191
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Penjelasan: Pengembangan kurikulum secara
berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan
dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. dikembangkan sekolah lapang
agroforestry-industry tumbuhan obat secara terpadu bersama-sama masyarakat
dan perguruan tinggi. Kapasitas SDM pengelola sangat kurang
7. PP Nomor 34 Tahun 2002 : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan
Hasil analisis
Pasal 15 ayat 1 Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan; 2 Pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari; 3 Kriteria dan indikator sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Pasal 51 ayat 1 mengatur : ” Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dimaksud untuk
meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan”. Ayat 2 : ”untuk meningkatkan kemampuan
kelembagaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilaksanakan dengan difasilitasi oleh pemerintah dan atau
pemerintah daerah”. Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa : ”Masyarakat setempat adalah masyarakat yang berada di
dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang berdasarkan pada persamaan mata pencaharian yang
bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah
kelembagaan. Memberdayakan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam
memanfaatkan hutan ................”. Ayat 2 : ”fasilitas oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dilaksanakan sesuai
dengan kewenangannya antara lain melalui pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan produksi, bimbingan
teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar, serta pemberian hak dalam pemanfaatan”.
Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat cukup
Stimulus religius lemah Pemanfaatan lestari sumberdaya
alam hayati di kawasan taman nasional, terkendala UU No 5
1990. Peraturan Pemerintah ini dengan jelas dan tegas telah
mengatur tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Pengelolaan taman nasional seharusnya menjadikan program
pemberdayaan masyarakat ini sebagai salah satu prioritas utama,
seperti yang disebutkan ayat 2 di atas guna miningkatkan nilai
tambah dan keuntungan yang maksimal bagi masyarakat.
Namun kebijakan ini belum menjadi program yang penting dan
belum prioritas. Kapasitas SDM pengelola kurang
8. PP Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar
Hasil analisis
Dalam konsideran huruf a : ”bahwa tumbuhan dan
satwa liar merupakan bagian dari sumberdaya alam hayati
yang dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Pasal 35 mengatur : ”Pemanfaatan jenis tumbuhan
dan satwa liar yang berasal dari habitat alam untuk
keperluan budidaya tanaman obat-obatan
dilakukan dengan tetap memelihara
Stimulus alamiah cukup Stimulus manfaat lemah
Stimulus religius nihil PP ini dengan jelas menyebutkan dan mendorong pemanfatan tumbuhan
untuk kesejahteraan masyarakat, terutama melalui budidaya. Sampai saat ini program pengelolaan kawasan belum banyak melakukan
domestikasi dan budidaya berbagai jenis tumbuhan liar hutan yang sudah sejak lama dikenal dan dipungut masyarakat dan sudah menjadi komoditi
perdagangan di pasar, kecuali untuk jenis kedawung. Hutan taman nasional sebagai bank plasma nutfah dari beranekaragam spesies dan
manfaat tumbuhan sampai saat ini belum diperankan oleh pengelola sebagai pensuplai bibit untuk kawasan budidaya yang dapat mendukung
terwujudnya sentra produksi berbagai komoditi tumbuhan perdagangan
192
kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis tumbuhan liar”.
unggulan, seperti tumbuhan obat kedawung dan lain-lain. Sekaligus secara nyata akan dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat
yang berkelanjutan yang berbasis sumberdaya alam hayati unggulan dan khas setempat.
Kapasitas SDM pengelola kurang
9. Peraturan Menteri Kehutanan, No. : P.01Menhut-II2004 : Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan
dalam Rangka
Social Forestry
Hasil analisis
Dalam konsideran huruf a : “bahwa sumberdaya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan perlu dikelola dan dipertahankan keberadaannya untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”; huruf c : “bahwa social forestry dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian
sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002”. Pasal 1 Ayat 1 mengatur : “Pemberdayaan Masyarakat Setempat di
dalam dan atau sekitar hutan adalah upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat” ; Ayat 2 :
“Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat adalah kegiatan pengelolaan hutan secara utuh yang dilakukan oleh masyarakat setempat”;
Ayat 3: “Masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada
mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah
kelembagaan”; Ayat 4 : “Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang
memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan
kelestarian hutan”. Pasal 2 Ayat 1 : “Maksud pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry”; Ayat 2 : “Tujuan pemberdayaan masyarakat setempat
di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari”. Pasal
5 mengatur: Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat setempat meliputi, Ayat 1 : “Penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya
potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat”; Ayat 2 : “Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat”; Ayat 3 : “Melindungi
masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah dampak persaingan yang tidak sehat”. Selanjutnya Pasal 7 mengatur : “Social Forestry
dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip: manfaat dan lestari,
swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal, dan adaptif”. Pasal 8 mengatur rambu-rambu
penyelenggaraan social forestry, Ayat 1 : “Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan”; Ayat 2 : “Tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan
hutan, kecuali hak pemanfaatan sumber daya hutan”; Ayat 3 : “Tidak parsial tetapi pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara utuh”. Pasal 10 Ayat 3
mengatur, bahwa : “Peran para pihak dalam pengembangan social forestry dimaksudkan untuk mensinergikan peran berbagai pihak terkait sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat”.
Stimulus alamiah cukup
Stimulus manfaat cukup
Stimulus religius lemah Peraturan Pemerintah
di atas sudah jelas dan tegas, bahwa
penyelenggaraan social forestry dalam
pengelolaan hutan, termasuk taman
nasional merupakan suatu keharusan yang
merupakan pengelolaan hutan yang
dilaksanakan secara utuh, tidak parsial.
Namun peraturan pemerintah ini belum
diimplementasikan secara optimal di taman
nasional, dan belum menjadi program yang
utama yang terintegrasi dengan program-
program lainnya, seperti dapat dilihat
pada bahasan sub bab terakhir dari disertasi
ini. Kapasitas SDM
pengelola kurang
193 Lampiran 13 Lanjutan
10. Peraturan Menteri Kehutanan, No. : P.19Menhut-II2004