12
2. Hubungan sistem nilai dengan stimulus
Pengertian cognitive dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan stimulus, melainkan juga
mencakup beliefs atau kepercayaan tentang hubungan antara stimulus itu dengan sistem nilai yang ada dalam diri individu Rosenberg, 1960; dan Krech,
Crutchfield Ballachey, 1962. Pemahaman tentang sistem nilai dalam suatu masyarakat tradisional atau
masyarakat kecil sekitar hutan yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
Nilai ekonomi. Nilai ini berkaitan erat dengan pandangan praktis atau
pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik pada tingkat
individu, kelompok maupun masyarakat. Kehadiran nilai ini mendorong manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun dalam menentukan standar
tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan diukur sehingga sering dikaitkan “harga” padanya Siagian, 2004. Nilai varietas
tanaman tradisional seperti tumbuhan dan hewan yang kurang dikenal akan tetapi mempunyai nilai nutrisi atau tumbuhan obat yang dipanen dari hidupan liar
ternyata dapat menyediakan basis ekonomi yang penting bagi masyarakat membantu mereka untuk menyangga dan menopang hidupnya di kala rawan
pangan Soedjito dan Sukara, 2006.
Nilai sosio-budaya. Manusia adalah makhluk sosial, setiap individu sangat
mendambakan penerimaan yang ikhlas oleh orang lain terhadap keberadaannya. Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini akan tetapi, dikelilingi oleh komunitas
dan alam semesta sekitarnya. Manusia harus memelihara hubungan baik dengan sesamanya, cinta kepada sesama, cinta dan rela berkorban untuk hak-hak generasi
mendatang, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi, bersifat harmoni dalam interaksi dengan orang lain dan lingkungan alam. Hal ini
merupakan contoh nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Nilai sosial-budaya sangat perlu ditanamkan, dikembangkan dan dipupuk dalam kehidupan
berkelompok dan bermasyarakat karena akan memperlancar segala usaha dan kebersamaan dalam komunitas, untuk mencapai tujuan bersama Siagian, 2004
dan Fathoni, 2006. Contoh manfaat sosio-budaya dalam masyarakat adat adalah
13 sistem spritual dan kepercayaan masyarakat yang terpusat pada konsep sifat
keramat, seperti hutan keramat dan lansekap keramat yang dapat berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati Soedjito dan Sukara, 2006.
Nilai sosio-ekologi . Manusia hidup sangat tergantung kepada keberlanjutan
sediaan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Manusia secara fisik biologis merupakan bagian dari ekosistem alam di bumi ini. Manusia tidak dapat hidup
tanpa terpeliharanya sistem lingkungan alam yang sehat dan berkelanjutan, seperti terpeliharanya fungsi ekosistem hutan untuk stabilisasi fungsi-fungsi hidrologis,
daur oksigen, perlindungan kesuburan tanah dan longsor, menjaga stabilitas iklim, perlindungan sumberdaya keanekaragaman hayati, menjaga kesimbangan
lingkungan, dan lain-lain. Kesemua ini merupakan contoh nilai-nilai ekologis yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup manusia sepanjang masa. Nilai
ekologis ini sangat erat hubungannya dan saling mendukung dengan nilai-nilai sosial, yang merupakan motivator untuk melakukan aksi bersama mencapai
tujuannya, seperti halnya tujuan konservasi McNeely, 1992. Cara bagaimana masyarakat melestarikan dan memanipulasi kekompleksan keanekaragaman
hayati dan ekosistem memberi kontribusi kepada ketahanan ekosistem dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam menanggulangi perubahan lingkungan
Soedjito dan Sukara, 2006.
Nilai religius. Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi
dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut yang berangkat
dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata
berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu,
seperti kejujuran, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya Siagian, 2004. Nilai-nilai religius inilah merupakan motivator utama dalam sejarah
kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi stimulus yang efektif dalam membangun sikap dan perilaku manusia di zaman itu.
Begitu juga nilai-nilai religius agama Shinto yang merupakan kepercayaan rakyat Jepang kepada Kaisar Keramat Keturunan Dewa, dapat dipergunakan oleh
14 para pemimpin Jepang sebagai energi stimulus untuk melaksanakan pembangunan
atas nama Kaisar yang keramat. Unsur-unsur ajaran Shinto itu terjalin langsung ke dalam kehidupan kekeluargaan dan kehidupan sehari-hari orang Jepang,
sehingga menjadi jaminan partisipasi sepenuhnya dari setiap individu rakyat Jepang dalam pembangunan. Nilai ini pula yang menjadi motivasi utama bagi
perilaku orang Jepang setelah perang dunia kedua berakhir dalam membangun negaranya Koentjaraningrat, 1974 dan Siagian, 2004.
Keterputusan suatu “sistem nilai” yang sudah mengakar di masyarakat secara turun temurun dengan “sistem nilai” baru yang diterapkan, seperti yang
dibahas dalam “teori sistem nilai” yang dikemukan oleh Ndraha 2003, akan menimbulkan discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion. Sesuatu yang
terpenting mungkin bukan yang terbaik, sementara yang terbaik belum tentu yang paling benar. Jadi yang ideal adalah, jika suatu hal merupakan yang terpenting,
terbaik, dan juga terbenar. Kombinasi dari berbagai kategori nilai terpenting, terbaik dan terbenar pada skala masing-masing itulah yang membentuk sistem
nilai dan titik temu. Ndraha 2005 mengemukakan, bahwa suatu nilai terputus atau tidak bertemu karena nilai tersebut tidak berada atau lepas dari sistem
nilainya. Misalnya bangunan sistem nilai N dengan menggunakan tiga sumbu
dengan nilai skala X,Y dan Z : penting nilai-guna, baik nilai-etikamoral, dan benar nilai-fakta. Sistem nilai N tersebut dapat digambarkan seperti di
bawah ini :
Sumber: Ndraha, 2005
Gambar 2. Sistem nilai Salah
X Benar nilai fakta Penting nilai guna
Y Buruk
Tak Pentingnilai guna Z
Baik nilai etikamoral
15 Gambar di atas dapat dibuat suatu “sistem nilai kedawung” yang
direfleksikan dari stimulus, yaitu N= fX,Y,Z. Sumbu Y “penting” adalah stimulus kedawung berupa nilai-gunamanfaat kedawung, sumbu X “baik” adalah
stimulus kedawung berupa nilai-etik, moral, kerelaan, sikap atau perilaku untuk konservasi, dan sumbu Z “benar” adalah stimulus kedawung berupa nilai-fakta
bioekologi dan kondisi populasiregenerasi untuk terwujudnya konservasi. Walaupun sistem nilai dapat berubah, dan nilai N di dalam sistempun dapat
berubah, namun N harus selalu berada di dalam ruang sistem sumbu X, Y dan Z, yaitu dalam gambar ruang pada skala garis kontinu, bukan berada dalam gambar
ruang garis putus-putus. Apabila nilai terlepas dari sistemnya, maka terjadi keterputusan nilai, sehingga terjadilah discontinuity, inconsistency, disparity dan
distortion terhadap konservasi kedawung.
3. Aliran informasi dalam ekosistem sebagai stimulus