179
harmonisasi dalam
pemanfaatan ruang,
sehingga lebih
mengesampingkan kebebasan
daerah untuk
mengeksploitasi ruang untuk kepentingannya semata. Hal ini karena karakteristik
ruang yang bersifat kontinum dan tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Dalam rangka menjamin terjadinya harmonisasi,
Pemerintah Pusat
menggunakan berbagai
instrumen pengendalian: insentif, disinsentif, sanksi administratif, dan sangsi
pidana. Pengendalian dalam perencanaan tata ruang relatif lebih ketat karena ruang adalah sumber daya yang akan menjadi obyek
pemanfaatan untuk mencapai tujuan pembangunan. Sebagai konteks yang perlu dicatat untuk masukan ke
dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah bahwa segala ketentuan yang akan
memuat mengenai perencanaan, hendaknya mengacu dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor
26 Tahun
2007. Keduanya
adalah undang-undang
yang lebih
khusus mengatur
perencanaan. Pengaturan tentang perencanaan daerah yang akan dibentuk
dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dijaga konsistensinya dengan kedua undang-undang perencanaan diatas
dan bahkan, diharapkan dapat memberi dukungan implementasi terhadap kedua undang-undang itu.
4.9.2 Identifikasi Permasalahan
Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah mengatur perencanaan pembangunan secara cukup rinci, namun dalam
pelaksanaannya masih
ada beberapa
hal memerlukan
penyempurnaan. Pertama, keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan
pembangunan daerah
dengan pembangunan
nasional dan
antara perencanaan
kabupatenkota dengan
180
perencanaan provinsi masih perlu ditingkatkan. Selama ini banyak daerah
yang perencanaan
pembangunan daerahnya
belum mengacu kepada rencana pembangunan provinsi dan nasional.
Dalam perencanaan tata ruang, masih banyak daerah yang belum menggunakan rencana tata ruang yang lebih tinggi sebagai dasar
dalam mengembangkan
kegiatan pembangunan
daerahnya. Akibatnya, konsistensi dan sinergi dalam pembangunan daerah
belum dapat secara optimal diwujudkan. Kedua,
kebijakan pembangunan
daerah sebagaimana
dinyatakan dalam RPJMD dan RKPD sering belum dikaitkan dengan
rencana tata
ruang daerah.
Pengintegrasian antara
dokumen RPJMD dan RKPD dengan dokumen tata ruang sering belum dapat dilakukan dengan optimal. Kegiatan pembangunan
yang memiliki dimensi ruang belum dapat ditempatkan dalam lokasi
yang telah
ditentukan dalam
rencana tata
ruang. Kemampuan untuk mengisi rencana tata ruang dengan kegiatan
pembangunan yang sesuai masih sangat rendah. Akibatnya, banyak kegiatan pembangunan daerah yang kurang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah dibuat dan menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang merugikan kepentingan masyarakat.
Ketiga, dokumen rencana pembangunan daerah sering
belum secara jelas memuat secara rinci hasil pembangunan yang diharapkan outcomes, keluaran yang dihasilkan, dan masukan.
Akibatnya keterkaitan antara masukan, keluaran, dan hasil yang diharapkan belum dapat diamati dengan mudah oleh para
pelaksana dan
pemangku kepentingan.
Bahkan, dalam
mendefinisikan masukan untuk kegiatan pembangunan daerah sering belum memasukan masukan diluar pendanaan, seperti aset
dan peraturan
perundangan yang
spesifik dibuat
untuk mendukung kegiatan pembangunan.
181
Belum dimasukannya aset seperti barang milik daerah, tanah, sumber daya alam yang pengelolaannya dikuasakan pada
daerah sebagai masukan yang penting dalam pembangunan daerah
membuat kegiatan
pembangunan daerah
cenderung menguntungkan para pengusaha besar di daerah. Banyak kasus
menunjukan terjadinya penguasaan aset daerah yang digunakan dalam pembangunan daerah yang manfaatnya kurang dapat
dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itu definisi tentang masukan untuk kegiatan pembangunan seharusnya mencakup
tidak hanya pendanaan tetapi juga aset dan sumber daya lainnya yang dikuasai oleh daerah.
Keempat, banyak dokumen rencana pembangunan daerah yang belum dibuat atas dasar data yang akurat dan reliabel. Para
perencana pembangunan daerah sering mengalami kendala untuk membuat rencana pembangunan daerah yang berbasis pada
informasi yang akurat dan reliable karena keterbatasan data yang dimilikinya.
Tidak tersedianya
data yang
lengkap dan
dikumpulkan secara berkala membuat para perencana mengalami kesulitan dalam membuat rencana pembangunan yang mampu
menjawab secara tepat masalah yang berkembang di daerah. Kelima, dalam tataran empirik dewasa ini kurang tercipta
sinergi dan harmonisasi antara perencanaan pembangunan pusat dan daerah dan antara daerah. Masing-masing daerah berjalan
sesuai dengan rencana dan prioritasnya sendiri-sendiri. Akibatnya sangat sulit untuk merealisasikan target-target nasional yang
ditetapkan Pemerintah
Pusat karena
adanya fragmentasi
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh adanya pergantian elit daerah baik
kepala daerah maupun DPRD dengan prioritas yang mungkin berbeda dengan elit pendahulunya. Akibatnya tidak akan terjadi
182
kontinuitas perencanaan dan pembangunan di daerah dan pada gilirannya akan menganggu pencapaian target pembangunan
nasional secara keseluruhan. Keenam, kebingungan
sering terjadi
di daerah
terkait dengan sumber legitimasi dari RPJMD. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menentukan bahwa RPJMD harus disahkan melalui Perda sementara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
perencanaan pembangunan nasional mengatakan bahwa RPJMD cukup disahkan melalui peraturan kepala daerah. Perbedaan
konsep RKPD di dalam kedua undang-undang tersebut, dimana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD
sebagai rencana kerja pembangunan daerah sementara Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD sebagai
rencana kerja pemerintah daerah.
4.9.3 Analisis