117 tidak praktis, terbelakang dan berbagai alasan lain. Faktor penyebabnya, diduga
generasi muda banyak dipengaruhi oleh informasi global yang menganggap obat kedawung sudah kuno.
Pemikiran dan temuan di atas ternyata bahwa keberlanjutan awal evolusi pertanian “masyarakat hutan dan “masyarakat kecil” dalam era globalisasi telah
mengalami intervensi. Hal ini “menimbulkan gangguan” untuk tumbuh dan berkembangnya pengetahuan lokal yang belum mudah dapat bersambung dengan
nilai-nilai moderen dan global, bahkan sering nilai-nilai global terputus dengan nilai-nilai pengetahuan lokal dan atau tradisional. Pengetahuan moderen yang
berkembang di masyarakat Indonesia sekarang ini banyak terputus dari jatidiri dan sumberdaya alam lokal sekitarnya. Seharusnya adalah ideal sekali apabila evolusi
pertanian dari “masyarakat hutan” yang di dalamnya mengandung muatan nilai- nilai pengetahuan lokal dan atau tradisional berlanjut dan bersambung ke era
Global yang moderen, sehingga keberlanjutan keanekaragaman hayati, kedirian dan kekhasan setiap daerah tetap terpelihara, terajut dan terbangun sebagai
prasyarat terwujudnya kemandirian bangsa.
2. Keanekaragaman hayati yang tinggi
Tingginya keanekaragaman hayati hutan hujan tropika di kawasan hutan TNMB, menjadikan banyak pilihan bagi masyarakat pendarung untuk
memanfaatkannya. Faktor ini diduga akan dapat mempengaruhi dan melonggarkan daya juang dan semangat masyarakat pendarung untuk menggali,
mengembangkan dan memelihara pengetahuan lokal mereka tentang nilai tambah kedawung. Hal ini berbeda dengan masyarakat tradisional yang hidup di hutan
sub tropika di Afrika Barat, dimana keanekaragaman hayati tumbuhannya sangat terbatas, sehingga faktor ini sangat mempengaruhi budaya, sikap dan perilaku
masyarakatnya untuk bertahan hidup, terutama untuk mempertahankan, menggali dan mengembangkan pengetahuan lokal mereka terhadap sumberdaya hayati
tumbuhan nere Parkia biglobosa yang menjadi salah satu komoditi ekonomi andalan bagi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lama waktu dan frekuensi
interaksi masyarakat pendarung di TNMB dengan kedawung efektifnya berkisar antara 1 sampai 2 bulan setiap tahunnya, yaitu pada saat kedawung sudah berbuah
118 masak siap panen, terutama pada bulan September dan Oktober. Hal ini juga
diduga dapat mempengaruhi terpecahnya konsentarasi belajar masyarakat pendarung di alam.
Selain tumbuhan obat kedawung, masyarakat pendarung juga banyak mengambil buah kemiri Aleurites moluccana, buah pakem Pangium edule,
buah kemukus Piper cubeba, buah joho lawe Terminalia balerica, buah joho keling Vitex quinata, buah kapulaga Amomum cardonomum, buah cabe jawa
Piper retrofractum, buah serawu Piper canimum, buah bendoh Entada phaseoloides, kulit batang pule Alstonia scholaris, buah arjasa Agenandra
javanica dan buah pinang Areca catechu. Masyarakat pendarung juga umumnya mengambil madu hutan. Dengan beranekaragamnya hasil hutan non
kayu yang dipungut masyarakat setiap tahun seperti disebut di atas, juga dapat memecahkan konsentrasi dan perhatian masyarakat pendarung terhadap
kedawung. Pengetahuan tradisional masyarakat di Afrika tentang manfaat dan
pengolahan produk kedawung jauh lebih lengkap, lebih berkembang dan lebih maju dibanding masyarakat TNMB. Hal ini dapat dipahami karena perbedaan
budaya dan adanya keanekaragaman tumbuhan di ekosistem savana di Afrika yang jauh lebih sedikit dibanding ekosistem hutan hujan tropika TNMB.
Masyarakat Afrika tidak punya banyak pilihan spesies bermanfaat lainnya, sedangkan yang dimiliki masyarakat TNMB memiliki banyak pilihan, seperti
yang telah diungkapkan di atas. Dapat dipastikan proses trial and error terhadap spesies kedawung ini pada masyarakat Afrika Barat jauh lebih intensif terjadi dan
dalam waktu panjang. Masyarakat Afrika Barat memandang tumbuhan pohon sejenis kedawung
Parkia biglobosa merupakan pohon yang dianggap sakral. Ada kaitan yang erat antara kedawung dengan budaya masyarakat lokal di Afrika Barat, contohnya
pohon kedawung biasa digunakan untuk kegiatan upacara perkawinan, upacara menyambut kelahiran bayi, upacara sunatan, upacara kematian, bahan untuk
hadiah gift, upacara agama sehubungan dengan informasi pertanian. Misalnya di Gambia : kalau buahnya tergantung dipercabangan yang rendah, berarti kurang
menguntungkan pertanian, yaitu menunjukkan kurang hujan. Sebaliknya kalau
119 buahnya tergantung tinggi memberi sinyal baik untuk kegiatan pertanian yang
menunjukkan banyak hujan. Hal ini dapat dimaklumi karena Afrika merupakan daerah kering Quedraogo, 1995 dan Hall, et al., 1997. Budaya seperti ini, bagi
orang Indonesia belum ada yang melaporkan secara tertulis, apakah budaya ini belum pernah ada atau memang sudah pernah ada, lalu terjadi ketidak-berlanjutan
pengetahuan lokal dan tradisional dalam masyarakat Indonesia ?
3. Intervensi dari kebijakan pengelolaan