62 Ada 2 aspek penting yang mempengaruhi kemampuan orientasi dan
mobilitas pada anak tunanetra, yakni kesiapan mental dan kesiapan fisik. Menurut Suwandi dan Munawar 2013: 8, “Apabila mental anak baik,
maka ia akan cepat menerima informasi yang dapat digunakan dalam orientasi”. Semakin baik mental anak, maka anak tersebut dapat dengan
cepat menangkap informasi yang dapat digunakan dalam berorientasi. Demikian juga dengan kesiapan fisik, Suwandi dan Munawar 2013: 8
juga menyampaikan b ahwa, “Fisik anak sangat diperlukan dalam
melakukan mobilitas. Anak yang mengalami kecacatan lain selain cacat netra akan mengalami kesulitan dalam bergerak di lingkungannya”. Dari
penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa, kesiapan fisik sangat penting dalam meningkatkan kemampuan mobilitas anak tunanetra. Anak tunanetra
tanpa disertai kecacatan lain cenderung memiliki potensi yang tinggi dalam peningkatan kemampuan orientasi dan mobilitas dibandingkan dengan anak
tunanetra yang disertai dengan kecacatan yang lain. Dari kajian tersebut dapat ditegaskan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra yakni motivasi yang diberikan, postur tubuh yang baik, kelenturan tubuh,
kekuatan tubuh, kesiapan mental, kesiapan fisik, waktu terjadi ketunanetraan, dan, sensitivitas indra-indra yang masih berfungsi. Faktor
lain yang dapat mempengaruhi kemampuan orientasi dan mobilitas yakni tingkat ketunanetraan yang dimiliki dan layanan yang diberikan. Faktor-
63 faktor tersebut dipertimbangkan dalam proses pembelajaran agar guru
dapat memaksimalkan proses pembelajaran orientasi dan mobilitas.
D. Lingkungan Belajar Orientasi dan Mobilitas Melalui Metode Bermain
Penggunaan metode bermain yang dilakukan di luar ruangan sebaiknya mempertimbangkan pemilihan lokasi yang tepat dan aman bagi
anak. Lokasi yang dapat digunakan untuk bermain bagi anak yakni bisa di lingkungan dalam sekolah ataupun luar sekolah. Pada penelitian ini, metode
bermain dilakukan di dalam dan luar ruangan, sehingga guru perlu lebih selektif dalam menentukan metode bermain yang dilakukan di dalam maupun
di luar ruangan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi adalah sebagai berikut.
1. Di dalam lingkungan sekolah
a. Urgensi nilai lebih.
Vera 2010: 83 , menyampaikan bahwa, “Pembelajaran yang dilakukan
di luar harus memiliki nilai lebih dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan di da
lam kelas”. Apabila pembelajaran yang dilakukan di luar kelas tidak memiliki nilai lebih, maka sebaiknya pembelajaran tetap
dilakukan di dalam kelas. Pada pembelajaran orientasi dan mobilitas, pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di luar ruangan memiliki nilai
lebih terutama untuk memperkenalkan anak tunanetra pada lingkungan sekolah, sehingga dapat berdampak positif terhadap perkembangan
kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra.
64 b.
Tidak mengganggu kegiatan belajar di kelas lain. Vera 2010: 83 juga menyampaikan bahwa, “Kegiatan belajar yang
dilakukan sebaiknya diupayakan untuk tidak mengganggu kegiatan belajar di kelas lain. Hal ini perlu dipertimbangkan karena tidak semua
kelas melakukan kegiatan belajar mengajar di luar kelas”. Kegiatan
belajar di luar kelas juga perlu mempertimbangkan aktivitas pembelajaran di kelas lain. Apabila kegiatan tersebut terlalu berisik atau
menggunakan alat bermain yang dapat mengganggu aktivitas belajar di kelas lain, sebaiknya guru dapat memilih lokasi yang memiliki jarak
cukup jauh dari kelas-kelas yang lain. c.
Representatif.
Representatif dalam hal ini dimaksudkan bahwa, “Kegiatan belajar
mengajar diatur agar menyenangkan dan menambah konsentrasi siswa”
Vera, 2010: 83. Pendapat tersebut berarti bahwa kegiatan bermain di luar kelas sebaiknya bersifat menyenangkan dan dapat meningkatkan
konsentrasi siswa. Hal ini dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan lokasi kegiatan yang dapat meminimalisir gangguan dan tetap aman
untuk anak.
2. Di luar lingkungan sekolah
Kriteria pemilihan lokasi bermain menurut Vera 2010: 92, yakni sebagai berikut.
Kegiatan bermain yang dilakukan di luar lingkungan sekolah harus sesuai dengan kurikulum, mudah dijangkau, tidak membutuhkan biaya
mahal, memiliki potensi untuk digunakan pada berbagai materi, dan tidak asing bagi guru. Kriteria tempat yang dapat digunakan sebagai
65 tempat bermain yakni ukuran sesuai dengan jumlah siswa,
keanekaragaman objek pembelajaran mencukupi, aksesibilitas memadai, aman, dan memberikan kebebasan kepada anak.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, kegiatan
bermain yang dilakukan di luar kelas tidak boleh dilaksanakan tanpa persiapan dan pertimbangan yang matang. Aktivitas tersebut sebaiknya
dipersiapkan dengan mempertimbangkan kurikulum, biaya, dan materi yang disampaikan dalam permainan. Pemilihan tempat bermain juga perlu
mempertimbangkan jumlah anak yang menjadi peserta bermain, keanekaragaman objek, aksesibilitas, keamanan, dan tetap memberikan
kebebasan kepada anak untuk bereksplorasi.
E. Langkah-Langkah Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas dengan Metode
Bermain
Langkah-langkah pembelajaran orientasi dan mobilitas di luar kelas yang berupa aktivitas bermain Scavenger Hunt, terdiri dari 3 langkah, yakni
persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang tahap-tahap tersebut.
1. Mempersiapkan permainan
Sebelum pelaksanaan pembelajaran, guru sebaiknya mempersiapkan terlebih dahulu permainan yang dilakukan. Vera 2010: 103,
menyampaikan tentang beberapa hal yang perlu dipersiapkan yakni “...menentukan topik, merumuskan tujuan pembelajaran khusus,
mempersiapkan alat dan bahan permainan yang dibutuhkan, dan menyusun petunjuk perlaksanaan permainan”. Beberapa hal tersebut perlu
66 dipersiapkan dengan matang agar pelaksanaannya sesuai dengan tujuan
akhir. Pelaksanaan persiapan permainan dalam penerapannya untuk anak tunanetra hampir sama dengan penjelasan tersebut di atas. Penentuan topik,
tujuan, alat, serta bahan disesuaikan dengan kemampuan anak tunanetra, sedangkan petunjuk pelaksanaan permainan dijelaskan secara lisan dan
dengan bimbingan secara individual. 2.
Pelaksanaan Pelaksanaan permainan sebaiknya melibatkan guru secara langsung.
“Pelaksanaan permainan diawali dengan penjelasan guru mengenai maksud dan tujuan permainan, kemudian membagi siswa atas beberapa kelompok,
pelaksanaa n, dan evaluasi hasil permainan” Vera , 2010: 103. Apabila
permainan bersifat soliter, maka guru bisa langsung menjelaskan permainan dan memberikan contoh pelaksanaan permainan. Dalam permainan soliter,
anak dapat bermain dengan dibantu guru guru mengarahkan langsung secara praktik. Pelaksanaan permainan untuk anak tunanetra dilakukan
dengan bimbingan terarah atau dapat juga diberikan contoh konkrit sehingga anak tunanetra tidak mengalami kesulitan.
Penelitian ini menggunakan metode bermain Scavenger Hunt yang dimodifikasi berdasarkan kemampuan anak tunanetra. Berikut ini penjelasan
lebih lanjut tentang langkah permainan yang dilakukan. a.
Permainan dimulai dengan penjelasan dari guru terkait aktivitas yang perlu dilakukan oleh anak, yakni mencari 3 barang yang disukai oleh