PP Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis

191 sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Penjelasan: Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. dikembangkan sekolah lapang agroforestry-industry tumbuhan obat secara terpadu bersama-sama masyarakat dan perguruan tinggi. Kapasitas SDM pengelola sangat kurang 7. PP Nomor 34 Tahun 2002 : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Hasil analisis Pasal 15 ayat 1 Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan; 2 Pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari; 3 Kriteria dan indikator sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Pasal 51 ayat 1 mengatur : ” Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dimaksud untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan”. Ayat 2 : ”untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilaksanakan dengan difasilitasi oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah”. Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa : ”Masyarakat setempat adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang berdasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Memberdayakan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam memanfaatkan hutan ................”. Ayat 2 : ”fasilitas oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya antara lain melalui pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan produksi, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar, serta pemberian hak dalam pemanfaatan”. Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius lemah Pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati di kawasan taman nasional, terkendala UU No 5 1990. Peraturan Pemerintah ini dengan jelas dan tegas telah mengatur tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan taman nasional seharusnya menjadikan program pemberdayaan masyarakat ini sebagai salah satu prioritas utama, seperti yang disebutkan ayat 2 di atas guna miningkatkan nilai tambah dan keuntungan yang maksimal bagi masyarakat. Namun kebijakan ini belum menjadi program yang penting dan belum prioritas. Kapasitas SDM pengelola kurang

8. PP Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis

Tumbuhan dan Satwa Liar Hasil analisis Dalam konsideran huruf a : ”bahwa tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian dari sumberdaya alam hayati yang dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 35 mengatur : ”Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang berasal dari habitat alam untuk keperluan budidaya tanaman obat-obatan dilakukan dengan tetap memelihara Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat lemah Stimulus religius nihil PP ini dengan jelas menyebutkan dan mendorong pemanfatan tumbuhan untuk kesejahteraan masyarakat, terutama melalui budidaya. Sampai saat ini program pengelolaan kawasan belum banyak melakukan domestikasi dan budidaya berbagai jenis tumbuhan liar hutan yang sudah sejak lama dikenal dan dipungut masyarakat dan sudah menjadi komoditi perdagangan di pasar, kecuali untuk jenis kedawung. Hutan taman nasional sebagai bank plasma nutfah dari beranekaragam spesies dan manfaat tumbuhan sampai saat ini belum diperankan oleh pengelola sebagai pensuplai bibit untuk kawasan budidaya yang dapat mendukung terwujudnya sentra produksi berbagai komoditi tumbuhan perdagangan 192 kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan liar”. unggulan, seperti tumbuhan obat kedawung dan lain-lain. Sekaligus secara nyata akan dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan yang berbasis sumberdaya alam hayati unggulan dan khas setempat. Kapasitas SDM pengelola kurang 9. Peraturan Menteri Kehutanan, No. : P.01Menhut-II2004 : Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry Hasil analisis Dalam konsideran huruf a : “bahwa sumberdaya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan perlu dikelola dan dipertahankan keberadaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”; huruf c : “bahwa social forestry dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002”. Pasal 1 Ayat 1 mengatur : “Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat” ; Ayat 2 : “Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat adalah kegiatan pengelolaan hutan secara utuh yang dilakukan oleh masyarakat setempat”; Ayat 3: “Masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan”; Ayat 4 : “Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan”. Pasal 2 Ayat 1 : “Maksud pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry”; Ayat 2 : “Tujuan pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari”. Pasal 5 mengatur: Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat setempat meliputi, Ayat 1 : “Penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat”; Ayat 2 : “Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat”; Ayat 3 : “Melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah dampak persaingan yang tidak sehat”. Selanjutnya Pasal 7 mengatur : “Social Forestry dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip: manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal, dan adaptif”. Pasal 8 mengatur rambu-rambu penyelenggaraan social forestry, Ayat 1 : “Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan”; Ayat 2 : “Tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan, kecuali hak pemanfaatan sumber daya hutan”; Ayat 3 : “Tidak parsial tetapi pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara utuh”. Pasal 10 Ayat 3 mengatur, bahwa : “Peran para pihak dalam pengembangan social forestry dimaksudkan untuk mensinergikan peran berbagai pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat”. Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup Stimulus religius lemah Peraturan Pemerintah di atas sudah jelas dan tegas, bahwa penyelenggaraan social forestry dalam pengelolaan hutan, termasuk taman nasional merupakan suatu keharusan yang merupakan pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara utuh, tidak parsial. Namun peraturan pemerintah ini belum diimplementasikan secara optimal di taman nasional, dan belum menjadi program yang utama yang terintegrasi dengan program- program lainnya, seperti dapat dilihat pada bahasan sub bab terakhir dari disertasi ini. Kapasitas SDM pengelola kurang 193 Lampiran 13 Lanjutan

10. Peraturan Menteri Kehutanan, No. : P.19Menhut-II2004

Dokumen yang terkait

Beberapa Aspek Ekologi Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

0 7 63

Status Rizobwm Dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (Cma) Pada Kedawung (Parkia Timoriana (Dc.) Merr.) Di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

0 16 58

Sikap masyarakat dan konservasi suatu analisis kedawung sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di Taman Nasioal Meru Betiri

0 3 224

Pengetahuan Masyarakat Dan Konservasi Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) Di Taman Nasional Meru Betiri

0 10 61

Bioecological of kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) medicinal plant in natural forest Meru Betiri National Park

0 18 9

Sikap Masyarakat Dan Konservasi Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri

1 53 458

Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Kedawung (Parkia timoriana (D.C) merr) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

0 14 87

Sikap masyarakat dan konservasi suatu analisis kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di Taman Nasioal Meru Betiri

0 9 385

Community’s Attitudes and Conservation: An Analysis of of Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.), Stimulus of Medicinal Plant for the Community, Case in Meru Betiri National Park

0 12 11

PEMANFAATAN TuMBuHAN OBAT OlEH MASYARAkAT DI SEkITAR TAMAN NASIONAl MERu BETIRI Utilization of medicinal plants by people around of Meru Betiri National Park

0 0 10