Teknik Orientasi dan Mobilitas

44 Hadikasma 1981: 54 juga menyampaikan sebagai berikut. “Trailing adalah kegiatan dengan menggunakan punggung jari manis dan kelingking untuk menyusuri permukaan yang datar, seperti dinding, meja, lemari, dan sebagainya untuk menentukan posisi diri, mengetahui sesuatu tempat dan untuk menentukan arah yang sejajar dengan benda-benda yang di-trailing. ” Dari kedua pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa teknik trailing merupakan teknik yang digunakan dengan menelusuri permukaan benda-benda datar di sekitar mereka. Teknik ini berfungsi untuk membantu anak tunanetra dalam berjalan dan menemukan tempat atau benda yang sejajar atau searah dengan benda yang digunakan untuk trailing d. Teknik kombinasi menyilang atas atau bawah serta teknik menelusuri objek. Teknik ini merupakan teknik gabungan yang dapat digunakan sesuai dengan medan dan kondisi tempat yang dilewati. Ketiga teknik dapat digunakan secara bergantian atau menggunakan 2 teknik sekaligus. e. Teknik menentukan arah direction taking. Teknik direction taking dilakukan dengan menggunakan tumit, telapak kaki, belakang tubuh maupun telapak tangan untuk menentukan arah yang akan dituju Hadikasma, 1981: 55. Teknik ini hampir mirip dengan teknik trailing, perbedaannya yakni trailing menggunakan punggung jari manis dan kelingking untuk menelusur. Teknik direction taking menggunakan tumit, telapak kaki, belakang tubuh dan telapak tangan untuk mensejajarkan tubuh dengan benda 45 yang dijadikan sebagai media direction taking untuk menentukan arah. f. Teknik mencari benda jatuh dropped objects. Teknik mencari benda jatuh ini penting dipelajari oleh seorang tunanetra, sehingga mereka tidak membutuhkan bantuan apabila ada benda-benda mereka yang terjatuh. Berikut ini langkah-langkah penggunaan teknik mencari benda jatuh menurut Hosni 1995: 222. Sebelum melakukan pencarian benda yang jatuh, anak tunanetra harus mendengarkan terlebih dahulu suara benda yang jatuh, anak tunanetra harus mendengarkan terlebih dahulu suara benda yang jatuh tersebut sampai suara terakhir. Setelah itu anak tunanetra menghadapkan badannya ke arah suara terakhir dari benda jatuh tersebut. Langkahkan kaki tunanetra mendekati suara terakhir dari benda yang jatuh, dan berjongkoklah untuk memulai mencari benda yang jatuh. Dalam teknik mencari hendaknya tangan meraba permukaan lantai yang dimulai dari dekat kaki sampai melebar di sekitar kaki. Apabila belum ketemu hendaknya anak tunanetra melangkah satu langkah ke depan dan mulai mencari kembali. Untuk menghindari benturan kepala dengan objek sewaktu jongkok, maka ada dua cara dalam berjongkok, yakni teknik jonglok tegak lurus dan teknik jongkok dengan membungkuk. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa teknik mencari benda jatuh berkaitan dengan kemampuan pendengaran dan kemampuan anak tunanetra dalam menentukan sumber suara. Sebelum mencari benda yang jatuh, anak tunanetra sebaiknya mendengarkan suara jatuhnya benda tersebut sampai benda benar- benar berhenti. Setelah itu, anak baru mencari dengan meraba permukaan lantai dimulai dari daerah paling dekat dengan tempat yang kemungkinan menjadi tempat jatuhnya benda, kemudian melebar di tempat sekitarnya. 46 Teknik melawat mandiri dengan pendamping awas “sighted guide travel techniques ”, menurut Hadikasma 1981: 44 yakni sebagai berikut. Dengan teknik pendamping awas anak tunanetra berada pada posisi dimana anak tunanetra dapat mengikuti pendamping dan merasakan gerakan-gerakannya, sehingga anak tunanetra dapat mengetahui keadaaan permukaan tempat perjalanan, naik atau turun, melewati jalan sempit, melewati halaman atau berhenti. Anak tunanetra akan mengikuti dengan tidak mengganggu dan tergantung, sehingga pendamping tidak usah memberitahukan jika melewati keadaan seperti tersebut di atas. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan teknik ini tergantung pada koordinasi dengan pendamping awas. Semua arah perjalanan dipandu oleh pendamping awas, sehingga anak tunanetra hanya perlu mengikuti pendamping awas tersebut. Teknik melawat dengan tongkat panjang “longcane travel techniques” menurut Hadikasma 1981: 65 meliputi teknik di dalam ruangan dan di luar ruangan. Tujuan pemberian latihan orientasi dan mobilitas dengan teknik ini yakni “...agar tunanetra dapat memperoleh kecakapan, keyakinan dan gerakan yang luwes dalam menggunakan tongkat, sehingga anak mampu bergerak mandiri dalam segala situasi dan kondisi”. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa teknik melawat dengan tongkat panjang ditujukan untuk anak tunanetra yang sudah menguasai teknik melawat mandiri tanpa menggunakan tongkat. Hal ini dikarenakan teknik melawat mandiri dengan tongkat panjang ditujukan untuk pengembangan kemampuan orientasi dan mobilitas dalam rangka perjalanan di luar lingkungan yang sudah dikenal oleh anak tuannetra. 47 Teknik melawat dengan anjing penuntun “guide dog travel techniques ”, menurut Hadikasma 1981: 74, yakni “Penyandang tunanetra yang bepergian dengan anjing penuntun sama halnya dengan yang memakai tongkat, anak tunanetra juga harus mempunyai orientasi yang baik, sehingga dapat memberi perintah kepada anjingnya untuk menempuh suatu jalan yang dikehendaki...”. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, penggunaan teknik melawat mandiri dengan anjing penuntun sebaiknya dilakukan dengan anjing yang sudah terlatih dan penyandang tunanetra juga perlu mempunyai kemampuan orientasi yang baik. Teknik melawat dengan alat ban tu elektronik “electronic aid travel techniques , menurut Hadikasma 1981: 73 dapat menggunakan alat bantu seperti sonicguide, sonic torch, obstacle detector, mowat sonar sensor, pathsounder, laser cane. Penggunaan alat-alat tersebut hampir sama dengan penggunaan tongkat, namun dengan menggunakan alat-alat elektronik tersebut akan mempermudah pelawatan anak tunanetra, karena informasi yang diperoleh dari alat tersebut lebih banyak dibandingkan dengan informasi yang diperoleh apabila melawat dengan tongkat panjang.

3. Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas

Komponen-komponen pembelajaran orientasi dan mobilitas sama dengan komponen pembelajaran pada mata pelajaran yang lain yakni meliputi tujuan, materi, metode, media dan evaluasi. 48 a. Tujuan Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas Tujuan pembelajaran tujuan intruksional menurut Suryosubroto 2002: 157 adalah salah satu aspek pembelajaran yang pertama kali dirumuskan. “Sebab tanpa adanya tujuan yang jelas, proses interaksi ini berfungsi untuk menetapkan kemanakah tujuan pengajaran itu diarahkan”. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa dalam proses pembelajaran, tujuan perlu ditetapkan terlebih dahulu. Sama halnya pada pembelajaran orientasi dan mobilitas, penetapan tujuan dapat menjadi acuan dasar dan pedoman agar pelaksanaan pembelajaran fokus pada aspek tertentu. Tujuan pada penelitian ini yakni untuk menguji pengaruh penggunaan metode bermain terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra. b. Materi Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas Komponen kedu a yakni materi. “Setelah tujuan intruksional dirumuskan, harus diikuti langkah pemilihan bahan pengajaran yang sesuai dengan kondisi tingkatan murid yang akan menerima pelajaran” Suryosubroto, 2002: 157. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa pemilihan materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa tunanetra. Demikian pula dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas. Guru perlu mengamati kemampuan awal yang dimiliki oleh anak tunanetra agar anak tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran. Materi yang digunakan pada penelitian ini yakni teknik-teknik melawat mandiri 49 terutama teknik trailing, menentukan arah direction taking, dan teknik pendukung yakni teknik upper hand dan lower hand. c. Metode Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas Komponen ketiga yakni metode pembelajaran. Menurut Suryosubroto 2002: 157, “...metode merupakan cara yang harus dipilih oleh guru untuk membantu proses penyampaian materi”. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran orientasi dan mobilitas, yakni metode drill atau metode karya wisata. Pada penelitian ini, metode yang digunakan yakni metode bermain. d. Media Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas Komponen keempat, yakni media pembelajaran. Media atau alat pembelajaran mempunyai fungsi yang sama dengan metode pembelajaran yakni untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Suryosubroto, 2002: 157. Media yang digunakan dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas dapat berupa tongkat panjang, benda-benda di sekitar, serta alat-alat elekstronik seperti sonicguide, sonic tarch, obstacle detector, mowat sonar sensor, pathsounder, laser cane, dll. Pendamping awas dan anjing penuntun juga termasuk dalam kategori alat atau media pembelajaran orientasi dan mobilitas. e. Evaluasi Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas Komponen kelima yakni evaluasi. Menurut Suryosubroto 2002: 160, “Evaluasi merupakan barometer untuk mengukur tercapainya proses interaksi”. Evaluasi pada pembelajaran orientasi dan mobilitas 50 biasanya dilakukan dengan pengamatan dan tes kinerja pada kemampuan orientasi dan mobilitas berdasarkan pada tujuan awal yang sudah ditetapkan. Evaluasi menurut Djamarah 2005: 245, adalah “...memberikan pertimbangan atau harga nilai berdasarkan kriteria tertentu untuk mendapatkan evaluasi yang meyakinkan dan objektif dimulai dari informasi-informa si kuantitatif dan kualitatif”. Evaluasi atau penilaian merupakan “...proses memberikan atau menentukan terhadap hasil belajar tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu...” Jihad dan Haris, 2010: 55. Menurut Hosni 1995: 86, pelaksanaan evaluasi harus berdasarkan kriteria yang jelas. Kriteria tersebut digunakan sebagai syarat untuk menentukan tingkat keberhasilan dari aktivitas yang dilakukan. Evaluasi kemampuan orientasi dan mobilitas ditekankan dalam bentuk evaluasi kinerja. Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan evaluasi pada kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra dilakukan dengan melihat langsung pada saat anak melakukan aktivitas kegiatan. Keberhasilan dapat ditetapkan apabila anak dapat mempraktikkan keterampilan orientasi dan mobilitas dalam kondisi yang sebenarnya. Ada beberapa teknik evaluasi yang dapat digunakan dalam menilai kemampuan sesorang. Menurut Arikunto 2005: 26, ada dua teknik evaluasi yang dapat digunakan yakni teknik nontes dan teknik tes.

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK SISWA TUNANETRA KELAS VI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 16 173

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PRAKTIK SISWA TUNANETRA KELAS III SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 1 212

KEEFEKTIFAN METODE PERMAINAN DOMINO BRAILLE TERHADAP KEMAMPUAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SISWA TUNANETRA KELAS 1 DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

7 32 165

i EFEKTIVITAS PENERAPAN METODE MULTISENSORI TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN TULISAN AWAS PADA ANAK TUNANETRA LOW VISION KELAS I SDLB DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 16 267

MENINGKATKAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA SISWA TUNANETRA KELAS 2 SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 4 159

PENERAPAN METODE BAGIAN DAN METODE KESELURUHAN (PART METHOD AND WHOLE METHOD) DALAM PEMBELAJARAN PENJAS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONSEP GERAK ANAK TUNANETRA KELAS IV DI SLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

2 4 287

EFEKTIVITAS PENERAPAN DIKTAT BRAILLE TENTANG TEKNIK MELAWAT DENGAN TONGKAT TERHADAP KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS SISWA TUNANETRA KELAS V DI SLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 4 235

PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PERKALIAN MELALUI METODE JARIMATIKA PADA ANAK TUNANETRA KELAS VI AKSELERASI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

9 134 241

PENINGKATAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS ANAK TUNANETRA KELAS V DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA.

0 2 221

Pencapaian Kompetensi Guru Anak Tunanetra di SLb/A Yaketunis Yogyakarta

0 0 3