampah setiap harinya. Untuk melihat perbandingan antara sampah yang di daur
ulang dan yang dibuang pada pasar modern dapat dilihat pada Gambar 24.
Pengelolaan Sampah Pasar Modern di DKI Jakarta
39.04 60.96
di daur ulang di buang
Gambar 24. Pengelolaan sampah pasar modern di DKI Jakarta
5.1.2. Sumber di Sepanjang Pantai Pantura Jakarta
Kualitas perairan Teluk Jakarta selain dipengaruhi oleh kualitas air sungai yang bermuara di Teluk Jakarta juga dipengaruhi oleh kegiatan di sepanjang
pantai utara Jakarta. Aktivitas kegiatan di pantai utara Jakarta seperti banyaknya pelabuhan-pelabuhan di DKI Jakarta memberikan kontribusi juga terhadap
pencemaran Teluk Jakarta. Kegiatan aktivitas pelabuhan di pantai utara Jakarta dapat dilihat pada Gambar 25, dan kegiatan aktivitas nelayan di pantai utara
Jakarta dapat dilihat pada Gambar 26.
81
Gambar 25. Kegiatan aktivitas pelabuhan di pantai utara Jakarta
Gambar 26. Kegiatan aktivitas nelayan di pantai utara Jakarta
Berikut ini Tabel 24 adalah kegiatan, kondisi lingkungan dan sumber pencemaran yang terjadi di kawasan Pantura Jakarta yang dimulai dari Pantai
Indah Kapuk sampai Kawasan Marunda yang merupakan salah satu kegiatan dari Bapedalda DKI Jakarta 1999.
Tabel 24. Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta
LokasiKegiatan Kondisi Sumber
Pencemaran
Pantai Wisata Marunda Rumah
Si Pitung dan Mesjid Si Pitung
- terjadi abrasi pantai - pemukiman kumuh
- sanitasi buruk - perubahan lingkungan di
sekitar muara sungai perumahan, tambak
- limbah MCK dan limbah padat dari pemukiman
plastik, perahu rusak dan kayu
- Kali Blencong
82 Tabel 24 lanjutan. Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran
LokasiKegiatan Kondisi Sumber
Pencemaran
di Teluk Jakarta
Pelabuhan Marunda
- kegiatan b uat kayu,
- san
- lim -
ngkar muat dan oli ongkar m
minyak goreng dan pasir laut kelembagaan berada di bawah
adpel Sunda Kelapa, pengelolaannya Kawa
Berikat Nusantara cabang Marunda
bah MCK sekitar pelabuhan
kegiatan bo kapal serta kayu-kayu
Kawasan Berikat diperuntukkan sebagai
- dari
- h baik
- limbah MCK dari perkantoran -
dari
Kawasan sekitar sebagai Muara Cakung Drain
- hu
- oli bekas dari kapal perahu -
an -
Kawasan Pantai - lokasi pemukiman nelayan
- ncaharian sebagai
KK limbah MCK dari pemukiman
Pelabuhan ok
sebagian pelabuhan untuk lau
- u
- dal,
- perairan
man - kegiatan bongkar muat,
- estik
-
Pelabuhan Sunda pelabuhan untuk kapal motor,
- n terdapat
- sisa-sisa oli dan minyak dari -
padat dari -
yang Nusantara
- kawasan pergudangan
kegiatan yang dominan adalah angkutan barang
dan ke kawasan penghijauan suda
dan pergudangan pencemaran udara
kegiatan transportasi
Muara Cakung Drain
- yang mengatasi hempasan air
di kawasan Jakarta Timur merupakan pelabuhan pera
layar motor dari nelayan, hal ini menyebabkan aliran air
sungai terhambat nelayan yang dibuang ke
sungaiperairan laut sampah dari pemukim
dibuang langsung ke laut penimbunan pasir laut di
sepanjang Kanal Cakung Drain
Cilincing yang cukup padat dan tidak
teratur mata pe
peternak kerang hijau 200 -
- limbah industri yang berlokasi di hulu Kalibaru
Tanjung Pri -
bongkar muat barang dan sebagai pelabuhan
transportasi antar pu pengelola pelabuhan yait
adpel Tanjung Priok pelabuhan II sudah
mempunyai dokumen am RKL, RPL
kondisi fisik berwarna kehitam-hita
dan masih terlihat sampah pencucian tangki kapal
limbah dari kegiatan dom industri di sekitar pelabuhan
limbah yang terbawa sungai yang masuk ke pelabuhan
Kelapa -
kapal layar bermotor dan kapal penumpang
di sekitar pelabuha pemukiman kumuh dan padat
kegiatan kapal limbah cair dan
kegiatan pemukiman limbah padat dan cair
terbawa oleh aliran Kali Opak
83 Tabel 24 lanjutan. Jenis kegiatan yang meny
LokasiKegiatan Kondisi Sumber
Pencemaran
ebabkan pencemaran di Teluk Jakarta
Pelabuhan perikanan
Samudera M Baru
uara - pelabuhan
pal motor, i
- sis ri
- padat dari
untuk ka kapal layar bermotor dan
kapal perikanan samudra d sekitar pelabuhan terdapat
pengolahan hasil tangkapan perikanan samudra
a-sisa oli dan minyak da kegiatan kapal
limbah cair dan kegiatan pelabuhan
Pelelangan Ikan tempat kegiatan pelelangan
- ayan
- limbah MCK penduduk -
ian -
n Cagar Alam
- lokasinya berada di sebelah -
tumbuhi hnya
- atwa
- limbah MCK dari
yan di -
i uk
gke -
at dan limbah cair -
Pantai Indah - kawasan seluas 800 ha, sudah
- Jl.
- n untuk
h dan air -
elaksanakan amdal, limbah padat dan cair yang
ang -
tanggul utan
Pelabuhan merupakan pelabuhan kapal
- ah
i - sampah dari kegiatan bongkar
- ah dan limbah MCK dari
- Muara Angke
- ikan dan pasar
pemukiman nel sekitar pelanggan
limbah cair pencuc kegiatan pelelangan
limbah dari pasar ika
Muara Angke timur PIK dan sebelah barat
Kali Angke umumnya di
mangrove yang tumbu tidak terlalu baik
masih ditemukan s seperti ular, biawak dll
secara visual kondisi lingkungan tercemar
- perkampungan nela
sepanjang Kali Angke berkurangnya lebar Kal
Angke karena dipakai unt sandar perahu nelayan
sehingga aliran Kali An terganggu
limbah pad yang terbawa Kali Angke
rusaknya hutan mangrove disebabkan banyak limbah
plastik tertahan di mangrove
Kapuk PIK terbangun seluas 400 ha
lokasinya di sebelah utara Tol Bandara dan sebelah barat
Cengkareng Drain lahan yang terbangu
lapangan golf, perumahan, rumah sakit, sarana
pengolahan air limba bersih
sudah m RKL, RPL
- terbawa oleh aliran
Cengkareng Drain y berasal dari luar kawasan
bermuara di PIK adanya pembuatan
dan pengurugan tambak menyebabkan rusaknya h
mangrove
Kalibaru -
motor dan kapal layar motor yang memuat kayu dan
barang-barang lainnya kondisi fisik lautnya sud
berwarna hitam dan dipenuh sampah
muat belum ditangani dengan baik
samp pemukiman sekitar pelabuhan
tumpahan minyak dan oli dari kapal dan kegiatan perbaikan
kapal di pelabuhan
Sumber : Aboejowono 2000
84 Selain itu pantai utara Jakarta sebagian besar dimanfaatkan oleh aktivitas
pelab uhan, yang kemudian diikuti pemanfaatan lahan oleh perumahan nelayan.
Sedangkan untuk aktivitas lainnya seperti hutan lindungmangrove, PLTGU, perumahan, industri dan rekreasi. Untuk lebih jelasnya pemanfaatan pantai utara
Jakarta oleh berbagai aktivitas dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Pemanfaatan p
Oleh : IRMAN FIRMANSYAH
P0 52040261
Sumber Peta : BPLHD DKI Jakarta
antai utara Jakarta
85
5.2. Status Kualitas Perairan, Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi 5.2.1. Status Kualitas Muara Sungai dan Perairan Teluk Jakarta
Penentuan status kualitas muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta dan perairan Teluk Jakarta dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi
berbagai parameter kualitas air muara sungai dan juga kualitas perairan Teluk Jakarta dengan baku mutu yang berlaku di Indonesia, untuk kualitas muara sungai
baku mutu yang digunakan adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku
Mutu Air SungaiBadan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta sedangkan untuk kualitas perairan Teluk Jakarta baku
mutu yang digunakan adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Data beberapa parameter
kualitas muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Status kualitas muara sungai di Teluk Jakarta
Lokasi Titik Pengamatan Parameter Satuan
Baku Mutu
42 22 6 27 32
Fisik DHL µhoscm
1.000 696,10 940,98 295,67
6856,27 26730,39
TDS mgL
1.000 701,22 2405,34 173,63 4422,51
18087,91 TSS
mgL 200 45,00 38,49 19,33 33,02 16,34
DO mgL
3 -
- 0,95
- -
Suhu 0C
29,28 29,85 28,37 31,75 31,25 Kekeruhan NTU
41,04 59,61 19,67 30,24 75,18 Kimiawi
Hg mgL
0,0005 0,0009
0,0008 Besi Total
mgL 2
0,34 0,67 0,72 0,29 0,15 Mn
mgL 1 0,30 0,86 0,26 1,73 0,48
pH 6,0-8,5 8,02 6,82 6,43 6,77 7,14
PO4 mgL 0.5
1,79 1,12 1,21 2,21 1,47 Zn
mgL 1 0,115 0,02
0,035 0,02 0,02 SO4
mgL 100 128,72 74,86 20,88 172,14
718,89 Cu
mgL 0,1
MBAS mgL 0,5
1,93 1,12 0,13 2,20 0,92 KMnO4
mgL 25
92,73 28,53 22,25 91,86 62,25 BOD
mgL 20
63,01 29,36 13,42 69,41 52,24 COD
mgL 30
134,46 78,59 34,84 267,58
193,46 Natrium mgL
50 253,30
223,14 35,66
948,79 1105,65
Mikrobiologi Coliform Jmlh100ml
2,00E+04 3,03E+07
8,98E+07 1,10E+07 2,99E+09 3,29E+08 Fecal Coli
Jmlh100ml 4,00E+04
1,83E+07 1,58E+07 2,48E+06 8,43E+08 1,50E+08
86 Tabel 25 lanjutan. Status kualitas muara sungai di Teluk Jakarta
Lokasi Titik Pengamatan Parameter Satuan
Baku Mutu
30 34 13 38 38
A
Fisik DHL µhoscm
1.000 2757,50 2717,25 1888,31 3575,20
29450,00 TDS mgL
1.000 1889,33
2118,26 1052,25 1832,13 20800,00
TSS mgL 200
12,33 161,56 123,35 40,83 10,00
DO mgL 3
0,29 0,23
33,00 0,04
- Suhu
0C 31,82 30,60 29,20 32,65 30,80
Kekeruhan NTU 48,33
106,94 27,39 24,02 20,25 Kimiawi
Hg mgL 0,0005
0,0006 0,00085
0,0010 0,001
Besi Total mgL
2 0,265 0,185 0,45 0,485 0,120
Mn mgL 1
0,30 1,46 2,40 1,77 0,22 pH
6,0-8,5 7,27 7,27 6,71 7,20 7,50 PO4
mgL 0,5 1,84 2,47 1,67 1,76 0,50
Zn mgL 1
0,06 0,03 0,02 0,03 0,03 SO4 mgL
100 137,62
72,19 102,48
74,20 1457,04
Cu mgL
0,1 0,01 MBAS mgL
0,5 1,74 2,04 1,39 1,32 0,81
KMnO4 mgL
25 31,30 82,04 66,75 84,63 89,23
BOD mgL
20 21,00 80,02 49,52 67,85 33,00
COD mgL
30 73,72 135,12 96,86 124,10 263,58
Natrium mgL
50 654,55 230,05 363,35
1044,55 -
Mikrobiologi Coliform Jmlh100ml
2,00E+04 1,56E+07
5,14E+08 9,36E+10 3,02E+09 6,75E+05 Fecal Coli
Jmlh100ml 4,00E+04
7,23E+06 2,31E+08 4,72E+09 1,75E+09 4,25E+05
Sumber : BPLHD, 2005
Berdasarkan data pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa pada umumnya 65,48 parameter kualitas air pada seluruh lokasi pengamatan sudah melampaui baku
mutu air sungaibadan air serta baku mutu limbah cair di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Data Kualitas air muara sungai seluruh lokasi pengamatan dari
tahun 2000-2005 dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 10. Untuk parameter-parameter yang digunakan dalam penghitungan kapasitas
asimilasi antara lain TDS, TSS, Mn, PO
4
, Zn, SO
4
, MBAS, KMnO
4
, BOD, dan COD ditentukan karena kelengkapan data yang ada secara time series mulai tahun
2000 sampai dengan tahun 2005. Dari data di atas dapat dilihat pada parameter COD semua lokasi titik pengamatan sudah melampaui baku mutu; untuk
parameter PO
4
, MBAS, KmnO
4
, dan BOD yang sudah melebihi baku mutu yang ditentukan yaitu sebanyak sembilan titik lokasi pengamatan dari sepuluh titik
87 lokasi yang diamati; untuk parameter TDS yang melebihi baku mutu sebanyak
delapan dari sepuluh titik lokasi pengamatan; untuk parameter SO
4
yang melebihi baku mutu sebanyak enam dari sepuluh titik lokasi pengamatan; sedangkan untuk
Mn hanya empat dari sepuluh titik lokasi pengamatan; dan untuk TSS belum ada yang melebihi baku mutu yang ditentukan.
Untuk kualitas perairan Teluk Jakarta sendiri dibagi menjadi tiga stasiun pengamatan antara lain stasiun 1, diambil dengan jarak dari pantai sekitar 50 m,
hal ini dianggap dapat mewakili kualitas perairan yang masih sangat tinggi dipengaruhi oleh aktivitas dari darat, baik dari kualitas perairan sungai maupun
kegiatan yang ada di sekitar pantai utara Jakarta; stasiun 2, diambil dengan jarak 500 m dari pantai, kualitas perairan yang ada di posisi ini dianggap dapat
mewakili atau perpaduan kualitas perairan yang dipengaruhi oleh perairan pinggir pantai dan perairan laut sendiri; sedangkan stasiun 3, diambil pada jarak 1 km dari
pantai, hal ini diharapkan kualitas perairan yang ada tidak begitu terpengaruh dari aktivitas darat dan kegiatan sekitar pantai tetapi hanya dipengaruhi oleh aktivitas
di laut sendiri. Berdasarkan data pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa pada umumnya setiap
parameter yang diamati di setiap stasiun menunjukkan nilai konsentrasi yang sudah melampaui ambang batas baku mutu yang diperbolehkan untuk perairan
pelabuhan berdasarkan Kep-Men LH 512004, kecuali suhu air, salinitas, TSS, pH, BOD dan NH
3
yang masih di bawah baku mutu stasiun 1; suhu air, salinitas, pH, BOD, COD, NH
3
dan TSS stasiun 2, sedangkan di stasiun 3 yang masih di bawah baku mutu yaitu suhu air, salinitas, pH, BOD, COD, NH
3
, TSS dan kekeruhan. Melihat dari keadaan tersebut dapat dinyatakan pencemaran yang
terjadi di perairan Teluk Jakarta disebabkan oleh berbagai sumber baik dari limbah domestik limbah organik, dari limbah industri limbah anorganik,
maupun dari erosi tanah. Pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah domestik dicerminkan berupa
tingginya nilai Nitrat dan Fosfat, pencemaran akibat limbah industri dicerminkan oleh tingginya konsentrasi Timbal, dan pencemaran akibat erosi tanah ditunjukkan
oleh tingginya konsentrasi TSS. TSS pada stasiun 2 dan 3 masih dibawah baku mutu karena pencemaran akibat erosi di landbase tidak begitu tinggi sehingga
88 dampak dari erosi tersebut terhadap kualitas air laut tidak sampai pada stasiun 2
dan 3. Status kualitas perairan pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Status kualitas perairan Teluk Jakarta
Parameter Baku
Mutu Stasiun 1
Baku Mutu
Stasiun 2 Stasiun 3
Kedalaman m 4,044444
5,361111 6,666667
Suhu Air °C 28-32
30,80556 28-32
30,80556 30,72222
Kecerahan m 3
1,314167 6 1,629444
2,006944 Kekeruhan NTU
5 11,75035
5 6,361303
4,444792 Salinitas ‰
33-34 30,03704
33-34 30,10185
30,21296 TSS mgL
80 24,56294
20 17,41783
13,50478 pH 6,5-8,5
7,528056 7-8,5
7,739444 7,898333
DO mgL 5
5,113926 5
5,369222 5,44487
BOD mgL 10
4,38 10
5,177778 5,105556
TOM mgL 30
179,734 30
190,6883 180,8366
NO
3
mgL 0,008 0,156494
0,008 0,198197
0,192375 NH
3
mgL 0,3 0,201642
0,3 0,205575
0,206833 PO
4
mgL 0,015
0,133344 0,015
0,109511 0,102997
Total Pospat mgL 0,015
0,1131 0,015
0,078372 0,0735
H
2
S mgL 0,03
7,020333 0,03
10,30017 21,1
Pb air 0,05
0,093708 0,005
0,101142 0,093258
Cd air 0,01
0,031267 0,002
0,032831 0,030876
Pb sedimen 0,05
12,24156 0,005
17,00417 21,79538
Cd sedimen 0,01
0,286333 0,002
0,309667 0,360833
COD 200 220,1044
200 193,408
198,12
5.2.2. Analisis Beban Pencemaran Teluk Jakarta
Beban pencemaran dihitung untuk mengetahui dan mengidentifikasi sumber pencemaran, jenis pencemar dan besarnya beban pencemaran yang masuk ke
dalam perairan Teluk Jakarta. Secara umum sumber pencemaran yang masuk ke dalam perairan laut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : limbah
rumah tangga domestik, limbah industri dan limbah pasar. Beban pencemaran dihitung berdasarkan perkalian antara debit air sungai
dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti. Sedangkan yang dimaksud dengan beban pencemaran total yang berasal dari darat landbased
sources yang berasal dari 10 muara sungai yang berada di DKI Jakarta yang
mengalir ke Teluk Jakarta. Beban pencemaran yang diamati adalah beban pencemaran mulai dari tahun 2000-2005 pada masing-masing sungai Lampiran
89 11-Lampiran 21, sedangkan untuk total beban pencemaran disajikan pada Tabel
27. Tabel 27. Beban pencemaran di Teluk Jakarta tahun 2000-2005
Total BP tonbulan Parameter Satuan
2000 2001 2002
I. Fisik 1. Zat Padat Terlarut TDS
mgL 1780848,066
1640655,214 1977111,582
2. Zat Padat Tersuspensi TSS mgL
24399,02477 15046,63776
20208,82608 II. Kimiawi
3. Mangan Mn mgL
139,7629728 149,4562752
116,6651424 4. Phosphat PO4
mgL 369,417024
422,5561344 499,995504
5. Seng Zn mgL
6,2021376 5,5017792
8,8073568 6. Sulfat SO4
mgL 293790,5075
54859,02656 165607,5907
7. Surfaktan MBAS mgL
337,2757056 505,6375104
1470,160627 8. KMnO4
mgL 17343,43644
12084,95817 21532,34949
9. BOD 20
o
C, 5 hari mgL
13614,75553 7979,674954
14604,92208 10. COD Dichromat
mgL 21090,70276
21272,5878 25183,20067
Tabel 27 lanjutan. Beban pencemaran di Teluk Jakarta tahun 2000-2005
Total BP tonbulan Parameter Satuan
2003 2004 2005
I. Fisik 1. Zat Padat Terlarut TDS
mgL 2258902,158
1958781,261 2313609,072
2. Zat Padat Tersuspensi TSS mgL
18676,00152 13534,33147
17016,78469 II. Kimiawi
3. Mangan Mn mgL
168,9923088 143,080964
418,3038806 4. Phosphat PO4
mgL 1214,309362
378,5184225 518,8544294
5. Seng Zn mgL
7,9571808 6,678334656
10,6195536 6. Sulfat SO4
mgL 168755,7927
117076,4673 141610,1083
7. Surfaktan MBAS mgL
1385,284032 608,4695713
441,8716432 8. KMnO4
mgL 20194,90782
14380,28588 23785,43305
9. BOD 20
o
C, 5 hari mgL
16090,71124 8887,965641
16369,05335 10. COD Dichromat
mgL 27892,28766
32179,16332 52983,15476
Beban pencemaran di 10 muara sungai pada tahun 2005 yang paling tinggi setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu Zat Padat Terlarut
Total Dissolved SolidTDS, dimana muara yang paling banyak memberikan kontribusi beban pencemaran terbesar sebesar 1.540.311,55 tonbulan adalah Kali
Blencong dengan titik pengamatan 38 A, berada di Pantai Maruda. Perubahan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta dapat dilihat pada Gambar 27.
90
Zat Padat Terlarut TDS
500000 1000000
1500000 2000000
2500000
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Zat Padat Terlarut TDS
Gambar 27. Perubahan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta tahun 2000-2005
Dari Gambar 27 di atas dapat dilihat terjadi peningkatan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta dimana pada tahun 2000 sebesar 1.780.848,066 tonbulan
menjadi 2.313.609,072 tonbulan pada tahun 2005. TDS merupakan bahan-bahan terlarut diameter 10
-6
mm dan koloid diameter 10
-6
– 10
-3
berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm. Penyebab TDS biasanya
bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan seperti disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Bahan anorganik ion-ion di perairan
Major Ion 1,0 – 1000 mgl
Secondary Ion 0,01 – 10,0 mgl
1. Sodium Na 2. Kalsium Ca
3. Magnesium Mg 4. Bikarbonat HCO
3
5. Sulfat SO
4
6. Klorida Cl
-
1. Besi Fe 2. Strontium St
3. Potassium K 4. Karbonat CO
3
5. Nitrat NO
3
6. Fluorida F 7. Boron B
8. Silika SiO
2
Sumber : Todd 1970 dalam Effendi 2000
Tingginya nilai TDS menggambarkan perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik berupa
limbah domestik dan industri. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada
91 perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan,
terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses
fotosintesis di perairan. Air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia yang juga akan mengakibatkan tingginya nilai
salinitas dan daya hantar listrik. Sedangkan yang paling rendah setelah diperbandingkan dengan baku mutu
yang ada yaitu Seng Zn sebesar 10,62 tonbulan dimana muara yang paling sedikit memberikan kontribusi beban pencemaran sebesar 0.2 tonbulan adalah
Sungai Kamal dengan titik pengamatan 42, berada di muara Sungai Kamal. Sumber alami utama zinc adalah calamine ZnCO
3
, sphalerite ZnS, smithsonite ZnCO
3
, dan wilemite Zn
2
SiO
4
McNelly et al., 1979 dalam Effendi, 2000. Zinc digunakan pada industri baja, cat, karet, tekstil, kertas, dan bubur kertas.
Zinc termasuk unsur esensial bagi mahluk hidup, berperan dalam membantu kerja enzim. Zinc diperlukan dalam fotosintesis sebagai agen bagi transfer hidrogen
dan berperan dalam pembentukan protein. Zinc tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi, zinc dapat menimbulkan rasa pada air.
Berdasarkan data dari hasil pengamatan parameter kualitas air sungai yang memberikan sumbangan terbesar terhadap beban pencemaran adalah muara Kali
Blencong dan yang memberikan sumbangan terkecil adalah muara Sungai Kamal. Beban pencemaran total dihitung dari penjumlahan beban pencemaran dari
sepuluh muara sungai yang diamati Gambar 28, yaitu: • Sungai Kamal titik pengamatan 42,--Muara Kamal
• Sungai Cengkareng Drain titik pengamatan 22--Jl. Kapuk Muara • Sungai Ciliwung titik pengamatan 6--Jemb. PIK-Muara Angke
• Sungai Grogol titik pengamatan 27--PLTU Pluit • Sungai Ciliwung titik pengamatan 32--Jl. Pompa Pluit
• Sungai Ciliwung titik pengamatan 30--Jl. Ancol Marina • Sungai Kalibaru Timurtitik pengamatan 34--Jl. Ancol
• Kali Sunter titik pengamatan 13--Bogasari • Sungai Cakung Drain titik pengamatan 38--Cilincing
• Kali Blencong titik pengamatan 38A--Pantai Marunda
92
SEDANG 51-70 BURUK 26-50
Lokasi Pemantauan Muara Sungai
Oleh : IRMAN FIRMANSYAH
P052040261 Sumber Peta : BPLHD DKI Jakarta
Gambar 28. Lokasi Pemantauan muara sungai di DKI Jakarta
Semakin tinggi nilai beban pencemaran untuk parameter yang tergolong limbah domestik, industri, pelapukan batuanlimpasan dari tanah, maka beban
yang harus diterima oleh teluk semakin besar sehingga pada batas toleransi tertentu akan terjadi akumulasi polutan dan sebaliknya nilai beban pencemaran
yang rendah dapat membuat teluk membersihkan sendiri setiap polutan yang masuk. Kemampuan untuk membersihkan sendiri suatu perairan terhadap setiap
polutan yang masuk di sebut kapasitas asimilasi suatu perairan.
5.2.3. Analisis Kapasitas Asimilasi Perairan Teluk Jakarta
Kapasitas asimilasi suatu perairan ditentukan oleh morfologi dan dinamika perairan tersebut serta jenis dan jumlah limbah total pollutant load yang masuk
ke dalam perairan tersebut. Dalam hal ini, perhitungan kapasitas asimilasi dilakukan secara tidak langsung inderect approach yaitu dengan metode
hubungan antara kualitas air dan beban limbahnya. Nilai kapasitas asimilasi diperoleh dari grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter
bahan pencemar di perairan pesisir dengan total beban bahan pencemar tersebut di
93 muara sungai, untuk kemudian dianalisis dan membandingkannya dengan baku
mutu air laut yang diperuntukkan untuk biota dan budidaya laut berdasarkan Kep- Men KLH No. 51Men LH2004.
Belum terlampaui kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa beban pencemaran yang masuk masih rendah, kemudian nilai ambang batas baku
mutunya pun lebih tinggi dari kondisi konsentrasi saat ini. Berarti bahan-bahan yang masuk dapat mengalami proses-proses difusi dan lain-lain di dalam
lingkungan perairan yang lebih baik dari pada parameter lain yang sudah melampaui kapasitas asimilasinya.
Beberapa parameter yang diuji untuk mengetahui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta adalah TDS, TSS, Mn, PO
4
, Zn, SO
4
, MBAS, KMnO
4
, BOD, dan COD. Dimana sampel kualitas perairan yang ada dimulai dari tahun 2000 hingga 2005,
sehingga regresi yang terbentuk merupakan hubungan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta terhadap bahan pencemar dalam jangka 6 tahun. Data perhitungan
regresi fungsi y, beban pencemaran, dan kapasitas asimilasi tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta
No Parameter Fungsi
y R
2
Beban Pencemaran
Tahun 2005 tonbulan
Kapasitas Asimilasi
tonbulan
1 TDS 0,00173x+811
0,62 2.313.609,07
109.249 2 TSS
0.00281x-1,81 0,912 17.016,78 71.819
3 Mn 0,00216x+0,0782
0,99 418,3
426,8 4 PO
4
0,00296x+0,0264 0,995 518,85 160
5 Zn 0,0024x+0,03
0,093 10,62
404,2 6 SO
4
0,00173x+45,7 0,994 141.610,11 31.387 7 MBAS
0,00283x+0,184 0,988
441,87 112
8 KMnO
4
0,00239x+9,72 0,974 23.785,43 6.393 9 BOD
0,00252x+6,64 0,972
16.369,05 5.602
10 COD 0,00234x+13,7
0,971 52.983,15
6.966
Untuk mempermudah dalam melihat kapasitas asimilasi yang terbentuk dari regresi hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi bahan pencemar,
maka akan ditampilkan dalam bentuk gambar Gambar 29 – Gambar 38, dan analisis perhitungan regresi dapat dilihat pada Lampiran 22.
94
Load TDS t on mont h T
D S
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
2500000 2000000
1500000 1000000
500000 6000
5000 4000
3000 2000
1000 109249
1000
y = 0,00173x + 811 R
2
= 0,62
Gambar 29. Analisis regresi antara beban pencemar TDS di muara dengan konsentrasi TDS di Teluk Jakarta dari tahun
2000-2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk TDS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00173x + 811 dengan R
2
= 0,62. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
109.249 tonbulan. Dari Gambar 29 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah
tercemar bahan pencemar TDS.
Load TSS t on mont h T
S S
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
80000 70000
60000 50000
40000 30000
20000 10000
200 175
150 125
100 75
50 71819
200
y = 0,00281x - 1,81 R
2
= 0,912
Gambar 30. Analisis regresi antara beban pencemar TSS di muara dengan konsentrasi TSS di Teluk Jakarta dari tahun 2000-
2005
95 Penentuan kapasitas asimilasi untuk TSS dilakukan dengan persamaan
regresi y = 0,00281x - 1.81 dengan R
2
= 0,912. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
71.819 tonbulan. Dari Gambar 30 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter TSS karena masih di bawah nilai
kapasitas asimilasinya.
Load Mn t on mont h M
n C
o n
c e
n tr
a ti
o n
m g
l
450 400
350 300
250 200
150 100
1.0 0.9
0.8 0.7
0.6 0.5
0.4 0.3
426.8 1
y = 0,00216x + 0,0782 R
2
= 0,99
Gambar 31. Analisis regresi antara beban pencemar Mn di muara dengan konsentrasi Mn di Teluk Jakarta dari tahun 2000-
2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk Mn dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00216x + 0,0782 dengan R
2
= 0,99. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
426,8 tonbulan. Dari Gambar 31 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter Mn karena masih di bawah nilai
kapasitas asimilasinya.
96
Load PO4 t on mont h P
O 4
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
1200 1000
800 600
400 200
4.0 3.5
3.0 2.5
2.0 1.5
1.0 0.5
160
0.5
y = 0,00296x + 0,0264 R
2
= 0,995
Gambar 32. Analisis regresi antara beban pencemar PO
4
di muara dengan konsentrasi PO
4
di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk PO
4
dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00296x + 0,0264 dengan R
2
= 0,995. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi
sebesar 160 tonbulan. Dari Gambar 32 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk
Jakarta telah tercemar bahan pencemar PO
4
.
Load Zn t on mont h Z
n C
o n
c e
n tr
a ti
o n
m g
l
400 300
200 100
1.0 0.8
0.6 0.4
0.2 0.0
404.2 1
y = 0,00240x + 0,0300 R
2
= 0,093
Gambar 33. Analisis regresi antara beban pencemar Zn di muara dengan konsentrasi Zn di Teluk Jakarta dari tahun 2000-
2005
97 Penentuan kapasitas asimilasi untuk Zn dilakukan dengan persamaan regresi
y = 0,00240x + 0,0300 dengan R
2
= 0,093. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
404,2 tonbulan. Dari Gambar 33 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter Zn karena masih di bawah nilai kapasitas
asimilasinya.
Load SO4 t on mont h S
O 4
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
300000 250000
200000 150000
100000 50000
600 500
400 300
200 100
31387
100
y = 0,00173x + 45,7 R
2
= 0,994
Gambar 34. Analisis regresi antara beban pencemar SO
4
di muara dengan konsentrasi SO
4
di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk SO
4
dilakukan dengan persamaan regresi y = 0.00173x + 45.7 dengan R
2
= 0,994. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
31.387 tonbulan. Dari Gambar 34 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah
tercemar bahan pencemar SO
4
.
98
Load MBAS t on mont h M
B A
S C
o n
c e
n tr
a ti
o n
m g
l
1600 1400
1200 1000
800 600
400 200
5 4
3 2
1 112
0.5
y = 0,00283x + 0,184 R
2
= 0,988
Gambar 35. Analisis regresi antara beban pencemar MBAS di muara dengan konsentrasi MBAS di Teluk Jakarta dari tahun
2000-2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk MBAS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00283x + 0,184 dengan R
2
= 0,988. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
112 tonbulan. Dari Gambar 35 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar
bahan pencemar MBAS.
Load KMnO4 t on mont h K
M n
O 4
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
25000 20000
15000 10000
5000 70
60 50
40 30
20 6393
25
y = 0,00239x + 9,72 R
2
= 0,974
Gambar 36. Analisis regresi antara beban pencemar KMnO
4
di muara dengan konsentrasi KMnO
4
di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005
99 Penentuan kapasitas asimilasi untuk KMnO
4
dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00239x + 9,72 dengan R
2
= 0,974. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
6.393 tonbulan. Dari Gambar 36 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah
tercemar bahan pencemar KMnO
4
.
Load BOD t on mont h B
O D
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
17500 15000
12500 10000
7500 5000
50 45
40 35
30 25
20 5302
20
y = 0,00252x + 6,64 R
2
= 0,972
Gambar 37. Analisis regresi antara beban pencemar BOD di muara dengan konsentrasi PO
4
di Teluk Jakarta dari tahun 2000- 2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk BOD dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00252x + 6,64 dengan R
2
= 0,972. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
5.302 tonbulan. Dari Gambar 37 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah
tercemar bahan pencemar BOD.
100
Load COD t on mont h C
O D
C o
n c
e n
tr a
ti o
n m
g l
50000 40000
30000 20000
10000 140
120 100
80 60
40 20
6966
30
y = 0,00234x + 13,7 R
2
=0,971
Gambar 38. Analisis regresi antara beban pencemar COD di muara dengan konsentrasi COD di Teluk Jakarta dari tahun
2000-2005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk COD dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00234x + 13,7 dengan R
2
= 0,971. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
6.966 tonbulan. Dari Gambar 38 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah
tercemar bahan pencemar COD.
5.3. Struktur Elemen Kunci dalam Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta
Metode ISM digunakan untuk menganalisa keterkaitan dan ketergantungan antar elemen yang membentuk struktur model pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta. Dari Hasil diskusi ahli teridentifikasi empat faktor penting yang perlu dikaji, yaitu peran pemerintah, tujuan pembentukan model pengendalian
pencemaran Teluk Jakarta, Kendala dalam pengelolaan, dan tolok ukur daya dukung lingkungan Teluk Jakarta.
5.3.1. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Model Pengendalian
Pencemaran Teluk Jakarta
Ada 4 elemen peran pemerintah yang terlibat dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta baik langsung maupun tidak langsung,
yang dijabarkan lagi menjadi 11 subelemen seperti terlihat pada Tabel 30. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 39 dan pada Gambar 40
subelemen dikelompokkan kedalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage
dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 23.
Tabel 30. Elemen peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Elemen Subelemen
I. Tata ruang 1. Tata ruang DKI Jakarta
2. Pemetaan tata ruang 3. Evaluasi kesesuaian lahan
4. Reklamasi Teluk Jakarta
II. Kebijakan 5. Penerapan Kebijakan antar stakeholder
pencemaran, tata ruang dan yang terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta
6. Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran
7. Kajian kebijakan III. Renstra
8. Prioritas rencana strategis 9. Realisasi penerapan renstra
IV. Koordinasi daerah 10. Koordinasi antar wilayah administrasi
11. Prinsip integrasi lintas sektoral
Dari Tabel 30 terlihat bahwa peran pemerintah yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah
penerapan kebijakan antar stakeholder, ketegasan penegakan hukum, koordinasi antar wilayah, dan prinsip integrasi lintas sektoral. Keempat peran pemerintah ini
berada di dalam sektor independent Gambar 39, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai peubah
bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem.
5. Penerapan kebijakan antar
stakeholder 6. Ketegasan
penegakan hukum
10. Koordinasi antar wilayah
administrasi 11. Prinsip
integrasi lintas sektoral
8. Prioritas rencana
strategis 9. Realisasi
penerapan renstra
1. Tata ruang DKI Jakarta
2. Pemetaan tata ruang
3. Evaluasi kesesuaian lahan
7. Kajian kebijakan
4. Reklamasi Teluk Jakarta
Gambar 39. Diagram hierarki dari subelemen peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
diawali oleh penerapan kebijakan antar stakeholder, ketegasan penegakan hukum, koordinasi antar wilayah, dan prinsip integrasi lintas sektoral, berarti diawali oleh
perlunya strategi kebijakan dan hukum serta prinsip kerjasama yang harmonis.
Peran pemerintah lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah prioritas
rencana strategi dan realisasi penerapan renstra. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, kedua peran pemerintah mempunyai ketergantungan besar pada
sistem. Kajian atas kedua peran pemerintah ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan
memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut.
Prioritas rencana strategi dan realisasi penerapan renstra menyambungkan empat peran pemerintah di sektor independent dengan lima peran pemerintah
yang berada di sektor dependent yaitu tata ruang DKI Jakarta, pemetaan tata ruang, reklamasi Teluk Jakarta, evaluasi kesesuaian lahan, dan kajian kebijakan.
Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kelima peran pemerintah yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak
yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti peran pemerintah lainnya yang berada di sektor
linkage dan independent.
8,9
Catatan 1. Tata ruang DKI Jakarta
2. Pemetaan tata ruang 3. Evaluasi kesesuaian lahan
4. Reklamasi Teluk Jakarta 5. Penerapan Kebijakan antar
stakeholder pencemaran, tata ruang dan
yang terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta
6. Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran
7. Kajian kebijakan 8. Prioritas rencana strategis
9. Realisasi penerapan Renstra 10. Koordinasi antar wilayah
administrasi 11. Prinsip integrasi lintas sektoral
3,7 4
1,2 5,6,10,11
10 11
D r
i v
e r
P o
w e
r 9
8 7
6 5
4 3
2 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Gambar 40. Matriks DP-D untuk elemen peran pemerintah dalam
pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Perlu dicermati bahwa posisi peran pemerintah tata ruang DKI Jakarta hampir berada pada garis batas antara sektor dependent dengan linkage, yang
berarti bahwa kekuatan penggeraknya dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta relatif tinggi dibandingkan reklamasi Teluk Jakarta.
Evaluasi kesesuaian lahan dan kajian kebijakan berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan peran pemerintah
yang lainnya selama kegiatan dari peran pemerintah tersebut dapat dilakukan dengan baik.
5.3.2. Tujuan dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran
Teluk Jakarta
Teridentifikasi ada 4 tujuan pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang terdiri dari 13 subelemen, seperti terlihat dalam Tabel 31.
Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 41 dan pada Gambar 42 subelemen dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent,
linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 24.
Tabel 31. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Elemen Subelemen
I. Perbaikan Teluk Jakarta
1. Mengamankan bahan pencemar 2. Memperpendek jalur bahan pencemar
3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar
II. Meningkatkan daya dukung
lingkungan 4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial
5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi
III. Memperkuat pengawasan
terhadap pencemaran
7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan 8. Mempermudah akses pada sumber pencemar
9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan
limbah IV. Menambah
kekuatan stakeholder
10. Sosialisasi pengetahuan 11. Berbagi keahlian dan pengalaman penanganan
limbah 12. Informasi bersama
13. Menggabungkan research and development
Dari Tabel 31 terlihat bahwa tujuan-tujuan yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah
sosialisasi pengetahuan, berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah, informasi bersama, serta menggabungkan research and development. Keempat
tujuan ini berada di dalam sektor independent Gambar 42, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai
peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem.
10. Sosialisasi pengetahuan
11. Berbagi Keahlian dan
Pengalaman penanganan limbah
12. Informasi bersama
13. Menggabungkan Research
Development 7. Mempermudah
akses pada pengawas lingkungan
8. Mempermudah akses pada sumber
pencemar 9. Mempermudah
akses pada teknologi penanganan limbah
1. Mengamankan bahan
pencemar 2. Memperpendek
jalur bahan pencemar
3. Meningkatkan sistem penanganan
bahan pencemar 4. Meningkatkan
sarana dan prasarana sosial
5. Memperluas wilayah perbaikan
lingkungan 6. Menurunkan
resiko ekologi
Gambar 41.
Diagram hierarki dari subelemen tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh
sosialisasi pengetahuan, berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah, informasi bersama, serta menggabungkan research and development, berarti
diawali oleh perlunya strategi untuk melakukan kebersamaan dalam membuka wawasan baik pengetahuan, penelitian, serta keahlian dalam menangani
pencemaran Teluk Jakarta.
Tujuan-tujuan lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah
mempermudah akses pada pengawas lingkungan, mempermudah akses pada sumber pencemar, dan mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah.
Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, ketiga tujuan tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas ketiga tujuan ini perlu dilakukan
secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa
memperbesar dampak tersebut. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan, mempermudah akses pada
sumber pencemar, dan mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah menyambungkan empat tujuan di sektor independent dengan enam tujuan yang
berada di sektor dependent yaitu mengamankan bahan pencemar, memperpendek jalur bahan pencemar, meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar,
meningkatkan sarana dan prasarana sosial, memperluas wilayah perbaikan lingkungan, serta menurunkan resiko ekologi.
Hasil analisis ini memberikan makna bahwa keenam tujuan yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar.
Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti tujuan-tujuan lainnya yang berada di sektor linkage dan
independent .
Perlu dicermati bahwa posisi tujuan mengamankan bahan pencemar, memperpendek jalur bahan pencemar, meningkatkan sistem penanganan bahan
pencemar hampir berada pada garis batas antara sektor dependent dengan linkage, yang berarti bahwa kekuatan penggeraknya dalam pengembangan model
pengendalian pencemaran Teluk Jakarta relatif tinggi dibandingkan meningkatkan sarana dan prasarana sosial, memperluas wilayah perbaikan lingkungan, serta
menurunkan resiko ekologi yang berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan tujuan-tujuan yang lainnya
selama tujuan-tujuan tersebut dapat direalisasikan.
7,8,9
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 10,11,12,13
11 D
10
Catatan 1. Mengamankan bahan
pencemar 2. Memperpendek jalur bahan
pencemar 3. Meningkatkan sistem
penanganan bahan pencemar 4. Meningkatkan sarana dan
prasarana sosial 5. Memperluas wilayah
perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi
7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan
8. Mempermudah akses pada sumber pencemar
9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan
limbah 10. Sosialisasi pengetahuan
11. Berbagi keahlian dan pengalaman penanganan
limbah 12. Informasi bersama
13. Menggabungkan research
and development
4,5,6 1,2,3
9 8
7 6
5 4
3 2
1 r
i v
e r
P o
w e
r 13
12
Gambar 42. Matriks DP-D untuk elemen tujuan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
5.3.3. Kendala dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran
Teluk Jakarta
Kendala dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dibagi kedalam kendala yang bersifat konsepsional, behavioral, manajerial
dan lingkungan, dengan subelemen sebanyak 10 yang terlihat pada Tabel 32. Hierarki kendala terlihat pada Gambar 43 dan pada Gambar 44 subelemen kendala
dikelompokkan kedalam sektor-sektor autonomous, dependent, linkage dan independent
. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 25.
Tabel 32. Elemen kendala dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Elemen Subelemen
I. Konsepsional 1. Kurangnya visi dan misi pengelolaan
lingkungan stakeholder 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder
3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi
II. Behavioral 4. Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder
5. Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi
6. Karakter dan etika dalam kerjasama III. Manajerial
7. Kekuatan manajemen perencanaan, pengawasan, hubungan antar stakeholder dan
antar wilayah serta arahan strategis 8. Dukungan peraturan
IV. Lingkungan 9. Persaingan kebutuhan
10. Peraturan
Kendala yang paling mendasar yang harus terlebih dahulu ditangani dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta menurut penelitian
ini adalah kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan stakeholder, perbedaan tujuan antar stakeholder, perbedaan tujuan antar wilayah administrasi,
dukungan peraturan, persaingan kebutuhan dan peraturan. Kendala tersebut harus dikaji secara hati-hati karena berada dalam sektor linkage. Apabila kendala-
kendala tersebut telah teratasi maka kendala lainnya yaitu karakter dan etika dalam kerjasama serta konsistensi arah kerjasama antar stakeholder, konsistensi
arah kerjasama antar wilayah administrasi dan kekuatan manajemen perencanaan, pengawasan, hubungan antar stakeholder dan antar wilayah serta arahan strategis
yang berada pada sektor independent akan lebih mudah teratasi.
9. Persaingan kebutuhan
10. Peraturan 2. Perbedaan
tujuan antar stakeholder
3. Perbedaan tujuan antar
wilayah administrasi
1. Kurangnya visi dan misi
8. Dukungan peraturan
7. Kekuatan manajemen
5. Konsistensi arah
kerjasama 4. Konsistensi
arah kerjasama
6. Karakter dan etika dalam
kerjasama
Gambar 43.
Diagram hierarki dari subelemen kendala dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
10
1,2,3,8,9,10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1
2 3
4 5
6 7
8 9
Catatan 1.
Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan stakeholder
2. Perbedaan tujuan antar stakeholder
3. Perbedaan tujuan antar wilayah
administrasi 4.
Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder
5. Konsistensi arah kerjasama antar
wilayah administrasi 6.
Karakter dan etika dalam kerjasama 7.
Kekuatan manajemen 8.
Dukungan peraturan 9.
Persaingan kebutuhan 10. Peraturan
5 7
4 6
D r
i v
e r
P o
w e
r
Gambar 44.
Matriks DP-D untuk elemen kendala dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
5.3.4. Tolok Ukur Keberhasilan dalam Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta
Didalam analisis ini elemen tolok ukur keberhasilan dijabarkan dalam subelemen seperti pada Tabel 33 Interpretasinya tolok ukur keberhasilan dalam
bentuk hierarki pada Gambar 45 dan pada Gambar 46 elemen keberhasilan dikelompokkan ke dalam sektor-sektor autonomous, dependent, linkage dan
independent . Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 26.
Tabel 33. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Elemen Subelemen
I. Kualitas perairan Teluk Jakarta
1. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu
2. Menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta
3. Keragaman biota dan tumbuhan laut II. Penduduk
4. Perubahan pola pikir masyarakat pendidikan
5. Peningkatan pendapatan 6. Fasilitas TPA yang memadai
7. Pengaturan terhadap penyebaran dan
kepadatan penduduk III. Industri
8. Manajemen industri 9. Penggunaan peralatan yang ramah
lingkungan 10. Teknik pengolahan limbah IPAL industri
11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan PROPER
IV. Pasar 12. Manajemen pengolahan limbah pasar
13. Teridentifikasinya pasar terutama pasar tumpah, dan juga pasar tradisional serta pasar
modern 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen
lingkungan AMDAL atau UKL-UPL V. Pelabuhan
15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar internasional pelabuhan
16. Keteraturan transportasi laut 17. Pengolahan limbah pelabuhan
Dari Tabel 33 terlihat bahwa tolok ukur keberhasilan yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
adalah perubahan pola pikir masyarakat, manajemen industri, meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper, manajemen pengolahan limbah pasar,
jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan, jumlah pelabuhan yang memiliki standar internasional, dan keteraturan transportasi laut. Ketujuh tolok
ukur keberhasilan ini ini berada di dalam sektor independent Gambar 46, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut
berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem.
13. Teridentifikasinya pasar
17. Pengolahan limbah
pelabuhan 6. Fasilitas TPA
yang memadai
9. Penggunaan peralatan yang
ramah lingkungan
7. Pengaturan terhadap penyebaran dan
kepadatan penduduk 5. Peningkatan
pendapatan
10. Teknik pengolahan
limbah IPAL industri
2. Menurunnya jumlah limbah padat sampah
di Teluk Jakarta 1.Menurunnya jumlah
bahan pencemar yang melebihi baku mutu
3. Keragaman biota dan tumbuhan laut
14. Jumlah pasar yang memiliki
dokumen lingkungan
8. Manajemen industri
15. Jumlah pelabuhan yang
memenuhi standar 16. Keteraturan
transportasi laut 4. Perubahan pola
pikir masyarakat pendidikan
11. Meningkatnya jumlah industri
yang mendapatkan proper
12. Manajemen pengolahan limbah
pasar
Gambar 45. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam
pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta diawali oleh perubahan pola pikir masyarakat, manajemen industri,
meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper, manajemen pengolahan limbah pasar, jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan, jumlah
pelabuhan yang memiliki standar internasional, dan keteraturan transportasi laut, berarti diawali oleh perlunya strategi untuk meningkatkan kepedulian lingkungan
dari stakeholder yang terlibat dalam pencemaran Teluk Jakarta. Tolok ukur keberhasilan lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam
pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu, menurunnya
jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta, dan keragaman biota dan tumbuhan laut. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, ketiga tujuan
tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas ketiga tujuan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada
dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut.
Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu, menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta, serta keragaman
biota dan tumbuhan laut menyambungkan tujuh tolok ukur keberhasilan di sektor independent
dengan tujuh tolok ukur keberhasilan yang berada di sektor dependent
yaitu penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, teknik pengolahan limbah IPAL industri, teridentifikasinya pasar, pengolahan limbah pelabuhan,
meningkatkan pendapatan, fasilitas TPA yang memadai, serta pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk.
Hasil analisis ini memberikan makna bahwa ketujuh tolok ukur keberhasilan yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan
penggerak yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti tolok ukur keberhasilan lainnya yang
berada di sektor linkage dan independent.
10
4, 8, 11,12, 14,15,16
3 4
5 6
7 8
9
1,2,3
5,6,7 9,10,13,17
2 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 15
16 15
14 13
D r
i v
e r
P o
w e
r 12
11
Gambar 46.
Matriks DP-D untuk elemen tolok ukur dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
Catatan 1.
Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu 2.
Menurunnya jumlah limbah padat sampah di Teluk Jakarta 3.
Keragaman biota dan tumbuhan laut 4.
Perubahan pola pikir masyarakat pendidikan 5.
Peningkatan pendapatan 6.
Fasilitas TPA yang memadai 7.
Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk 8.
Manajemen industri 9.
Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan 10. Teknik pengolahan limbah IPAL industri
11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper 12. Manajemen pengolahan limbah pasar
13. Teridentifikasinya pasar terutama pasar tumpah, dan juga pasar tradisional serta pasar modern 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan AMDAL atau UKL-UPL
15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar internasional pelabuhan 16. Keteraturan transportasi laut
17. Pengolahan limbah pelabuhan
Perlu dicermati bahwa posisi tolok ukur keberhasilan penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, teknik pengolahan limbah IPAL industri,
teridentifikasinya pasar, serta pengolahan limbah pelabuhan berada di atas tolok ukur keberhasilan meningkatkan pendapatan, fasilitas TPA yang memadai, serta
pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk. Hal ini menggambarkan empat tolok ukur keberhasilan tersebut relatif lebih penting
dibandingkan tiga tolok ukur yang berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan tolok ukur keberhasilan yang
lainnya.
5.3.5. Struktur Tingkat Kepentingan antara Subelemen pada Empat Faktor
Penting dalam Sistem Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta
Berdasarkan pendapat responden yang memahami wilayah penelitian expert, dapat diinventarisasikan faktor penting yang dianggap menentukan
dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Menurut responden, terdapat 14 faktor penting yang harus diprioritaskan karena akan
menentukan efektivitas sistem pengendalian pencemaran tersebut, yaitu: 1 Tata ruang, 2 Penegakan hukum, 3 Prioritas rencana strategi daerah, 4 Koordinasi
daerah, 5 Peningkatan fasilitas sosial, 6 Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, 7 Memperkuat hubungan antar stakeholder, 8 Persamaan visi,
misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan, 9 Kompromi tingkat kebutuhan, 10 peningkatan pola pikir masyarakat, 11 Pengaturan penduduk transmigrasi,
12 Penerapan IPAL industri dan pasar, 13 Peningkatan program penilaian peringkat kinerja perusahaan PROPER, 14 Kewajiban dokumen lingkungan
untuk industri dan pasar. Berdasarkan analisis dapat dipilih faktor penentu sistem pengendalian
pencemaran Teluk Jakarta. Faktor yang dipilih adalah faktor yang memiliki tingkat kepentingan paling utama dari faktor yang lainnya, sedangkan faktor yang
lain sangat tergantung faktor terpilih tersebut. Hasil analisis pemilahan faktor penentu disajikan pada Gambar 47 dan 48. Untuk analisis ISM data disajikan
pada Lampiran 27.
Dari Gambar 48, terlihat bahwa faktor-faktor penentu dapat dikelompokkan dalam tiga sektor, yaitu sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels
Dependent, dengan subelemen peningkatan fasilitas umum dan sosial, umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas;
sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels Lingkage. Dengan subelemen Tata ruang, prioritas rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan
terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan
adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar, subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak
stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak;
dan sektor 4; strong driver-weak dependent variabels Independent. Dengan subelemen penegakan hukum, memperkuat hubungan antar stakeholder,
koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan tujuan, subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem
dan disebut peubah bebas. Hasil analisis menggambarkan pendapat para ahli bahwa pembentukan
sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh kebutuhan adanya kepastian hukum yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan stakeholder hal
ini diantisipasi oleh penegakan hukum, memperkuat hubungan antar stakeholder hal berikutnya yang berperan dalam pengendalian pencemaran, dan diikuti oleh
faktor koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan tujuan.
Faktor lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah tata ruang, prioritas
rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL
Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar. Selain mempunyai kekuatan besar, faktor-faktor
tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem karena masuk ke dalam sektor linkage. Faktor-faktor pada sektor linkage menyambungkan lima faktor di
sektor independent dengan faktor yang berada di sektor dependent yakni peningkatan fasilitas umum dan sosial.
12. Penerapan IPAL industri
13. Peningkatan program proper
11. Pengaturan jumlah penduduk
14. Kewajiban dokumen lingkungan
1. Tata ruang 10. Pola pikir
masyarakat
3. Prioritas renstra 6. Memperkuat
pengawasan terhadap pencemaran
5. Peningkatan Fasilitas Sosial
8. Persamaan Visi, Misi dan Tujuan
2. Penegakan hukum
9. Kompromi tingkat kebutuhan
4. Koordinasi daerah
7. Memperkuat hubungan antar
stakeholder
Gambar 47.
Diagram hierarki dari tingkat kepentingan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 10
1,3,6,10,11,12,13,14
1 2
3 4
5 6
7 8
9
8 9
7
14
12 13
11
5 4
2
D r
i v
e r
P o
w e
r
Gambar 48.
Matriks DP-D untuk tingkat kepentingan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta
Keterangan : 1. Tata ruang
2. Penegakan hukum 3. Prioritas rencana strategi daerah
4. Koordinasi daerah 5. Peningkatan fasilitas sosial
6. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran 7. Memperkuat hubungan antar stakeholder
8. Persamaan visi, misi dan tujuan 9. Kompromi tingkat kebutuhan
10. Peningkatan pola pikir masyarakat 11. Pengaturan jumlah penduduk
12. Penerapan IPAL Industri 13. Meningkatkan program proper
14. Mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar
5.4. Pendekatan Sistem
5.4.1. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelayakan sistem yang dibangun. Dalam tahap ini, dilakukan
inventarisasi kebutuhan segenap pelaku stakeholder yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan
pandangan terhadap peningkatan kualitas lingkungan khususnya perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta, dan dapat saling bertentangan. Pelaku yang
terlibat adalah meliputi masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta, pengusaha yang terlibat dalam aktivitas perekonomian, dan pemerintahan Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta. 1 Masyarakat di sekitar Teluk Jakarta
• Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat • Kondisi hutan mangrove tidak tercemari sehingga ikan dan mahluk hidup
lainnya dapat hidup dan berkembang biak bertelur sehingga nelayan bisa memperoleh ikan di laut tanpa tercemari.
• Ketersediaan lahan yang tidak tercemar. • Perluasan kesempatan kerja
2 Aktivitas ekonomi industri dan pasar • Peningkatan investasi
• Pertumbuhan industri pangsa pasar • Profit yang maksimal
3 Pemerintah • Pengendalian pencemaran laut akibat pemukiman, industri, transportasi
dan pelabuhan laut, rumah sakit, industri perikanan serta perdagangan dan jasa melalui regulasi
• Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan. • Peningkatan devisa negara.
• Pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara optimal. • Tidak terjadi pencemaran lingkungan khususnya laut.
• Kesejahteraan masyarakat • Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi mahluk hidup lainnya.
• Kondisi lahan dan air yang tidak tercemari sehingga mampu mempertahankan keseimbangan ekologisnya.
• Adanya upaya kelestarian. • Adanya upaya perbaikan habitat.
Kebutuhan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dilakukan dengan metode interpretatif structural modelling ISM
berdasarkan tingkat kepentingan faktor-faktor yang ada yang dipilah dari struktur elemen kunci berdasarkan pendapat pakar.
Dari metode tersebut didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis yang berperan dalam pengendalian pencemaran Teluk Jakarta sebagai
kebutuhan para pelaku stakeholder yang terlibat didalam pemanfaatan Teluk Jakarta tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Penentu faktor
kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli
expert mengenai pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Berdasarkan hasil responden seperti yang telah di bahas sebelumnya faktor-
faktor penting dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yaitu 1 Tata ruang, dalam tata ruang sangatlah penting untuk mengetahui
penggunaan lahan yang tepat dan ideal dalam pemanfaatannya pada sebuah perkotaan 2 Penegakan hukum, menjadi dasar dalam kelancaran suatu kegiatan
agar dapat mengikuti aturan yang sesuai dan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap kerusakan lingkungan 3 Prioritas rencana
strategi daerah, merupakan acuan dalam mengembangkan prioritas pembangunan suatu wilayah dengan memperhatikan berbagai aspek-aspek terkait 4 Koordinasi
daerah, sangatlah penting untuk dapat bersama-sama mengatasi permasalahan- permasalahan yang terjadi khususnya permasalahan pencemaran sungai karena
terkait pada beberapa wilayah, dampak dari kegiatan di bagian hulu sungai dapat dirasakan juga pada bagian hilir sungai 5 Peningkatan fasilitas sosial, sangat
menjamin kelancaran pengelolaan sampah khususnya limbah domestik dan pemukiman-pemukiman yang jauh dari TPS 6 Memperkuat pengawasan
terhadap pencemaran, dapat menjadi faktor pendukung yang dapat meningkatkan kualitas air apabila kegiatan-kegiatan yang membuang limbahnya ke daerah
pengaliran sungai DPS dapat teridentifikasi 7 Memperkuat hubungan antar stakeholder
, dapat menjaga keharmonisan dan keseimbangan lingkungan dalam mengelola lingkungan 8 Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan
lingkungan, merupakan suatu pandangan yang dapat memahami arti pentingnya lingkungan yang tidak tercemar sehingga dapat merasakan manfaatnya secara
bersama-sama 9 Kompromi tingkat kebutuhan, merupakan suatu ikatan yang dapat membentuk kepedulian terhadap stakeholder lain dari dampak yang
dikeluarkan 10 peningkatan pola pikir masyarakat, merupakan suatu usaha yang dapat memberi pengertian pada masyarakat akan pentingnya lingkungan di sekitar
kita, yang harus dijaga secara bersama-sama untuk kepentingan generasi yang akan datang 11 Pengaturan penduduk, merupakan usaha untuk dapat mengelola
keberlanjutan suatu daya dukung kawasan terhadap banyaknya penduduk, hal ini dapat dilakukan dengan cara transmigrasi 12 Penerapan IPAL industri dan pasar,
dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah industri dan pasar 13 Peningkatan program proper, sebagai pemacu untuk dapat bersaing secara positif khususnya
industri-industri, sehingga dapat mengurangi dampak kegiatan industri tersebut terhadap lingkungan 14 Kewajiban dokumen lingkungan untuk industri dan
pasar, merupakan kepatuhan pihak industri dan pasar untuk dapat menjalankan kegiatannya sesuai dengan prosedur yang ramah terhadap lingkungan sehingga
dampak terhadap lingkungan dapat diminimalisasikan. Dari hasil ISM di dapat lima faktor utama pada sektor independent antara
lain penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan serta persamaan visi, misi dan tujuan. Namun terdapat delapan
faktor lainnya yang termasuk penting dan tidak boleh diabaikan karena setiap tindakan pada peubah yang masuk dalam sektor linkage ini akan memberikan
dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain tata ruang, prioritas rencana
strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri,
peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan untuk industri dan pasar. Dalam sistem ini akan dibahas lima faktor yang dianggap
sebagai faktor utama dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta.
5.4.2. Formulasi Masalah
Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, formulasi permasalahan sistem merupakan
kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku sebagaimana yang dirumuskan dari teknik ISM, dan pada kondisi nyata terjadi di wilayah DKI Jakarta.
Kebutuhan pelaku terhadap peningkatan daya dukung lingkungan khususnya perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta adalah bersifat pemuasan terhadap
masing-masing stakeholder. Sedangkan kondisi daya dukung lingkungan dan kualitas perairan Teluk Jakarta saat ini tidak memenuhi kebutuhan para pelaku
tersebut. Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan
masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan. Adapun permasalahan dasar tersebut, secara
sistematis diuraikan sebagai berikut : 1. Penegakan hukum, yang ditunjukkan oleh perangkat perencanaan terhadap
pengendalian pencemaran Teluk Jakarta tidak operasional dan dilanggar stakeholder
. 2. Hubungan antar stakeholder yang kurang harmonis karena masih
mengutamakan kepentingan masing-masing sehingga belum terjalin hubungan yang dapat menyeimbangkan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.
3. Koordinasi daerah, yang ditunjukkan masih sendiri-sendirinya program pengelolaan suatu DAS sehingga tidak mengetahui kebutuhan pada masing-
masing wilayah khususnya wilayah DAS antara hulu, tengah dan hilir 4. Kompromi tingkat kebutuhan masih rendah sehingga masing-masing
stakeholder tidak mengetahui permasalahan dan kebutuhan dari stakeholder
lainnya. Seperti meningkatnya jumlah pemukiman yang tidak tertata, industri, transportasi dan pelabuhan laut, rumah sakit, industri perikanan serta
perdagangan dan jasa akan menyebabkan meningkatnya jumlah bahan pencemar yang diakibatkan pembangunan dan teknologi.
5. Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan belum ada.
5.4.3. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus
dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram sebab-akibat causal-loop, yang selanjutnya
diinterpretasikan ke dalam konsep kotak gelap black box sebagai diagram input- output IO.
Variabel yang terlibat dalam membangun causal loop adalah meliputi variabel state dan non-state. Variabel state merupakan penentu jalannya sistem,
yang menunjukkan akumulasi energi, materi dan informasi dari sistem, serta proses transformasi input menjadi output. Dalam membangun sistem
pengendalian pencemaran laut khususnya Teluk Jakarta, komponen utama perkotaan, yaitu populasi, aktivitas ekonomi termasuk didalamnya industri dan
pasar, dan penggunaan ruang. Hasil inventarisasi dan identifikasi variabel lainnya adalah meliputi : pertambahan penduduk, imigrasi, kelahiran,
pengurangan penduduk, emigrasi, kematian, angkatan kerja, jumlah industri, jumlah limbah industri, jumlah pasar, jumlah limbah pasar, teknologi penanganan
limbah dan dokumen lingkungan, pendidikan, dan kerusakan lingkungan laut. Setelah diidentifikasi berbagai variabel yang terlibat, kemudian ditentukan
hubungan yang logis diantara variabel tersebut. Dari hubungan tersebut diketahui apakah hubungan tersebut bersifat positif atau negatif. Dengan demikian, dapat di
bangun loop umpan balik causal loop antar dua atau lebih variabel yang membentuk rantai tertutup. Secara ringkas diagram lingkar causal loop sistem
pengendalian pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 49. Menurut Eriyatno 2003 secara garis besar ada 3 kelompok variabel yang
mempengaruhi kinerja suatu sistem, antara lain : 1 Peubah input, 2 peubah output dan 3 parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.
Jumlah Pasar
Kerusakan Lingkungan Laut
Teknologi penanganan limbah
dan dokumen lingkungan
Limbah Pasar
Jumlah Industri
Limbah Industri
Limbah Domestik
Lapangan Kerja
Imigrasi Pertambahan
Penduduk
Kelahiran Populasi
Pengurangan Penduduk
Pend Angkatan
Kerja
Kematian Emigrasi
Gambar 49. Diagram sebab akibat causal loop model pengendalian pencemaran laut Teluk Jakarta
Berdasarkan interpretasi diagram sebab akibat causal loop yang dikaitkan dengan hasil analisis kebutuhan, kemudian dibangun konsep kotak gelap black
box diagram input-output IO. Diagram IO memberikan gambaran mengenai
input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tidak dikehendaki, dan manajemen pengendalian. Adapun parameter rancang
bangun sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap black box yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output.
Input terdiri dari dua golongan yaitu yang berasal dari luar sistem eksogen atau input lingkungan dan ‘overt input’ yang berasal dari dalam sistem. ‘overt
input ’ adalah peubah endogen yang ditentukan oleh fungsi dari sistem. Input
yang terkontrol dapat divariasikan selama operasi untuk menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang diharapkan.
Input terkendali merupakan faktor yang didapatkan dari analisis kebutuhan. Faktor yang berpengaruh kebutuhan pelaku merupakan input terkendali pada
diagram IO, yang meliputi penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan
idikan
+ +
+ +
+ +
+
-
+ +
+ +
-
+ +
+
-
- -
+
+ +
+ +
tujuan. Input tidak terkendali merupakan faktor di dalam sistem, tetapi tidak dapat dikendalikan secara langsung.
Output terdiri dari dua golongan yaitu variabel output yang dikehendaki desirable output, yang ditentukan berdasarkan hasil dari adanya pemenuhan
kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan, dan variabel output yang tidak dikehendaki, merupakan hasil sampingan atau dampak
yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang diharapkan, misalnya berupa bahan-bahan buangan waste yang tinggi sehingga menyebabkan
pencemaran laut yang mungkin membahayakan kesehatan dan menyebabkan polusi. Output yang dikehendaki antara lain dapat mengurangi dampak negatif
pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya, meningkatkan daya dukung lingkungan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta dan minimisasi biaya
penanganan pencemaran. Adapun output tak dikehendaki merupakan negasi dari output yang dikehendaki, yang berfungsi sebagai umpan balik bagi evaluasi dan
manajemen pengendalian pencemaran laut. Parameter rancang bangun sistem menentukan proses transformasi input
menjadi output, secara ringkas diagram input-output IO sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 50.
Input tak terkontrol
• Jumlah Penduduk • Permukiman Penduduk
• Jaringan dan Debit Air • Jenis dan konsentrasi Limbah
Input terkontrol
• Penegakan hukum • Hubungan antar stakeholder
• Koordinasi daerah • Kompromi tingkat kebutuhan
• Persamaan visi, misi dan tujuan
Output yang tidak diinginkan
Tingkat Pencemaran Laut Sangat Tinggi
Output yang diinginkan
• Mengurangi dampak negatif dari pencemaran laut terhadap manusia dan
lingkungannya • Meningkatkan Daya Dukung
Lingkungan Perairan Teluk Jakarta • Minimisasi biaya penanganan
pencemaran
Peningkatan Kemampuan Asimilasi dengan Model Pengendalian
Pencemaran Laut
Evaluasi dan Manajemen Pengendalian Pencemaran Laut
Input Lingkungan
• Kebijakan Pemerintah • Kapasitas HukumPP
Gambar 50. Diagram black box input-output sistem pengendalian pencemaran pencemaran laut
5.4.4. Simulasi Model
Sebuah model merupakan suatu abstraksi dari realitas. Ini merupakan deskripsi formal dari elemen-elemen penting pada suatu masalah. Suatu
perencanaan merupakan sebuah realita permasalahan dan oleh karena itu dapat dimodelkan. Karena elemen-elemen penting dari suatu masalah tersebut
merupakan hal yang kita definisikan di dalam sistem yang sedang kita pelajari, kita dapat menganggap suatu model sebagai deskripsi formal dari sistem yang
dipelajari. Melalui model maka sistem dapat dipelajari atau diperkirakan dari waktu ke waktu dalam suatu proses yang disebut simulasi.
Simulasi adalah suatu proses yang menggunakan suatu model untuk menirukan, atau menelusuri tahap demi tahap, perilaku dari suatu sistem yang kita
pelajari. Model simulasi disusun dari suatu perhitungan dan operasi logis yang
secara bersama-sama menyajikan struktur keadaan dan perilaku perubahan keadaan dari sistem yang kita pelajari. Model yang dibangun untuk kajian sistem
pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dilakukan dengan perangkat lunak software komputer Visual Basic.
Model secara umum menggambarkan interaksi antara komponen populasi, industri, dan pasar yang merupakan sumber pencemaran yang berasal dari darat
landbased sources. Masing-masing komponen saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu. Oleh karena itu, model disusun secara kompleks yang
tergambar pada diagram forester dari sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang disajikan pada Gambar 51.
PD
PTJ LD
LD
A
KL
P
LP
LI
A
KL
I
P
P
P
LD
LP
A
KL
D
LI Pop
[L] [M] [E] [I] [P]
[DL
P
] [DL
I
] Ppsr
[Psr]
Pind [Ind]
[L
LD
]
[L
P
]
Gambar 51. Diagram forester model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
Keterangan diagram forester: Pop =
Populasi LD
= Limbah domestik L =
Tingkat kelahiran
M = Tingkat
kematian E =
Emigrasi I =
Imigrasi LD
A
= Limbah domestik akhir KL
D
= Kepedulian lingkungan domestik P =
Pendidikan Pind = Pertambahan industri
Ind = Jumlah industri
LI = Limbah industri
LI
A
= Limbah industri akhir KL
I
= Kepedulian lingkungan industri DL
I
= Jumlah industri yang memiliki dokumen lingkungan dan IPAL Ppsr = Pertambahan pasar
Psr = Jumlah pasar
LP = Limbah pasar
LP
A
= Limbah pasar akhir KL
P
= Kepedulian lingkungan pasar DL
P
= Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan dan IPAL P
LD
= Pencemaran luar daerah L
LD
= Limbah luar daerah PD
= Pencemaran Teluk Jakarta yang bersumber dari darat landbased sources P
P
= Pencemaran
pelabuhan L
P
= Limbah pelabuhan PTJ = Pencemaran Teluk Jakarta
5.4.5. Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk mengetahui validitas model yang telah dibangun, sehingga model dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses validasi
yang dilakukan berdasarkan validasi struktur model. Menurut Sushil 1993, validasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan
dengan mekanisme yang terjadi di dalam sistem nyata. Oleh karena itu, validasi struktur berhubungan dengan informasi dari literatur mengenai mekanisme sistem
nyata. Proses validasi struktur dilakukan dengan uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi.
A. Kesesuaian Struktur Model
Model yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi, pertambahan industri, pertambahan pasar, dan tingkat pencemaran di Teluk
Jakarta, haruslah sesuai dengan kondisi sistem nyata. Dalam sistem yang demikian, hubungan antar peubah populasi dan beban pencemaran, jumlah
industri dan beban pencemaran, serta limbah pasar dan beban pencemaran harus
lah bersifat positif, dan sebaliknya beban pencemaran dan kapasitas asimilasi haruslah bersifat negatif. Dalam model yang dibangun, sifat hubungan antar
peubah tersebut harus dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Perubahan jumlah beban pencemaran
dari parameter contoh dapat dilihat pada Gambar 52.
5000 10000
15000 20000
25000 30000
35000
2001 2002
2003 2004
Tahun B
e b
a n P
e n
c e
m a
ra n
ton bu
la n
KMNO4 BOD
COD
Gambar 52. Perubahan jumlah beban pencemaran KMNO
4
, BOD dan COD Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat
memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata, seperti terlihat pada Gambar 52 secara umum terjadi peningkatan beban pencemaran dari
masing-masing parameter khususnya yang terkait dengan limbah domestik, industri dan pasar. Adapun terjadi penurunan jumlah beban pencemaran hal ini
disebabkan semakin meningkatnya jumlah industri dan pasar yang mulai memberikan hasil limbahnya untuk dipantau oleh BPLHD DKI Jakarta, serta
mulai terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Tetapi secara keseluruhan tetap terjadi peningkatan jumlah beban
pencemaran dari sumber pencemar tersebut. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili kerja sistem nyata.
Peningkatan jumlah populasi disajikan pada Gambar 53, sedangkan industri maupun pasar disajikan pada Gambar 54. Untuk data perkembangan penduduk,
industri, pasar, dan kepedulian lingkungan masing-masing sumber pencemar data disajikan pada Lampiran 28 – Lampiran 31.
8200000 8300000
8400000 8500000
8600000 8700000
8800000
2001 2002
2003 2004
Tahun Ju
m lah
P en
d u
d u
k j
iw a
Populasi
Gambar 53. Peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta
100 200
300 400
500 600
2001 2002
2003 2004
Tahun Ju
m lah
u n
it
Industri Pasar
Gambar 54. Peningkatan jumlah industri dan pasar di DKI Jakarta Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat
memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili
sistem nyata.
B. Konsistensi Dimensi
Uji konsistensi dimensi merupakan pemeriksaan atas semua persamaan matematis yang dibuat di dalam model, agar tidak terdapat kesalahan antara kedua
sisi persamaan tersebut. Uji konsistensi dilakukan berulang-ulang, dan telah dilaksanakan secara simultan dalam proses pengembangan model.
5.4.6. Analisis Kecenderungan Sistem
Analisis kecenderungan sistem ditunjukkan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model yang telah
dibangun. Periode simulasi ditetapkan selama 25 tahun, dimulai tahun 2005 sampai dengan 2030. Perkembangan jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah
pasar, serta kepeduliannya terhadap lingkungan data disajikan pada Lampiran 28. Pemilihan kurun waktu tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kurun waktu
25-30 tahun merupakan jangka waktu panjang untuk pelaksanaan perbaikan dan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang signifikan, dan beberapa asumsi:
1 Kecenderungan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta apabila didasarkan pada tingkat pertumbuhan penduduk dengan kesadaran
masyarakat dimana kepedulian masyarakat terhadap perbaikan lingkungan akan meningkat sesuai dengan persamaan regresi yang ada dimana
kontribusi terhadap pencemaran Teluk Jakarta sebesar 27,09 maka pada tahun 2013 jumlah limbah domestik dapat teratasi, tetapi hal ini tidak
terlepas dari dukungan kebijakan dan penataan ruang wilayah yang ada. Grafik perkembangan populasi dan kesadaran masyarakat terhadap
pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 55. 2 Untuk kecenderungan pada industri di Kota Jakarta dengan kontribusi
pencemaran terhadap Teluk Jakarta sebesar 14,01 pada tahun 2001 akan dapat teratasi pada tahun 2014, karena kepedulian lingkungan industri
seperti penerapan dokumen lingkungan baik amdal maupun UKL-UPL semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas pula dengan penerapan dari
industri sendiri terhadap dokumen lingkungan tersebut serta pengawasan dari pihak pengawas lingkungan. Grafik perkembangan jumlah industri
dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 56.
2000000 4000000
6000000 8000000
10000000 12000000
2001 2004
2007 2010
2013 2016
2019 2022
2025 2028
Tahun J
u m
la h
Po p
u la
s i
J iw
a
Jumlah Populasi Kesadaran Masyarakat
Gambar 55. Perkembangan populasi dan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran Teluk Jakarta 2001-2030
100 200
300 400
500 600
2001 2004
2007 2010
2013 2016
2019 2022
2025 2028
Tahun Ju
m lah
I n
d u
str i
u n
it
Jumlah Industri Kepedulian Lingkungan
Pertambahan Populasi Æ
y = -1310x + 233729x – 901129 Kesadaran Masyarakat
Æ y = -20076x + 970346x - 1931516
2 2
Pertambahan Industri Æ
y = - 1,500x + 17,10x + 445,5 Kepedulian Lingkungan
Æ y = 1,500x + 2,100x + 175,5
2 2
Gambar 56. Perkembangan jumlah industri dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta 2001-2030
3 Pada limbah pasar di Kota Jakarta kecenderungan kontribusi terhadap pencemaran akan semakin menurun dari 4,67 pada tahun 2001 akan
dapat teratasi pada tahun 2016, karena kepedulian lingkungan pasar seperti penerapan dokumen lingkungan baik amdal maupun UKL-UPL
semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas pula dengan penerapan dari pasar sendiri terhadap dokumen lingkungan tersebut serta pengawasan dari
pihak pengawas lingkungan. Grafik perkembangan jumlah pasar dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta
disajikan pada Gambar 57.
50 100
150 200
250 300
350
2001 2004
2007 2010
2013 2016
2019 2022
2025 2028
Tahun Ju
m lah
P a
s a
r u
n it
Jumlah Pasar Kepedulian Lingkungan
Pertambahan Industri Æ
y = -1,250x + 21,95x + 223,2 Kepedulian Lingkungan
Æ y = 1,000x + 2,000x + 54,00
2 2
Gambar 57.
Perkembangan jumlah pasar dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta 2001-2030
5.5. Analisis Kebijakan
5.5.1. Penyusunan Skenario
Analisis kebijakan dilakukan melalui kajian empat skenario yang disusun berdasarkan hasil ISM. Dari analisis tersebut diketahui bahwa terdapat lima
faktor yang paling berpengaruh terhadap pencemaran Teluk Jakarta, yang juga merupakan kebutuhan para pelaku stakeholder dalam sistem pengendalian
pencemaran Teluk Jakarta, antara lain : 1 Penegakan hukum, 2 Hubungan antar stakeholder
, 3 Koordinasi daerah, 4 Kompromi tingkat kebutuhan, 5 Persamaan visi, misi dan tujuan. Dari perkiraan mengenai kondisi state faktor-
faktor tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun skenario yang mungkin terjadi di wilayah Teluk Jakarta. Perkiraan responden mengenai kondisi faktor di
masa datang dan kombinasi faktor untuk skenario disajikan pada Tabel 34. Dari perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa yang akan
datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin antar kondisi faktor, dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai incompatible. Dari kombinasi
antara kondisi faktor, didapatkan empat skenario, yang dinamai: 1 Skenario Optimis, 2 Skenario Moderat, 3 Skenario Pesimis, dan 4 Skenario Sangat
Pesimis. Secara ringkas, penamaan dan susunan skenario disajikan pada Tabel 35. Untuk mengaitkan skenario yang disusun ke dalam model, dilakukan
interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga skenario yang
bersangkutan dapat disimulasikan.
Tabel 34. Perkiraan responden mengenai kondisi masa yang akan datang
Faktor Kondisi state di masa yang akan datang
1A 1B Penegakan
hukum Tetap buruk seperti
saat ini, karena penegakan hukum
memerlukan biaya besar
Meningkat, karena semakin kuatnya
kontrol masyarakat. LSM, dan lembaga
legislatif
2A 2B Hubungan antar
stakeholder Semakin buruk,
karena lebih mengutamakan
kepentingan masing- masing
Lebih baik, karena semakin
meningkatnya kesadaran menjalin
hubungan stakeholder
3A 3B Koordinasi
daerah Buruk, karena lebih
mementingkan pengelolaan
daerahnya Baik, karena perlunya
pengelolaan bersama terutama DAS.
4A 4B 4C Kompromi tingkat
kebutuhan Menurun, karena
lebih mengutamakan kebutuhannya
Tetap seperti sekarang, karena
kondisi saat ini merasa sudah
mencukupi kebutuhannya
Meningkat, karena menyadari
kebutuhan masing- masing dan
stakeholder
lainnya.
5A 5B Persamaan visi, misi
dan tujuan Tidak ada, karena
merasa lingkungan cukup dikelola
pemerintah Ada, karena memiliki
kesadaran bahwa lingkungan perlu
dikelola bersama sehingga perlu
menyamakan persepsi
Tabel 35. Skenario dan kombinasi kondisi faktor
No. Skenario Kombinasi
Kondisi Faktor
1. 2.
3. 4.
Optimis Moderat
Pesimis Sangat Pesimis
1B2B3B4C5B 1B2B3B4B5B
1A2A3A4B5A 1A2A3A4A5A
Tabel 36. Interpretasi kondisi masa yang akan datang
Faktor Kondisi state di masa yang akan datang
1A 1B Penegakan
hukum Laju peningkatan
limbah dari masing- masing sumber
pencemar meningkat sampai 1
Limbah dari masing- masing sumber
pencemar dapat ditekan hingga 1
2A 2B Hubungan antar
stakeholder Laju peningkatan
limbah dari masing- masing sumber
pencemar meningkat sampai 0,5
Limbah dari masing- masing sumber
pencemar dapat ditekan hingga 0,5
3A 3B Koordinasi
daerah Laju peningkatan
limbah dari luar daerah meningkat
sampai 1 Limbah dari luar
daerah dapat ditekan hingga 1
4A 4B 4C Kompromi tingkat
kebutuhan Laju peningkatan
limbah dari masing- masing sumber
pencemar meningkat sampai 0,5
Limbah dari masing- masing sumber
pencemar tidak mengalami perubahan
yang signifikan dari keadaan sekarang
Limbah dari masing- masing sumber
pencemar dapat ditekan hingga 0,5
5A 5B Persamaan visi, misi
dan tujuan Laju peningkatan
limbah dari masing- masing sumber
pencemar meningkat sampai 0,5
Limbah dari masing- masing sumber
pencemar dapat ditekan hingga 0,5
5.5.2. Simulasi Skenario
Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas, untuk mengetahui perilaku masing-masing. Kajian dilakukan terhadap sumber-sumber pencemar.
Perilaku antar skenario ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai peubah yang dikaji, akibat adanya perbedaan kombinasi faktor. Hasil simulasi disajikan
dalam bentuk grafik pada Gambar 58.
50 100
150 200
250
2004 2007
2010 2013
2016 2019
2022 2025
2028
Tahun
P en
cemar an
T el
u k Jakar
ta
Optimis Moderat
Pesimis Sangat Pesimis
Gambar 58. Skenario-skenario persentase pencemaran Teluk Jakarta Berdasarkan Gambar 58 menunjukkan bahwa keempat skenario memberikan
hasil yang berbeda pada peubah pencemaran yang ada di Teluk Jakarta, sehingga apabila dilihat dari skenario tersebut maka dapat dijelaskan bahwa pencemaran
Teluk Jakarta dapat dipurifikasi atau tidak melampaui kemampuan asimilasinya dapat diketahui. Pada grafik yang terbentuk terlihat cenderung linear, namun
sebenarnya grafik yang terbentuk adalah kuadratik tetapi regresi tersebut sangat kecil. Hal ini disebabkan regresi yang dibuat berdasarkan hubungan skenario
dengan regresi perkembangan serta kepedulian lingkungan dari masing-masing sumber pencemar sangat kecil. Regresi pada pertumbuhan penduduk mulai dari
tahun 2004 semakin kecil tingkat pertumbuhan yang ada, untuk pertumbuhan industri pada tahun 2009 hampir stagnan karena tidak tersedianya lahan untuk
industri kecuali adanya perubahan penggunaan lahan, sedangkan pasar hampir sama dengan perkembangan industri. Untuk hasil skenario masing-masing
sumber pencemar data dapat dilihat pada Lampiran 32 – Lampiran 41. Berdasarkan dari keempat skenario memberikan hasil yang berbeda pada
peubah pencemaran di Teluk Jakarta antara lain: TDS masih melebihi kapasitas asimilasi sampai tahun 2030 baik pada skenario
moderat maupun optimis.
PO
4
pada skenario moderat tahun 2021 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 157,65 tonbulan, sedangkan pada skenario optimis
tahun 2019 dengan beban pencemaran 152,83 tonbulan. SO
4
pada skenario moderat tahun 2027 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 30.849,65 tonbulan, sedangkan skenario
optimis tahun 2024 dengan beban pencemaran 29.854,50 tonbulan. MBAS pada skenario moderat masih melampaui kemampuan asimilasi sampai
tahun 2030, sedangkan untuk skenario optimis baru tahun 2027 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 100,85 tonbulan.
KMnO
4
pada skenario moderat tahun 2020 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 6.356,08 tonbulan, sedangkan untuk
skenario optimis tahun 2018 dengan beban pencemaran 6.233,85 tonbulan. BOD pada skenario moderat sudah tidak melampaui kemampuan asimilasinya
pada tahun 2014 dengan beban pencemaran 5.288,34 tonbulan, untuk skenario optimis pada tahun 2013 dengan beban pencemaran sebesar 5.175,02
tonbulan. COD pada skenario moderat sudah tidak melampaui kemampuan asimilasinya
pada tahun 2029 dengan beban pencemaran 6.838,07 tonbulan, sedangkan untuk skenario optimis baru tahun 2026 tidak melampaui kemampuan
asimilasi dengan beban pencemaran 6.291,03 tonbulan. Sedangkan untuk bahan pencemar TSS, Mn, dan Zn pada kondisi pesimis
maupun sangat pesimis masing-masing bahan pencemar tersebut belum melampaui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta sampai tahun 2030.
5.6. Penggunaan Perangkat Lunak yang Dikembangkan 5.6.1.
Perangkat Lunak Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL A. Konfigurasi
Program
Program didesain menggunakan bahasa pemrograman visual basic 6.0, dalam bentuk Sistem Pengendalian Pencemaran. Secara garis besar program
terdiri dari empat subsistem, yaitu subsistem-subsistem basis data, input data, kondisi skenario. Model-model yang dibangun dalam program ini adalah model
pengendalian pencemaran. Sedangkan input data didesain untuk mensimulasikan
berbagai kondisi sumber-sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari DKI Jakarta domestik, industri, dan pasar, sumber pencemaran dari lintas
wilayahsektoral, pelabuhan dan udara.
B. Keperluan Hardware
Program Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL memerlukan perangkat keras komputer minimal pentium 100 Mhz dan memori minimal 16 MB,
dengan space di hard disk diperkirakan 1 MB dan resolusi monitor 32 MB.
C. Keperluan Software
Program Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL dapat dijalankan dalam sistem operasi Windows 98 atau versi yang lebih tinggi. Meskipun
program ini didesain dengan bahasa pemrograman visual basic 6.0, tetapi program dapat langsung dijalankan tanpa memerlukan adanya software tersebut karena
sudah didesain dalam suatu file executetable.
D. Instalasi
Untuk menjalankan program ini, pengguna dapat melakukan langkah- langkah sebagai berikut :
1 Pindahkan terlebih dahulu folder MoPPeL ke direktori “C:\MoPPeL”. 2 Membuat shortcut program MoPPeL untuk mengeksekusi program
“C:\MoPPeL\MODELLINGKUNGAN.exe”. Adapun tahapan untuk membuat shortcut tersebut antara lain :
¾ Klik kiri mouse pada folder MoPPel tersebut, kemudian terdapat berbagai macam file seperti terlihat pada Gambar 59, dan klik kanan pada file
“MODELLINGKUNGAN.exe.”, kemudian copy file tersebut ke layar monitor atau tampilan windows komputer.
Gambar 59. Tampilan pembuatan shortcut ¾ Jika pekerjaan di atas dilakukan dengan benar, maka di layar monitor akan
muncul shortcut MODELLINGKUNGAN.exe.
E. Pengoperasian
Untuk menjalankan program Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL tersebut pengguna tinggal mengklik ganda shortcut tersebut. Tampilan
awal pada saat program dijalankan dapat dilihat pada Gambar 60.
Model Pengendalian Pencemaran Laut dalam Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan Teluk Jakarta
Gambar 60. Tampilan awal program MoPPeL
Selanjutnya setelah masuk ke tampilan awal dari program, maka tinggal meng-klik “MASUK”, sehingga akan muncul tampilan “HALAMAN UTAMA”
yang berisikan kondisi umum Jakarta dan Teluk Jakarta, seperti terlihat pada Gambar 61.
Dalam mensimulasikan sumber-sumber pencemaran untuk mengetahui keadaan beban pencemaran masing-masing parameter yang diamati sampai tahun
2030 maka pengguna terlebih dahulu masuk ke menu ”INPUT DATA”. Menu ”SKENARIO MODEL” belum dapat di klik atau dijalankan apabila data
simulasi yang akan dilakukan belum di input.
HALAMAN UTAMA
Gambar 61. Tampilan menu untuk halaman utama
Dalam mensimulasikan sumber-sumber pencemaran untuk mengetahui keadaan beban pencemaran masing-masing parameter yang diamati sampai tahun
2030 maka pengguna terlebih dahulu masuk ke menu ”INPUT DATA”, yang kemudian akan muncul tampilan awal ”INPUT DATA” seperti terlihat pada
Gambar 62, dimana pada tampilan tersebut akan terlihat data awal sumber pencemar dengan kondisi tahun 2004 dan kapasitas asimilasi dari Teluk Jakarta
serta kapasitas asimilasi yang diperbolehkan dari sumber pencemar landbased. Menu ”SKENARIO MODEL” belum dapat diklik atau dijalankan apabila data
simulasi yang akan dilakukan belum diinput.
Gambar 62. Tampilan menu untuk input data
Setelah data diinput maka perlu meng-klik ”RUN” agar dapat diketahui besarnya beban pencemaran dari masing-masing parameter dan selisihnya
terhadap kapasitas asimilasi sehingga pengguna akan mengetahui masing-masing parameter yang belum melampaui dan yang sudah melampaui kapasitas asimilasi
Teluk Jakarta dengan munculnya tulisan berwarna hitam ”Belum Melampaui K. Asimilasi” dan tulisan berwarna merah ”Sudah Melampaui K. Asimilasi”.
Tampilan dari hasil simulasi pada halaman input data dapat dilihat pada Gambar 63.
Gambar 63. Tampilan menu untuk hasil simulasi input data
Selanjutnya kita dapat mengetahui beban pencemaran masing-masing parameter sampai tahun 2030 dengan meng-klik menu ”SKENARIO MODEL”,
sehingga akan muncul tampilan menu skenario model seperti terlihat pada Gambar 64. Pada tampilan tersebut akan terlihat grafik kapasitas asimilasi dan
skenario-skenario yang ada optimis, moderat, pesimis, dan sangat pesimis, sehingga dapat diketahui pada kondisi yang mana dan pada tahun berapa
parameter pencemar tersebut berada di atas kapasitas asimilasi atau di bawah kapasitas asimilasi. Selain grafik pada halaman tersebut juga dapat diketahui
keterangan mengenai bahan pencemar, dampak bahan pencemar dan sumber dari bahan pencemar tersebut.
Untuk mengetahui parameter yang diinginkan maka pilihlah parameter yang diinginkan dengan meng-klik box parameter pada kolom bawah, serta untuk
memilih tahun yang diinginkan tentukan simulasi tahun dan pilihlah tahun pada kolom yang ada. Untuk hasil pemilihan tersebut dapat dilihat pada Gambar 65.
Gambar 64. Tampilan menu skenario model
Gambar 65. Tampilan menu skenario model hasil simulasi
Pada menu desain sistem berisikan informasi tambahan dari Model Pengendalian Pencemaran Laut MoPPeL, yang menampilkan tentang informasi
causal loop , diagram forester, black box, dan skenario model dari Sistem
Pengendalian Pencemaran Laut. Tampilan masing-masing informasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 66 - Gambar 69.
Pada submenu causal loop memberikan informasi mengenai hubungan sebab akibat dari elemen-elemen yang ada pada sistem tersebut, pada submenu
diagram forester memberikan informasi mengenai aliran dalam sistem pencemaran Teluk Jakarta, pada submenu black box memberikan informasi
mengenai faktor-faktor yang ada dalam input terkontrol dan input tak terkontrol, serta tujuan yang diinginkan dalam model pengendalian pencemaran laut,
sedangkan pada submenu skenario memberikan informasi tentang proses simulasi sampai tahun 2030, dimana telah ditentukan berdasarkan kesepakatan pendapat
para pakar expert dalam pengendalian pencemaran Teluk Jakarta.
Gambar 66. Tampilan submenu causal loop
Gambar 67. Tampilan submenu diagram forester
Gambar 68. Tampilan submenu black box
Gambar 69. Tampilan submenu skenario
5.7. Strategi dan Arahan Kebijakan
Elemen-elemen negara yang meliputi pemerintah government, Dewan Perwakilan Rakyat people’s representative, maupun lembaga peradilan
judiciary harus berfungsi dan menciptakan proses check and balances yang mampu mengawasi satu sama lainnya. Masyarakat sipil civil society juga harus
mampu menjalankan peranannya sebagai penyalur aspirasi rakyat dan menjalankan fungsi public control. Sedangkan sektor swasta dalam menjalankan
kegiatan ekonominya harus diberikan jaminan bahwa kegiatannya dapat berjalan dengan baik dan lancar serta menyadari terdapat rambu-rambu sosial dan hukum
untuk ditaati. Dengan demikian, good governance yang diupayakan dalam era reformasi saat ini dapat berjalan. Pembaruan kebijaksanaan di bidang sumberdaya
alam harus sejalan dengan pembaruan dalam sistem politik dan hukum kita yang mengarah kepada good governance.
Untuk dapat mewujudkan good governance menurut Santosa 2001, maka dalam melaksanakan pembangunan dan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya
alam maka perlu diterapkan dua puluh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkugan Lampiran 42.
Seperti pada bagian sebelumnya bahwa pengendalian pencemaran Teluk Jakarta haruslah mengindahkan kepentingan dan tingkat kebutuhan dari para
pelaku stakeholder. Dengan terakomodasinya kepentingan tersebut, maka beban pencemaran dapat dijadikan instrumen yang perlu ditaati oleh para pelaku karena
menyangkut kepentingannya. Dari analisis ISM telah diketahui kebutuhan para pelaku terdiri dari penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi
daerah, kompromi tingkat kebutuhan, dan persamaan visi, misi dan tujuan. Jika kebutuhan tersebut terakomodasi maka dengan sendirinya sistem pengendalian
pencemaran Teluk Jakarta akan memberikan output berupa mengurangi dampak negatif dari pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya, meningkatkan
daya dukung lingkungan perairan Teluk Jakarta, dan minimisasi biaya penanganan pencemaran.
Arahan kebijakan berdasarkan permasalahan-permasalahan pada faktor utama dari sistem yang ada yaitu : penegakan hukum, memperbaiki hubungan
yang harmonis antar stakeholder, meningkatkan hubungan antar daerah khususnya dalam pengelolaan DAS, kompromi tingkat kebutuhan, menyamakan visi, misi
dan tujuan dalam pengelolaan lingkungan. Agar semua permasalahan yang ada dapat teratasi berdasarkan arahan kebijakan maka perlu juga penerapan kaidah
FASE yaitu : • Focus fokus yaitu melihat urgensi permasalahan disesuaikan dengan
kemampuan diri. • Accountability tanggung jawab yaitu pertanggung jawaban yang jelas
bagi semua pelaksana. • Simplification simplifikasi yaitu penyederhanaan sumber permasalahan
agar memudahkan untuk mengatasinya. • Enforcement penegakan yaitu penyelesaian permasalahan secara tuntas.
5.7.1. Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam penerapan Undang-undang harus benar-benar ditegakkan karena merupakan prinsip utama dalam pelaksanaan Undang-undang
tersebut secara tegas dan konsisten. Hal ini dapat dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi objek hukum terlibat untuk memperkuat
sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan masyarakat. Adanya penegakan hukum bagi masyarakat akan
mendorong iklim yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum.
Selain itu perlunya pengawasan, pemantauan untuk memaksimalkan penegakan hukum. Pemantauan ditujukan untuk memantau aktivitas-aktivitas di
perairan Teluk Jakarta sehingga diperoleh informasi yang jelas baik mengenai penyebab dari pencemaran maupun kualitas perairan. Pemantauan tersebut
dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidangnya. Upaya pengawasan difokuskan pada pengendalian sumber pencemar baik yang berada di
sepanjang pesisir maupun lautan. Sedangkan untuk upaya penegakan hukum yaitu dengan memberikan sanksi yang berat kepada para pelaku pencemaran atau
industri-industri agar para pelaku tersebut menjadi jera dan mengindahkan kaidah yang berlaku dan telah ditetapkan oleh pemerintah. Di samping itu, upaya lain
yang dilakukan yaitu dengan memberikan insentif kepada pihak-pihak yang melakukan usaha penanggulangan pencemaran.
5.7.2. Memperbaiki Hubungan yang Harmonis antar Stakeholder
Dalam penerapan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta perlunya hubungan yang harmonis antar stakeholder, sehingga dalam hal ini masing-
masing stakeholder perlu memperhatikan dampak dari kegiatan yang dilakukannya terhadap stakeholder lainnya, Jika dampak negatif terjadi akibat
kepentingan masing-masing maka sudah mempunyai antisipasi terhadap dampak tersebut agar hubungan tetap terjalin dengan baik.
5.7.3. Meningkatkan Hubungan antar Daerah Khususnya dalam
Pengelolaan DAS
Dalam meningkatkan hubungan antar daerah khususnya dalam pengelolaan DAS sangatlah penting dalam terwujudnya sistem pengendalian pencemaran
Teluk Jakarta yang efektif dan efisien. Peningkatan hubungan tersebut dapat dilakukan dengan prinsip keterpaduan, dimana keterpaduan yang dimaksud antara
lain keterpaduan antara ekosistem darat dan laut, keterpaduan antar wilayah administrasi, keterpaduan antar sektor, serta keterpaduan antara ilmu pengetahuan
dan manajemen.
A. Keterpaduan antara ekosistem darat dan laut
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dengan memperhatikan kemampuan dari ekosistem darat untuk dieksploitasi dan memperhatikan
kemampuan pesisir untuk menerima dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut. Misalnya pembukaan lahan pertanian atau pemukiman akan
menimbulkan sedimentasi baik pada badan sungai maupun di perairan pantai, sehingga dalam suatu perencanaan diperlukan keterpaduan antar ekosistem.
B. Keterpaduan antar wilayah Administrasi
Sungai merupakan suatu sistem terbuka dan mengalir dari daerah hulu ke hilir sehingga dampak aktivitas dari wilayah administrasi di bagian hulu akan
berdampak pada masyarakat di wilayah hilir, sehingga dalam pengelolaan limbah terutama domestik perlu adanya keterpaduan wilayah baik ditingkat
desa, kecamatan, kabupaten ataupun pusat. Sebagai contoh DAS Ciliwung yang melalui Kota Bogor, Depok, Jakarta dan lain-lain Gambar 70.
C. Keterpaduan antar sektor
Besarnya dampak dan banyaknya aspek kehidupan yang ditimbulkan oleh limbah maka dalam pengelolaannya perlu adanya keterpaduan antar sektor-
sektor yang terkait dengan hal tersebut, misalnya Departemen Pertanian. Departemen Kehutanan, Departemen Perkerjaan Umum, Dinas Tata Ruang
dan Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan.
D. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan manajemen
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi
bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosial-ekonomi, budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya.
BOGOR TANGERANG
JAKARTA SELATAN
DEPOK JAKARTA BARAT
KODYA TANGERANG JAKARTA TIMUR
JAKARTA PUSAT
KODYA BOGOR JAKARTA UTARA
CIANJUR CIANJUR
SUKABUMI BOGOR
TANGERANG BOGOR
BOGOR KODYA TANGERANG
Gambar 70. Sungai Ciliwung yang melalui beberapa wilayah administrasi
E. Kompromi tingkat kebutuhan
Perlu dibentuk wadah diskusi yang dapat mempertemukan masing-masing stakeholder
dalam merencanakan pengelolaan Teluk Jakarta, khususnya dalam pengendalian pencemaran yang terjadi sehingga mengetahui tingkat permasalahan
yang dirasakan akibat dampak dari masing-masing kepentingan serta untuk mengetahui tingkat kebutuhan dari masing-masing stakeholder.
Termasuk didalamnya partisipasi masyarakat untuk turut aktif dalam suatu proses kegiatan bagi siapapun yang terlibat dan berkepentingan atau berkaitan
dengan proses yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan
partisipasi masyarakat sebagai salah satu upaya dalam pengelolaan dan penanggulangan pencemaran di Teluk Jakarta. Adanya kerjasama yang baik
antara pihak pemerintah dan masyarakat masyarakat lokal, LSM, dunia usaha dan akademis melalui pengamatan dan evaluasi serta pencarian solusi dalam rangka
peningkatan kualitas perairan Teluk Jakarta. keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan peraturan
perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pada
dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan
kepentingannya untuk dapat dibuat dalam naskah RUU, serta ikut berperan dalam melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan perundang-
undangan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari
pihak yang memprakarsai, dalam hal ini pemerintah. Keterbukaan pemerintah menginformasikan draft rumusan aturan-aturan, kebijakan dan rencana kegiatan
sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan,
serta usul perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan persepsi masyarakat.
Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
yang dilakukan pemerintah, sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang diakibatkan
oleh kesalahan prosedur penetapan kebijakan.
5.7.4. Menyamakan Visi, Misi dan Tujuan dalam Pengelolaan Lingkungan
Perlunya membangun visi dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan ekologi dan lingkungan dengan menjadikan permasalahan pencemaran limbah
sebagai masalah penting yang harus ditanggapi secara serius. Persamaan dalam pandangan perbaikan kualitas lingkungan khususnya Teluk Jakarta seperti
pemulihan secara bertahap dimana kegiatannya difokuskan pada upaya
rehabilitasi, konservasi dan pengendalian sumber-sumber pencemar dari daratan landbased sources yang masuk melalui sungai.
Kewajiban dalam pengelolaan lingkungan khususnya yang berdampak pada pencemaran Teluk Jakarta perlu dilakukan bagi masing-masing stakeholder
sehingga dalam hal ini setiap stakeholder terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta wajib memasukkan salah satu visi, misi dan tujuan pengelolaan
lingkungan khususnya pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dalam rencana pengembangan pada kegiatan masing-masing. Tidak terlepas juga pada wilayah
administrasi yang lintas sektoral, perlunya penerapan dalam menyamakan visi, misi dan tujuan khususnya yang dilalui oleh aliran DAS sehingga dapat
mewujudkan perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta seperti yang diharapkan dalam sistem pengendalian pencemaran laut ini.
5.8. Rencana Pengelolaan terhadap Sumber Pencemaran Teluk Jakarta
5.8.1. Rencana Pengelolaan terhadap Sumber Pencemar A.
Untuk Limbah Domestik
Inventarisasi sumber-sumber pencemaran limbah domestik terutama yang memberikan kontribusi terhadap pencemaran sungai yaitu sekitar 100
meter kanan dan kiri sungai. Peningkatan pelayanan pengangkutan sampah dimulai dari unit
lingkungan terkecil sampai ke kawasan perkotaan melalui pola pengelolaan sampah terpadu
Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang pencemaran limbah logam berat, B3, red tide serta peran serta
masyarakat Peningkatan kesadaran publik public awareness dan mobilisasi
partisipasi masyarakat dalam usaha penanggulangan pencemaran. Hal tersebut dimaksudkan agar mengingatkan kepada masyarakat terhadap
perilaku mereka yang tidak ramah lingkungan. Perilaku masyarakat demikian itu telah menyebabkan tingginya tingkat pencemaran dan
gagalnya berbagai program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pencemaran di Teluk Jakarta.
Pengadaan atau pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan limbah waste water treatment sebagai salah satu syarat agar proses atau berbagai
aktivitas industri ataupun rumah tangga dapat berjalan dengan tidak semakin menambah beban pencemaran pada Teluk Jakarta dan sekitarnya.
Perlu perbaikan dalam sistem manajemen pengelolaan sampah secara keseluruhan; Untuk mencapai keberhasilan, maka perlu didukung oleh
faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan lainnya.
Pemanfaatan bahan kompos untuk taman kota dalam bentuk kampanye penghijauan dengan contoh-contoh hasil nyata sebagai upaya
promosi pada masyarakat luas;
B. Untuk Limbah Industri
Inventarisasi industri di sekitar DAS yang bermuara di Teluk Jakarta terutama yang diindikasikan berpotensi penghasil limbah di kawasan
Teluk Jakarta Setiap industri harus mempunyai dokumen amdal yang dilengkapi dengan
sistem pengelolaan sampah secara internal. Pengkajian UKL dan UPL pada industri-industri yang telah terbangun
dengan pelengkapan sarana pengelolaan sampah internal. Penerapan teknologi proses zero waste discharge atau teknologi yang
berupaya meminimalkan limbah atau bahkan meniadakan limbah dari setiap proses industri. Upaya tersebut dimaksudkan guna mengurangi
beban limbah yang masuk ke Teluk Jakarta. Penerapan metode reuse, recycle, dan reduce pada berbagai aktivitas
industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta atau yang berada di sekitar DAS, dengan demikian maka jumlah dari limbah atau bahan pencemar
yang masuk dapat dikurangi. Pengelolaan masalah pencemaran limbah industri menurut Soemantojo
dan Endrawanto 1992, sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknologi, lingkungan, dan administratif. Bagan pengelolaan
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 43.
C. Untuk Limbah Pasar
Inventarisasi pasar-pasar yang ada terutama yang dekat ke sungai baik pasar modern, pasar tradisional maupun pasar yang muncul saat-saat
tertentu atau sering disebut pasar tumpah. Untuk bangunan dengan tujuan komersial harus mempunyai dokumen
amdal yang dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah secara internal. Pengkajian UKL dan UPL pada bangunan komersial yang telah terbangun
dengan pelengkapan sarana pengelolaan sampah internal. Pembangunan pasar induk dibuat sesuai dengan RTRW, dengan syarat
lahan yang digunakan antara lain adalah tidak pada kawasan resapan air catchment area, tidak dekat dengan jalan besar dan pusat keramaian,
lokasi di perbatasan kota yang dilengkapi dengan sarana infrastruktur yang memadai dan memiliki teknologi pengelolaan limbah internal, dibangun
pada lahan tidur atau lahan yang tidak termanfaatkan yang bukan merupakan lahan sengketa.
Setiap pasar induk dilengkapi dengan peralatan pengolahan limbah selain untuk menampung dan mengolah sampah dari hasil kegiatan pasarnya juga
menampung limbah dari pasar-pasar tradisionalpasar tumpahpasar kaget di sekitarnya.
5.8.2. Rencana Pengelolaan Limbah secara Umum
o RTRW kota untuk bangunan dibuat berdasarkan kesesuaian lahan.
o Pendidikan dan penyuluhan lingkungan hidup sejak usia dini.
o Pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup pada semua aparat pemerintahan
sejak mulai bekerja yang dibekali dengan buku saku panduan pengelolaan lingkungan hidup.
o Meningkatkan pengawasan DAS oleh tim pengawas independen DAS yang
dibentuk dari berbagai elemen masyarakat. o
Zonasi terpadu dari hulu ke hilir selain memperhatikan aspek komersial juga dengan memperhatikan aspek lingkungan.
o Penanganan pengelolaan sampah tidak hanya dibebankan pada layanan Dinas
Kebersihan tetapi juga dikelola mulai dari wilayah administratif terkecil dengan pembuatan sub-sub tempat pembuangan akhir TPA.
o Penanganan pembuangan air limbah dilakukan secara terpadu dan perlu
dipisahkan dengan pengeluaran air hujan pada masing-masing sumber pencemar.
o Sampah yang telah ditimbun pada TPA mengalami proses lanjutan.
Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah :
1 Teknologi pembakaran incenarator. Dengan cara ini dihasilkan produk samping berupa logam bekas skrap dan uap yang dapat dikonversikan
menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya dari penggunaan alat ini adalah :
a Dapat mengurangi volume sampah ± 75 - 80 dari sumber sampah tanpa proses pemilahan,
b Abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan dapat langsung dibawa ke tempat penimbunan pada
lahan kosong, rawa ataupun daerah rendah sebagai bahan pengurug, dan
c Pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas ± 300 tonhari dapat dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik ±
96.000 MWHtahun yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya proses.
2 Teknologi komposting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah.
3 Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti: kertas, plastik logam dan kacagelas.
5.8.3. Rencana Pengelolaan Pencemaran Sungai
o Pembuatan penyaringan sampah padat waste trap pada titik pengamatan
outlet sungai sesuai wilayah administratif, bahkan wilayah administratif terkecil yang dikelola oleh masyarakat juga difasilitasi oleh pemerintah.
o Pengadaan dan penguatan kelembagaan untuk pengelolaan sampah yang
melewati sungai. o
Inventarisasi sumber-sumber pencemaran di sekitar sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta, terutama sumber-sumber pencemaran yang berasal dari limbah
domestik, limbah industri, dan limbah pasar. o
Menghidupkan wisata air. o
Peningkatan kegiatan PROKASIH.
5.8.4. Rencana Pengelolaan Teluk Jakarta
Kondisi lingkungan pesisir dan Perairan Teluk Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas. Hal ini terlihat dari timbulnya pencemaran
lingkungan perairan, berkurangnya hutan mangrove serta rusaknya terumbu karang. Penurunan kualitas lingkungan ini akan mengurangi fungsi yang
menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk yang mendapatkan manfaat darinya. Keadaan ini disebabkan oleh sering terjadinya pencemaran baik
yang berasal dari kegiatan di daratan maupun kegiatan di perairan itu sendiri, sehingga dalam hal ini perlunya melakukan penyusunan informasi lingkungan
yang dilakukan melalui kegiatan : 1. Pemantauan kualitas air sungai di DKI Jakarta
2. Pemantauan kualitas muara, perairan Teluk Jakarta dan Kep. Seribu 3. Inventarisasi kegiatan sepanjang kawasan pantura Jakarta
4. Inventarisasi kondisi hutan mangrove dan terumbu Jepang Agar fungsi lingkungan pesisir dan perairan Teluk Jakarta dapat
ditingkatkan kembali maka dilakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran dengan melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Adapun kegiatan rencana kelola yang dilakukan untuk pengendalian pencemaran di Teluk Jakarta ini antara lain adalah:
o Peningkatan kegiatan Program Laut Lestari
Program laut lestari yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan pesisir dalam hal ini lingkungan pantai dan
lingkungan daratan pantai. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan air laut
dengan cara mengurangi beban pencemaran yang masuk, mengendalikan pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan hutan bakau khususnya
di daerah dengan resiko tinggi, meningkatkan sumberdaya kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran dan
perusakan lingkungan perairan pesisir dan laut. o
Peningkatan kegiatan Pantai Wisata Pantai wisata yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan
kerusakan di wilayah pantai yang merupakan tujuan wisata. Sasaran dari kegiatan ini adalah terwujudnya kondisi dan pelayanan pariwisata yang
andal dalam keseluruhan sistem dan tercapainya serta terjaganya perairan pantai sesuai dengan baku mutunya.
Sumber pencemar dan perusakan untuk kegiatan pantai wisata yang akan ditangani adalah limbah-limbah dari kegiatan-kegiatan di sepanjang
pantai yang diduga dapat merusak lingkungan seperti hotel, restoran, pemukiman, industri, dan rumah sakit.
o Peningkatan kegiatan Bandar Indah
Bandar indah yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan di wilayah pelabuhan. Sasarannya adalah terwujudnya
pelabuhan berwawasan lingkungan yang selain sesuai dengan fungsinya juga memenuhi : 1 baku mutu untuk air kolam pelabuhan; 2 baku mutu
industri di dalam pelabuhan; dan 3 keindahan untuk estetika kawasan darat pelabuhan.
Sumber pencemar dan perusakan yang akan ditangani untuk kegiatan ini adalah limbah padat dan cair dari kegiatan-kegiatan di dalam area
pelabuhan baik di wilayah daratan maupun perairan.
o Peningkatan kegiatan Taman Lestari
Taman lestari yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan hutan bakau mangrove dan terumbu karang di wilayah
pesisir. Sasarannya adalah terkendalinya pencemaran dan kerusakan terumbu karang serta mangrove berdasarkan kriteria pencemaran dan
kerusakannya melalui pola kemitraan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat pantai.
Sumber pencemaran yang akan ditangani adalah pencemaran dan perusakan terumbu karang dengan menggunakan bom penangkapan ikan
yang menggunakan bahan kimia, minimisasi penggunaan jangkar serta penambangan hutan bakau secara liar.
o Peningkatan sistem P3LE pemantauan, pengecekan, pengamatan
lapangan dan evaluasi. Sistem P3LE yaitu program kerja pengawasan secara rutin yang tidak
hanya sekedar dalam bentuk laporan namun harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pembinaan atau penegakan hukum bagi pelanggaran-
pelanggaran yang ditemukan. Adapun tujuan dari program P3LE antara lain : 1 menurunkan beban pencemaran yang masuk ke kawasan pesisir
dan laut terutama dari sumber pencemar yang membuang limbah langsung ke laut seperti kegiatan industri, perhotelan, pertambangan,
PLTUPLTAPLTG dan kegiatan kapal di pelabuhan; 2 meningkatkan kapasitas sistem informasi dan basis data data base mengenai kegiatan
yang membuang limbahnya ke laut; 3 meningkatkan kapasitas kelembagaan, tatalaksana pengawasan, kemampuan personil dan
dukungan pemerintah daerah dalam kegiatan yang dilaksanakan. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas untuk pengembangan pantai,
Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, maka perlu beberapa kebijakan pokok antara lain:
a. Konservasi. Mempertahankan daerah penghijauan yang masih mungkin dipertahankan,
sekaligus mengurangi tingkat pencemaran khususnya di daerah pesisir pantai, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.
b. Preservasi Meningkatkan lingkungan-lingkungan yang memiliki nilai-nilai historis
untuk kepentingan peningkatan aspek-aspek edukatif dan rekreasi. c. Pembangunan
Memberikan ruang gerak terhadap pembangunan yang memiliki nilai khusus dalam konteks kepentingan nasional Pelabuhan Tanjung Priok atau proyek-
proyek khusus lainnya, tanpa menambah beban pencemaran baru pada lingkungan sekitarnya serta mengembangkan sarana-sarana rekreasi bagi
kepentingan umum Pluit, Ancol, Kapuk dan sebagainya. d. Peningkatan kegiatan pariwisata dan kegiatan perikanan
Konservasi atau pelestarian alam dan biota laut dalam konteks Taman Laut Nasional serta meningkatkan pariwisata dan kegiatan kenelayanan.
Dari permasalahan pencemaran Teluk Jakarta yang paling dominan dari limbah domestik terutama sampah padat, maka strategi yang perlu dilakukan
antara lain :
Program Jangka Pendek tahunan, meliputi :
Optimalisasi pengoperasian TPA dan pembangunan TPA baru bila dibutuhkan;
Pembangunan prasarana guna mengamankan lokasi calon TPA baru; Pembangunan incenarator skala kecil di kelurahan-kelurahan;
Pengembangan program 3R reuse, recycle, reduce; Pengolahan sampah terpadu dengan pendekatan zero waste;
Penyusunan studi paradigma baru pengelolaan sampah dari cost center menjadi profit center; dan
Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta, meliputi : 1. Pembangunan TPA dengan sistem sanitary landfill;
2. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem biomass product; 3. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem pirolisis; dan
4. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem ATAD.
Program Jangka Menengah 3 tahunan, meliputi :
Pelaksanaan program sinergis sampah dan pasir; Pembangunan calon TPA sebagai lokasi pengolahan sampah dengan
teknologi tinggi yang dilengkapi dengan sistem sanitary lanfill; Pelaksanaan pemilahan sampah di dalam kawasan atau tempat
penampungan sementara TPS; Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta lainnya dengan penekanan
kepada teknologi yang mengolah sampah organik dan pembangunan unit- unit daur ulang;
Pengembangan korporasi pengolahan sampah dan kerjasama antar daerah yang lebih luas;
Pelaksanaan evaluasi masterplan sampah pada daerah yang lebih luas misalnya : se-Jabodetabek;
Pelaksanaan kampanye massal mengenai 3R reuse, recycle dan reduce kepada masyarakat;
Pelaksanaan evaluasi pada kelembagaan instansi teknis pengelola sampah; Pelaksanaan evaluasi total terhadap sistem pengelolaan retribusi sampah
dalam rangka meningkatkan perolehan retribusi; dan Penyusunan dan sosialisasi perangkat-perangkat hukum yang berkaitan
dengan tata cara pengelolaan kebersihan.
Program Jangka Panjang 5 tahunan, meliputi :
Pendirian korporasi pengelola sampah antar daerah; Pelaksanaan pemilahan sampah sejak di sumber sampah;
Pengembangan home composting di masyarakat; Pengembangan incenerator skala besar;
Pengembangan kampanye massal mengenai 3R reuse, recycle dan reduce
kepada masyarakat; Pelaksanaan restrukturisasi instansi teknis pengelola sampah;
Pelaksanaan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggaran- pelanggaran kebersihan; dan
Pencanangan “Kota Bebas Masalah Sampah”.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari penelitian ini untuk pengembangan sistem pengendalian pencemaran laut, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1 Sumber-sumber pencemaran yang berada di Teluk Jakarta yang terbesar berasal dari landbased sources yakni dari limbah domestik, limbah
industri dan limbah pasar. 2 Sebagian besar yakni 65,48 parameter kualitas air pada seluruh lokasi
pengamatan sudah melampaui baku mutu air sungaibadan air serta baku mutu limbah cair di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air SungaiBadan Air serta
Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 3 Beban pencemaran di 10 muara sungai pada tahun 2005 yang paling tinggi
setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu zat padat terlarut total dissolved solidTDS, dimana muara yang paling banyak
memberikan kontribusi beban pencemaran terbesar sebesar 1.540.311,55 tonbulan adalah Kali Blencong dengan titik pengamatan 38 A yang
berada di Pantai Maruda. 4 Kapasitas asimilasi untuk parameter TDS sebesar 109.249 tonbulan, TSS
sebesar 71.819 tonbulan, Mn sebesar 426,8 tonbulan, PO
4
sebesar 160 tonbulan, Zn sebesar 404,2 tonbulan, SO
4
sebesar 31.387 tonbulan, MBAS sebesar 112 tonbulan, KMnO
4
sebesar 6.393 tonbulan, BOD sebesar 5.602 tonbulan, dan COD sebesar 6.966 tonbulan.
5 Sebanyak tujuh dari sepuluh parameter yang diamati pada penelitian ini telah melebihi kapasitas asimilasi asimilative capacity. Parameter-
parameter tersebut antara lain TDS, PO
4
, SO
4
, MBAS, KMnO
4
, BOD, dan COD.
6 Teknik permodelan yang dibuat bertujuan untuk mengetahui beban pencemaran di masa yang akan datang dengan mensimulasikan berbagai
sumber-sumber pencemaran penyebab terjadinya pencemaran di Teluk Jakarta.
7 Penegakan hukum dalam penerapan Undang-undang harus benar-benar ditegakkan, adanya penegakan hukum bagi masyarakat akan mendorong
iklim yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum; masing-masing stakeholder perlu memperhatikan dampak dari
kegiatan yang dilakukannya terhadap stakeholder lainnya agar terciptanya hubungan yang harmonis; dalam meningkatkan hubungan antar daerah
khususnya pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan prinsip keterpaduan; perlunya wadah diskusi yang dapat mempertemukan masing-masing
stakeholder dalam merencanakan pengelolaan Teluk Jakarta khususnya
dalam pengendalian pencemaran yang terjadi sehingga mengetahui permasalahan dan kebutuhan dari masing-masing stakeholder; perlunya
membangun visi dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan ekologi dan lingkungan dengan menjadikan permasalahan pencemaran limbah
sebagai masalah penting yang harus ditanggapi secara serius.
6.2. Saran
Adapun saran untuk pengembangan sistem pengendalian pencemaran laut, adalah sebagai berikut :
1 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta perlu meningkatkan program pengendalian pencemaran khususnya yang menyangkut pengendalian
limbah, baik domestik, industri maupun pasar. 2 Pola kerjasama dan koordinasi berbagai instansi pemerintah dan
masyarakat yang lebih terstruktur. 3 Pengumpulan pendapat pakar yang memahami kajian penelitian, untuk
membangun arahan kebijakan dan prospek pengembangan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, akan lebih baik bila dilakukan dalam suatu
forum pertemuan expert meeting, tidak hanya dikumpulkan melalui kuisioner secara terpisah. Dengan demikian dapat terjadi suatu diskusi dan
pertukaran informasi yang dinamis antar para pakar yang memahami kajian penelitian.
4 Perlu kajian lebih lanjut mengenai kerugian ekonomi pencemaran Teluk Jakarta dengan metode pendekatan sistem sebagai landasan penentuan
kebijakan lebih lanjut, khususnya mengenai besarnya investasi perbaikan lingkungan agar setiap stakeholder yang terkait mengetahui pentingnya
menjaga kerusakan lingkungan dari pada memperbaikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aboejowono, H. 2000. Pengendalian Pencemaran Pantai dan Sungai. Jurnal
himpunan karangan ilmiah di bidang perkotaan dan lingkungan. Bapedalda DKI Jakarta. Vol 2: 56-66.
Andajani, S. 1997. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar Hutan dalam Pemanfaatan Hasil Hutan dan Penyusunan Alternatif
Pengembangannya di Daerah Penyangga Taman Nasional Siberut. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Yayasan Mutiara. Jakarta.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD DKI Jakarta. 2004. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah SLHD DKI Jakarta tahun 2004.
BPLHD Jakarta. Jakarta. _________. 2005. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah SLHD DKI
Jakarta tahun 2005. BPLHD Jakarta. Jakarta. Bank Dunia. 2003. Fokus Utama Mengurangi Polusi. Pemantauan Lingkungan
Indonesia 2003. Hal 20-32. Badan Pusat Statistik BPS DKI Jakarta. 2005. DKI Jakarta Dalam Angka 2005.
Jakarta. Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu : Menata Kembali
Pembangunan Teluk Jakarta. Makalah pada Pertemuan Para Ahli dalam Pengelolaan Dampak Kota Besar Terhadap Perairan di Depannya. P3O
LIPI, 7-8 April, 1999. Jakarta.
Damai, A.A. 2003. Pendekatan Sistem Untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Damar, A. 2004. Teluk Jakarta, Tercemar Sekaligus Subur. Career Development
Center. Faculty of Engeneering University Of Indonesia. Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan Timbulan Sampah DKI Jakarta.
Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Jakarta. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor.
Forrester, J.W. 1971. World Dynamics. Wright-Allen Press. Cambridge. Massachusetts.
Gunnerson, C. 1987. Waste Water Treatment for Coastal Cities. World Bank. Washington, DC.
Hadiwijoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta Hartono, W. 2004. Pencemaran Laut dalam Perubahan Iklim Global. Program
Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Integrated Task Team of The Xiamen Demonstration Project. 1996. Strategic Management Plan for Marine Pollution Prevention abd Management in
Xiamen. GEFUNDPIMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas Quezon City,
Philippines.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Grasindo. Jakarta.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003, Japan International Cooperation Agency JICA: Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren Islam
Al Azhar, Jakarta. O’Connor, J. and I. McDermott. 1997. The Art of System Thinking. Thorson.
San Fransisco. Prapto, W., dan A. Djayaningrat. 1992. Teknik Pengolahan Air Buangan
Industri. Jurnal himpunan karangan ilmiah di bidang perkotaan dan lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan
DKI Jakarta. Vol 3: 38-48.
Quano. 1993. Training Manual on Assessment of The Quantity and Type of Land Based Pollutan Discharge Into The Marine and Coastal Environment.
UNEP. Bangkok. Santosa, M.A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL.
Jakarta.
Soedharma, D., S. Adiwibowo, M. Kawaroe, S. Saputra. 2005. Prosiding Diskusi Panel Penanganan dan Pengelolaan Pencemaran Wilayah Pesisir
Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. PPLH-IPB, PKSPL-IPB, Bina Bahari Mandiri. Bogor.
Soemantojo, R.M., dan H. Endrawanto. 1992. Metode Dasar Pengelolaan Masalah Pencemaran. Jurnal Widyapura. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan P4L, DKI Jakarta. Jakarta.. Vol 3: 70-90.
Shuval, H.I. 1977. Water Renovation and Reuse. Academic Press. New York. Sushil. 1993. System Dinamics. A Practical Approach for Managerial Problems.
Wiley Eastern Limited. New Delhi. World Healt Organization WHO. 1977. Health and Enviroment in Sustainable
Development : Five Years After the Earth Summit. WHO. Genewa.
Lampiran 1. Kualitas air Sungai Kamal Titik 42—Jl. Muara Kamal--Golongan D
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Parameter Satuan
Baku Mutu Rata-rata
Rata-rata Rata-rata
Rata-rata Rata-rata
Rata-rata I. Fisik
1 Daya Hantar Listrik DHL
µhoscm 1000 2038,33 7725,00
1585,00 2200,00 1266,50 696,10
2 Zat Padat Terlarut TDS
mgL 200
1021,67 3870,00 795,00 1090,00 766,67 701,22
3 Zat Padat Tersuspensi TSS
mgL 200 109,11 40,00 60,00 59,50 58,00
45,00 4
Oksigen Terlarut DO mgL
3 0,75
- -
1,12 0,95
- 5 Debit
m
3
dt 0,68
- -
- -
- 6 Suhu
C -
- -
28,88 28,73
29,28 7
Kekeruhan NTU
- -
- -
22,50 41,04
II. Kimiawi
1 Air Raksa Hg
mgL 0,0005
0,0016 -
0,0001 0,0009
2 Ammonia NH
3
mgL 1
- -
- -
- -
3 Besi Total
mgL 2
- -
- -
- 0,34
4 Flourida F
mgL 1,50
- -
- -
- -
5 Kadmium
Cd mgL
0,01 0,00 6
Chlorida Cl mgL
250 -
- -
- -
7 Chromium Heksavalen Cr
6+
mgL 0,05 0,00
8 Mangan Mn
mgL 1
0,73 0,78 0,73 1,20 0,68 0,30
9 Nikel
Ni mgL
0,1 0,00
0,02 10
Nitrat NO mgL
10 -
- -
- -
- 11 Nitrit
NO
2
mgL 1
- -
- -
- -
12 pH 6,0-8,5
7,11 7,25 7,55 7,45 7,17
8,02 13 Phosphat
PO
4
mgL 0,5
1,93 1,08 1,00 5,01 1,04
1,79 14 Seng
Zn mgL
1 0,25 0,16 0,48 0,50 0,39
0,115 15 Sulfat
SO
4
mgL 100
77,63 98,35 130,07 290,39 105,53 128,72
16 Sulfida H
2
S mgL
0,1 -
- -
- -
- 17
Tembaga Cu
mgL 0,1 0,01 0,07 0,05
- 18
Timah Hitam Pb mgL
0,1 0,00
19 Minyak dan Lemak
mgL 1,15 0,31 0,30 0,57 0,52
- 20 Surfaktan
MBAS mgL
0,5 1,77 3,13 4,75 2,68 2,57
1,93 21 KMnO
4
mgL 25
51,69 51,46 62,42 72,20 57,53 92,73
22 BOD 20
o
C, 5 hari mgL
20 42,21 40,45 49,70 57,80 50,93
63,01 23 COD
Dichromat mgL
30 67,38 79,71 73,31
116,61 80,51 134,46
24 Kalium
mgL --
- -
15,05 -
- -
25 Natrium
mgL 50
159,96 810,50 207,20 -
- 253,30
III. Mikrobiologi
1 Coliform Jmlh100ml
2,00E+04 1,36E+08
9,00E+07 1,60E+13 5,00E+07 5,00E+06 3,03E+07
2 Fecal Coli
Jmlh100ml 4,00E+04
1,31E+08 1,40E+07 1,60E+13 3,30E+07 1,50E+06
1,83E+07
169
Lampiran 2. Kualitas air Sungai Cengkareng Drain Titik 22—Jl. Kapuk Muara--Golongan D
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Parameter Satuan
Baku Mutu Rata-rata
Rata-rata Rata-rata
Rata-rata Rata-rata
Rata-rata I. Fisik
1 Daya Hantar Listrik DHL
µhoscm 1000 1683,78 1270,00
4470,00 6245,00 1687,50 940,98
2 Zat Padat Terlarut TDS
mgL 200
794,41 638,50 2230,00 3122,50 878,30 2405,34
3 Zat Padat Tersuspensi TSS
mgL 200 59,33 44,00 40,00 49,00 47,00
38,49 4
Oksigen Terlarut DO mgL
3 1,80
- -
0,28 1,57
- 5 Debit
m
3
dt 33,83
- -
- -
- 6 Suhu
C -
- -
29,58 30,95
29,85 7
Kekeruhan NTU
- -
- -
48,75 59,61
II. Kimiawi
1 Air Raksa Hg
mgL 0,0005
0,0009 -
0,0005 2 Ammonia
NH
3
mgL 1
- -
- -
- -
3 Besi Total
mgL 2
- -
- -
- 0,67
4 Flourida F
mgL 1,50
- -
- -
- -
5 Kadmium
Cd mgL
0,01 0,00 6
Chlorida Cl mgL
250 -
- -
- -
- 7
Chromium Heksavalen Cr
6+
mgL 0,05 0,00
8 Mangan Mn
mgL 1
0,44 0,44 0,27 0,52 0,34 0,86
9 Nikel
Ni mgL
0,1 0,00 10
Nitrat NO mgL
10 -
- -
- -
- 11 Nitrit
NO
2
mgL 1
- -
- -
- -
12 pH 6,0-8,5
7,17 7,15 7,25 7,30 7,10
6,82 13 Phosphat
PO
4
mgL 0,5
0,81 0,22 0,30 2,06 0,74
1,12 14 Seng
Zn mgL
1 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02
0,02 15 Sulfat
SO
4
mgL 100
54,15 38,39 199,30 291,93 50,51 74,86
16 Sulfida H
2
S mgL
0,1 -
- -
- -
- 17
Tembaga Cu
mgL 0,1 0,00
18 Timah Hitam Pb
mgL 0,1 0,00
19 Minyak dan Lemak
mgL 0,58 0,25 0,19 0,25 0,21
- 20 Surfaktan
MBAS mgL
0,5 0,69 1,49 2,29 2,57 1,01
1,12 21 KMnO
4
mgL 25
34,88 21,02 27,70 45,52 26,42 28,53
22 BOD 20
o
C, 5 hari mgL
20 25,41 12,65 20,20 37,95 16,12
29,36 23 COD
Dichromat mgL
30 42,18 32,66 30,09 51,63 80,95
78,59 24
Kalium mgL
-- -
- 50,84
- -
- 25
Natrium mgL
50 249,20
81,20 748,45
- 223,14
III. Mikrobiologi
1 Coliform Jmlh100ml
2,00E+04 6,68E+06
3,00E+06 9,00E+06 5,00E+06 5,34E+09 8,98E+07
2 Fecal Coli
Jmlh100ml 4,00E+04
3,65E+06 1,70E+06 1,60E+06 2,30E+06 5,36E+08
1,58E+07
170
Lampiran 3. Kualitas air Sungai Ciliwung Titik 6--Jembatan Pantai Indak Kapuk--Golongan D
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Parameter Satuan
Baku Mutu Rata-rata
Rata-rata Rata-rata
Rata-rata Rata-rata
Rata-rata I. Fisik
1 Daya Hantar Listrik DHL
µhoscm 1000 428,99 299,50
507,50 1082,50 948,83 295,67
2 Zat Padat Terlarut TDS
mgL 200
215,83 151,45 256,00 542,50 493,67 173,63
3 Zat Padat Tersuspensi TSS
mgL 200 68,11 30,00 35,50 39,50 41,33
19,33 4
Oksigen Terlarut DO mgL
3 1,00
- -
0,12 2,19
0,95 5 Debit
m
3
dt 15,35
- -
- -
- 6 Suhu
C -
- -
27,90 27,55
28,37 7
Kekeruhan NTU
- -
- -
38,50 19,67
II. Kimiawi
1 Air
Raksa Hg
mgL 0,0005
0,0003 -
0,0008 2 Ammonia
NH
3
mgL 1
- -
- -
- -
3 Besi Total
mgL 2
- -
- -
- 0,72
4 Flourida F
mgL 1,50
- -
- -
- -
5 Kadmium
Cd mgL
0,01 0,00 -
6 Chlorida Cl
mgL 250
- -
- -
- -
7 Chromium Heksavalen Cr
6+
mgL 0,05 0,00
- 8 Mangan
Mn mgL
1 0,29 0,30 0,25 0,22 0,48
0,26 9
Nikel Ni
mgL 0,1 0,00
10 Nitrat NO
mgL 10
- -
- -
- -
11 Nitrit NO
2
mgL 1
- -
- -
- -
12 pH 6,0-8,5
7,12 7,20 7,05 7,15 6,30
6,43 13 Phosphat
PO
4
mgL 0,5
0,55 0,33 1,67 1,85 0,67
1,21 14 Seng
Zn mgL
1 0,014 0,003 0,023 0,01 0,01
0,035 15 Sulfat
SO
4
mgL 100 27,69 19,44 14,75 51,50 32,94
20,88 16 Sulfida
H
2
S mgL
0,1 -
- -
- -
- 17
Tembaga Cu
mgL 0,1 0,00
18 Timah Hitam Pb
mgL 0,1 0,00
19 Minyak dan Lemak
mgL 0,65 0,60 0,31 0,32 0,31
- 20 Surfaktan
MBAS mgL
0,5 0,77 1,34 3,07 3,75 1,27
0,13 21 KMnO
4
mgL 25
25,40 22,46 24,27 39,02 23,02 22,25
22 BOD 20
o
C, 5 hari mgL
20 18,89 13,60 21,25 39,95 16,80
13,42 23 COD
Dichromat mgL
30 33,49 33,26 26,57 52,04 39,25
34,84 24
Kalium mgL
-- -
- 11,03
- -
- 25
Natrium mgL
50 34,72 61,25 45,93
- -
35,66
III. Mikrobiologi