Karakteristik Anak Tunanetra Kajian tentang Anak Tunanetra

17 expectations or lack of exposure to B raille.” Dari pendapat Rapp and Rapp dapat ditegaskan bahwa sebagian penelitian menyatakan bahwa low vision dan blind, keduanya kadang-kadang memiliki kemampuan akademik di bawah teman-teman sebaya mereka. Dari pendapat Hallahan, dapat ditegaskan bahwa banyak ahli yang percaya bahwa ketika terdapat tingkat ketercapaian di bawah kriteria yang diharapkan, hal itu tidak disebabkan oleh kebutaan itu sendiri, tetapi juga karena harapan yang rendah atau kurangnya pemahaman atau keterampilan pada Braille tata tulis Braille. Dengan demikian karakteristik kemampuan akademik anak tunanetra tidak selalu di bawah rata-rata kemampuan anak normal, namun hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kurangnya keterampilan dalam membaca dan menulis Braille. e. Penyesuaian Sosial Kemampuan anak tunanetra dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial mereka berbeda-beda, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek. Menurut Erin dalam Hallahan, dkk 2009: 391, kemampuan penyesuaian sosial anak tunanetra yakni sebagai berikut. Most people with visual impairment are socially well adjusted. However, the road to social adjustment for people with visual impairment may be a bit more difficult for two reaons. First, social interactions among the sighted are often based on subtle cues, many of which are visual. Second, sighted society is often uncomfortable in its interactions with those who are visually impaired. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, sebagian besar individu dengan gangguan penglihatan memiliki kemampuan yang cukup baik dalam 18 menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Namun, langkah yang sebaiknya diambil untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial untuk individu dengan hambatan penglihatan lebih sulit karena dua alasan. Alasan pertama, interaksi sosial pada individu mampu lihat berbasis pada isyarat-isyarat tertentu. Kedua, individu mampu lihat sering tidak nyaman dalam berinteraksi dengan individu yang mengalami hambatan penglihatan. Jadi karakteristik kemampuan penyesuaian sosial anak tunanetra pada dasarnya cukup baik, namun karena kurangnya informasi visual mengakibatkan anak tunanetra kesulitan dalam mengekspresikan dan menangkap emosi serta perilaku lawan bicara mereka yang tersirat dalam ekspresi visual. Widdjajantin dan Hitipeuw 1996: 14-16 juga menyampaikan karakteristik anak tunanetra berdasarkan perkembangan intelektual, perkembangan indra yang masih ada, perkembangan bahasa, perkembangan sosialisasi, serta keterbatasan dalam orientasi dan mobilitas. Kajian lebih lanjut adalah sebagai berikut. a. Perkembangan Intelektual Sejalan dengan pendalapat Hallahan, dkk, Widdjajantin dan Hitipeuw 1996: 14 menyampaikan bahwa, “...perkembangan intelegensi anak tunanetra akan tergantung pada pengalaman-pengalaman hidup yang mereka alami”. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh anak, semakin berkembang pula kemampuan intelektual yang dimiliki oleh anak. Ini berarti bahwa perkembangan intelektual pada anak 19 tunanetra akan terus berkembang apabila mereka terus belajar untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang mampu meningkatkan kemampuan intelektual mereka. b. Perkembangan Indra yang Masih Ada Widdjajantin dan Hitipeuw 1996: 15 menyampaikan bahwa, “Melalui latihan-latihan secara rutin dan teratur secara terarah, maka sisa indra yang masih mereka miliki dapat berfungsi lebih dari orang awas yaitu lebih peka, karena mereka dapat berkonsentrasi pada apa yang sedang dikerjakan”. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, melalui indra-indra selain indra penglihatan seperti perabaan, pendengaran, penciuman, dan indra pencecap, anak tunanetra dapat memperoleh informasi, melakukan sosialisasi dan melakukan tugas- tugasnya dengan baik. Anak tunanetra umumnya memiliki kemampuan dalam berkonsentrasi pada kegiatan yang dilakukan yang terbentuk karena mereka tidak dapat melihat, sehingga mendukung kepekaan indra-indra yang masih mereka miliki. c. Perkembangan Bahasa Perkembangan bahasa anak tunanetra dengan anak awas memiliki perbedaan. “Perbedaan dengan anak awas adalah pengembangan konsep bahasa dan penambahan kosa kata. Apabila anak awas perkembangan bahasanya dapat melalui melihat atau visual, maka tunanetra melalui perabaan” Widdjajantin dan Hitipeuw, 1996: 15. Perbedaan inilah yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas bahasa 20 yang dimiliki oleh anak tunanetra.Selain dari perabaan, anak tunanetra juga dapat memperoleh informasi bahasa melalui membaca dan mendengar. Dari informasi tersebut, mereka dapat meniru gaya bicara dan vokal dari orang-orang di sekitarnya. d. Perkembangan Sosialisasi Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra mempengaruhi kemampuan anak dalam melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Widdjajantin dan Hitipeuw 1996: 15 menyampaikan bahwa, “...hilangnya penglihatan dapat mengakibatkan sosialisasi terhadap lingkungan sangat jelek. Hal ini terjadi karena ia tidak dapat menyelaraskan tindakannya pada situasi lingkungan saat itu”. Pendapat tersebut memperjelas bahwa, hambatan penglihatan yang dimiliki oleh anak tunanetra akan berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk melakukan sosialisasi dalam lingkungannya. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka tidak dapat mengidentifikasi kondisi lingkungan, sehingga tidak dapat memberikan respon yang sesuai dengan kondisi tersebut. e. Keterbatasan dalam Orientasi dan Mobilitas Keterbatasan dalam kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tuna netra menurut Widdjajantin dan Hitipeuw 1996: 16, “Hilangnya kemampuan penglihatan akan mengakibatkan kemampuan bergeraknya menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan pengalamannya mengenal lingkungan terutama 21 lingkungan baru”. Dari penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa, adanya hambatan penglihatan pada anak tunanetra, mengakibatkan anak tunanetra sulit berpindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Keterbatasan tersebut menuntut anak tunanetra untuk menggunakan indra-indra yang masih berfungsi untuk mengenali lingkungannya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra memiliki kemampuan intelektual yang hampir sama dengan anak normal. Mereka dapat memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, normal, maupun di bawah rata-rata. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan penggunaan indra-indra yang masih berfungsi dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh anak. Kemampuan ini mempengaruhi kemampuan akademik pada anak tunanetra, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, maka kemungkinan besar dapat memberikan dukungan pada kemampuan akademiknya. Kemampuan sosial anak tunanetra dipengaruhi oleh kemampuan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Hambatan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas berpengaruh pada kemampuan anak dalam melakukan sosialisasi dengan lingkungannya.

3. Keterbatasan Anak Tunanetra

Hosni 1995: 29-31 menyampaikan bahwa keterbatasan anak tunanetra terdiri dari 3 hal, yakni keterbatasan di dalam lingkup 22 keanekaragaman pengalaman, keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan keterbatasan dalam berpindah-pindah tempat mobilitas. a. Keterbatasan di dalam lingkup keanekaragaman pengalaman. Anak tunanetra biasanya memiliki keberagaman pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak tunanetra. Hosni 1995: 29, menyampaikan bahwa, “Keterbatasan indra di luar indra visual mengakibatkan adanya keterbatasan pengalaman yang sangat beranekaragam. Keterbatasan indra di luar mata dalam menerima informasi juga berakibat pada miskinnya konsep-konsep tentang diri, objek, dan lingkungan ”. Informasi visual memiliki sumbangan yang cukup besar pada pemerolehan informasi. Menurut Salim 2014: 1, “Dari lima indera yang kita punyai, indera penglihatan mempunyai peran sebanyak 83 bagi seseorang melaksanakan kemampuannya...”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa, walaupun anak tunanetra memaksimalkan penggunaan indra-indra yang masih berfungsi, informasi yang mereka peroleh hanya sekitar 17, sehingga mereka tetap memperoleh pengalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. b. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hosni 1995: 30, menjelaskan tentang keterbatasan anak tunanetra dalam berinteraksi dengan lingkungannya sebagai berikut: “Tunanetra sangat miskin dalam konsep, bahkan untuk menguasai konsep tentang dirinya diperlukan suatu bimbingan. ” Dengan demikian maka ia akan mengalami kesulitan untuk membawa dirinya memasuki lingkungan. 23 Pendapat tersebut menjelaskan, bahwa anak tunanetra mengalami hambatan dalam pemahaman konsep-konsep dasar, sedangkan untuk berinteraksi dengan lingkungan, seseorang membutuhkan konsep-konsep dasar yang dapat membantu mereka dalam memahami dan memberikan gambaran awal tentang lingkungan. c. Keterbatasan mobilitas. Keterbatasan mobilitas atau berpindah-pindah tempat berdampak pada kemampuan seseorang dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Hosni 1995: 30 menyampaikan sebagai berikut. Keanekaragaman informasi dan keanekaragaman pengalaman akan diperoleh bila seseorang dapat bepergian dengan bebas dan mandiri. Untuk terciptanya interaksi dengan lingkungan fisik maupun sosial dibutuhkan adanya kemampuan berpindah-pindah tempat. Semakin mampu dan terampil seorang tunanetra melakukan mobilitas semakin berkurang hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Keterbatasan seseorang dalam melakukan mobilitas menjadi indikasi kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Semakin baik kemampuan seseorang tersebut dalam melakukan mobilitas, maka semakin baik pula kemampuannya dalam melakukan interaksi dengan lingkungan termasuk berkomunikasi dengan sesama serta melakukan sosialisasi. Anak tunanetra memiliki hambatan dalam melakukan mobilitas, untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berinteraksi, perlu adanya usaha dari lingkungan untuk memberikan layanan serta latihan yang sistematis. Menurut Lowenfield dalam Sunanto 2005: 47, kehilangan penglihatan pada anak tunanetra berakibat pada 3 keterbatasan, yakni 24 variasi dan jenis pengalaman kognisi, kemampuan untuk bergerak dalam lingkungannya orientasi dan mobilitas, dan keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan emosi. Keterbatasan pada jenis dan variasi pengalaman dikaitkan dengan kemampuan kognisi anak tunanetra. Lebih lanjut Sunanto 2005: 47, menyampaikan bahwa anak normal menggunakan indra penglihatan untuk keperluan kognisi, sedangkan anak tunanetra menggantikan fungsi penglihatan mereka dengan menggunakan taktil perabaan. Perbedaan kognisi antara anak tunanetra dan anak awas dipengaruhi oleh dua faktor, yakni tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan tersebut. Keterbatasan anak tunanetra terhadap kemampuan sosial dan emosi dipengaruhi pula oleh kemampuan kognisi, bahasa, serta kemampuan dalam orientasi dan mobilitas. Aspek-aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain, jadi apabila salah satu aspek tersebut tidak berkembang dengan baik, akan berpengaruh pula pada aspek-aspek yang lain Sunanto, 2005: 54. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, perkembangan aspek satu dengan yang lain saling berkesinambungan. Perkembangan yang baik pada salah satu aspek, akan berdampak baik pula pada aspek perkembangan yang lain, begitu pula sebaliknya, sehingga masing-masing aspek tidak berdiri sendiri.

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK SISWA TUNANETRA KELAS VI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 16 173

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PRAKTIK SISWA TUNANETRA KELAS III SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 1 212

KEEFEKTIFAN METODE PERMAINAN DOMINO BRAILLE TERHADAP KEMAMPUAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SISWA TUNANETRA KELAS 1 DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

7 32 165

i EFEKTIVITAS PENERAPAN METODE MULTISENSORI TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN TULISAN AWAS PADA ANAK TUNANETRA LOW VISION KELAS I SDLB DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 16 267

MENINGKATKAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA SISWA TUNANETRA KELAS 2 SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 4 159

PENERAPAN METODE BAGIAN DAN METODE KESELURUHAN (PART METHOD AND WHOLE METHOD) DALAM PEMBELAJARAN PENJAS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONSEP GERAK ANAK TUNANETRA KELAS IV DI SLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

2 4 287

EFEKTIVITAS PENERAPAN DIKTAT BRAILLE TENTANG TEKNIK MELAWAT DENGAN TONGKAT TERHADAP KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS SISWA TUNANETRA KELAS V DI SLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 4 235

PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PERKALIAN MELALUI METODE JARIMATIKA PADA ANAK TUNANETRA KELAS VI AKSELERASI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

9 134 241

PENINGKATAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS ANAK TUNANETRA KELAS V DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA.

0 2 221

Pencapaian Kompetensi Guru Anak Tunanetra di SLb/A Yaketunis Yogyakarta

0 0 3