40 Hutan pantai yang ada dapat ditemui pada daerah sekitar pantai Sukamade,
pantai Permisan, pantai Bandealit dan teluk Pisang. Persentase luas hutan pantai
sebesar 1.2. Hutan mangrove memiliki nilai persentase sebesar 0.4, hutan
mangrove dapat ditemui pada daerah sekitar muara sungai Bandealit dan daerah sekitar pantai Sukamade serta daerah sekitar pantai Rajegwesi.
Areal rehabilitasi merupakan areal yang semula didominasi oleh hutan jati yang dulunya ditanam Perhutani, pada tahun 1982 areal ini dimasukkan kedalam
kawasan taman nasional. Akibat penjarahan pada masa transisi pada tahun 1998- 1999, areal ini ditetapkan sebagai zona rehabilitasi. Areal rehabilitasi ini memiliki
persentase sebesar 7, yaitu seluas 4023 ha dan terletak pada 2 wilayah administratif, yaitu kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jember.
F. Potensi Fauna
Sampai saat ini di kawasan TNMB telah teridentifikasi fauna sebanyak 217 spesies, terdiri dari 92 spesies yang dilindungi dan 115 spesies yang tidak
dilindungi. Jumlah sebanyak itu meliputi 25 spesies mamalia 18 diantaranya dilindungi, 8 reptilia 6 spesies diantaranya dilindungi, dan 184 spesies burung
68 spesies diantaranya dilindungi. Kawasan hutan Meru Betiri merupakan habitat terakhir harimau jawa
Panthera tigris sondaica. Pada tahun 1976 oleh WWF dilaporkan bahwa harimau jawa yang ada di Meru Betiri tinggal 5 ekor atau paling banyak 6 ekor.
Perjumpaan secara langsung terhadap satwa ini tidak pernah ada, namun beberapa inventarisasi yang dilakukan menunjukkan adanya tanda-tanda harimau jawa di
kawasan ini yaitu berupa cakaran kuku dan kotoran Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004.
Spesies satwa lain yang potensial dan perlu mendapatkan perhatian khusus adalah populasi penyu yang sering bertelur di Pantai Sukamade. Pantai ini
merupakan habitat bertelur bagi penyu hijau Chelonia mydas dan penyu sisik Eretmochelys imbricata, serta spesies penyu lainnya seperti penyu slengkrah
Lepidodochelys olivacea dan penyu belimbing Dermochelys coriacea. Namun kondisi pantai Sukamade saat ini mengalami kerusakan yang parah akibat abrasi
41 air laut dan perubahan aliran sungai Sukamade yang menyisir garis pantai yang
biasa dipakai penyu untuk bertelur. Beberapa spesies satwa penting yang dilindungi undang-undang yang
terdapat di dalam kawasan antara lain kijang Muntiacus muntjak, banteng Bos javanicus, macan tutul Panthera pardus, rusa Cervus timorensis, kancil
Tragulus javanicus, musang luwak Phardoxorus hermaprodytus, kukang Nycticebus caoncang, landak Hystrix brachiura, kera hitamlutung budeng
Trachypithecus auratus, kera Macaca irus, trenggiling Manis javanicus. Beberapa spesies burung seperti elang Jawa Spizateus bartelsi, rangkong
Buceros rhinoceros dan lain-lain Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004b.
G. Sejarah Lahan Tetelan di Zona Rehabilitasi
Sejak tahun 1992 sampai 2001 konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN bekerjasama dengan pengelola TNMB telah melakukan program pendampingan
kepada masyarakat di desa Curahnongko, Andongrejo dan Sanenrejo. Program yang dikembangkan adalah terutama pelatihan budidaya tumbuhan obat,
pembangunan demplot agroforestry tumbuhan obat seluas 7 hektar dan pendampingan kelompok ibu-ibu PKK dan pengrajin jamuobat tradisioal.
Spesies tumbuhan obat pohon yang didomestikasi di areal demplot 7 ha terdiri dari kedawung Parkia timoriana, pakem Pangium edule, kemiri Aleurites
moluccana dan trembesi Enterolobium saman. Sedangkan spesies tumbuhan obat yang bukan pohon yang domestikasi adalah cabejawa Piper retrofractum,
kemukus Piper cubeba, pulepandak Rauvolfia serpentina, beberapa spesies empon-empon dan termasuk beberapa jenis bambu.
Ketika bergulirnya reformasi tahun 1998 terjadi kegiatan illegal logging oleh masyarakat yang didalangi oleh cukong-cukong dan oknum-oknum, terutama
terjadi pada periode tahun 1998-1999, yaitu dengan melakukan penjarahan hutan jati seluas 4000 ha Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004. Kawasan hutan
jati ini merupakan perluasan kawasan taman nasional dari Perhutani, berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 529KptsUm71982 tanggal 21 Juni 1982. Hutan jati
ini dulunya ditanam pada tahun 19671968 dengan sistem tumpangsari kerjasama
dengan masyarakat oleh Perum Perhutani. Istilah tetelan yang digunakan
42 masyarakat adalah berawal dari kejadian tahun 19981999, dimana hutan jati
ditebangi dan ditetel-tetel dipotong-potong, dicacah-cacah pada masa era
reformasi. Sejak inilah masyarakat petani menyebut lahan rehabilitasi bekas illegal logging hutan jati di TNMB dengan nama tetelan.
Kondisi pada waktu itu oleh pengelola TNMB bekerjasama dengan Konsorsium FAHUTAN IPB – LATIN segera diantisipasi dan dicegah, agar tidak
terjadi konflik lahan yang berkepanjangan dan sangat berpotensi berlanjutnya penjarahan hutan alam TNMB. Paska tetelan hutan tahun 19981999 dilakukan
pengembangan pendampingan masyarakat berupa kegiatan rehabilitasi lahan tetelan seluas 2.250 hektar oleh 3556 KK dengan sistem agroforestry tumbuhan
obat. Spesies tumbuhan obat yang dikembangkan sebagai tanaman pokok, antara lain adalah tumbuhan obat kedawung, kemiri, pakem, joho lawe dan lain-lain.
Mulai tahun 2001 program rehabilitasi di lahan tetelan didamping oleh LSM KAIL bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri. LSM KAIL
dibentuk oleh masyarakat lokal yang sudah ikut program rehabilitasi sejak tahun 1994 atas fasilitasi Konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN.
Sisi positif bagi masyarakat dengan terjadinya penjarahan hutan ini adalah tersedianya lahan garapan pertanian di kawasan taman nasional melalui program
rehabilitasi hutan. Program ini memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menanam tanaman palawija dengan berkewajiban menanam dan memelihara
tanaman pokok yang plasma nutfahnya berasal dari hutan TNMB. Keluarnya ketentuan zona rehabilitasi taman nasional yang diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutaan No. P.56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, diawali contohnya dari pengalaman TNMB.
Program rehabilitasi taman nasional bersama masyarakat yang awalnya dipicu karena terjadinya tragedi penjarahan pada tahun 1998, selanjutnya ke depan
perlu direncanakan, diteliti, dievaluasi dan dimonitor secara berkala bersama- sama dengan masyarakat. Kondisi yang sudah terjadi ini hendaknya dapat
diarahkan menuju keseimbangan baru yang dapat mendukung terwujudnya tujuan ideal pengelolaan taman nasional yaitu terwujudnya kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan dan lestarinya kawasan serta keanekaragaman hayati TNMB.
IV. PROFIL MASYARAKAT M
asyarakat di sekitar TNMB merupakan masyarakat yang hidup dan tinggal di 11 desa daerah penyangga, umumnya terdiri dari etnis Jawa dan
Madura. Berikut ini dikemukakan profil masyarakat secara umum, kemudian dilanjutkan dengan sejarah dan profil masyarakat pendarung kedawung yang
menjadi objek penelitian ini. Masayarakat pendarung ini merupakan bagian dari kelompok kecil dari masyarakat umum.
A. Masyarakat Umum
1. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk masyarakat sekitar kawasan TNMB berdasarkan data tahun 2005 seluruhnya berjumlah 94.900 jiwa 29.911 Kepala Keluarga terdiri
atas 46.783 jiwa laki-laki 49,3 dan 48.113 jiwa perempuan 50,7. Jumlah penduduk di setiap desa dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3.Jumlah penduduk desa di sekitar kawasan TNMB
No. Desa Luas
km
2
Jumlah Penduduk Jumlah
jiwa Kepadatan
jiwakm
2
Laki-laki Perempuan
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
Kab. Jember Curahnongko
Andongrejo Wonoasri
Curahtakir Sanenrejo
Mulyorejo Pace
Sidomulyo 283,4
262,8 6,2
77,9 88,9
48,4 51,3
51,5 2.883
2.667 4.294
5.633 2.871
4.629 7.792
4.442 2.832
2.828 4.437
5.303 2.977
4.893 8.158
4.659 5.716
5.495 8.731
10.936 5.848
9.522 15.953
9.101 20,17
20,91 1412
140,45 65,75
196,69 311,04
176,86
9. 10.
11. Kab.Banyuwangi
Sarongan Kandangan
Kebonrejo 27,0
18,1 83,2
2.931 4.175
4.466 2.992
4.384 4.650
5.923 8.559
9.116 219,36
473,82 109,60
Jumlah 998,70
46.783 48.113
94.900 1748,77
Sumber : Monografi Desa, 2005
Penduduk desa yang tinggal di sekitar kawasan TNMB sebagian besar adalah suku Jawa dan Madura. Kepadatan penduduk umumnya menyebar di
desa-desa sekitar kawasan, bahkan terdapat perkampungan di tengah kawasan seperti Bandealit, Sukamade dan Rajegwesi. Pola hidup masyarakat terutama di
desa Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo dan Curahtakir umumnya masih banyak bergantung hidupnya dengan sumberdaya hutan dari kawasan.