Manajemen Krisis TINJAUAN PUSTAKA
inisiatif. Tidak jarang tekanan atau stress yang timbul akibat krisis dipandang para manajer sebagai suatu kekuatan positif. Keadaan krisis dapat dilihat sebagai peluang
sekaligus ancaman bagi pihak-pihak yang terlibat. Sesuatu yang dilihat oleh salah satu pihak sebagai ancaman, bukan mustahil justru dinilai sebagai peluang bagi pihak lainnya.
Kejadian krisis membuka banyak kemungkinan baru dan memunculkan ide-ide terobosan di kalangan pihak-pihak yang terlibat Booth, 1993; Gottschalk, 1993.
Secara garisbesar ada tiga jenis krisis internal yang bisa terjadi pada suatu organisasi atau perusahaan. Masing-masing jenis krisis menuntut penanggulangan dan
pemecahan yang berbeda, serta mengarahkan pada situasi pascakrisis yang berbeda pula. Krisis yang berkembang secara bertahap, umumnya hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam krisis tersebut. Kebanyakan pihak tersebut tidak memiliki posisi atau kemampuan guna meyakinkan pimpinan puncak bahwa krisis sedang terjadi, sehingga
pimpinan tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap krisis tersebut Lerbinger, 1997; Booth, 1993.
Jenis kedua adalah krisis yang muncul secara rutin atau periodik, misalnya pemangkasan anggaran tahunan atau perubahan pemerintahan negara. Pimpinan
perusahaan atau organisasi menghadapi krisis seperti ini dengan tanggapan berupa perundingan atau kompromi. Krisis yang muncul secara periodik dan berkelanjutan, bisa
mengakibatkan para pihak yang terlibat menjadi letih dan kehilangan semangat kerja. Namun, di lain pihak keadaan krisis demikian dapat menghasilkan gugus kerja yang
profesional. Misalnya tim yang bertindak sebagai penanggungjawab krisis di perusahaan pertambangan atau penerbangan. Contoh lain yang lebih ekstrim adalah anggota polisi,
barisan pemadam kebakaran atau satuan pengamanan yang menjadi makin terlatih karena setiap saat menghadapi peristiwa krisis Lerbinger, 1997; Booth, 1993.
Jenis ketiga adalah krisis yang betul-betul muncul mendadak dan membahayakan seluruh organisasi atau perusahaan. Pada kebanyakan peristiwa krisis jenis ini, rencana
darurat yang sudah tersusun rapih seringkali tidak cocok dengan situasi yang berlangsung. Kebanyakan pimpinan bersikap defensif dan memberlakukan strategi siaga dalam
menghadapi krisis yang berlangsung. Pemberlakuan situasi siaga biasanya diiringi dengan penghapusan kegiatan atau fasilitas tertentu dan pengutamaan kegiatan atau bidang
lainnya demi membela organisasi atau perusahaan. Kesiagaan seperti ini bukan mustahil menimbulkan konflik lanjutan antara pihak yang harus berkurban dengan pihak yang
mendadak mendapatkan fasilitas istimewa Lerbinger, 1997; Booth, 1993.
Dalam banyak peristiwa krisis, tindakan para pengambil keputusan dapat terlibat dalam salah satu atau gabungan dari beberapa situasi. Pertama, para pengambil keputusan
tidak bertindak apa-apa karena mereka kaget. Kedua, keputusan yang diambil tidak cukup tepat dalam menghadapi krisis yang berlangsung. Ketiga, hanya sebagian dari keputusan
yang diambil cukup tepat menghadapi krisis yang timbul. Keempat, keputusan yang diambil cukup tepat tetapi tidak dapat dilaksanakan karena menurunnya kemampuan atau
kendali terhadap pelaksanaan keputusan itu. Kelima, keputusan yang tepat sudah diambil dan dilaksanakan, tetapi perubahan mendadak yang berlangsung terhadap krisis
mengakibatkan perusahaan tidak sempat melakukan antisipasi susulan. Pada dasarnya, situasi seusai krisis adalah salah satu dari dua kemungkinan. Yakni perusahaan salah
melakukan adaptasi sehingga harus tutup atau tetap bertahan namun mengalami perubahan besar. Kemungkinan kedua adalah perusahaan mengalami adaptasi sehingga semua bagian
terselamatkan Mitroff, 2001; Lerbinger, 1997; Booth, 1993; Fink, 1986. Kebanyakan penelitian dan pustaka mengutamakan pembahasan tentang
pencegahan krisis. Dengan pemahaman dan kecermatan yang cukup, sebetulnya krisis dapat diramalkan sejak isyarat-isyarat yang menandai awal krisis mulai muncul. Pada
praktiknya, ramalan kalangan staf atau manajemen yunior seringkali diabaikan oleh pimpinan yang lebih tinggi karena keengganan menghadapi situasi yang tidak rutin.
Alasan kalangan manajemen puncak dalam mengabaikan isyarat krisis sebetulnya justru disebabkan oleh ciri khas krisis, yakni ketidakpastian dan kemendadakan Lerbinger,
1997; Booth, 1993.