145 diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan
sumberdaya hutan. 2 PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51, yaitu masing-masing pada
ayat 1 butir d. kegiatan penunjang budidaya ditambahkan dengan kata-kata : pemanenan secara lestari hasil hutan non-kayu, khusus untuk masyarakat
lokal yang unik diketahui secara pasti sudah lama hidup berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan.
3 Peraturan Menhut No. : P.19Menhut-II2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Substansi peraturan
menteri kehutanan ini perlu direvisi secara menyeluruh, terutama yang berkaitan stimulus manfaat yang berkaitan langsung bagi masyarakat kecil
yang hidup di habitat sekitar kawasan hutan taman nasional. 4 Peraturan Menhut No.: P.56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional . Sebaiknya kegiatan pemanfaatan tradisional sumberdaya alam hayati oleh masyarakat kecil dan unik yang telah hidup turun temurun di
dalam atau di sekitar taman nasional, tidak dibatasi dalam bentuk wilayah atau zona tradisional. Tetapi yang perlu dibuat batasan dan definisi yang jelas
adalah terhadap spesies, bentuk, sifat dan intensitas kegiatan pemanfaatan tradisional apa saja yang boleh dilakukan. Hal ini perlu dipertimbangkan
mengingat bukti-bukti empiris di lapangan, seperti contoh kasus kedawung bahwa ada hubungan yang bersifat positif antara masyarakat dengan
konservasi potensi sumberdaya hayati kedawung. Sehingga kurang relevan kalau pemanfaatan tradisional di batasi oleh wilayah atau areal tradisional
saja, karena ada kemungkinan penyebaran spesies yang menjadi kebutuhan masyarakat ada di berbagai zona taman nasional.
2. Aspek legalitas pendarung sebagai kelompok masyarakat “pelestari”
Stimulus setiap spesies atau unit suatu sumberdaya hayati itu misalnya kedawung adalah bersifat spesifik, sehingga stimulus itu juga ditujukan kepada
subjek atau masyarakat yang spesifik pula, bukan ditujukan kepada masyarakat umum. Suatu sinyal, baru menjadi informasi dan menjadi stimulus, apabila sinyal
146 tersebut ditangkap oleh subjek yang memang memahami sifat dan karakteristik
dari objek yang mengeluarkan sinyal tersebut. Stimulus kedawung seharusnya terutama ditujukan kepada masyarakat pendarung kedawung dan kepada
kelompok pengelola taman nasional yang bertugas untuk pengelola sumberadaya alam hayati
Masyarakat pendarung kedawung, merupakan masyarakat kecil sekitar hutan yang terbentuk alami secara turun temurun, kalau dibina sikap dan
perilakunya dengan kaedah “tri-stimulus amar konservasi”, maka mereka adalah aset pelaku aksi konservasi di lapangan. Pandangan negatif kepada masyarakat
pendarung, sebagai pelaku utama ancaman konservasi taman nasional tidaklah semuanya benar, bahkan sebaliknya telah ditunjukkan dengan kasus masyarakat
pendarung kedawung yang telah berlangsung lama, mereka berperan positif bagi konservasi sebagai penyebar utama biji di hutan alam, walaupun itu umumnya
mereka lakukan secara tidak sengaja. Kebijakan pengelolaan taman nasional hendaknya disempurnakan dengan
menjadikan masyarakat pendarung atau masyarakat hutan atau masyarakat lokal atau masyarakat kecil atau masyarakat tradisional sebagai subjek yang ikut
mengelola taman nasional . Sekaligus membangun akses kelompok masyarakat pendarung ini kepada sumberdaya alam hayati taman nasional. Terutama akses
kepada hasil hutan non-kayu dari spesies yang selama ini telah bertungkus lumut berinteraksi positif dengan masyarakat pendarung. Tentunya masyarakat
pendarung perlu dilakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas dengan membangun sikap dan perilaku tri-stimulus amar konservasi.
Kelompok masyarakat pendarung fungsikan sebagai kelompok masyarakat kecil yang paling bertanggungjawab dengan keberlanjutan konservasi
kedawung di TNMB. Pengelola TNMB hendaknya menetapkan aspek legal membership group dari pendarung dengan secara periodik melakukan pendataan
membership, pembinaan dan pengembangan program kepada membership- pendarung dengan berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi. Kembangkan
program berdasarkan konsep ini, bahkan harus sampai kepada persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh setiap individu pendarung dan secara periodik
harus dilakukan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas individu pendarung.
147 Membership-pendarung harus relatif tetap dan terdaftar baik, bahkan kalau
perlu menggunakan card-membership-pendarung, tetapi semua ini hendaknya diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat pendarung, pengelola TNMB dan
perguruan tinggi sebaiknya berfungsi sebagai fasilitator dan pembina. Berubahnya membership- group akan dapat pula mengubah sikap seseorang, akan
dapat berubah pula norma-norma yang ada dalam diri individu itu. Di masa lalu taman nasional sebagaimana didefinisikan oleh IUCN
merupakan kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera
mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi,
geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya. Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa
wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara secara keseluruhan hanya dapat dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak
menghuni atau jauh dari wilayah itu. Konsep ini ternyata banyak tidak relevan dengan pengalaman dan fakta yang terjadi di lapangan atau di dunia nyata.
Konservasi alam di Indonesia berupa “pengawetan dan perlindungan hutan” yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas
masyarakat hendaknya dirubah menjadi meningkatkan interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat berbasis konsep tri-stimulus amar konservasi.
Selama ini yang terjadi di kehidupan dunia nyata secara tidak disadari melepaskan “sistem nilai” kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal terhadap
hutan. Padahal “sistem nilai” hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun temurun sebagai aset, sumber dan bagian dari
kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya konservasi hutan itu sendiri.
Uraian di atas dapat diringkas bahwa perlu ditetapkan segera hak-hak masyarakat pendarung dengan definisi dan batasan yang jelas, yaitu meliputi : 1
hak akses 2 hak berpartisipasi untuk mengelola, 3 hak memanen, 4 hak memanfaatkan dan 5 hak menjual-membeli. Tentunya hak-hak ini dibatasi
hanya kepada sumberdaya alam hayati, bukan kepada kawasan. Hal ini sangat
148 sesuai dan sejalan dengan pernyataan Barber, Johnson dan Hafild 1999, bahwa
suatu masyarakat kecil yang memiliki sumberdaya dan lahan hutan setempat, mereka cenderung memelihara sumber daya tersebut dalam jangka panjang. Bagi
masyarakat yang tidak memiliki lahan, tetapi mempunyai kepentingan, seperti upah yang ditimbulkan oleh penebangan, taruhan mereka dalam keseluruhan
kesehatan hutan jangka panjang adalah kecil.
3. Pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung dan keanekaragam