17 yang terdampar, bukannya informasi ini menjadi stimulus bagi masyarakat untuk
segera lari menjauhi pantai Akhirnya mereka banyak menjadi korban tsunami.
4. Stimulus, sikap dan aksi konservasi
Menurut Harris dan Hillman 1989 dalam buku yang disuntingnya “Foraging and Farming, The Evolution of Plant Expoitation”. Buku ini
merupakan himpunan makalah hasil kongres Anthropology dan Archaeology, dimana lebih dari 850 ilmuwan peserta dari 70 negara dunia dalam “One World
Archaeology” di London bulan September 1986. Buku ini mengungkapkan bahwa tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu
sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Namun sayangnya pengetahuan, pengalaman dan
budaya ini tak dapat berkelanjutan karena terjadi suatu proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan terkini kehilangan arah yang memutuskan kelanjutan
evolusi genetik tersebut dan tidak dipahami lagi oleh masyarakat generasi muda. Salah satu kegagalan manusia dalam berinteraksi dengan alam tumbuhan
adalah karena manusia tidak memahami kedudukan serta makna rahasia alam tumbuhan dan hewan serta habitatnya dalam rangka kepentingan untuk
keberlanjutan hidup manusia itu sendiri Tompkinn dan Bird, 2004. Kunci dari pemaknaan tersebut antara lain adalah mengenal sinyal-sinyal dan fenomena-
fenomena, yang merupakan informasi kebenaran dari alam yang tersebar di alam tumbuhan, hewan dan habitatnya. Informasi itu semua, semestinya dapat menyatu
padu dan mengkristal menjadi stimulus sikap dan menjadi informasi untuk aksi konservasi dan harmoni terhadap dunia tumbuhan dan habitatnya. Hal ini dapat
terwujud dengan prasyarat adanya kerelaan berkorban untuk konservasi dan hendaknya merupakan sekaligus sebagai wujud pertanggung-jawaban setiap
individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta. Penelitian ini memfokuskan kepada masalah stimulus kedawung yang
dapat mendorong dan terkait erat dengan sikap masyarakat pendarung maupun sikap pengelola untuk aksi konservasi kedawung.
Sikap merupakan kecenderungan bertindak tend to act, kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat dan menunjukkan bentuk,
arah, dan sifat sebagai refleksi dari nilai-nilai yang dimiliki satu-kesatuan
18 masyarakat society as a whole. Sikap ini berisikan komponen setidak-tidaknya
berupa cognitive pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain, affective emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain dan overt
actions perilaku, kecenderungan bertindak. Jadi sikap itu merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang mengenai objek yang disertai adanya pikiran
dan perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau bertindak dalam cara tertentu yang dipilihnya Rosenberg
dan Hovland, 1960; Krech, Crutchfield Ballachey, 1962 . Pengertian “stimulus” dalam penelitian ini adalah “sinyal”, “fenomena”
atau “gejala”, yang diperlihatkan oleh komponen ekosistem hutan yang dapat menjadi perangsang masyarakat untuk bersikap terhadap sesuatu. Khusus dalam
penelitian ini, yang dimaksud adalah sinyal yang diinformasikan atau ditunjukkan oleh pohon kedawung yang dapat menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk
aksi konservasinya. Sinyal baru dapat menjadi stimulus apabila dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen sikap cognitive dan affective.
Pada dasarnya komponen sikap terdiri dari objektif cognitive berupa rasionalitas yang didasarkan pengalaman sendiri atau pengetahuan yang
menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk sikapnya. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada pengelola maupun anggota masyarakat. Komponen sikap
juga bersifat subjektif affective yang cenderung membangkitkan emosional baik sedih atau gembira, suka maupun tidak suka terhadap suatu stimulus yang
merangsang untuk berbuat atau bertindak konservasi. Apabila keadaan seperti ini berlanjut tanpa terjadi dialog yang melibatkan komponen sikap lainnya cognitive
bisa meghasilkan bentuk, sifat maupun arah sikap yang berbeda dari konservasi. Komponen sikap yang ketiga, yaitu kecenderungan bertindak nyata overt action
yang mungkin mengarah kepada bentuk, sifat dan arah yang memperkuat konservasi atau malahan sebaliknya memperlemah atau bahkan menolak.
Keterkaitan stimulus-sikap akan memungkinkan terjadinya keterkaitan
yang erat dengan aksi konservasi. Hal itu karena ada asumsi bahwa sifat
bioekologi dan manfaat akan dirasakan oleh masyarakat secara ekonomi, ekologi maupun sosial-budaya. Tetapi sebaliknya keterkaitan stimulus-sikap,
memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi, sebagai contoh stimulus
19 manfaat ekonomi dari kedawung telah membuat sikap masyarakat pada periode
Agustus-September setiap tahun untuk masuk hutan dan memanen semua buah yang masak untuk dijual ke tengkulak. Bahkan mereka mengambil semua buah
kedawung yang berada di ranting tajuk terluar dengan memotong cabang tanpa menyisakan biji untuk regenerasi kedawung di hutan. Sikap ini berdampak
negatif terhadap konservasi dan hal ini ditunjukkan dengan sulitnya terjadi regenerasi kedawung di hutan alam.
Diagram pada Gambar 4 berikut ini menggambarkan aliran informasi dari sistem bioekologi kedawung ke sistem sosial masyarakat.
Informasi untuk aksi konservasi
prasyarat : adanya kerelaan berkorban, hak kepemilikan jelas
Aksi Sikap
dan peraturan perundangan yang jelas
konservasi
prasyarat : sinyal dapat ditangkap dan dipahami oleh Stimulus komponen cognitive dan affective dari setiap individu Sinyal
informasi tentang manfaat, kelangkaan, harapan konservasi, dll
Gambar 4. Hubungan sinyal kedawung, informasi kelangkaan, stimulus bagi sikap dan informasi untuk aksi konservasi
Dalam kerangka pemikiran ini dapat diperhatikan tiga hal utama, yaitu 1 sikap masyarakat, 2 stimulus yang berkaitan dengan sikap masyarakat, dan 3
aksi konservasi yang bakal terjadi. Gejala yang diperhatikan selama penelitian
berjalan adalah stimulus yang direfleksikan oleh spesies tumbuhan obat kedawung
dengan segala sifat-sifat bioekologi dan manfaatnya yang mempengaruhi pula sikap dan perilaku hewan dan manusia yang menggunakan spesies tumbuhan ini.
Aspek lain yang diperhatikan pula adalah faktor yang terkait dengan akumulasi pengetahuan, pengalaman baik masyarakat yang sistematis yang diwariskan turun
temurun yang amat relevan dengan sifat-sifat di luar bioekologi kedawung dalam habitatnya. Pengalaman seperti ini diwarisi masyarakat yaitu dengan membaca
fenomena alam yang dijabarkan dalam pengalaman selama hidupnya. Konservasi kedawung dapat terwujud apabila sinyal dari kedawung yang
menuntut untuk kebutuhan keberlanjutan hidupnya dapat menjadi stimulus kuat
Kedawung Masyarakat
20 yang dapat mendorong sikap masyarakat pendarung dan pengelola serta sekaligus
memberikan informasi untuk aksi konservasi. Keterkaitan sikap-stimulus, memungkinkan pengelola TNMB dapat
berperan aktif untuk mewujudkan konservasi bersama masyarakat dengan menghilangkan perbedaan atau bias dalam kesamaan pandang yang selama ini
tidak terjadi. Fenomena yang terakhir yaitu hubungan sikap-stimulus menghasilkan bias
dalam konservasi adalah suatu yang patut dikaji lebih lanjut karena ternyata
kebijakan TNMB dan pengetahuan masyarakat terhadap konservasi ada
kecenderungan berbeda. Dalam hal ini bisa kemungkinan terjadi karena
kebijakan yang ditempuh bersama, baik oleh masyarakat maupun oleh pengelola menimbulkan bias. Untuk itu dapat dikaji dalam komponen pembentuk sikap,
baik pengelola maupun masyarakat. Rangkaian informasi sinyal menjadi stimulus sifat genetik tumbuhan obat
kedawung, bioekologinya, guna, nilai, dan seterusnya akan mendorong sikap masyarakat untuk beraksi. Artinya belum bisa disebut stimulus bagi masyarakat
apabila sinyal, informasi, issu atau sifat genetik, bioekologi, guna atau nilai tertentu tumbuhan obat kedawung tersebut belum menjadikan masyarakat berlaku
atau bertindak positif untuk melakukan konservasi. Oleh karenanya sesuatu issu, sinyal, fenomena atau informasi dan sebagainya barulah menjadi stimulus kalau
masyarakat terdorong atau terangsang mewujudkan sikapnya terhadap issu, fenomena atau sifat tertentu dari suatu benda, dalam hal ini tumbuhan obat
kedawung. Topik disertasi ini dipilih berdasarkan pada pengalaman peneliti selama lebih 10 tahun bekerja diprogram konservasi tumbuhan obat bersama
masyarakat di TNMB. Peneliti meyakini bahwa berbagai sifat atau karakter tumbuhan obat kedawung haruslah menjadi stimulus bagi masyarakat pendarung
untuk bersikap konservasi dan hal ini merupakan sebagai prasyarat terwujudnya aksi konservasi tumbuhan obat tersebut di TNMB.
Pemantapan hubungan stimulus-sikap masyarakat yang didasarkan kepada kesatuan bulat komponen sikap merupakan kesatuan yang mendorong aksi
masyarakat untuk konservasi. Pemantapan ini didapat dengan satu proses yang panjang dan kemungkinan bergenerasi secara informal. Pertanyaannya adalah
21 sejauh mana peranan dari masyarakat sendiri turun temurun membentuk
pengetahuan ataukah peranan datang dan berasal dari pengelola. Kedua-duanya patut diuji dalam penelitian ini. Bagi disertasi ini konservasi adalah ideal kalau
pada akhirnya masyarakat pendarung sendiri yang lebih besar peranannya untuk melaksanakan konservasi kedawung.
Keberlanjutan suatu konservasi merupakan harapan semua pihak, tetapi bagaimana pengendalian sikap masyarakat agar menjadi masyarakat yang
konservasionis? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini termasuk juga hendak dijawab dalam penelitian ini, yaitu stimulus apa saja yang seharusnya menjadi pendorong
dan pengendali sikap masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi.
5. Hipotesis Penelitian